HERPES ZOSTER KRURIS DEXTRA: LAPORAN KASUS

I Gede Agus Bhakti Suputra1, IGK Darmada2, Luh Made Mas Rusyati3 Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar

ABSTRAK

Herpes zoster adalah manifestasi klinis karena reaktivasi virus varisela zoster (VZV). Karakteristik penyakit ini ditandai dengan adanya ruam vesikular unilateral yang berkelompok dengan nyeri yang radikular sekitar dermatom. Dilaporkan kasus seorang laki-laki 45 tahun, diagnosis herpes zoster kruris dextra, gambaran klinis berupa vesikel bergerombol multipel, berbentuk bulat, dengan ukuran 0,3-0,5 cm diatas kulit eritematosus, unilateral, tidak menyilang garis tengah, umur vesikel dalam satu gerombolan sama, tetapi dengan gerombolan yang lain tidak sama, kulit diantara gerombolan normal. Pemeriksaan penunjang tes Tzank, hasilnya negatif dengan tidak ditemukannya sel giant multinukleat. Pengobatan diberikan asiklovir 5x800 mg per hari diminum secara oral selama 7 hari, bedak salisil 1% dan mentol 0,5 % dioleskan dua kali sehari pada lesi kering. Prognosis pasien baik.

Kata kunci : Herpes zoster, VZV, Cruris dextra, RSUP Sanglah

HERPES ZOSTER CRURIS DEXTRA: A CASE REPORT

ABSTRACT

Shingles is a diseases caused by varicella zoster virus reactivation (VZV). The characteristic of this disease a vesicular rash unilaterally clusters with radicular pain about dermatome. Here is a case report of a 45-year-old man, who was diagnosed with shingles cruris dextra. Clinical manifestation of skin disorders are vesicles packs multiple, spherical, with a size of 0.3-0.5 cm above the skin erythematosus, unilateral, not crossing the midline, the age of vesicles same in one group, but neither same with other group, the skin between areas was normal. Tzank test was negative; there were no multinucleated giant cells. The patient was given acyclovir 5x800 mg daily orally for 7 days. Salicylic powder 1% and menthol 0,5% were applied twice a day on the dry lesions. Patient's prognosis is good.

Keywords : Herpes zoster, VZV, Cruris dextra, RSUP Sanglah

PENDAHULUAN

Herpes zoster atau shingles merupakan manifestasi klinis karena reaktivasi virus varisela zoster (VZV). Selama terjadi infeksi varisela, VZV meninggalkan lesi di kulit dan permukaan mukosa menuju ujung saraf sensorik. Kemudian menuju ganglion dorsalis. Dalam ganglion, virus memasuki masa laten dan tidak mengadakan multiplikasi lagi. Reaktivasi terjadi jika sistem imun tubuh menurun. Karakteristik penyakit ini ditandai dengan adanya ruam vesikular unilateral yang berkelompok dengan nyeri yang radikular sekitar dermatom.1 Virus varicella zoster dapat menyebabkan infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela dan herpes zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang berkontak dengan virus varicella zoster. Varisela zoster mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama herpes zoster.2,3

Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan biasanya jarang mengenai anak-anak.4 Di Amerika Serikat lebih dari 1 juta kasus herpes zoster setiap tahun dan lebih dari 90 persen orang

dewasa memiliki bukti serologi infeksi virus varicella zoster dan beresiko menjadi herpes zoster. Insiden herpes zoster sekitar 3 - 4 kasus per 1000 orang. Orang yang berusia diatas 85 tahun dan tidak mendapatkan vaksinasi beresiko 50% menderita herpes zoster dan 3 % pasien memerlukan perawatan di rumah sakit. Frekuensi untuk terjadinya herpes zoster akan meningkat jika seseorang terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV), mengalami keganasan hematologi, melakukan transplantasi organ atau tulang belakang, menderita lupus eritematosus dan sedang melakukan terapi immunosupresif. Herpes zoster terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi pada orang yang seropositif HIV daripada mereka yang seronegatif. Pada orang yang seropositif HIV terjadi insiden kasus 29,4% herpes zoster per 1000 orang setahun dibandingkan dengan 2,0% kasus per 1000 orang setahun dengan HIV seronegatif.2,3,5

Faktor risiko utama untuk herpes zoster adalah bertambahnya usia. Dengan meningkatnya waktu setelah infeksi virus varicella, ada penurunan tingkat kekebalan sel T terhadap virus varisella zoster. Orang dengan riwayat keluarga menderita herpes zoster akan

lebih besar terkena herpes zoster daripada orang yang tidak ada riwayat keluarga herpes zoster. Varisela yang terjadi saat dalam masa kandungan atau awal masa kanak-kanak, dimana ketika sistem kekebalan selular tidak sepenuhnya matang, berhubungan dengan herpes zoster di masa kanak-kanak.2 Risiko terjadinya herpes zoster sama untuk perempuan dan laki-laki.5

Komplikasi herpes zoster yaitu neuralgia postherpetik (PHN) dan masalah oftalmik. Neuralgia postherpetik biasanya didefinisikan sebagai rasa sakit pada dermatom yang masih ada selama satu bulan setelah onset ruam, kadang-kadang bisa terjadi selama tiga bulan. Meskipun PHN dapat hilang setelah beberapa bulan, juga dapat berkembang menjadi sindrom sakit terus-menerus. Komplikasi yang lain pneumonitis dan ensefalitis.6,9

Laporan kasus ini membahas herpes zoster, yang merupakan kasus dermatofitosis yang sangat sering terjadi pada masyarakat di Indonesia. Penentuan diagnosis yang tepat serta edukasi terhadap masyarakat sangatlah penting untuk mencegah penyebaran penyakit ini.

LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki, Kt. A, sudah menikah, berusia 45 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah pada tanggal 10 Februari 2014 dengan nomor RM 13015547. Pasien datang dengan keluhan utama gatal-gatal dan bintil-bintil berair di kaki. Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan bintil-bintil berair di kaki kanan sejak lima hari sebelum ke RS, tidak ada rasa gatal, terasa nyeri dan panas. Bintil-bintil awalnya sedikit dan berukuran kecil, lama kelamaan semakin banyak dan membesar. Sebelumnya muncul keluhan yaitu pasien mengeluh pusing dan panas badan. Riwayat pengobatan sebelumnya pasien berobat ke Pukesmas dan mendapatkan salep, bedak salisil dipakai selama 2 hari tetapi tidak ada perbaikan.

Pasien memiliki riwayat alergi obat yaitu obat neviral dengan tipe reaksi gatal-gatal. Pasien merasakan nyeri akut pada kaki kanan. Tidak ditemukannya riwayat penyakit penyerta. Riwayat operasi dan transfusi tidak ditemukan. Riwayat keluarga tidak ada yang menderita keluhan yang sama. Pada stigmata atopik, ptiriasis alba negatif, mukosa hiperemia negatif. Pada rambut tidak terjadi kerontokan.

Tidak ada kelainan pada kuku. Pada penilaian fungsi kelenjar keringat tidak ditemukan hiperhidrosis. Pembesaran kelenjar limfe dan penebalan saraf negatif. Tekanan darah 100/70 mmHg, suhu 36oC. Status internus pasien dalam batas normal.

Pada status dermatologi terdapat lokasi pada region kruris dextra dengan bentuk kelainan kulit vesikel bergerombol multipel, berbentuk bulat, dengan ukuran 0,3 - 0,5 cm di atas kulit eritematosus, unilateral, tidak menyilang garis tengah, umur vesikel dalam satu gerombolan sama, tetapi dengan gerombolan yang lain tidak sama, kulit diantara gerombolan normal. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu tes Tzank, hasilnya negatif dengan tidak ditemukannya sel giant multinukleat. Diagnosis kerja adalah herpes zoster kruris dextra. Pengobatan diberikan asiklovir 5x800 mg per hari diminum secara oral selama 7 hari, pemberian secara topikal bedak salisil 1% dan mentol 0,5 % dioleskan dua kali sehari pada lesi kering. Prognosis pasien baik.

DISKUSI

Virus varisella zoster merupakan satu virus yang dapat menyebabkan dua penyakit. Infeksi VZV primer juga

dikenal dengan cacar, biasanya terjadi pada masa kanak-kanak, namun infeksi VZV berlanjut menginfeksi individu seumur hidup, virus kemudian berkembang di sepanjang sumsum tulang di ganglia dorsalis. Biasanya virus varisela zoster mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama herpes zoster atau shingles. Cara utama penularan herpes zoster yaitu ditularkan melalui orang ke orang yang kontak langsung cairan dari kulit yang lesi atau terinfeksi dari sekresi pernapasan.7,10

Herpes zoster adalah akibat dari infeksi VZV yang mengalami reaktivasi setelah masa dorman di ganglion dorsalis. Mula-mula penderita mengalami demam atau panas, sakit kepala, lemas dan fotofobia akut disertai nyeri yang terbatas pada satu sisi tubuh saja. Pada fase akut selanjutnya muncul makula kecil eritematosa di bagian tubuh yang nyeri, dalam 1-2 hari akan berubah cepat menjadi papul dan kemudian berkembang menjadi vesikel, semakin hari menyebar dan membesar, dapat disertai dengan rasa gatal dan nyeri yang tak tertahankan. Kemunculan vesikel baru lebih dari satu minggu hal tersebut berhubungan dengan sindrom imunodefisiensi. Cairan

vesikel akan menjadi keruh disebabkan masuknya sel radang sehingga akan menjadi pustula. Lesi kemudian akan mengering yang diawali pada bagian tengah sehingga terbentuk umbilikasi dan akhirnya akan menjadi krusta dalam waktu yang bervariasi antara 2-12 hari, krusta akan lepas dalam waktu 1-3 minggu, dan sembuh dalam waktu 3-4 minggu.4,7,8,10

Pada kasus, lokasi herpes zoster kruris dextra, ditemukan vesikel bergerombol multipel, berbentuk bulat, dengan ukuran 0,3 – 0,5 cm diatas kulit eritematosus bersifat unilateral, tidak menyilang garis tengah, umur vesikel dalam satu gerombolan sama, tetapi dengan gerombolan yang lain tidak sama, kulit diantara gerombolan normal. Hal ini sesuai dengan herpes zoster kruris dextra.

Diagnosis banding yaitu herpes simpleks, biasanya didahului gejala sistemik seperti demam, anoreksia dan malaise dengan gejala klinis ditemukan vesikel yang berkelompok diatas kulit yang eritematosa, terdapat cairan yang jernih kemudian bisa menjadi seropurulen. Bisa ditemukan krusta dan ulserasi yang dangkal. Lokasi pada bibir atau genitalia. Dermatitis venenata, dengan gejala klinis ditemukan eritema,

edema, vesikel, bula, dan rasa panas di daerah kontak.11

Untuk menegakkan diagnosis secara pasti dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium polymerase chain reaction (PCR) merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik dengan sensitifitas berkisar 97-100%, membutuhkan setidaknya satu hari untuk mendapatkan hasilnya. Dengan metode ini dapat digunakan berbagai jenis preparat seperti scraping dasar vesikel dan apabila sudah berbentuk krusta dapat juga digunakan sebagai preparat. Tes ini dapat menemukan asam nukleat dari virus varicella zoster.4,7,10 Dapat juga dilakukan pemeriksaan direct fluorescent assay (DFA) hasil dari pemeriksan ini cepat untuk mendiagnosis herpes zoster. Preparat diambil dari scraping dasar vesikel. Tes ini dapat menemukan antigen virus varicella zoster dan dapat membedakan antara virus herpes zoster dan virus herpes simpleks dengan sensitivitas 90%.4,5,7 Dapat dilakukan pemeriksan tes Tzank, preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru kemudian diwarnai dengan Hematoxylin Eosin, Giemsa, Wright toluidine blue. Preparat diperiksa dengan menggunakan mikroskop

cahaya. Hasil positif akan menunjukkan sel giant multinuleat. Tes ini tidak dapat membedakan antara virus varicella zoster dengan herpes simpleks virus. Pemeriksaan ini sensitifitasnya sekitar 84%.4 Pemeriksaan kultur virus merupakan pemeriksaan yang sangat spesifik tetapi hasilnya ditunggu 1-2 minggu dan VZV hanya terdeteksi 60%-70% dari spesimen.10

Pada kasus dilakukan pemeriksaan penunjang tes Tzank dengan hasil tidak ditemukannya sel giant multinukleat.

Tujuan utama terapi pada pasien herpes zoster yaitu untuk mempercepat penyembuhan, mencegah kearah yang lebih parah, mengurangi rasa nyeri akut dan kronis dan mengurangi komplikasi.3 Terapi antiviral yang dapat diberikan asiklovir, famciclovir, valacyclovir, obat ini dapat menghambat polimerase VZV. Secara umum obat ini aman dan ditoleransi aman pemberian pada orang tua. Efek samping biasanya mual, muntah, diare, sakit kepala pada 8%-17% pasien.12 Asiklovir diberikan 5 kali 800 mg sehari selama 7 – 10 hari atau famciclovir diberikan 250-500 mg 3 kali sehari selama 7 hari. Obat ini diekresikan di ginjal sehingga dosisnya harus disesuaikan karena

memungkinkan terjadinya insufisiensi ginjal atau alternatif obat lain yaitu valacyclovir diberikan sebanyak 1000 mg 3 kali sehari. Dosis harus disesuaikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal, trombotik trombositopeni purpura atau hemolitik uremik sindrom dan dosis 8000 mg sehari pada pasien dengan defisiensi sistem imun.2,3,10,12 Antibiotik diberikan bila ada infeksi sekunder misalnya kulit menjadi bernanah dan terkelupas.8 Untuk pengobatan secara topikal diberikan tergantung stadium herpes zoster. Pemberian bedak dapat diberikan jika masih dalam stadium vesikel tujuannya supaya vesikel tidak pecah sehingga tidak terjadi infeksi sekunder. Dilakukan kompres terbuka bila terjadi erosif dan dapat diberikan salep antibiotik bila terjadi ulserasi.11

Pada kasus diberikan asiklovir 5x800 mg per hari diminum secara oral selama 7 hari, pemberian secara topikal bedak salisil 1% dan mentol 0,5 % dioleskan dua kali sehari pada lesi kering. KIE (komunikasi, informasi, edukasi) diberikan untuk mencegah penularan, menjaga lesi tetap kering, dan menjaga kebersihan lesi untuk mengurangi resiko superinfeksi bakteri.

Prognosis pasien baik jika mendapatkan pengobatan secara dini.7,10,11

SIMPULAN

Seorang laki-laki berusia 45 tahun menderita herpes zoster kruris dextra. Pada pasien ditemukan vesikel bergerombol multipel, berbentuk bulat, dengan ukuran 0,3-0,5 cm diatas kulit eritematosus, unilateral, tidak menyilang garis tengah, umur vesikel dalam satu gerombolan sama, tetapi dengan gerombolan yang lain tidak sama, kulit diantara gerombolan normal. Diberi pengobatan asiklovir 5x800 mg per hari diminum secara oral selama 7 hari, pemberian secara topikal bedak salisil 1% dan mentol 0,5 % dioleskan dua kali sehari pada lesi kering. Prognosis pasien baik.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Shyang JJ, Yi-Ju C, Ming-Wei L, Yu-Chun C, Tzeng-Ji C, YuLin H, dkk. Epidemiological Features and Cost of Herpes Zoster in Taiwan : a national study 2000-2006. Acta Derm Venereol 2009 ; 89: 612-616.

  • 2.    Cohen J. Herpes Zoster. N Engl J Med 2013; 369: 255-63.

  • 3.    Gnann J, Richard J W. Herpes Zoster. N Engl J Med 2002, vol. 347, no 5.

  • 4.    Dumasari R. Varicella dan Herpes Zoster. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Sumatera Utara. 2008.

  • 5.    Schmader K, John W G, C Peter W. The Epidemiological, Clinical, and Pathological Rationale for Herpes Zoster Vaccine. JID 2008: 197.

  • 6.    Opstelted W, Just E, Arie K, Theo V. Treatment of Herpes Zoster. Can Fam Physician 2008; 54:573-7.

  • 7.    Weaver B. Herpes Zoster Overview Natural History and Incidence. J Am Osteopath Assoc. 2009;109 (2); s2-s6.

  • 8.    Hanindyoputro DF, Abdullah A, Jenry W, Rusmiyati, Toni W, Sukmawati,   dkk. Pedemon

Pengobatan Dasar di Pukesmas. Departemen   Kesehatan RI.

2007.

  • 9.    Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic         Neuralgia:

Diagnosis and Therapeutic Consideration.       Alternative

Medicine Review 2006 vol 11 no 2.

  • 10.    Dworkin R, Robert WJ, Judith B, John WG, Myron JL, Miroslav B, dkk. Recommendation for    the

Management of Herpes Zoster. Clinical Infectious Diseases 2007; 44: S1-26.

  • 11.    Handoko RP. Penyakit Virus. Dalam: Djuanda A, Mochtar H, Siti A, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2009; h. 110-112.

  • 12.    Schmader K. Herpes Zoster in Older Adults. Clinical Infectious Diseases 2001; 32: 1481-6.

8