KAJIAN TINGKAT PENCEMARAN UDARA OLEH GAS NH3 DAN H2S PADA PROSES PENGOMPOSAN SECARA AEROB

Avatar of jurnal
PENCEMARAN UDARA

This research objective was to know the level polutan of NH3 and H2S from aerobic composting process. Modified Briski method was use to identification NH3 and H2S. Pada metode Briski et al. (2003) tidak ada pengukuran gas NH3 and H2S. Both polutan were colect at solvent BaCL2 and H2SO4 0.1 N along one week, than the level of concentration at air were identificated by chromatography method.

The level concentration of NH3 at the air was 0.092 ppm to 0.25 ppm, and the level polutan of H2S to the air was 0.3 ppm to 1.1 ppm. Both polutan were below from standard of SNI.

Keyword : polutan, indentification, aerobic composting

pendahuluan

Keterlambatan penanganan sampah menimbulkan pencemaran udara, pencemaran air dan pencemaran tanah. Pencemaran udara diakibatkan oleh bau terutama gas NH3, H2S, CH3S, (CH3)2 S2, asam-asam alifatik serta CO (Rosenfeld dan Henry, 2000 dan Martin,1998). Pencemaran air dan pencemaran tanah diakibatkan oleh air lindi (Vesilind et al. 1994).

Sampah kota-kota besar di Indonesia rata-rata mengandung 79.5% bahan organik, 4.1% kertas, plastik 3.7%, kaca 2.3%, logam 2.7%, kayu 2.79%, kain 1.1%, karet 0.8% lain-lain 2.9% dari survei Dinas Penyehatan Lingkungan Tahun 1994.

Menurut Furedy (1994) sampah dari kota-kota di Asia mengandung 60 – 90% bahan organik dan debu. Sampah organik berpotensi dikomposkan dengan skala kecil atau dengan skala lebih besar yang dipusatkan di satu kota. Pengomposan dapat menurunkan jumlah sampah yang harus ditangani.

Pengomposan secara aerob menggunakan metode open windrow sangat sederhana dan tidak memerlukan investasi yang besar. Hasil kompos dapat dijadikan pupuk organik, sedangkan bau akibat proses pengomposan dapat dikendalikan dengan ketercukupan oksigen untuk pengomposan.

Kelebihan pengomposan secara aerob adalah mikroorganisme patogen akan mati pada fase thermofilik. Pengomposan merupakan strategi managemen limbah organik padat paling ramah lingkungan dibandingkan sanitary landfill dan incineration (Marchettini et al., 2006; Modles et al., 2006 ).

Permasalahan yang dihadapi dalam proses pengomposan secara open windrow adalah penurunan kerapatan masa bahan organik yang mengakibatkan penurunan laju difusi oksigen ke masa bahan organik. Menurunnya laju difusi oksigen diduga berakibat pada titik tertentu reaksi pengomposan menjadi anaerob, sehingga akan muncul bau akibat gas sulfida dan amonia.

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi munculnya gas H2S dan NH3 pada proses pengomposan secara aerob pada bejana sederhana.

metode penelitian

Bahan dan Alat

Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sampah organik perkotaan yang berumur 1 hari, larutan BaCl2 0.1 N, larutan H2S 0.1 N, air, plastik, KOH padat. Sedangkan alat yang digunakan adalah bejana pengomposan dan GC.

Prosedur Penelitian

Percobaan pengomposan skala laboratorium untuk mendapatkan gambaran dinamika produksi gas H2S dan gas NH3, dan neraca massa .Proses pengomposan dilakukan pada kolom bahan organik padat yang diletakan pada suatu tabung vertikal terbuat dari ember plastik, percobaan ini merupakan modifikasi dari metode Briski et al. (2003) yang diterapkan untuk pengomposan limbah industri rokok.

Modifikasi dilakukan pada cara pengukuran gas NH3 dan gas H2S. Pada metode Briski et al. (2003) tidak ada pengukuran gas NH3 dan gas H2S yang merupakan gas berbau utama yang mungkin ada pada pengomposan bahan organik padat secara aerobik (Rosenfeld dan Henry, 2000 dan Martin,1998).

Percobaan pengomposan skala laboratorium dilakukan 3 kali, percobaan dilakukan secara pararel pada bejana ember volume 60 liter. Sistem pemberian oksigen dengan udara yang dialirkan ke sampah yang dikomposkan akibat dorongan kipas lewat pipa pralon diameter 2 inchi. Udara yang mengandung uap air, gas CO2, gas NH3 dan gas H2Sdilewatkan pipa plastik ukuran ½ cm dan uap air dikondensasi pada sistem pendinginan di bejana pengomposan.

Prosedur Percobaan

  1. . Prosedur perhitungan laju produksi gas NH3
  2. Gas NH3 hasil reaksi pengomposan diikat dengan larutan H2SO4 0.1N. Penampungan gas selama satu minggu.
  3. Konsentrasi gas NH3 hasil pengomposan (Cnh3) diukur dengan spektrofotometer berdasarkan NH3 yang tertangkap di larutan H2SO4 0.1N.
  4. .Prosedur perhitungan laju produksi gas H2S
  5. Gas H2S hasil reaksi pengomposan diikat dengan larutan BaCl2 0.1N. Penampungan gas selama satu minggu.
  6. Konsentrasi gas H2S hasil pengomposan (Ch2s) diukur dengan spektrofotometer berdasarkan H2S yang tertangkap di larutan BaCl2 0.1N.

word image 3085 1

Gambar 2 Metode pengomposan skal laboratorium

Keterangan gambar : (1) Kipas, (2) higrometer, (3) termometer, (4) air lindi keluar, (5) air terkondensasi, (6) Cosmotector untuk mengukur konsentrasi O2, dan CO2, , (7) udara keluar dari bioreaktor, (8) sampah, (9) sistem pendingin udara keluar, (10) udara keluar, (11) penangkap NH3, dan (12) penangkap gas H2S

HASIL DAN PEMBAHASAN

Derajat keasaman (pH) pengomposan antara 6.5 sampai 7.7 atau pada pH netral, hal ini juga dihasilkan pada penelitian McKinley et al. (1985); Nakamura et al. (1995), Nakasaki et al. (1987a); Raniwinati (1998) dan Sudiarjana (2003).

Pada minggu pertama terjadi kenaikan pH dari pH awal sekitar 7.2 menjadi rata-rata sekitar 7.7, namun kemudian mengalami penurunan kembali sampai reaksi pada kondisi asam atau pH di bawah 7. Derajat keasaman terendah sekitar 6.5 dicapai pada minggu kedelapan. Reaksi pengomposan pada kondisi basa dari hari pertama sampai hari ketigapuluhsatu, namun setelah itu reaksi kimia pengomposan pada kondisi asam.

Gambar 3 menampilkan pola perubahan pH selama proses pengomposan. Pada minggu pertama pH di atas 7 sifat massa yang dikomposkan cenderung basa, sehingga kelebihan ion OH akan mengakibatkan kehilang ammonium dalam bentuk NH3 dan hidrosilasi beberapa unsur biologis seperti Cu dan Mn membentuk campuran karbonat yang sulit terurai (Martin, 1998).

Pada pH di bawah 7, sifat massa yang dikomposkan cenderung asam, sehingga kelebihan ion H+ dapat menyebabkan penguraian dan pelepasan ion Ca2+ dan Mg2+ dari mikroorganisme, ion-ion metal dari mineral dan bahan organik (Martin, 1998)

word image 3085 2

saat tanpa pengadukan dan saat diaduk antara 0.28­0.3 ppm, hal ini menunjukan bahwa saat tanpa pengadukan emisi gas H2S diuraikan oleh bakteri Beggiatoa menjadi sulfur dan air. Namun karena O2 terbatas, gas H2S tidak dapat diurai secara sempurna dan masih ada emisi gas tersebut.

Pada minggu ketiga pH menurun diakibatkan karena aktivitas mikroba berkurang karena berkurangnya bahan makanan dan mikroba yang bertahan hanya mikroba yang benar-benar terseleksi karena suhu pengomposan pada fase thermophilik dan pada pH bersifat asam lemah.

Penyebab lain adalah kation-kation yang dilepas berkurang, sedangkan asam yang terbentuk meningkat dan terjadi pelepasan gas NH3 yang bersifat basa. Gas NH3 yang dilepas terutama saat pengadukan pada proses pengomposan bervariasi dari 1.4 ppm s/d 2.3 ppm, dinamika pelepasan gas NH3 saat tanpa pengadukan seperti Gambar 5.

Kenaikan pH di minggu pertama, karena ada demineralisasi bahan organik terutama unsur mikro Mg2+, K+, Ca2+. Kation-kation ini akan berikatan dengan asam-asam yang terbentuk selama proses pengomposan dan menyebabkan reaksi pengomposan pH naik. Selain itu ada pelepasan gas bau yang didominasi oleh H2S ke lingkungan yang bersifat asam.

Pelepasan ion gas S pada proses pengomposan terutama saat pengadukan antara 0.3 ppm s/d 1.1 ppm, dan dinamika pelepasan ion gas S pada proses pengomposan terutama saat tanpa pengadukan. persamaan matematik y = -0.0002t2 – 0.0037 t + 1.05 adalah hubungan antara konsentrasi emisi gas NH3dengan waktu pengomposan secara, dengan r2 = 0.86.

word image 3085 3

Gambar 5 Emisi gas NH3 selama pengompoan sampah

word image 3085 4

Gambar 4 Emisi gas H2S selama pegomposan sampah Gas H2S yang terlepas saat tanpa pengadukan antara 0.028-0.8 ppm. Selisih gas H2S yang terlepas Hasil identifikasi pelepasan gas NH3 saat tidak diaduk rata-rata 0.018 ppm s/d 0.135 ppm atau di bawah baku tingkat kebauan, sehingga secara indrawi pengomposan tidak menimbulkan bau. Hubungan antara konsentrasi emisi gas NH3 dengan waktu pengomposan secara matematik NH3 = – 0.0001 t2 + 0.0079 t – 0.0148, dengan nilai r2 = 0.87.

Emisi gas NH3 yang ke luar sistem pengomposan menunjukkan bahwa O2 menjadi substrat pembatas, sehingga NH3 tidak semuanya digunakan bersamaan dengan glukosa dan piruvat untuk menyusun sel mikroorganisme. Selisih emisi gas NH3 saat pengomposan dilakukan pengadukan dan tanpa pengadukan antara 1.39-2.17 ppm menunjukkan bahwa, emisi gas NH3 saat pengomposan tidak diaduk digunakan oleh mikroorganisme untuk menyusun selnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil identifikasi bau pada proses pengomposan secara aerob lebih didominasi pelepasan S’ dibandingkan dengan gas NH3. Tingkat polusi udara oleh kedua gas tersebut masih dibawah standar kebauan yang ditetapkan SNI.

Saran

Masih diperlukan upaya penelitian pada ketinggian tumpukan berapa proses pengomposan secara aerob benr’benr terjadi secara sempurna, sehingga pencemaran udara oleh gas polutan tidak terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Bach PD, Nakasaki K, Shoda M, and Kubota H. 1987. Thermal balance in composting operation. J Fermentation Technology. 65(2): 199-209.

Briski F, Corgas N, Vukonic M, and Gomzi Z. 2003. Aerobic composting of tobacco industry solid waste’simulation of the process. J. Clean Techn. Environ. Policy 5: 295 ‘ 301.

Furedy C. 1994. Decentralized composting : An emergencing technique of solid waste management. ASEP Newsleter 10(1): 1’12.

Marchettini n., Ridolfi R., and Rustici M. 2007. An environmental analysis for comparing waste management options and strategies. J. Waste Management27: 562’571.

McKinley, V.L., Vestal, J.R., and Eralp, A.E. 1985. Microbial activity in composting. Biocycle. 26, 47-50.

Moldes A., Cendon Y., and Barral, MT. 2006. Evaluation of municipal solid waste compost as a plant growing media component, by applying mixture design. Bioresource Technology, Article in Press.

Nakamura K, Ishikawa S, and Kawaharasaki M.1995. Phospate uptake and release activity in immobilized polyphosphate accumulating bacterium Microlunatus phosphovorus. J Fermentation and Bioengineering 80(4): 377 – 382.

Nakasaki K, Nakano Y, Akiyama T, Shoda M, and Kubota H. 1987a. Oxygen diffusion and mikrobial activity in the composting of dehidrated sewage sludge cake. J Fermentation Technology 65(1): 43’48.

Rawiniwati W. 1998. Peran beberapa fungi selulotik pada laju pengomposan limbah tanaman dan aplikasinya pada jagung. [Thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor

Rosenfeld, P.E., and Henry, C.L. 2000. Wood and ash control of odor from biosolids application. J. Environ. Qual. 29 :1662 – 1668.

Sudiarjana IM. 2003. Isolasi dan karakteristik mikroorganisme asal sampah pasar dan isi rumen serta aplikasinya sebagai starter dalam pengomposan sampah. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Vesilind AP, Peirce JJ, dan Weiner RF. 1994. Enviromental engineering. Butterwort’

Heinemann Inc. Boston.

 

Last Updated on 23 Agustus 2022

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous Post
korupsi

Upaya Pencegahan (Preventif) Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dikaji Dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Next Post
KEANEKARAGAMAN MOLUSKA

KEANEKARAGAMAN MOLUSKA DI PANTAI SERANGAN, DESA SERANGAN, KECAMATAN DENPASAR SELATAN, BALI