GANGGUAN HIPOKONDRIK: SEBUAH LAPORAN KASUS

I Made Agus Setiawan

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali

Abstrak

Gangguan hipokondrik merupakan gangguan somatoform yang ditandai dengan preokupasi terhadap adanya suatu penyakit serius yang melandasi terjadinya gejala-gejala yang membuat seseorang sering melakukan pemeriksaan fisik secara berulang-ulang meski hasilnya tidak terbukti benar sehingga membuat terganggunya fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. Pada kasus ini, seorang perempuan berusia 28 tahun dengan keluhan sulit tidur sejak 6 bulan yang lalu dan disebabkan oleh keluhan sakit kepala yang tidak kunjung sembuh. Keadaan ini terjadi karena masalah yang terjadi pada keluarga pasien yaitu anak pasien pernah menderita suatu penyakit dan pasien merasa tidak mampu menjaga anaknya lagi. Hal tersebut membuat pasien merasa cemas dan membiarkan suaminya untuk menjaga anaknya. Berdasarkan uraian tersebut pasien didiagnosis dengan gangguan hipokondrik dan diterapi dengan psikoterapi dan farmakoterapi.

Kata Kunci: Gangguan Hipokondrik, Psikoterapi, Farmakoterapi

HIPOKONDRIK DISORDERS: A CASE REPORT

Abstract

Hypochondriasis disorder is a somatoform disorder that is characterized by the Preoccupation of the presence of a serious illness that makes the occurrence of symptoms. This condition makes a person often performs the physical examinations repeatedly even though the result is not proven to be true. It makes the impairment in social, occupational, or other important areas of functioning. In this case, a 28 years old female came with complaint of sleep disturbances since 6 months ago which is caused by headache that failed to heal. This condition is caused by a problem in her family. Her child suffered from a serious illness but she felt that she incapable of keeping her child again. That problem makes the patient feel anxious and allowed her husband to keep their child. Based on the description, the patient is diagnosed with hypochondriasis disorder and is treated by psychotherapy and pharmacotherapy.

Keywords: Hypochondriasis Disorder, Psychotherapy, Pharmacotherapy

PENDAHULUAN

Gangguan hipokondrik merupakan suatu preokupasi yang tidak disertai dengan waham dan terjadi selama minimal 6 bulan disertai dengan perasaan takut terhadap suatu penyakit serius. Atas dasar kesalahan interpretasi terhadap gejala-gejala pada tubuh seseorang tersebut akan menimbulkan keinginan untuk melakukan

pemeriksaan medis secara berulang-ulang serta mengakibatkan gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya (Maslim R., 2003; Sadock B.J, 2007).

Gangguan hipokondrik dilaporkan terjadi sekitar 4-6% dari pasien-pasien yang datang berkunjung ke poliklinik, dengan kasus pada laki-laki sama

dengan perempuan yaitu pada usia 20 hingga 30 tahun (Fallon B.A., 2012; Sadock B.J, 2007). Beberapa studi mengatakan gangguan hipokondrik harus diterapi dengan suatu psikoterapi seperti manajemen stres, terapi perilaku, terapi kognitif, hingga hipnosis serta terapi farmakologis yang setara dengan terapi pada penyakit gangguan cemas meliputi penggunaan obat-obat anticemas (Xiong et.al., 2007; Maslim R., 2007; Sadock B.J, 2007).

LAPORAN KASUS

Pasien perempuan umur 28 tahun, agama Islam, suku Jawa, bangsa Indonesia, pendidikan terakhir tamat SMA, saat ini sebagai ibu rumah tangga dan sudah menikah. Pasien datang dengan keluhan utama sulit tidur sejak kurang lebih 6 bulan yang lalu. Keluhan berupa sulit memulai dan mempertahankan tidur. Hal tersebut terjadi karena pasien mengalami sakit kepala yang berkepanjangan sejak 6 bulan dan tidak kunjung sembuh. Pasien mengatakan, “Kepala saya sakit dok, sebelah kiri, terasa senut-senut sakit sekali, kadang-kadang seperti melayang rasanya. Kira-kira mengapa ya dok? Mungkinkah saraf-saraf di kepala saya terjepit kemudian menjadi tegang? Saya sudah berganti-ganti poliklinik saat saya berobat ke Rumah Sakit karena saya mengalami banyak keluhan, saya juga sudah periksa laboratorium, dan hasilnya normal. Kalau dibiarkan terus saya takut sakit kepala saya menjadi semakin parah, pasti ada sesuatu yang salah di kepala saya. Perlukah saya diroentgen kepala? Keadaan apa saja yang perlu diroentgen kepala dok? Apakah di kepala saya ada sesuatu, mungkin tumor sampai kepala saya sakit berdenyut-denyut begini. Menstruasi saya juga tidak teratur, apakah ini ada hubungannya dengan

sakit kepala saya? Sepertinya ini terjadi memang sakit kepala saya.”

Keluhan lain yang dirasakan pasien, yaitu merasa mudah lelah dan tidak berenergi, konsentrasi menurun, nafsu makan berkurang, berdebar-debar, kadang-kadang gemetar dan berkeringat dingin. Keluhan muncul setelah pasien mengalami tekanan psikologis saat anak pertamanya mengalami sakit berat. Pasien tampak khawatir dan takut terhadap kemungkinan hal buruk yang dapat terjadi pada anak-anak dan dirinya.

Pasien adalah tipe orang yang terbuka   dan selalu   menceritakan

masalahnya kepada orang lain. Permasalahan utama yaitu masalah keluarga, karena anak pertamanya mengalami sakit berat dan pasien tampak kesulitan merawat anaknya tersebut sehingga terlihat cemas. Namun dalam situasi-situasi tertentu pasien lebih banyak membiarkan suaminya melakukan segala sesuatunya lebih dulu, karena sering merasa cemas terhadap segala kemungkinan buruk yang dapat terjadi.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/70 mmHg dan status neurologi dalam batas normal. Status psikiatri, kesan umum penampilan wajar, roman muka tampak sesuai umur dan tampak khawatir, konsentrasi dan perhatian     menurun,     mood/afek

cemas/appropriate, isi pikir obsesi dan preokupasi berupa kekhawatiran terhadap keluhan sakit kepala yang dialami. Dorongan instingtual berupa insomnia ada. Pemahaman pasien akan penyakitnya memiliki tilikan 6.

Pasien kemudian didiagnosis multiaxial dengan Axis I: Gangguan Hipokondrik (F45.2), Axis II: Ciri Kepribadian Cemas (Menghindar), Axis III: Belum ada diagnosis, Axis IV:

Masalah dengan primary support group “keluarga”, Axis V: GAF 70-61. Kemudian pasien diterapi dengan psikoterapi dan farmakoterapi berupa Fluoxetine 1 x 20 mg dan Clobazam 1 x 10 mg.

DISKUSI

Gangguan hipokondrik merupakan salah satu gangguan psikiatri yang termasuk ke dalam gangguan somatoform. Secara umum gangguan somatoform ditandai dengan adanya keluhan-keluhan fisik yang berulang yang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik meski terbukti hasilnya negatif (Ajiboye P.O., 2013; Maslim R., 2003).

Pada kasus didapatkan, seorang pasien perempuan berusia 28 tahun datang dengan keluhan sulit tidur terutama saat memulai dan mempertahankan tidur. Hal ini terjadi karena pasien sering mengalami sakit kepala. Segala keluhan-keluhan yang dialami pasien selalu dikaitkan dengan kemungkinan adanya penyakit yang serius pada kepala.

Berdasarkan uraian di atas pasien didiagnosis multiaksial dengan Axis I: gangguan hipokondrik. Hal ini didasarkan atas keluhan pasien sebagai berikut. Pasien mengatakan “Kepala saya sakit dok, sebelah kiri, terasa senut-senut sakit sekali, kadang-kadang seperti melayang rasanya. Apakah di kepala saya ada sesuatu, mungkin tumor sampai kepala saya sakit berdenyut-denyut begini.” Berdasarkan kalimat tersebut, keluhan pasien dapat dikatakan mengarah ke satu organ yaitu kepala. Hal ini sesuai dengan karakteristik pasien dengan gangguan hipokondrik, yaitu adanya keluhan-keluhan yang mengarah ke satu organ (Deacon B., 2008; Maslim R., 2003; Sadock B.J., 2007).

Berdasarkan teori menurut Maslim, tanda yang paling penting pada gangguan hipokondrik adalah adanya keyakinan yang bersifat menetap kurang lebih selama 6 bulan terhadap sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius (Maslim R., 2003; Sadock B.J., 2007). Hal ini terlihat pada pasien yakni berupa keluhan sakit kepala yang membuat pasien sering merasa yakin bahwa semua keluhan-keluhan yang dialami oleh pasien ada hubungannya dengan penyakit yang berat pada kepala. Keyakinan tersebut berlangsung selama 6 bulan.

Selain itu, pada gangguan hipokondrik pasien biasanya sering mendatangi beberapa tempat pengobatan untuk mengatasi keluhan-keluhannya. Pasien juga akan sering melakukan berbagai macam pemeriksaan dan melakukannya berulang-ulang. Apabila hasil pemeriksaan atau hasil temuan dokter tidak sesuai dengan harapan pasien, pasien akan melakukan pemeriksaan ulang dari satu tempat ke tempat lainnya hingga pasien tersebut mendapatkan penjelasan yang dianggap paling tepat (Dillon B., 2011; Salim R., 2003; Sadock B.J., 2007). Pada kasus ini pasien mengatakan, “Saya sudah berganti-ganti poliklinik saat saya berobat ke Rumah Sakit karena saya mengalami banyak keluhan, saya juga sudah periksa laboratorium, dan hasilnya normal.” Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa pasien sering berkunjung ke berbagai pemeriksaan meski hasil pemeriksaan pasien tersebut normal. Keadaan ini juga membuat pasien mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti mengurus anak. Pasien lebih membiarkan suaminya untuk mengurus anaknya karena merasa cemas bila terjadi sesuatu yang buruk pada anaknya.

Axis II: ciri kepribadian menghindar. Berdasarkan Kaplan, ciri kepribadian menghindar antara lain hambatan sosial yang pervasif, merasa tidak mampu, terlalu sensitif terhadap evaluasi yang bersifat negatif yang dimulai sejak dewasa muda dan ditandai dengan adanya 4 atau lebih dari keadaan-keadaan berikut: (1) menghindari aktivitas sehari-hari yang melibatkan hubungan interpersonal, karena merasa takut dikritik, ditolak, atau tidak diterima; (2) ketidakmampuan untuk bergabung bersama orang lain; (3) menunjukkan perasaan takut karena akan dipermalukan atau ditertawakan dalam suatu hubungan interpersonal; (4) adanya preokupasi terhadap perasaan dikritik atau ditolak dalam situasi sosial; (5) merasa terhambat bila berada pada situasi interpersonal yang baru karena merasa tidak cocok berada dalam situasi tersebut; (6) melihat diri sendiri sebagai orang yang tidak layak pada suatu situasi sosial, tidak menarik, dan lebih rendah dari orang lain; (7) merasa enggan untuk memulai aktivitas baru karena merasa malu terhadap sesuatu hal yang baru (Dillon B., 2011; Sadock B.J, 2007). Berdasarkan uraian tersebut, beberapa keadaaan tampak sesuai dengan apa yang terjadi pada kasus. Pada pasien didapatkan suatu perilaku yang memperlihatkan perasaan takut, malu, dan enggan dalam melakukan kegiatan sehari-hari karena merasa tidak mampu untuk melakukan kegiatan tersebut dan merasa takut bila terjadi sesuatu yang buruk terjadi pada keluarganya. Pasien lebih memperlihatkan perilaku menghindar terhadap segala sesuatu yang berhungan dengan keluarganya sendiri yang secara tidak langsung juga merupakan suatu situasi sosial dan interpersonal. Jadi pasien pada kasus ini dapat dikatakan memiliki ciri kepribadian menghindar.

Pasien ini tidak mengalami gangguan kepribadian karena berdasarkan kriteria yang telah disebutkan di atas, pasien hanya memenuhi 2 dari kriteria yang ada.

Axis III: belum ada diagnosis. Berdasarkan Salim, Axis III meliputi diagnosis-diagnosis klinis pasien yang berkaitan dengan gangguan pada sistem organ (Salim R., 2003; Olatunji B.O., 2009). Pada kasus ini dikatakan belum ada diagnosis karena pasien  tidak

terbukti mengalami gangguan sistem organ. Hal ini dilihat dari kebiasaan pasien yang sering   melakukan

pemeriksaan fisik dan  laboratorium

yang berulang-ulang, namun secara klinis tidak ditemukan gangguan pada sistem organ. Jadi, dapat dikatakan bahwa pasien tidak memiliki diagnosis untuk penyakit klinis tertentu.

Axis IV: Masalah dengan primary support group “keluarga”. Berdasarkan Salim, Aksis IV merupakan berbagai keadaan yang dapat menjadi faktor penyebab    seseorang mengalami

gangguan kejiwaan. Keadaan-keadaan tersebut   misalnya   masalah pada

keluarga, lingkungan sosial, pendidikan, pekerjaan, perumahan, ekonomi, akses ke pelayanan kesehatan, interaksi dengan hukum/kriminal, dan psikososial atau lingkungan lain (Olatunji B.O., 2009; Salim R., 2003). Pada kasus ini pasien mengalami masalah   pada

keluarga yakni ketidakmampuan untuk merawat anak karena merasa takut akan menimbulkan berbagai masalah yang buruk pada anaknya. Sehingga pasien lebih sering membiarkan suaminya untuk merawat anaknya. Kekhawatiran pasien terhadap penyakit yang sempat diderita oleh anaknya tersebut membuat pasien seringkali mengalami keluhan-keluhan fisik yaitu sakit kepala yang terjadi beberapa kali dan tidak kunjung sembuh yang kemudian diikuti dengan

timbulnya berbagai keluhan baru yang diduga ada kaitannya dengan sakit kepala. Berawal dari keadaan itulah pasien sering merasa cemas dan menghindari berbagai hal yang sebenarnya harus dilakukan oleh pasien.

Axis V: GAF 70-61. Axis V menunjukkan skala penilaian fungsi secara global. Skala 70-61 menunjukkan keadaan dengan beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, atau secara umum masih baik (Abramoitz J.S., 2006; Salim R., 2003). Pada kasus ini pasien tergolong ke dalam GAF 70-61 karena berdasarkan teori, gejala pada pasien dapat digolongkan ringan, selain itu gejala pada pasien sudah berlangsung dan menetap selama 6 bulan. Secara fungsional pasien digolongkan mengalami disabilitas fungsi dengan derajat ringan karena secara umum pasien masih mampu melakukan kegiatan seperti makan sendiri, bekerja, dan berinteraksi sosial setidaknya dengan anggota keluarga yang dalam hal ini adalah suami. Meski pasien masih sering merasa cemas atau merasa tidak mampu, pasien masih mampu menjalankan aktivitasnya dengan baik.

Terapi yang dilakukan pada pasien ini adalah dengan psikoterapi dan farmakoterapi berupa Fluoxetine 1 x 20 mg dan Clobazam 1 x 10 mg. Pada prinsipnya penanganan pasien dengan gangguan psikiatri dapat diatasi dengan psikoterapi. Psikoterapi pada gangguan hipokondrik meliputi pengelolaan rasa cemas dengan dukungan sosial dan interaksi sosial dari anggota keluarga terdekat yang bertujuan untuk mengurangi rasa cemas (Abramoitz J.S., 2006; Sadock, B.J., 2007). Farmakoterapi dilakukan bila gejala yang dialami pasien mengarah ke gangguan cemas atau depresi, sehingga

prinsip pengobatannya menggunakan obat-obatan yang ditujukan untuk mengurangi rasa cemas atau depresi (Xiong et.al., 2007; Maslim R., 2007; Sadock B.J, 2007). Pada pengobatan gangguan hipokondrik dapat diberikan obat anti cemas seperti Clobazam. Clobazam merupakan obat anticemas golongan    Benzodiazepine    yang

digunakan untuk mengatasi sindrom cemas yang meliputi (1) adanya perasaan cemas atau khawatir yang tidak realistis terhadap dua atau lebih hal yang dipersepsi sebagai ancaman yang menyebabkan seseorang tidak mampu istirahat dengan tenang; (2) terdapat paling sedikit 6 dari gejala-gejala yang termasuk ketegangan motorik, hiperaktivitas otonomik, kewaspadaan      berlebihan      dan

penangkapan berkurang; (3) hendaya dalam fungsi kehidupan sehari-hari, yang ditandai dengan penurunan kemampuan bekerja, hubungan sosial, dan melakukan kegiatan rutin. Obat anticemas golongan Benzodiazepine tersebut bekerja dengan cara bereaksi dengan reseptor    Benzodiazepine

sehingga     dapat     meningkatkan

mekanisme penghambatan dari neuron GABA-ergik yang  kemudian dapat

mengurangi hiperaktivitas dari sistem limbik sistem saraf pusat (Xiong et.al., 2007; Maslim R., 2007; Sadock B.J, 2007). Berdasarkan pertimbangan tersebut maka obat yang digunakan pada pasien dalam kasus ini adalah obat anticemas khususnya dari golongan Benzodiazepine.

Selain obat anticemas, pasien ini juga diberikan obat antidepresan berupa Fluoxetin yang   bertujuan   untuk

mengatasi defisiensi relatif salah satu atau     beberapa     neurotransmitter

aminergik pada celah sinaps neuron di sistem saraf pusat khususnya pada sistem        limbik.        Defisiensi

neurotransmitter tersebut dapat terjadi

akibat       penekanan       aktivitas

neurotransmitter oleh obat anticemas (Xiong et.al., 2007; Maslim R., 2007; Sadock B.J, 2007). Dengan demikian pemberian kedua jenis obat tersebut diharapkan dapat menyeimbangkan aktivitas sistem limbik pasien.

KESIMPULAN

Gangguan hipokondrik merupakan salah satu gangguan somatoform yang ditandai dengan adanya keyakinan yang menetap terhadap suatu penyakit fisik serius yang menjadi penyebab timbulnya berbagai gejala sehingga membuat seseorang sering melakukan pemeriksaan secara berulang-ulang meski hasilnya tidak terbukti benar.

DAFTAR PUSTAKA

Abramoitz J.S. and Braddock A.E.

Hypochondriasis: Conceptualization, Treatment, and Relationship to Obsessive-Compulsive     Disorder.

Psychiatr Clin N Am. 2006; 29: 503519.

Ajiboye P.O. and Yusuf  A.D.

Monosymptomatic Hypochondriacal Psychosis (Somatic Delusional Disorder): A Report of Two Cases. Afr J Psychiatry. 2013; 16: 87-91.

Deacon B. and Abramowitz J.S. Is Hypochondriasis     Related     to

Obssesive-Compulsive     Disorder,

Panic Disorder, or Both? An Empirical Evaluation. Journal of Cognitive Psychotherapy:    An

International Quarterly. 2008; 22(2): 115-127.

Dillon B. Hypochondria:  Medical

Condition, Creative Malady. Brain. 2011; 134: 1244-1249.

Fallon B.A., Harper K.M., Landa A., Pavlicova M., Schneier F.R. Carson A. Personality Disorders in

Hypochondriasis:    Prevalence    and

Comparison with Two Anxiety Disorders. Psychosomatics. 2012;

53(6): 566-74.

Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. 2003. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Jakarta.

Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi Ke-3. 2007. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Jakarta.

Olatunji B.O., Deacon B.J., and Abramoitz J.S. Is Hypochondriasis an Anxiety Disorder? The British Journal of Psychiatry. 2009;  194:

481-482.

Sadock B.J and Sadock V.A. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry Behavioral   Sciences   /   Clinical

Psychiatry Tenth Edition. 2007. Lippincott Williams and Wilkins. New York.

Xiong G.L., Bougeois J.A., Chang C.H.,   Liu   D., Hilty D.M.

Hypochondriasis:         Common

Presentations     and    Treatment

Strategies in Primary care and Specialty Settings. Therapy. 2007; 4(3); 323-38.

6