KARAKTERISTIK SEBAB DAN MEKANISME KEMATIAN PADA

KORBAN YANG DIDUGA DIBUNUH YANG DIOTOPSI DI
INSTALASI KEDOKTERAN FORENSIK RSUP SANGLAH TAHUN

2011-2012

Ricky Dany Agus Wicaksono1, Kunthi Yulianti2

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana1 2

Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana2

Abstrak

Pembunuhan adalah tindakan melanggar hukum yang dilakukan seseorang terhadap orang lain sehingga mengakibatkan kematian. Prevalensi semakin meningkat setiap tahun. Bali sebagai tujuan wisata harus waspada dengan peningkatan prevalensi pembunuhan, karena dapat menurunkan jumlah kunjungan wisatawan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui penyebab dan mekanisme kematian pada korban yang diduga dibunuh. Metode penelitian ini adalah deskriptif cross-sectional dengan menggunakan data sekunder. Variabel yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, sebab dan mekanisme kematian pada kasus diduga pembunuhan. Dari hasil penelitian didapatkan prevalensi kasus diduga pembunuhan di Bali dari Januari 2011 sampai Desember 2012 adalah 73 kasus. korban paling banyak adalah berjenis kelamin laki-laki 29 orang (72,5%). Kelompok umur 21-40 tahun menjadi kelompok umur yang dominan. Simpulan penelitian adalah mekanisme kematian tersering pada korban melibatkan sistem kardiovaskular. Penyebab kematian antara kekerasan tajam dan tumpul tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Saran dari peneliti adalah melakukan penelitian lebih lanjut dengan melibatkan pihak kepolisian agar dapat diketahui aktivitas apa saja yang meningkatkan resiko seseorang untuk terlibat kasus pembunuhan.

Kata Kunci: karakteristik kematian, kasus diduga pembunuhan, kunjungan wisatawan, mekanisme dan sebab kematian.

CHARACTERISTIC CAUSE AND MECHANISM OF DEATH IN THE VICTIM

ALLEGEDLY KILLED THAT AUTOPSIED IN THE INSTALATION OF

MEDICAL FORENSIC SANGLAH HOSPITAL 2011-2012

Abstract

Murder is the unlawful action, done by a person against another person resulting in death. The prevalence is increasing every year. Bali as a tourist destination must be alert to the increased prevalence of murder, because it can decrease the number of tourist arrivals. The goal of this study was to determine the cause and mechanism of death in victims who were allegedly killed. The method of this study is descriptive cross-sectional using secondary

data. The variables of this study are age, sex, cause and mechanism of death in cases of suspected murder. From the results, the prevalence of suspected murder in Bali from January 2011 to December 2012 was 73 cases. Most victims were male gender 29 (72.5%). Age group 21-40 years become the dominant age group. Conclusion of this study showed the most common mechanism of death in victims involving the cardiovascular system. The cause of death between sharp and blunt force does not have a significant difference. Suggestion from researchers is conducting further research involving the police in order to know what activities that increase a person's risk for homicide.

Keywords: characteristic of death, cases of suspected murder, tourist arrivals, mechanism and cause of death.

Pendahuluan

Pembunuhan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.1 Menurut United Nations Office on Drug and Crime (UNODC) pembunuhan adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dilakukan seseorang terhadap orang lain sehingga mengakibatkan kematian.2

UNODC mengestimasikan bahwa selama tahun 2010 telah terjadi kasus pembunuhan sebanyak 468.000 di seluruh dunia. Di Asia terjadi sebanyak 128.000 kasus. Indonesia sendiri memiliki angka prevalensi sebesar 5-9,9 per 100,000 populasi penduduk.2 Bali sebagai daerah tujuan wisata internasional harus lebih berwaspada dengan semakin meningkatnya jumlah kasus pembunuhan di Indonesia. Adanya peningkatan kasus pembunuhan tersebut dapat menurunkan

tingkat kunjungan wisatawan mancanegara.

Kematian seseorang dapat terjadi akibat dari rusaknya salah satu atau lebih 3 sistem organ yang penting dalam kehidupan, yaitu : sistem saraf (otak), sistem kardiovaskular (pendarahan), dan sistem respirasi (asfiksia).3 Dengan menggunakan pemeriksaan forensik, mekanisme dan penyebab kematian seseorang dapat diketahui, sehingga dapat membantu pihak berwajib untuk menentukan cara pelaku dalam membunuh seorang korban.

Penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai karakteristik sebab dan mekanisme kematian pada korban yang diduga dibunuh yang diotopsi di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah tahun 2011-2012.

Metode Penelitian

Metode penelitian ini adalah deskriptif cross-sectional dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari buku catatan registrasi jenazah di bagian forensik RSUP Sanglah dan juga Visum et Repertum dari korban pembunuhan yang diotopsi RSUP Sanglah mulai dari bulan Januari 2011- Desember 2012.

Sampel dalam penelitian ini adalah semua korban meninggal dunia yang diduga akibat pembunuhan berdasarkan buku catatan registrasi surat permintaan visum di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik RSUP Sanglah tahun 2011 – 2012. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling. Kriteria eksklusi sampel meliputi : kasus diduga pembunuhan yang tidak diotopsi di bagian forensic RSUP Sanglah, kasus diduga pembunuhan yang tidak terjadi di Bali, penemuan jenazah orok, dan kasus diduga pembunuhan dengan laporan pemeriksaan jenazah yang tidak terbaca, serta kasus penemuan mayat yang tidak diketahui identitas (jenis kelamin dan umur). Data yang sudah terkumpul akan dikelompokan dalam bentuk variabel bebas yang meliputi : jenis kelamin,

umur, sebab kematian, dan mekanisme kematian. Kemudian data tersebut akan dianalisis deskriptif untuk mengetahui karakteristik dan distribusi variabel.

Hasil Penelitian

Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap buku catatan registrasi surat permintaan visum dari pihak kepolisian kepada bagian Ilmu Kedokteran Forensik RSUP Sanglah, diketahui bahwa selama periode antara bulan Januari 2011 sampai Desember 2012 telah terjadi kasus diduga pembunuhan sebanyak 73 kasus. Dari keseluruhan kasus tersebut peneliti melakukan pemeriksaan hasil otopsi pada kasus sebesar 40 kasus (54,8%). Jumlah sampel tersebut adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini. Sisa kasus sebanyak 33 kasus (45,2%) tidak diteliti karena memenuhi kriteria eksklusi berupa penemuan jenazah orok sebanyak 26 kasus (35,6%), tidak dilakukan otopsi sebanyak 4 kasus (5,5%), jenazah yang dilakukan otopsi namun arsip visum yang ada tidak dapat dibaca sebanyak 1 kasus (1,4%) dan penemuan mayat diduga pembunuhan namun tanpa identitas sebanyak 2 kasus (2,7%).

Selanjutnya peneliti melakukan pemeriksaan terhadap hasil otopsi dari korban diduga pembunuhan. Karakteristik kasus diduga pembunuhan yang diotopsi di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik RSUP Sanglah berdasarkan variabel jenis kelamin dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel.1 karakteristik korban diduga kasus pembunuhan berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Frekuensi (n=40)

Laki-laki

Perempuan

29

11

Dari tabel diatas diketahui bahwa sebanyak 29 kasus (72,5%) diduga korban pembunuhan berjenis kelamin laki-laki dan sisanya sebanyak 11 kasus (27,5%) adalah korban berjenis kelamin perempuan.

Tabel.2 karakteristik korban diduga kasus pembunuhan berdasarkan umur

Umur

Frekuensi (n=40)

0-20 tahun

6

21-40 tahun

18

41-60 tahun

12

>60 tahun

4

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah kasus diduga pembunuhan paling banyak terjadi pada usia 21-40 tahun

dengan jumlah sebanyak 18 kasus (45%), kemudian diikuti korban dengan usia antara 41-60 tahun sebanyak 12 kasus (30%), dan dilanjutkan dengan usia 0-20 tahun dan >60 tahun dengan jumlah kasus masing-masing 6 kasus (15%) dan 4 kasus (10%).

Tabel.3 karakteristik kematian pada korban diduga pembunuhan berdasarkan mekanisme kematian

Umur (th)

Mekunisme Kematian (n=40)

Sistem Kardio vasskular

Sistem Saraf Pusat

Sistem

Respira

Sl

Multiple

0-20

3

-

I

21-40

H

5

1

1

41-60

4

6

1

1

>60

3

-

1

-

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa mekanisme kematian tersering pada kasus diduga pembunuhan adalah sistem kardiovaskular dengan jumlah sebanyak 21 kasus (52,5%), kemudian diikuti dengan sistem saraf pusat dengan jumlah 13 kasus (32,5%), dan sistem respirasi serta disfungsi organ mulitpel dengan masing-masing sebanyak 3 kasus (7,5%).

Pada korban yang meninggal melalui mekanisme sistem kardiovaskular paling sering adalah kelompok umur 21-40 tahun dengan jumlah sebanyak 11 kasus (27,5%), diikuti kelompok umur 41-60

tahun dengan jumlah sebanyak 4 kasus (10%) dan kelompok umur 0-20 tahun serta diatas 60 tahun dengan jumlah masing-masing sebanyak 3 kasus (7,5%)

Pada korban meninggal melalui mekanisme sistem saraf pusat, didominasi oleh kelompok umur 41-60 tahun dengan jumlah sebanyak 6 kasus (15%), kemudian kelompok umur 21-40 tahun sebanyak 5 kasus (12,5%), dan kelompok umur 0-21 tahun dengan jumlah sebanyak 2 kasus (5%).

Jumlah korban meninggal melalui mekanisme sistem respirasi berdasarkan kelompok umur tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hasil tersebut disebabkan karena masing-masing kelompok umur hanya memiliki angka kejadian sebanyak 3 kasus, kecuali kelompok umur di atas 60 tahun yang tidak terdapat kasus.

Tabel.4 karakteristik kematian pada korban diduga pembunuhan berdasarkan sebab kematian

Umur (th I

Sebab Kematian (n=40)

Kekerasan Iumpul

Kekerasan Iajam

Senjata Api

Penyebab lain

0-20

n

3

-

1

21-40

9

11

-

-

41-60

6

2

1

1

>60

2

2

-

-

pembunuhan di Bali adalah kekerasan tumpul, dengan jumlah sebanyak 19 kasus (47,5%), kemudian kasus dengan kekerasan tajam sebanyak 18 kasus (45%). Terdapat pula sebab kematian akibat senjata api, luka bakar, dan sengatan listrik. Jumlah masing-masing kasus tersebut adalah sebanyak 1 kasus (2,5%).

Kelompok umur 21-40 tahun mendominasi kejadian kematian akibat kekerasan tumpul dengan jumlah sebanyak 9 kasus (22,5%), diikuti dengan kelompok umur 41-60 tahun dengan jumlah sebanyak 6 kasus (15%) dan kelompok umur 0-20 tahun serta >60 tahun dengan jumlah masing-masing sebanyak 2 kasus (5%).

Pada kasus kematian dengan sebab kekerasan tajam, didominasi oleh kelompok umur 21-40 tahun dengan jumlah 11 kasus (27,5%), kemudian kelompok umur 0-20 tahun dengan jumlah 3 kasus (7,5%), serta kelompok umur 41-60 tahun dan >60 tahun dengan masing-masing sebanyak 2 kasus (5%).

Dari tabel di atas diketahui bahwa sebab kematian tersering pada kasus diduga


Pembahasan

Pada tabel 1 telah disajikan frekuensi kasus diduga pembunuhan mulai dari Januari 2011 sampai Desember 2012. Karakteristik kasus diduga pembunuhan berdasarkan jenis kelamin tersebut memiliki kesamaan dengan karakteristik kasus pembunuhan di dunia, dimana kasus tersering pembunuhan melibatkan korban berjenis kelamin laki-laki. Pada korban berjenis kelamin perempuan biasanya kasus pembunuhan lebih sering berkaitan dengan kekerasan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan dekat, sedangkan korban jenis kelamin laki-laki mempunyai frekuensi yang lebih banyak, karena laki-laki lebih banyak memiliki aktivitas yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kasus pembunuhan. Jika dilihat pada karakteristik masyarakat Bali, aktivitas yang mungkin dapat meningkatkan seorang laki-laki terlibat dalam pembunuhan adalah terlibatnya seseorang dalam keanggotaan sebuah ormas yang cenderung bersifat premanisme. Kebiasaan minum-minuman keras yang berlebihan juga dapat membuat seseorang tidak mampu mengontrol dirinya (lebih mudah emosi), sehingga dapat

menigkatkan resiko keterlibatan seseorang dalam pembunuhan. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas masyarakat yang dapat meningkatkan keterlibatan dalam kasus pembunuhan.

Tabel 2 adalah tabel yang menjelaskan mengenai karakteristik pembunuhan berdasarkan kelompok umur. Karakteristik korban kasus pembunuhan di dunia paling banyak adalah jenis kelamin laki-laki pada kelompok umur 15-29 tahun, kemudian semakin tua kelompok umur setelahnya, angka kejadiannya semakin menurun. Data tersebut sesuai dengan hasil yang diperoleh peneliti, dimana frekuensi terbanyak berada pada kelompok umur 21-40 tahun, kemudian semakin tua umur korban, maka frekuensi juga menurun. Kelompok umur muda, paling banyak terlibat kasus pembunuhan mungkin disebabkan karena pada saat umur tersebut banyak terlibat aktivitas-aktivitas seperti kejahatan di jalan, terlibat keanggotan dengan sebuah gang, perkelahian, konsumsi obat-obatan terlarang, kepemilikan senjata dan

aktivitas lain yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kasus pembunuhan.2

Tabel 3 adalah tabel yang menjelaskan karakteristik mekanisme kematian. Pada mekanisme kematian yang melibatkan sistem kardiovaskular, insiden paling sering terjadi pada umur antara 21-40 tahun dengan jumlah sebanyak 12 kasus (30%). Mekanisme kematian sistem kardiovaskular didominasi oleh adanya pendarahan. Pendarahan yang massif dapat memudahkan korban masuk ke dalam fase syok hipovolemik, sehingga semua jaringan dalam tubuh tidak menerima perfusi yang adekuat. Selain pendarahan, terdapat juga mekanisme kematian yang menyebabkan gangguan irama jantung dengan jumlah sebanyak 1 kasus (2,5%).

Mekanisme kematian yang melibatkan saraf pusat yang paling sering terjadi adalah pendarahan di dalam rongga kepala yang meyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, sehingga dapat meyebabkan terjadinya herniasi yang menekan pusat pernapasan. Selain pendarahan ke dalam rongga kepala, mekanisme kematian yang melibatkan sistem saraf pusat adalah terjadinya

kontusio serebri, edema serebri, dan laserasi serebri. Berbagai penyebab lain tersebut dapat menimbulkan peningkatan tekanan intracranial.7

Mekanisme kematian yang melibatkan sistem respirasi seperti pencekikan, penjeratan, dan pembekapan mempunyai angka kejadian yang sedikit. Hal ini mungkin disebabkan karena saat ingin menutup jalan nafas, dibutuhkan tenaga yang lebih besar dan mungkin akan mendapat perlawanan dari korban. Umumnya kasus pembekapan pada pembunuhan sering didahului oleh adanya kekerasan untuk melumpuhkan korban, setelah itu baru dilakukan pembekapan atau pencekikan.

Dari hasil penelitian, terdapat kasus yang mekanisme kematiannya terjadi melalui lebih dari satu mekanisme. Jenis kasus tersebut jumlahnya sebanyak 3 kasus. Dari hasil otopsi, peneliti menemukan bahwa, korban meninggal melalui mekanisme pendarahan pada rongga dada, namun, terjadinya injuri pada otak yang secara tersendiri dapat menimbulkan kematian. Pada hasil otopsi yang lain, peneliti juga menemukan kematian korban akibat luka bakar yang

menyebakan gangguan fungsi organ tubuh secara multiple.

Pada tabel 4 telah dijelaskan mengenai karakteristik kematian pada kasus pembunuhan berdasarkan sebab kematian. Hasil tersebut menunjukan bahwa sebab kematian dengan kekerasan tajam dan kekerasan tumpul tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Hasil ini menunjukan sebuah perbedaan dengan hasil penelitian di India, dimana benda yang sering digunakan dalam kasus diduga pembunuhan adalah benda tumpul. Benda tumpul itu sangat mudah diperoleh di tempat kejadian perkara. Benda yang biasanya dipakai bisa berupa batu, tongkat, batang pohon, kursi atau kepalan tangan, dan lain-lain.

Menurut sebuah penelitian di India, kebanyakan target kekerasan tajam adalah di bagian abdomen dan dada. Kepercayaan masyarakat India bahwa di dalam abdomen dan dada terdapat organorgan vital, menjadi latar belakang abdomen dan dada menjadi target sehingga saat menyerang abdomen dan dada peluang kematian seorang korban hampir pasti. Dari kasus diduga

pembunuhan di Bali, selain abdomen dan dada, target kekerasan tajam juga terdapat di daerah leher. Kekerasan tajam di leher bisa menimbulkan kematian karena di leher terdapat pembuluh darah seperti vena jugular eksternal dan arteri karotis serta terdapat jalan nafas.

Perbedaan yang tidak signifikan ini dikarenakan benda tajam yang digunakan untuk membunuh seseorang sangat mudah untuk didapatkan. Selain tidak membutuhkan izin khusus, harga sebuah benda tajam juga tidak terlalu mahal bagi sebagian orang.

Selain kekerasan tajam dan tumpul, terdapat juga korban meninggal akibat senjata api dengan jumlah sebanyak 1 kasus (2,5%). Penemuan tersebut berlawanan dengan hasil penelitian lain, yang menjelaskan bahwa senjata api sangat sering digunakan dalam kasus pembunuhan. Jarangnya penggunaan senjata api pada kasus diduga pembunuhan di Bali, mungkin dikarenakan sulitnya perizinan untuk memiliki senjata api. Setelah bulan agustus 2010, pihak Polri sudah tidak lagi mengeluarkan izin kepemilikan senjata api. Mahalnya harga senjata api dan biaya

perpanjangan izin kepemilikan senjata api bagi sebagian orang juga menjadi alasan kenapa kasus diduga pembunuhan di Bali sangat jarang menggunakan senjata api.

Terdapat sebab kematian lain yang jarang terjadi pada kasus pembunuhan. Sebab kematian tersebut adalah luka bakar luka akibat sengatan listrik.

Kasus diduga pembunuhan dengan sebab kematian luka bakar sangat jarang terjadi. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh UNODC terhadap karakteristik pembunuhan di dunia, terdapat kasus di Negara India dimana korban wanita meninggal akibat luka bakar. Kasus pembunuhan wanita di India tersebut dilakukan oleh suami korban dan sebelumnya didahului dengan adanya tindakan yang sangat kejam yang dilatar belakangi oleh adanya masalah rumah tangga. Untuk kasus diduga pembunuhan di Bali dengan sebab kematian luka bakar, perlu dilakukan pengecekan kepada pihak kepolisian untuk mengetahui siapa pelaku dan hal apa yang menjadi motif kasus diduga pembunuhan tersebut.

Kasus diduga pembunuhan dengan sebab kematian sengatan listrik adalah kasus

yang sangat jarang ditemukan. Di Bali mulai dari Januari 2011 sampai Desember 2012 hanya ditemukan 1 kasus saja. Pada kasus diduga pembunuhan dengan sengatan listrik, mekanisme kematian dapat melibatkan sistem kardiovaskular dan sistem saraf pusat. Dampak Sengatan listrik terhadap sistem kardiovaskular dapat menimbulkan perubahan irama jantung berupa fibrilasi ventrikel (VF). Dampak sengatan listrik terhadap sistem saraf pusat adalah dapat meyebabkan paralisis sentrum medullare. VF merupakan kondisi yang paling berbahaya, sedangkan paralisis sentrum medullare adalah paralisis yang terjadi akibat spasme otot pernafasan, sehingga pasien meninggal karena asfiksia.

Simpulan dan Saran

Dari data yang telah diperoleh serta hasil pembahasan yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa prevalensi kasus diduga pembunuhan di Bali dari Januari 2011 sampai Desember 2012 adalah 73 kasus. Korban paling banyak adalah berjenis kelamin laki-laki 29 orang (72,5%). Kelompok umur 21-40 tahun menjadi kelompok umur yang dominan dengan

jumlah korban 18 orang (45%), kemudian semakin bertambah umurnya, semakin menurun frekuensinya.

Mekanisme kematian tersering pada kasus diduga pembunuhan di Bali mulai dari Januari 2011 sampai Desember 2012 adalah sistem kardiovaskular dengan jumlah 21 kasus (52,5%), dimana pendarahan menjadi mekanisme yang dominan. Kemudian diikuti dengan mekanisme kematian melalui sistem saraf pusat dengan jumlah 13 kasus (32,5%), dan sistem respirasi serta disfungsi organ mulitpel dengan masing-masing sebanyak 3 kasus (7,5%).

Prevalensi sebab kematian berupa kekerasan tajam dan tumpul tidak memiliki perbedaan yang begitu berarti pada kasus diduga pembunuhan di Bali mulai dari Januari 2011 sampai Desember 2012. Kedua penyebab kematian tersebut hanya berselisih 1 angka kejadian, dimana kekerasan tumpul terjadi sebanyak 19 kasus (47,5%), kemudian kasus dengan kekerasan tajam sebanyak 18 kasus (45%).

Senjata api adalah penyebab kematian yang jarang ditemukan di Bali, dengan

prevalensi sebanyak 1 kasus (2,5%). Terdapat penyebab kematian yang jarang ditemukan berupa luka bakar dan sengatan listrik dengan masing-masing kejadian sebanyak 1 kasus (2,5%).

Saran dari peneliti adalah melakukan penelitian lebih lanjut dengan melibatkan pihak kepolisian agar dapat diketahui aktivitas apa saja yang meningkatkan resiko seseorang untuk terlibat kasus pembunuhan.

Daftar Pustaka

  • 1.    Anonim. Pembunuhan   Menurut

KUHP. Tanggal akses : 20 november 2013. Dapat diakses   dari :

http://www.referensimakalah.com/20 13/03/pembunuhan-menurut-kuhp.html

  • 2.    Me Angela, Bisogno, M., Malby, S., Jandl, M., Davis, P., Pysden, C., Rahmonberdiev, U., et al. Global Study on Homicide. Vienna. United Nations Offices on Drugs and Crime. 2011 p:19-75

  • 3.    Amir, A. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. 2008 p:120-125.

  • 4.    Hoyert, D.L., Minino, A.M., Munson, M.L., Freedman, M.A., Hanzlick, R., Davis, G.G., et al. Medical Examiners’ and Coroners’ Handbook on Death Registration and Fetal Death Reporting. Maryland. 2003 p: 1-42

  • 5.    Anonim. Guidelines For the Determination of Manner of Death. Illinois Coroners and Medical Examiners Association. 2007 pp:1-6

  • 6.    Hadi S., Suryadi T. Studi Penyebab Kematian Pada Kecelakaan Lalu Lintas yang Diperiksa di Bagian Kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zaenoel Abidin Banda Aceh Periode Januari 2007-Mei 2011. Aceh. 2012 p:1-11

  • 7.    Sauko, P., Knight, B. Knight’s Forensic Pathology, Third Edition. London: Edwar Arnold Ltd; 2004 p:136-234

  • 8.    Anonim. Tanggal akses : 25 november 2013. Dapat diakses dari : http://kamuskesehatan.com/arti/kontu sio-serebri/”>kontusioSerebri</a>

  • 9.    Dolinak, D., Evan, W.M., Emma, O.L. Forensic Pathology: Principles and Practice. London Elsevier Inc; 2005 p:121-223

  • 10.    Idries, A.M. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Pertama. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997 p: 17-32

  • 11.    Dix Jay. Color Atlas of Forensic Pathology. CRC Press LLC. 2000.