TAJAM DENGAR PADA PEKERJA KLUB MALAM FULL MUSIK
on
TAJAM DENGAR PADA PEKERJA KLUB MALAM FULL MUSIK
I Made Cahyadi Dwi Putra1 dan Ketut Tirtayasa2
-
1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2
-
2Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
ABSTRAK
Gangguan pendengaran adalah tidak dapat atau menurunnya kemampuan dengar pada sebagian atau kedua telinga1.Pendengaran dapat terganggu karena beberapa mekanisme. Salah satu mekanisme yang dapat mengganggu fungsi pendengaran adalah suara yang keras.1,2 Gangguan pendengaran dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu tuli konduktif dan tuli sensoris.1,3 Tuli sensoris merupakan gangguan pendengaran yang terjadi pada telinga bagian dalam. Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat menyebabkan rusaknya reseptor pendengaran telinga dalam.1 Pekerja pada klub malam mendapatkan paparan suara tingkat tinggi. Tingkat suara pada lantai dansa melebihi 100 dB(A).4,6 Terdapat beberapa tes untuk mengetahui fungsi pendengaran individu secara kualitatif yaitu dengan garpu tala23, yaitu tes Rinne, Weber dan Schwabach.Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif potong-lintang (cross-sectional.) Data yang dikumpulkan merupakan data primer. Data langsung didapatkan melalui wawancara dan tes tajam dengar pada responden. Untuk menilai tajam dengar, dilakukan tes dengan garpu tala.Subjekpenelitianiniadalahpekerja (kasir, teknisi, pelayan) yang bekerja di klub malam full musik, bekerja di dalamruanganatau area dalam yang terpaparbising secara penuh.Berdasarkan data penelitian dari 50 orang responden, didapatkan 54% memiliki keluhan telinga berdenging, dan 5 orang (10%) dengan keluhan pusing.37 orang (74%) memiliki rinne positif, dan 13 orang (26%) dengan rinne negatif. 11 orang (22%) dengan Schwabach memendek, dan 39 orang (78%) dengan hasil tes normal. Didapatkan 13 orang (59,37%) yang memiliki keluhan dan hasil tes yang tidak normal.Dari 50 responden didapatkan lebih dari 50 % mengalami gangguan
pendengaran berdasarkan tes dan keluhan subyektif yang dicocokan. Keluhan yang paling banyak berupa telinga berdenging sebanyak 54%.
Kata kunci: gangguan pendengaran, bising, desibel, rinne, weber, schwabach
HEARING LOSS ON FULL MUSIC NIGHT CLUB EMPLOYEE
ABSTRACT
Hearing loss is a disability or decrease of hearing on all or one side ears. Hearing can be loss by some mechanism. One mechanism That cam affect hearing is loud sound. Hearing loss divided into conductive deafness And sensory deafness. Sensorry deafness is a hearing loss That occur in inner ear. Sound that more than 85 desible (dB) can damage The reseptor of hearing in the inner ear. Employee on the night club exposed by a high level of loudness. Sound level on the Dance floor is more than 100 dB(A). There are some test to know hearing function on individu qualitatively by tuning fork, rinne , weber and schwabach.It is a descriptive Cross-sectional research. The data provided is
a primary data. Data provided by interviewed and test the respondent hearing. To asses the hearing loss, tuning for test used. The subject of this research is the employe (cashier, mechanic, waiter) that worked inside the club and exposed by high loudness level.Based on data colected krom 50 respondents, 54% had a ringgy hearing and 10% had dizzy. 74% are rinne positive and 26% ari negative. 22% with sohrten of schwabach test and 78% with normal schwabach. 59,37% are not normal on the test and have subjectively hearing loss.From 50 respondent, more than 50% showed matched test and subjective hearing loss are not normal. The most compaint is ringy hearing, 54%.
Keywords: hearing loss, loudness, desible, rinne, weber, schwabach
PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran adalah menurunnya kemampuan dengar pada satu atau kedua telinga1.Pendengaran dapat terganggu karena beberapa faktor. Salah satu faktor yang dapat mengganggu fungsi pendengaran adalah suara yang keras.1,2
Gangguan pendengaran dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu tuli konduksi dan tuli sensoris.1,3 Tuli konduksi merupakan gangguan pendengaran yang terjadi pada telinga bagian luar. Suara sulit terdengar karena adanya penghalang ataupun gendang telinga yang pecah. Tuli sensoris merupakan gangguan pendengaran yang terjadi pada telinga bagian dalamdimana bising dan penuaan merupakan penyebab utama. Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat menyebabkan rusaknya reseptor pendengaran telinga dalam.1
Pada pekerjaan yang berada pada daerah dengan tingkat kebisingan tinggi
merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran. Pekerja pada klub malam mendapatkan paparan suara tingkat tinggi. Tingkat suara pada lantai dansa melebihi 100 dB(A). Sementara paparan suara pada disc jockey(dj) 95100 dB(A), paparan suara pada staf servis 90-95 dB(A). Meskipun waktu kerja kurang dari 20 jam perminggu, paparan harian 96 dB(A) untuk dj dan 92 dB(A) untuk staf servis tetap berpengaruh terhadap tajam dengar.4,5 Terdapat beberapa tes untuk mengetahui fungsi pendengaran individu secara kualitatif yaitu dengan garpu tala6, yaitu tes Rinne, Weber dan Schwabach. Tes Rinne bertujuan untuk membandingkan hantaran udara dan hantaran tulang pada satu telinga penderita6,7. Tes Weber bertujuan untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga penderita24. Tes ini bertujuan untuk membandingkan hantaran lewat tulang antara penderita dengan pemeriksa7.
Bali merupakan daerah tujuan wisata. Salah satu sektor pariwisata yang berkembang di Bali adalah klub malam. Terdapat klub malam di daerah Kuta dan sekitarnya, hal ini menyerap banyak tenaga kerja lokal untuk mendukung kemajuan bisnis ini. Banyak diantara klub malam tersebut merupakan klub malam yang full musik dan tertutup.
Paparan oleh suara terhadap pekerja klub malam cukup banyak terjadi, namun data tentang gangguan pendengaran ataupun tajam dengar pada pekerja klub malam di Bali kurang tersedia sehingga dirasa perlu untuk dilakukan penelitian tentang gangguan pendengaran serta tajam dengar pada pekerja klub malam di Bali. Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut, bagaimanakah tajam dengar pada pekerja klub malam full musik serta jumlah pekerja yang mengeluhkan gangguan pendengaran.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif potong-lintang (cross
sectional) dimana proses pengumpulan data dan pengukuran variabel-variabelnya dilakukan pada waktu yang bersamaan. Data yang dikumpulkan merupakan data primer, dimana data
langsung didapatkan melalui wawancara dan tes tajam dengar pada responden. Untuk menilai tajam dengar, dilakukan tes dengan garpu tala yaitu tes Rinne, Weber dan Schwabach. Untuk karakteristik lainnya seperti usia, lama kerja, penggunaan penutup telinga, dan ada tidaknya keluhan pendengaran didapatkan melalui wawancara langsung kepada responden.
Subjekpenelitianiniadalahpekerja (kasir, teknisi, pelayan) yang bekerja di klub malam full musik, bekerja di dalamruanganatau area dalam yang terpaparbising secara penuh. Kriteria inklusinya adalah pekerja yang sudah bekerja minimal 1 tahun. Sedangkan, pekerja yang bekerja kurang dari 1 tahun dan menderita gangguan pendegaran sejak lahir dieksklusi. Penelitian dilaksanakan di klub malam di daerah Kuta, pada tanggal 25 Februari 2014.
Data yang telah didapatkan kemudian disusun secara sistematis dalam bentuk tabel. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif argumentatif. Data yang diperoleh dianalisis dan dideskripsikan, serta dihubungkan dengan sumber-sumber yang relevan untuk menarik kesimpulan.
HASIL
Berdasarkan data penelitian dari 50 orang responden, didapatkan karakteristik subjek penelitian sebagai berikut. Responden terdiri dari 34 laki-laki dan 16 wanita. Usia responden berkisar antara 18-32 tahun, dengan kelompok umur terbanyak adalah 20-25 tahun sebanyak 27 orang. Responden yang didapatkan telah bekerja minimal 1 tahun, dan paling lama selama 5 tahun. Dari 50 orang responden, tidak ada satupun yang memakai pelindung telinga ketika sedang bekerja.
Berdasarkan data pada tabel 1, terdapat 32 orang yang memiliki keluhan subjektif dan 18 orang tanpa keluhan. Dari 32 orang dengan keluhan, 27 orang (54%)memiliki keluhan telinga berdenging, dan 5 orang (10%) dengan
Tabel 1. Proporsi keluhan subjektif pekerja klub malam full musik di Kuta
Keluhan Jumlah Persentase
Telinga berdenging |
27 |
54 % |
Kepala pusing |
5 |
10 % |
Tidak ada keluhan |
18 |
36 % |
Total |
50 |
100 % |
keluhan pusing.
Dari data kelompok umur pada tabel 2, didapatkan bahwa kelompok usia 20-25 tahun memiliki keluhan subjektif paling banyak, yaitu 19 orang (38%), diikuti
oleh kelompok umur 26-30 tahun sebanyak 8 orang (16%), kelompok umur <20 tahun sebanyak 3 orang (6%) dan terakhir adalah kelompok umur >30 tahun sebanyak 2 orang (4%). Sebanyak 8 orang (16%) dari kelompok umur 2025 tahun tidak mengalami keluhan pendengaran, 6 orang (12%) dari kelompok umur <20 tahun, dan masing-masing 2 orang (4%) dari kelompok umur 26-30 tahun dan >30 tahun.
Tabel 2. Proporsi keluhan subjektif pekerja klub malam full musik di Kuta berdasarkan kelompok umur
Umur |
Ada Keluhan |
Tidak Ada Keluhan | ||
Jml |
% |
Jml |
% | |
<20 tahun |
3 |
6 % |
6 |
12 % |
20-25 tahun |
19 |
38 % |
8 |
16 % |
26-30 tahun |
8 |
16 % |
2 |
4 % |
>30 tahun |
2 |
4 % |
2 |
4 % |
Total |
32 |
64 % |
18 |
36 % |
Jml : jumlah, % : persentase
Berdasarkan data pada tabel 3, didapatkan bahwa dari 41 orang yang bekerja selama 8 jam per hari, 24 orang (48%) memiliki keluhan, dan 17 orang (34%) tidak ada keluhan. Pekerja yang bekerja 9 dan 10 jam per hari masing-masing 2 orang (4%) dan 1 orang (2%), dan semuanya mengalami keluhan. Dari 6 orang yang bekerja selama 12 jam per
hari, 5 orang (10%) mengalami keluhan, sedangkan 1 orang (2%) tidak ada keluhan.
Tabel 3. Proporsi keluhan subjektif pekerja klub malam full musik di Kuta berdasarkan jam kerja
Jam Ada Keluhan Kerja |
Tidak Ada Keluhan | ||
Jml |
% |
Jml |
% |
8 24 |
48 % |
17 |
34 % |
jam | |||
9 2 |
4 % |
0 |
0 % |
jam | |||
10 1 |
2 % |
0 |
0 % |
jam | |||
12 5 |
10 % |
1 |
2 % |
jam | |||
Total 32 |
64 % |
18 |
36 % |
Jml : jumlah, % |
: persentase | ||
Berdasarkan hasil tes |
tajam dengar | ||
dengan garpu |
tala, 37 |
orang (74%) | |
memiliki rinne |
positif, |
dan |
13 orang |
(26%) dengan rinne negatif. | |||
Tabel 4. Proporsi hasil tes Rinne pada | |||
pekerja klub malam full musik di Kuta | |||
Tes Rinne |
Jumlah |
Persentase | |
Positif |
37 |
74 % | |
Negatif |
13 |
26 % | |
Total |
50 |
100 % |
Sedangkan untuk tes Schwabach pada tabel 6, tidak ada yang memiliki Schwabach memanjang, 11 orang (22%) dengan Schwabach memendek, dan 39 orang (78%) dengan hasil tes normal.
Tabel 6. Proporsi hasil tes Schwabach pada pekerja klub malam full musik di Kuta
Tes Schwabach |
Jumlah |
Persentase |
Memanjang |
0 |
0 % |
Memendek |
11 |
22% |
Normal |
39 |
78 % |
Total |
50 |
100 % |
Dari 32 orang yang menngalami keluhan subjektif, dicocokkan lagi dengan hasil tes tajam dengar (Rinne, Weber dan Scwhabach). Didapatkan 13 orang (26%) yang memiliki keluhan dan hasil tes yang tidak normal.
Tabel 7. Proporsi hasil tes tajam dengar pada pekerja klub malam full musik di Kuta
Hasil tes tajam dengar |
Jumlah |
Persentase |
Tidak normal |
19 |
59,37 % |
Normal |
13 |
40,6 % |
Total |
32 |
100 % |
Untuk hasil tes Weber pada tabel 5, didapatkan semua responden tidak mengalami lateralisasi.
Tabel 5. Proporsi hasil tes Weber pada pekerja klub malam full musik di Kuta
Tes Weber Jumlah Persentase
Lateralisasi |
0 |
0 % |
Normal |
50 |
100 % |
Total |
50 |
100 % |
DISKUSI
Gangguan pendengaran akibat kebisingan suara merupakan gangguan perseptif atau sensorineural8-10. Suara yang keras dapat merusak atau membunuh sel-sel rambut cochlear yang terletak di telinga dalam10. Hal ini terjadi
karena suara yang keras menyebabkan sel-sel rambut bekerja lebih keras sehingga terjadi kelelahan dan meningkatkan produksi radikal bebas yang menyebabkan kerusakan sel-sel rambut cochlea, dimana kerusakan ini bersifat ireversibel8,11,12. Akumulasi dari kerusakan-kerusakan ini dapat
menyebabkan gangguan bahkan hilangnya fungsi pendengaran karena sel-sel rambut tidak lagi dapat berfungsi sebagai reseptor sensoris 8,12. Suara dengan intensitas 85 dB keatas dapat menyebabkan gangguan pendengaran 10,12-14. Sedangkan, berdasarkan paparan pada pendahuluan, intesitas suara di klub malam lebih dari 85 dB. Paparan suara pada lantai dansa melebihi 100 dB, paparan suara pada disc jockey mencapai 95-100 dB15, dan paparan pada pekerja kelab malam adalah 90-95 dB4,5. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa jam kerja pekerja klub malam di Kuta bervariasi, mulai dari 8 jam, 9 jam, 10 jam, dan 12 jam per hari. Berdasarkan data pada tabel 3, dapat dilihat bahwa sebagian besar pekerja mengalami keluhan pendengaran. Berdasarkan referensi-referensi yang diperoleh, gangguan pendengaran ini tidak hanya disebabkan oleh paparan yang berlebihan dari suara
berintensitas tinggi, tetapi merupakan kombinasi dengan lamanya paparan12,13. National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) telah menyatakan bahwa setiap kenaikan 3 dB diatas 85 dB, waktu paparan yang diperbolehkan dikurangi setengah. Jika waktu paparan bagi 85 dB adalah 8 jam, maka waktu paparan bagi 88 dB adalah 4 jam, dan begitu seterusnya. Maka waktu paparan bagi intensitas suara 91 dB tidak lebih dari 2 jam, dan pada 100 dB hanya boleh terpapar selama 15 menit9,12. Paparan suara yang berkelanjutan atau terus-menerus selama jam kerja dan berlangsung bertahun-tahun lebih berbahaya daripada paparan yang intermiten atau berjeda, dimana telinga dapat memiliki rest period9,10. Hal ini sesuai dengan data pada tabel 3, dimana para pekerja kelab malam terpapar suara 90-100 dB dalam kurun waktu yang melebihi batas aman bagi pendengaran, serta tidak ada satupun diantara subjek penelitian yang memakai alat pelindung pendengaran.
Pada tabel 1 didapatkan bahwa dari 32 orang dengan keluhan subjektif, 27 orang memiliki keluhan telinga berdenging, serta 5 orang dengan keluhan pusing. Berdasarkan referensi-referensi yang didapat, ada 2 gejala
utama dari gangguan pendengaran akibat kebisingan suara yaitu tinnitus dan temporary threshold shift (TTS). Tinnitus adalah telinga berdenging, dan TTS adalah perubahan sensitivitas pendengaran sementara yang sering terjadi setelah paparan terhadap suara yang keras8,12,13. Pada TTS, suara di sekitar seringkali terdengar seperti teredam, lebih sunyi ataupun kurang jelas8,13. TTS merupakan fase pertama dari gangguan pendengaran dan dapat menghilang dalam 48 jam. Fase kedua disebut Permanent Threshold Shift (PTS), dimana gejala tidak dapat diperbaiki karena adanya kerusakan permanen pada sel-sel rambut sebagai sel sensoris9. Adanya gejala-gejala tersebut dapat menjadi risiko terjadinya kerusakan pendengaran yang permanen jika paparan terhadap suara keras berlanjut10. Gejala-gejala tersebut harus dipastikan kembali dengan tes tajam dengar seperti Rinne, Weber dan Schwabach ataupun dengan mengukur sensitivitas pendengaran dengan audiogram12.
Faktor lain yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran adalah penuaan. Diperkiran prevalensi dari gangguan pendengaran pada usia diatas 65 tahun mencapai 40-45%16. Sumber lain
menyatakan bahwa usia 46-64 tahun memiliki insiden gangguan pendengaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan usia >65 tahun11. Pada tabel 2, didapatkan bahwa kelompok usia 20-25 tahun mengalami keluhan terbanyak. Sedangkan, untuk kelompok usia lainnya tidak ada perbedaan yang begitu signifikan. Selain karena jumlah subjek yang tidak merata pada masing-masing kelompok usia, tidak didapatkan subjek yang berusia diatas 40 tahun. Jadi, pada penelitian ini tidak dapat diketahui apakah peningkatan usia mempengaruhi fungsi pendengaran.
Tes rinne digunakan untuk membandingkan ambang hantaran tulang dengan hantaran udara. Terdapat dua hasil pada tes Rinne yaitu Rinne positif dan Rinne negatif. Interpretasi Rinne positif adalah hantaran udara lebih baik dari hantaran tulang, dan ini merupakan hasil tes yang normal. Rinne negatif terjadi pada tuli konduksi, dimana interpretasinya adalah hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara17. Pada tabel 4, dapat dilihat bahwa hasil tes Rinne positif lebih banyak daripada Rinne negatif, yaitu 37 Rinne positif. Jika diinterpretasikan, lebih banyak hasil tes Rinne yang normal dibandingkan dengan gangguan konduksi
Tes Weber digunakan untuk menilai level pendengaran seseorang. Tes ini dapat mendeteksi gangguang pendengaran konduksi dan sensorineural unilateral. Pasien dengan gangguan konduksi unilateral akan mendengar suara garpu tala lebih keras pada sisi yang sakit (lateralisasi ke sisi yang sakit). Jika terdapat gangguan sensorineural, suara garpu tala akan terdengar lebih keras pada sisi yang sehat (lateralisasi ke sisi yang sehat)17. Sedangkan pada tabel 5, hasil tes Weber tidak ada yang mengalami lateralisasi.
Tes Schwabach digunakan untuk mengetahui gangguan sensorineural. Hasil dari tes ini adalah Schwabach memendek pada gangguan sensorineural, Schwabach memanjang atau normal pada pendengaran normal17. Hasil tes pada tabel 6 menunjukkan, 39 orang dengan hasil pemeriksaan normal, dan 11 orang dengan Schwabach memendek yang menurut teori diinterpretasikan sebagai gangguan sensorineural.
Tabel 7 merupakan gabungan dari hasil penelitian pekerja yang mengalami keluhan subjektif dilanjutkan dengan mencocokkan hasil tes Rinne, Weber dan Schwabach. Dari 32 orang dengan keluhan subjektif, didapatkan 19 orang dengan hasil tes tidak normal. Tes garpu
tala merupakan tes sederhana yang digunakan untuk screening gangguan pendengaran. Jadi tes ini dalam fungsinya tidak menggantikan
audiometri. Beberapa ketidaksesuaian hasil penelitian dengan teori dapat disebabkan karena beberapa seperti cara pemeriksaan yang salah, suara garpu tala yang tidak terdengar, ataupun suasana ketika pemeriksaan yang ramai.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari 50 responden didapatkan lebih dari 50 % mengalami gangguan pendengaran berdasarkan tes dan keluhan subjektif yang dicocokan. Keluhan yang paling banyak berupa telinga berdenging sebanyak 54%. Responden dengan jam kerja lebih lama, keluhan subjektifnya lebih tinggi persentasenya. Saran dapat diberikan kepada para pekerja untuk menggunakan pelindung pendengaran selama bekerja dan mengurangi lamanya jam kerja.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Schrijver I. Hereditary non-syndromic sensorineural hearing loss. Journal of Molecular Diagnostics.2004;
6(4):275-84.
-
2. American Speech-Language-
HearingAssociation (ASHA). Type,
degree and configurationofhearing loss. Audiology Information
Series.2011; 7976-16.
-
3. Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Rencana strategi nasional
penanggulangan gangguan
pendengaran dan ketulian untuk
mencapai sound hearing 2030.
Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2006.
-
4. Rambe A. Gangguan pendengaran akibat bising. Fakultas Kedokteran Bagian THT Universitas Sumatra Utara. 2003.
-
5. Goverment of South Australia. Noise in the workplace: what you should know. Adelaide: SafeWork SA; 2008.
-
6. Clarke TA. Section of otology on hearing test. The Ferens Institute of Otolaryngology.
-
7. Neurosensory. Complete Hearing Health Care: tuning fork tests.
-
8. Harrison RV, Gordon KA, Mount RJ. Is there critical period for cochlear implantation in congenitally deaf children? Analyses of hearing and speech perception performance after implantation. Dev Psychobiol. 2005; 46:252-61.
-
9. Suskovic D. Noise-induced hearing loss. Acoustical Society of Croatia.
2012; 1-5.
-
10. Krichner DB, Evenson E, Dobie RA, Rabinowitz P, Crawford J, Kapke R, et al. Occupational noise-induced hearing loss. JOEM. 2012; 54(1):106-8.
-
11. Levey S, Fligor BJ, Ginocchi C, Kagimbi L. The effects of noise-induced hearing loss on children and young adults. CICSD. 2012; 39:7683.
-
12. Occupational Public Health Program (OPHP). Occupational noise-induced hearing loss (NIHL). Oregon: Department of Human
Services; 2009.
-
13. Health Canada. Noise-induced
hearing loss. Canada: Minister of Health; 2012.
-
14. Nelson DI, Nelson RY, Concha-Barrientos M, Fingerhut M. The global burden of occupational noise-induced hearing loss. American Journal of Industrial Medicine. 2005.
-
15. Martinez LF. Can you hear me now? Occupational hearing loss, 20042010. Monthly Labor Review. 2012; 48-55.
-
16. Gordon-Salant S. Hearing loss and aging: new research findings and clinical implications. JRRD. 2005;
42(4):9-24.
-
17. Thiagarajan B, Arjunan K. Tuning fork test. WebmedCentral
Othorhinolaryngology. 2012; 3(4).
Discussion and feedback