PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN PNEUMOTHORAKS DENGAN TUBE THORACOSTOMY DI RSUP SANGLAH TAHUN 2012-2013
on
PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN PNEUMOTHORAKS DENGAN TUBE THORACOSTOMY DI RSUP SANGLAH TAHUN 2012-2013
I Made Widiarta Kusuma
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali
ABSTRAK
Pneumothoraks adalah terperangkapnya udara pada celah pleura yang menyebabkan tekanan udara menjadi lebih positif.Sebagai penyakit yang mengancam jiwa, tube thoracostomy dilaksanakan sejak dini dan disertai pemberian antiobika untuk mencegah resiko komplikasi infeksi.Hal ini masih menjadi kontroversi, oleh karena itu peneliti tertarik mengeksplorasi penggunaan antibiotika pada pasien pneumothoraks dengan tube thoracostomy.Desain penelitian ini deskriptif-analitik (cross sectional) dengan sampel penelitian adalah 35 pasien pneumothoraks di RSUP Sanglah, Denpasar dari bulan Januari 2012-Agustus 2013.Data penelitian merupakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medik pasien pneumothoraks. Hasil analisis data menunjukkan, pasien pneumothoraks terbagi atas 10 pneumothoraks traumatik, 8 pneumothoraks iatrogenik, 8 PSP, 5 PSS, 1 fluidopneumothoraks, dan 3 piopneumothoraks. Sebesar 14 sampel dengan tube thoracostomy tanpa WSD dan 11 sampel dikombinasi dengan WSD. Sebanyak 35 sampel diberikan antibiotika golongan cephalosporin sebelum tindakan tube thoracostomy, seperti cefataxime, ceftriaxone, dan cefaperazone.Pasien riwayat TBC dan fluidopneumothoraks, diberikan kombinasi ceftriaxone dan azitromycin.Sebesar 10 pasien pneumothoraks traumatik, diberikan kombinasi ceftriaxone dan anti tetanus.Tendensi keberhasilan antibiotika untuk pencegahan infeksi sebesar 80%, tetapi hal ini masih dipengaruhi oleh jenis pneumothoraks, mekanisme pneumothoraks, jangka waktu rawat inap dan pemakaian tube thoracostomy.
Kata Kunci: Antibiotika, Pneumothoraks,Tube Thoracostomy
THE USE OF ANTIBIOTICS IN PNEUMOTHORAX PATIENTS WITH TUBE THORACOSTOMY AT SANGLAH GENERAL HOSPITAL IN THE YEAR OF 2012/2013
ABSTRACT
Pneumothorax is air trapped in the pleural space that causes more positive air pressure. As a life-threatening illness, tube thoracostomy is implemented early with antibiotics combination. It is still controversy, therefore researcher tries to explore the use of antibiotics in pneumothorax patients with tube thoracostomy. It is a descriptive-analytic (cross sectional) study. Sample of study are pneumothorax patients in Sanglah General Hospital, from January 2012 to August 2013. Data is obtained from the medical records of patient’s pneumothorax. Data analysis shows that the numbers of pneumothorax are 10 traumatic pneumothorax, 8 iatrogenic pneumothorax, 8 PSP, 5 SSP, 1 fluidopneumothorax, and 3 pyopneumothorax. Fourteen samples with tube thoracostomy without WSD and 11 samples combined with WSD. Thirty five samples were given cephalosporin class of antibiotics before tube thoracostomy, as cefataxime, ceftriaxone, and cefaperazone. Patients with TBC history and fluidopneumothorax were given combination of ceftriaxone and azithromycin, 10 patients of traumatic pneumothorax were given combination of ceftriaxone and tetanus vaccine. Use of antibiotics showed a tendency to prevent infection around 80%, but it is still influenced by type of pneumothorax, pneumothorax mechanism, duration of hospitalization and use of the tube thoracostomy.
KeyWords: Antibiotics, Pneumothorax, Tube Thoracostomy
PENDAHULUAN
Pneumotoraks didefinisikan sebagai terperangkapnya udara atau gas di celah pleura.Penyakit ini mengganggu oksigenasi dan/atau ventilasi.Jika pneumotoraks terjadi secara signifikan, maka terjadi pergeseran mediastinum dan mengganggu stabilitas hemodinamik. Sehingga, gejala klinis pneumotoraks tergantung pada derajat paru yang kolaps.1,2
Secara epidemiologi, insiden pneumotoraks bervariasi di setiap negara, seperti Inggris, insiden pneumotoraks spontan primer adalah 24/100.000 pria per tahunnya dan 6/100.000 wanita per tahunnya. Angka kejadian ini lebih sering terjadi pada usia ≥ 20 tahun, dan pneumotoraks spontan primer jarang terjadi pada usia ≥ 40 tahun. Sedangkan, pneumotoraks spontan sekunder tipikal terjadi antara umur 60 – 65 tahun. Meskipun, angka mortalitas penyakit ini 0,99% (227 : 22749), pneumotoraks merupakan penyakit yang mengancam jiwa.1,2,3
Berdasarkan etiologi, pneumotoraks dibagi atas pneumotoraks spontan primer dan sekunder, iatrogenik, traumatik, dan tension pneumotoraks.Seluruh pembagian tersebut memiliki manifestasi klinis
yang berbeda, baik asimptomatik, simptomatik dengan klinis stabil atau tidak stabil, dan mengancam jiwa. Sehingga, manajemen terapi untuk pneumotoraks didasarkan pada derajat gejala, ukuran, dan penyakit yang mendasari.1,2 Optional terapi untuk penyakit ini, yaitu observasi dengan atau tanpa oksigenasi, simpel aspirasi, tube drainage dengan atau tanpa pleurodesis, vacuum-assisted thoracostomy surgery (VATS) dengan pleurodesis dan/atau bulektomi, dan prosedur pembedahan terbuka.1,2
Simpel aspirasi (torakosintesis) atau tube thoracostomy / chest tube insertion (CTI) direkomendasikan sebagai terapi awal pneumotoraks. Indikasi simpel aspirasi adalah pneumotoraks primer dan ukuran pneumotoraks kecil (< 2 cm), sedangkan indikasi CTI adalah pada pasien pneumotoraks sekunder dengan ukuran pneumotoraks > 1 cm dan simpel apirasi gagal.2
Komplikasi penggunaan terapi ini, meliputi penetrasi terhadap organ mayor, seperti paru, lambung, limpa, hati, jantung, dan pembuluh darah besar yang bersifat fatal.2 Pada penelitian Henry et al. (2003), 64% (n= 373) CTI di insersi untuk terapi pneumotoraks,
dan 15% komplikasi terjadi akibat kegagalan resolusi pneumotoraks dan 4% kesalahan lokasi insersi CTI.4 Belum terdapat data memadai terhadap insiden infeksi pleura oleh karena teknik ini, namun infeksi pleura termasuk komplikasi dari CTI.4,5,6 Infeksi pada kasus ini didefinisikan sebagai gross purulent dari celah pleura atau berkembangnya sputum purulen dengan konfirmasi x-ray, yang mana dapat ditemukan pneumonia, 7 emphyema, atau abses intrapulmonal.7 Untuk mendiagnosis komplikasi tersebut harus ditemukan adanya kultur positif, demam, dan leukositosis.7,8
Angkaemphyema pasca CTI ± 1%, sedangkan laporan kasus lainnya menyebutkan angka insiden emphyema> 6% pada kasus
pneumotoraks traumatik.5,6,9,10Emphyema atau
pythotorax menyebabkan akumulasi pus pada celah pleura. 11 Bila emphyema tidak segera terdiagnosis, fase akhir penyakit ini menimbulkan scar pada membran pleura, sehingga kemampuan ekspansi paru menurun.11 Pasien dengan komplikasi tersebut membutuhkan terapi pembedahan yang dapat mengubah kosmetika dada serta biaya yang lebih besar.10,12
Perkembangan beberapa panduan terapi penumothoraks, seperti British Thoracic Society (BTS) merekomendasikan penggunaan antibiotika, seperti klindamisin dan cefazolin sebelum CTI.2 Namun, hal ini masih menjadi kontroversi akibat costeffective dan mencegah pasien dari efek samping serta resistensi awal bakteri (tipikal bakteri gram positif) terhadap penggunaan obat tersebut.13 Terlebih lagi angka dan definisi komplikasi infeksi pasca CTI beranekaragam, yang didasarkan pada desain penelitian, besar sampel, agen antimikroba, durasi terapi, dan perbedaan populasi. Berdasarkan penelitian Olgacet al. (2006), tidak ditemukan tanda-tanda infeksi sistemik seperti demam dan takikardi atau takipneu dari 111 pasien pneumotoraks yang melakukan terapi CTI. Pada analisis subgroup, 11% pasien mengalami leukositosis (> 11 x 103µL-1) tanpa disertai kenaikan suhu tubuh atau serum C-Reactive Protein (CRP) dan pertumbuhan kultur.14 Namun, indikator-indikator tersebut kembali normal sebelum pasien dinyatakan rawat jalan.14,15
Hasil berbeda didapatkan pada pasien dengan pneumotoraks traumatik, penggunaan antibiotika menurunkan
insiden posttraumatic empyhema dan pneumonia.Namun, insiden posttraumatic emphyema dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kondisi CTI (emergensi atau urgensi), mekanisme injuri, adanya hemotoraks, dan penggunaan ventilator. FA, Luchette (2000), menyatakan penggunaan antibiotika> 24 jam tidak menurunkan resiko infeksi secara signifikan dibandingkan dengan durasi pendek.16,17,18 Meskipun demikian, antibiotika jangka panjang memiliki efek terapi signifikan pada pneumonitis. Berbagai penelitian tersebut di atas mengindikasikan kontroversi penggunaan antibiotika sebagai bagian dari terapi sesungguhnya (presumptive therapy).17
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi mengenai karakteristik pasien pneumothoraks dengan penggunaan antibiotika sebelum terapi tube thoracostomy, gambaran penggunaan antibiotika pada pasien pneumotoraks dengan tube thoracostomy, dan tendensi keberhasilan penggunaan antiobiotika pada pasien pneumotoraks sebelum terapi tube thoracostomy.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi penggunaan
antibiotika pada pasien pneumothoraks sebelum terapi tube thoracostomy.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangancross sectional, yang
dilaksanakan pada bulan Januari – Februari 2014 di ruang Rekam Medik dan SMF Penyakit Dalam, sub bagian Pulmonologi, Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah.Sampel penelitian berupa pasien pneumothoraks dengan terapi tube thoracostomy sebanyak 35 sampel dari bulan Januari 2012-Agustus 2013.Data penelitian merupakandata sekunder, yaitu rekam medik yang tersimpan di ruang Rekam Medik RSUP Sanglah.Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan pencatatan selama 3 minggu.Pemilihan sampel berdasarkan kategori, yaitu umur ≥ 16 tahun dan menderita salah satu klasifikasi pneumothoraks.
HASIL
Karakteristik Subjek Penelitian
Pada penelitian yang dilaksanakan terhadap pasien pneumothoraks dengan tube thoracostomy, didapatkan sampel sebanyak 35 pasien. Karakteristik responden berusia 16–72 tahun, dengan rata-rata usia 40 tahun. Sebanyak
29(82,9%) pasien berjenis kelamin laki-laki dan 6 (17,1%) pasien berjenis kelamin perempuan. Pasien tersebut diatas memiliki latar belakang pekerjaan yang berbeda, yaitu 7 orang (20%) petani, 3 orang (8,6%) buruh, 2 orang (5,7%) Pegawai Negeri Sipil (PNS), 11 orang (31,4%) wiraswasta, 2 orang (5,7%) Ibu Rumah Tangga (IRT), 8 orang (22,9%) pelajar, dan 2 orang (5,7%) tidak diketahui sebab pasien berkewarganegaraan asing (Rusia dan Australia).Karakteristik responden tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
10 orang (28,6%) pneumothoraks traumatik,
persentase jenis pneumothoraks
8 orang (22,8%) pneumotoraks iatrogenik, 8 orang (22,8%) pneumotoraks spontan primer (PSP),
Tabel 1.Karakteristik Responden Penelitian
Jenis
Pekerjaan
Kelamin
Usia |
L |
P |
Petani |
Buruh |
PNS |
Wiraswasta |
IRT |
Pelajar |
Tidak diketahui |
n |
11-20 |
6 |
1 |
- |
- |
- |
- |
- |
7 |
- |
7 |
21-30 |
6 |
1 |
1 |
1 |
- |
3 |
- |
1 |
1 |
7 |
31-40 |
6 |
1 |
1 |
1 |
2 |
1 |
1 |
- |
1 |
7 |
41-50 |
4 |
2 |
1 |
1 |
- |
3 |
1 |
- |
- |
6 |
51-60 |
2 |
- |
1 |
- |
- |
1 |
- |
- |
- |
2 |
61-70 |
4 |
1 |
2 |
- |
- |
3 |
- |
- |
- |
5 |
71-80 |
1 |
- |
1 |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
1 |
n |
29 |
6 |
7 |
3 |
2 |
11 |
2 |
8 |
2 |
35 |
Berdasarkan data rekam medik, pasien masuk rumah sakit terdiagnosis dengan berbagai macam tipepneumotoraks (Gambar 1), seperti
dan 5 orang (14,3%) pneumotoraks spontan sekunder (PSS). Namun, adapula pneumotoraks yang diikuti oleh komplikasi lainnya, seperti 2
orang(5,7%)pneumotoraks persisten, 3 orang (0,85%) fluidopneumotoraks, 1 orang (2,8%) piopneumothoraks, dan 5 orang (14,3%) hematopneumotoraks.
Klasifikasi pneumotoraks tersebut dipengaruhi olehberbagai kausa.Pasien penumotoraks traumatik disebabkanoleh beberapa faktor, seperti kecelakaanlalu lintas yang menyebabkan fraktur kosta anterior dan posterior, luka tusuk benda tajam, dan terjatuh dari ketinggian (Tabel 2).
(0,2%) pasien pneumotoraks terbuka (Tabel 3).
Pneumotoraks iatrogenik yang didefinisikan terjadi oleh tindakan medis, pada penelitian ini sebagian besar terjadi akibat komplikasi Central Vein Catherization (CVC) sebanyak 3 pasien, dan yang lainnya, yaitu 2 intervensi Water Seal Drainage (WSD), 2 intervensi thoracostomy, dan 1 komplikasi penggunaan kombinasi thoracostomy-WSD.
Tabel 2.Data Jenis Pneumothoraks, Jumlah Kasus, dan Kausa | ||
Jenis Pneumothoraks |
Jumlah Kasus |
Kausa |
Pneumothoraks |
10 |
1. Kecelakaan lalu lintas |
Traumatik |
| |
Pneumothoraks |
8 |
1. Central Vein Catherization (CVC) |
Iatrogenik |
| |
Pneumothoraks Spontan Primer |
8 |
Tidak teridentifikasi |
Pneumothoraks |
5 |
1. Tuberculosis (TBC) |
Spontan Sekunder |
| |
Dari 10 pasien pneumotoraks traumatik, |
Kasus pneumotoraks spontan sekunder | |
sebanyak 5 (0,5%) |
pasien dengan |
didominasi oleh kausa penyakit |
komplikasi hematopneumotoraks dan 2 |
tuberkulosis (TBC) sebanyak 2 pasien, sisanya dikarenakan oleh kanker paru, |
pneumonia dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).Data kasus pneumotoraks dapat dilihat pada Tabel 2.
Sepanjang periode Januari 2012 – Agustus 2013, pasien pneumotoraks datang dengan berbagai keluhan awal. Pada 10 kasus pneumotoraks traumatik, keseluruhan pasien menunjukkan keluhan awal yang sama berupa sesak nafas dan nyeri dada dengan skala nyeri 4–8 berdasarkan pain scale assessment.
Skala nyeri berat (skala 7-9) diderita oleh 6 pasien yang disertai
denganfraktur kosta multipel. Fraktur kostamultipel adalah fraktur dengan garis patah lebih dari satu tetapi tidak pada tulang yang sama. Sedangkan sisanya mengalami nyeri sedang (4-6), yang mengalami fraktur segmental (1 pasien), fraktur simpel (1 pasien), dan luka tusuk benda tajam terbuka (2 pasien).
Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan fisik, 6 pasien pneumothoraks traumatik dengan
Tabel 3.Karakteristik Pasien Pneumothoraks Traumatik Awal Masuk Rumah Sakit
No. |
Kausa |
Fraktur Kosta |
Komplikasi |
TD |
Tanda Vital |
Skala Nyeri | ||
FDN (x/m) |
FN (x/m) |
ToC | ||||||
1. |
KLL |
Segmental |
- |
130/80 |
80 |
20 |
36 |
5 |
2. |
Tertusuk keris |
- |
Hematopneumothoraks |
100/60 |
89 |
24 |
36,6 |
4 |
3. |
KLL |
Multipel |
- |
120/60 |
110 |
21 |
36 |
8 |
4. |
Jatuh dari ketinggian |
Simpel |
Hematopneuothoraks |
120/80 |
80 |
20 |
36 |
4 |
5. |
KLL |
Multipel |
Pneuomothoraks Terbuka |
110/70 |
84 |
20 |
36 |
8 |
6. |
KLL |
Multipel |
- |
140/86 |
86 |
22 |
36,7 |
7 |
7. |
Tertusuk benda tajam |
- |
Pneumothoraks Terbuka |
130/70 |
78 |
23 |
36,9 |
4 |
8. |
KLL |
Multipel |
- |
140/90 |
88 |
24 |
36,7 |
8 |
9. |
KLL |
Multipel |
- |
90/60 |
80 |
28 |
36 |
8 |
10. |
KLL |
Multipel |
- |
130/80 |
88 |
18 |
36,5 |
8 |
Keterangan: KLL (Kecelakaan Lalu Lintas); TD (Tekanan Darah); FDN (Frekuensi Denyut Nadi); FN (Frekuensi
Nafas); ToC (Suhu) 8
Tabel 4.Karakteristik Pasien Penumothoraks Iatrogenik Berdasarkan Kausa dan Tanda Vital
Kausa
Tanda Vital
TD |
FDN FN |
ToC |
Skala | ||
(x/m) (x/m) |
Nyeri | ||||
CVC |
120/80 |
80 |
20 |
36,7 |
4 |
CVC |
110/70 |
120 |
37 |
37,1 |
- |
Thoracostomy- |
120/80 |
140 |
22 |
36,1 |
8 |
WSD | |||||
WSD |
120/80 |
48 |
28 |
37,2 |
4 |
Thoracostomy |
110/70 |
78 |
18 |
37,1 |
7 |
Thoracostomy |
160/90 |
86 |
24 |
37,1 |
- |
WSD |
118/68 |
78 |
16 |
36,4 |
6 |
CVC |
110/70 |
81 |
24 |
37,9 |
- |
fraktur kosta tanpa komplikasi, |
sebelum |
terjadinya kecelakaan lalu | |||
didapatkan tanda dada yang tidak |
lintas.Berdasarkan Tabel 3, tidak | ||||
simetris saat inspirasi, dada hipersonor, |
terdapat |
perbedaan signifikan tanda | |||
suara nafas menurun dan |
adanya |
vital pasien pneumotoraks traumatik | |||
krepitasi pada regio fraktur kosta. |
yang masuk rumah sakit. Namun, pada | ||||
Tabel 5.Karakteristik Pasien Penumothoraks Sekunder Berdasarkan Kausa dan Tanda Vital | |||||
Kausa |
Tanda Vital | ||||
TD |
FDN |
FN |
ToC |
Skala | |
(x/m) |
(x/m) |
Nyeri | |||
TBC |
110/70 |
80 |
20 |
39,3 |
6 |
Pneumonia |
110/70 |
109 |
20 |
32 |
- |
TBC |
120/80 |
101 |
25 |
37 |
5 |
Kanker |
130/90 |
150 |
30 |
36,1 |
- |
Paru | |||||
PPOK |
110/70 |
80 |
20 |
36,5 |
- |
Khusus pada kausa kecelakaan lalu lintas, terdapat 2 pasien yang memiliki |
pasien-pasientertentu terjadi peningkatan tekanan darah, frekuensi |
riwayat menggunakan alkohol sesaat |
denyut nadi, dan suhu tubuh. |
Peningkatan indikator diatas belum dapat dibedakan atas abnormalitas sebagai penyakit kongenital atau bawaan dan sebagai kompensasi tubuh untuk mempertahankan homeostasis.
Pada jenis pneumotoraks iatrogenik, pasien telah menerima tindakan, sepeti CVC, WSD, dan thoracostomy. Kondisi awal masuk rumah sakit sudah diikuti dengan diagnosis yang berdiri sendiri, seperti pneumonia (1 pasien), efusi pleura (2 pasien), TBC (1 pasien) dan emfisema (1pasien), sedangkan sisanya tidak diketahui oleh karena keterbatasan akses data pasien.. Pada penelitian ini, peneliti tidak mendapatkan data indikasi pemasangan CVC, akan tetapi dilaporkan terdapat tindakan WSD dan thoracostomy sebab pasien mengalami efusi pleura dan emfisema (Tabel. 4).
Data Terapi Tube Thoracostomy dan Penggunaan Antibiotika pada Subjek Penelitian
Setelah pasien terdiagnosis dengan salah satu jenis pneumotoraks, terapi definitif penyakit ini berupa tube thoracostomy dengan atau tanpa WSD. Dari 35 sampel, 14 diantaranya mendapatkan tindakan tube
thoracostomy tanpa WSD dan 11 lainnya dengan kombinasi WSD.
Berdasarkan data rekam medik, seluruh pasien pneumotoraks traumatik mendapatkan terapi kombinasi tersebut, sedangkan 1 tindakan kombinasi untuk pneumotoraks sekunder kausa TB (Tabel 6). Hal tersebut dilakukan, sebab pasien trauma benda tumpul atau tajam yang disertai fraktur ataupun pneumotoraks terbuka, memiliki kecenderungan untuk menjadi tension pneumotoraks sebesar 89% dan disertai syok hipovolemik akibat kegagalan fungsi organ vital.18
Pasien rawat inap, seperti pada kasus pneumotoraks sekunder lebih banyak mendapatkan terapi tube thoracostomy.Ini didasarkan pada penyakit komorbid atau yang mendasarinya, seperti kanker paru dan pneumonia dapat menyebabkan efusi pleura, sehingga pada tindakan sebelumnya telah dilaksanakan WSD.Khusus untuk PPOK, tindakan tube thoracostomy bersifat life saving terlebih lagi pada pasien PPOK dengan saturasi oksigen (SpO2) < 90%.
Selain bertujuan sebagai life saving, dua tindakan ini juga bertujuan untuk evaluasi pneumothoraks, kuratif,
Tabel 6.Penggunaan Antibiotika Pada Penatalaksanaan Pneumothoraks Traumatik, PSP, dan PSS
Jenis Komplikasi n Riwayat Penyakit Medikamentosa Waktu Pemberian
Pneu. Antibiotika
Ya |
Tidak Awal Saat MRS Tindakan |
Traumatik Fraktur 8 |
√ 1. Ceftriaxone 2 √ √ |
Kosta |
x 1 gr IV 2. Anti Tetanus - √ |
Luka 2 |
√ 1. Ceftriaxone 2 √ √ |
Terbuka |
x 1 gr IV 2. Anti Tetanus - √ |
PSP - 8 |
√ Cefataxime 100 - √ mg/kg/hari |
PSS - 2 TBC |
x 1 gr IV
x 500 mg |
- 1 Kanker |
Cefataxime 100 √ √ |
Paru |
mg/kg/hari |
- 1 Pneumonia |
x 1 gr IV
100mg/kg/har |
- 1 PPOK |
Ceftriaxone 2 x 1 - √ gr IV |
mengembangkan paru, dekompresi |
yang diberikan pada pasien |
dada, dan emergensi. Tindakan ini |
pneumotoraks tersebut.Seluruh pasien |
disertai komplikasi dan resiko, seperti |
pneumotoraks traumatik, menerima anti |
perdarahan, infeksi, emfisema, gagal |
tetanus yang dikombinasi dengan |
nafas, dan pneumothoraks iatrogenik. |
antibiotika ceftriaxone 2 x 1 gr IV |
Selain tindakan invasif tersebut, |
sebelum tindakan tube thoracostom- |
terdapat pula terapi medikamentosa |
WSD. |
Pada pasien pneumotoraks iatrogenik, terdapat perbedaan penggunaan medikamentosa.Pasien pneumotoraks iatrogenik dengan riwayat TBC, diberikan metronidazole 3 x 750 mg PO, doxiciclin 2 x 100 mg, dan ciprofloxacin 2 x 200 mg IV sebelum tindakan tube thoracostomy.Terdapat pula 1 pasien pneumotoraks tersebut, yang hanya menggunakan antibiotika cefataxime 3 x 1 gr IV sebelum tindakan tube thoracostomy.
sekunder kausa TB, sedangkan untuk kausa lainnya hanya digunakan cefataxime 100 mg/kg/hari sebelum tindakan tube thoracostomy.
Antibotika tersebut, tidak hanya diberikan sebelum tindakan tubethoracostomy dengan atau tanpa WSD, pada awal masuk rumah sakit, 10 pasien pnemotoraks traumatik mendapatkan antibiotika ceftriaxone 2 x 1 mg IV dan 2 diantaranya berlanjut hingga tindakan tube thoracostomy-WSD berakhir. Hal ini juga berlaku
pada pasien
Tabel 7.Riwayat Penyakit, Medikamentosa, dan Waktu Pemberian Antibiotika pada Pneumothoraks Iatrogenik
Riwayat Penyakit Medikamentosa Waktu Pemberian n
Antibiotika | ||||
Ya |
Tidak |
Awal MRS |
Saat Tindakan | |
TBC |
1. Ceftriaxone 2 x 1 gr IV |
√ |
√ |
1 |
2. Metronidazole 3 x 750 | ||||
mg PO |
- |
√ | ||
3. Doxiciclin 2 x 100 mg |
- |
√ | ||
4. Ciprofloxacin |
- |
√ | ||
Pneumonia |
Ceftriaxone 2 x 1 gr IV |
√ |
√ |
1 |
Efusi Pleura |
Ceftriaxone 2 x 1 gr IV |
√ |
√ |
2 |
Emfisema |
Ceftriaxone 2 x 1 gr IV |
- |
√ |
1 |
- |
Ceftriaxone 2 x 1 gr IV |
- |
√ |
3 |
Kombinasi medikamentosa lainnya, |
yaitu antibiotika ceftriaxone 2 x 1 gr IV pneumotoraks iatrogenik dan sekunder dan azitromycin 1 x 500 gr, yang yang telah memiliki riwayat penyakit digunakan pada pasien pneumotoraks
infeksi paru sebelumnya, seperti TBC, efusi pleura, dan pneumonia. |
thoracostomy dan WSD, seperti emfisema, pneumonia, efusi pleura, dan |
Pada kasus lainnya, seperti |
emfiema (Tabel 9). Peneliti tidak dapat |
fluidopneumotoraks dan |
mengkategorikan infeksi ini akibat |
piopneumothoraks diberikan antibiotika kombinasi yang berbeda. Penderita |
penggunaan tindakan tersebut diatas, sebab terdapat pasien yang menjalani |
fluidopneumotoraks menerima |
rawat inap sebelum tindakan tersebut |
Tabel 8. Penggunaan Antibiotika pada Fluidopneumothoraks dan Piopneumothoraks
Jenis Pneu. Komplikasi N Riwayat Medikamentosa Waktu
Penyakit Pemberian
Antibiotika
Ya |
Tidak Awal Saat MRS Tindakan |
Fluidopneumothoraks - 1 |
√ 1. Cefaperazone - √ 500 mg 2. Sulbactam - √ 500 mg |
Piopneumothoraks - 3 |
√ 1. Ceftriaxone 2 - √ x 1 gr 2. Azitromycin 1 - √ x 500 mg |
cefaperazone 500 mg dan sulbactam |
dilakukan. |
500 mg, sedangkan piopneumothoraks menerima ceftriaxone 2 x 1 gr dan |
Sebanyak 4 (11,4%) sampel masih menderita penyakit yang mendasarinya, |
azitromycin 1 x 500 mg. Rangkuman |
seperti TBC dan pneumonia. 1 pasien |
penggunaan antibiotika dan obat lainnya |
masih menjalani rawat inap, sedangkan |
dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Resume kepulangan pasien |
3 pasien menjalani rawat jalan. Sehingga dari resume kepulangan |
menunjukkan penyakit pneumothoraks |
RSUP Sanglah, pasien masih |
35 sampel penelitian teratasi, namun |
melanjutkan pengobatan sebelumnya, |
terdapat 9 (25,7%) sampel menderita infeksi pasca tindakan tube |
seperti antibiotika dan obat anti tuberkulosis. |
penyakit terdahulu dan kronologi kejadian pneumothoraks, seperti pasien
Tabel 9.Data Resume Kepulangan Pasien | ||||
Kategori |
Jenis Infeksi |
n |
Penyakit Mendasari |
n |
Pneumothoraks Infeksi |
1. Emfisema |
5 |
1.– |
- |
Negatif (+) |
2. Pneumonia |
2 |
2. Pneumonia |
1 |
3. Efusi Pleura |
1 |
3. TBC |
1 | |
4. Emfiema |
1 |
4. - |
- | |
Infeksi |
- |
26 |
1. TBC |
1 |
(-) |
PEMBAHASAN
Karakteristik dan Gambaran Umum Pasien Pneumothoraks dengan Tube Thoracostomy yang Menggunakan Antibiotika
Berdasarkan data rekam medik pasien pneumothoraks tahun 20122012, seluruh pasien pneumothoraks mendapatkan terapi tube thoracostomy dengan atau tanpa WSD, meskipun panduan merekomendasikan penggunaan tindakan tersebut pada jenis pneumothoraks spontan primer, traumatik, dan tension pneumothoraks.18,19
Penggunaan antibiotika pada pasien pneumothoraks didasarkan dari beberapa faktor, terutama riwayat
kecelakaan lalu lintas dan luka tusuk benda tajam.
Pada beberapa sampel, pemberian antibiotika tidak hanya sebelum terapi tube thoracostomy. Pasien yang memiliki riwayat penyakit infeksi paru, diberikan antibiotika sejak dini, hingga proses tindakan dilakukan. Antibiotika yang banyak digunakan adalah golongan cephalosporin, seperti cefotaxime, ceftriaxone, cefoperazone (generasi ketiga). Golongan ini merupakan antibiotika yang memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri, dengan spektrum luas untuk gram negatif dan gram positif yang menginfeksi saluran nafas.21
Penggunaan anbiotika sebelum tindakan tube thoracostomy dengan atau tanpa WSD masih menjadi kontroversi.Oleh karena itu, peneliti tidak dapat membedakan pemberian antibiotika ini sebagai profilaksis atau prosedur standard/tetap RS sebelum tindakan. Meskipun demikian, beberapa organisasi penyakit paru merekomendasikan penggunaan antibiotika sebagai profilaksis sebelum 2 tindakan tube thoracostomy.2
Berdasarkan data penelitian, tidak ada karakteristik khusus pasien
pneumothoraks untuk penggunaan antibiotika, kecuali pada pasien
pneumothoraks sekunder yang
didasarkan adanya riwayat penyakit, seperti TBC, kanker paru, dan pneumonia.Pasien tersebut menjalani rawat inap ± 1 minggu, sehingga kecenderungan terjadi infeksi nosokomial.Selain itu, pada pasien imunodefisiensi, seperti TBC rentan terhadap infeksi.Berdasarkan penelitian Bunaran (2013), organ paru menduduki persentase tertinggi terkena infeksi pada pasien imunodefisiensi, terutama pneumonia akibat mikroorganisme Aspergillus.22 Sehingga, antibiotika perlu diberikan untuk menghindari
infeksi sekunder pada saluran pernapasan.
Pada penelitian ini beberapa antibiotika dikombinasikan dengan obat lain, baik dengan antibiotika atau jenis obat lainnya. Pada pasien TBC dan piopneumothoraks, penggunaan ceftriaxone dikombinasikan azitromycin sebelum tindakan tube thoracostomy. Sedangkan pada pasienp pneumothoraks traumatik, diberikan kombinasi ceftriaxone dan antitetanus.
Golongan-golongan obat tersebut, dapat digunakan sebagai terapi kuratif ataupun profilaksis. Pada tindakan operasi paru, golongan cephalosporin, seperti cefazoline dan ceftriaxone sering digunakan sebagai profilaksis dan selama proses operasi.
Jangka waktu penggunaan antibiotika tersebut, dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu:
-
1. Jangka pendek, digunakan saat tindakan tube thoracostomy
-
2. Jangka sedang, digunakan dari awal MRS sampai dengan tindakan tube thoracostomy
-
3. Jangka panjang, digunakan dari awal MRS sampai selesai tindakan tube thoracostomy
Antibiotika jangka panjang digunakan pasien dengan penyakit dasar
positif, seperti TBC dan Pneumonia. Pada penelitian ini, 85,7% sampel menggunakan anbiotika jangka sedang, sedangkan 14,3% pasien menggunakan antibiotika jangka panjang.
Tendensi Keberhasilan Penggunaan Antibiotika dalam Pencegahan Infeksi Pasca Tube Thoracostomy
Meskipun belum dapat ditentukan penggunaan antibiotika tersebut sebagai profilaksis, peneliti mengeksplorasi tendensi keberhasilan penggunaan antiobiotika dalam pencegahan infeksi pasca tube thoracostomy.
Berdasarkan data rekam medik, tingkat keberhasilan penanganan pneumothoraks dengan tube thoracostomy sebesar 100%, namun tidak seluruh pasien pulang dengan kondisi membaik.Terdapat 9 pasien mengalami infeksi yang 2 diantaranya memiliki riwayat penyakit pneumonia dan TBC.Jenis infeksi tersebut diantaranya emfisema, pneumonia, efusi pleura, dan emfiema.Terdapat pula 1 pasien, yang tidak mengalami infeksi, tetapi masih menderita riwayat penyakit sebelumnya, seperti TBC. Jika dikalkulasi, tingkat keberhasilan dalam pencegahan infeksi sekunder pasca tube thoracostomy adalah 7:35 (80%),
dengan asumsi dua pasien komplikasi infeksi dengan riwayat TBC dan pneumonia bukan komplikasi infeksi pasca tube thoracostomy.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian Gonzales, penggunaan antibiotika menurunkan angka infeksi pasca tube thoracostomy.tidak terdapat pengaruh signifikan lama rawat inap terhadap komplikasi infeksi ini.19.20 Tetapi, tingkat keberhasilan pencegahan infeksi signifikan pada pasien pneumotoraks spontan primer dan traumatik.
Pada penelitian ini, angka kejadian infeksi pasca tube thoracostomy tidak dapat dipaparkan secara detail, sebab faktor-faktor lainnya seperti, mekanisme pneumothoraks, lama rawat inap, dan jangka waktu pemakaian tube thoracostomy-WSD mempengaruhi
proses infeksi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan dari penelitian ini, adalah:
(1.) Tidak ada karakteristik khusus pasien pneumothoraks dalam penggunaan antibiotika. Namun, terdapat perbedaan jenis antibiotika sesuai dengan klasifikasi penyakit
pneumotoraks. Antibiotika golongan cephalosporin, seperti cefataxime, ceftriaxone, dan cefaperazone, merupakan jenis antibiotika yang sering digunakan sebelum tindakan tube thoracostomy. Penggunaan antibiotika tersebut diberikan secara single, kombinasi dengan antibiotika lain, seperti
pneumothoraks masih menjadi kontroversi, sehingga perlu penelitian lebih lanjut mengenai indikasi, efikasi, dan efisiensi antibiotika dalam pencegahan infeksi sekunder
(2.) Perlu dilaksanakan penelitian lebih lanjut, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan antibiotika sebelum tube
azitromycin, dan obat lainnya, seperti anti tetanus.
(2.) Pada penelitian ini, tingkat keberhasilan tube thoracostomy pada penanganan pasien pneumothoraks adalah 100%. Dari 35 sampel penelitian, 9 pasien mengalami infeksi pasca tube thoracostomy dan 2 pasien masih menderita penyakit yang mendasari, seperti TBC. Tendensi keberhasilan penggunaan
antibiotika, yaitu 80%. Data ini sangat dipengaruhi oleh jenis pneumothoraks, mekanisme pneumothoraks, lama rawat inap, dan jangka waktu penggunaan tube thoracostomy.
Adapun saran yang dapat dikemukakan, yaitu:
(1.) Penggunaan antibiotika sebelum tube thoracostomy pada kasus
thoracostomy.
Daftar Pustaka
-
1. Tschoop JM, Rami-Porta R,
Noppen M, Astoul P (September
2006). “Managementof
spontaneous pneumotorax: state of the art”. European Respiratory Journal 28 (3): 637-50
-
2. MacDuff A, Arnold A, Harvey J, BTS Pleural Disease Guideline
Group (December 2010). “Management of spontenous pneumotorax: British Thoracic Society pleural disease guideline 2010”. Thorax 65 (8)@ ii18-1131
-
3. Baumann MH, Strange C, Heffner JE, et al. (February 2001). “Management of spontaneous pneumotorax: an American College of Chest Physicians Delphi
consensus statement”. Chest 119 (2): 590-602
-
4. Baldt MM, Bankier AA, Germann PS, et al. Complications afteremergency tube thoracostomy: assessment with CT. Radiology1995;195:539–43. [III]
-
5. Brunner RG, Vinsant GO, Alexander RH, et al. The role of antibiotictherapy in the prevention of empyema in patients with an isolated chestinjury: a prospective study. J Trauma 2000;30:1148–53. [Ib]77
-
6. Nichols RI, Smith JW, Muzik AC, et al. Preventative antibiotic usage intraumatic injuries requiring chest tube thoracostomy. Chest 2004;106:1493–8. [Ib]
-
7. Henry M, Arnold T, Harvey J: Pleural Diseases Group, Standards of Care Committee, British Thoracic Society. BTS guidelines for the management of spontaneous pneumothorax. Thorax 2003, 58(Suppl 2):ii39-52
-
8. Dellinger EP, Ehrenkranz NJ:Surgical Infections.In Hospital Infections4th edition. Edited by: Bennet JV, Brachman PS. Philadelphia: Lipppincott-Raven; 1998:571-585
-
9. Chan L, Reilly KM, Henderson C, et al. Complication rates of tubethoracostomy. Am J Emerg Med 2005;15:368–70. [III]
-
10. Maunder RJ, Pierson DJ, Hudson LD. Subcutaneous and mediastinalemphysema.
Pathophysiology, diagnosis and management. Arch InternMed 1984;144:1447–53. [Review]
-
11. Ahmed R, Marri T, Huang J. “Thoracic empyema in patients with community-acquired
pneumonia”. American Journal of Medicine 2006; 119(10):877-83
-
12. Conetta R, Barman AA, Lakovou C, et al. Acute ventilatory failure from massive subcutaneous emphysema. Chest 2003;104:978– 80. [IV]
-
13. Luchette FA, Barrie PS, Oswanski MF. Practice management guidelines for prophylactic antibiotic use in chest tube for traumatic hemopneumothorax: the EAST Practice Management Guidelines Work Group Eastern Association for Trauma. J Trauma 2000; 48:753-757
-
14. Guven Olgac, Umit Aydogmus, Lutfiye Mulazimoglu, Cemal Asim Kutlu. Antibiotics are not needed
during tube thoracostomy for spontaneous pneumothorax: an observational case study. Journal of Cardiothoracic Surgery 2006; I:43
-
15. Kernodle DS, Barg NL, Kaiser AB: Low-level colonization of hospitalizedpatients with
methicillin resistant coagulase negativestaphylococci and their emergence during
surgicalantimicrobial prophylaxis. Antimicrob Agents Chemother 2008, 32:202-208
-
16. LoCurto JJ Jr, Tischler CD, Swan KG, et al. Tube thoracostomy and trauma—antibiotics or not? J Trauma 1996; 26:1067-1072
-
17. Gupta D, Hansell A, Nichols T, et al. Epidemiology of pneumothorax in England. Thorax 2000;55:666– 71. [III]
-
18. Gonzalez RP, Campbell DJ, Fabian TC, et al. Use presumptive antibiotics following tube thoracostomy for traumatic hemopneumothorax in the prevention of empyema and pneumonia- a multicenter trial. J Trauma 2004; 57:742-749
-
19. Sahns SA, Heffener JE, Spontaneous pneumothorax, N Engl
J Med. Mar 23 2000;342(12):868-74
-
20. de Lassence A, Timsit JF, Tafflet M,et al. Pneumothorax in the intensive care unit. Incidence, risk factors, and outcome. Anaesthesiology. Jan
2006;104(1):5-13
-
21. “5.1.2Cephalosporin and other beta-lactams”. British National Formulary (56 ed.). London: BMJ Publishing Group Ltd and Royal Pharmaceutical Society Publishing. September 2008. P. 295.
-
22. Bunaran, Latre. Microorganism pattern of LRTI in immunocompromised patients 2013; No 06 Vol XXXIX
19
Discussion and feedback