LAPORAN KASUS TINEA KORPORIS ET KRURIS

I Dewa Gede Gadithya, I G.K Darmada, Luh Made Mas R.

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar-Bali

ABSTRAK

Dermatofitosis atau tinea adalah penyakit infeksi jamur superficial yang menyerang kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh suatu infeksi dermatofita. Infeksi jamur dermatofita yang terjadi pada badan, tungkai dan lengan, tetapi tidak termasuk lipat paha, tangan dan kaki disebut tinea korporis, sedangkan tinea kruris adalah infeksi jamur dermatofita pada daerah kulit lipat paha, daerah pubis, perineum dan perianal. Dilaporkan satu kasus tinea korporis et kruris yang kronis dan meluas pada separuh tubuh seorang remaja, dengan riwayat penggunaan kortikosteroid yang lama, gambaran klinisnya adalah bercak kemerahan pada dada,perut,lipatan paha dan tungkai ditemukan effloresensi macula eritema batas tegas, tepi aktif meninggi, central healing dan ditutupi skuama halus, pada pemeriksaan KOH 20% dari bagian aktif lesi ditemukan hifa panjang bersepta dan bercabang. Diagnosis ditegakkan bedasarkan anamnesis dan KOH, terapi yang diberikan adalah terbinafin 1 x 250 mg selama 2 minggu dengan prognosis yang baik.

Kata Kunci : Tinea Korporis, Tinea Kruris, Terbinafin

Case Report : TINEA KORPORIS et KRURIS

ABSTRAK

Dermatophytosis or tinea infections are superficial fungal disease that attacks the skin , hair and nails caused by a dermatophyte infection . Dermatophyte fungal infection that occurs in the body , legs and arms , but not including the groin , hands and feet is called tinea corporis , tinea cruris whereas dermatophytes is a fungal infection of skin on the groin area , pubic area , perineum and perianal . Reported one case of tinea corporis et crus are chronic and widespread in half the body of a teenager, with a long history of the use of corticosteroids, the clinical picture is reddish spots on chest , abdomen , groin and legs found efflorescence macular erythema defined, active rising edge , central healing and covered with fine scaling , on examination of KOH 20 % of the active part of the lesion was found bersepta long and branched hyphae . Diagnosis is based on history and KOH , is terbinafine therapy given 1 x 250 mg for 2 weeks with a good prognosis .

Keywords : Tinea corporis , Tinea cruris , Terbinafine

PENDAHULUAN

Tinea korporis merupakan istilah untuk menunjukkan adanya infeksi jamur golongan dermatofita pada badan, tungkai dan lengan, tetapi tidak termasuk lipat paha, tangan dan kaki. Sedangkan istilah tinea kruris digunakan untuk infeksi jamur dermatofita pada daerah kulit lipat paha, daerah pubis, perineum dan perianal.1,2,3 Tinea korporis dan tinea kruris dapat digolongkan menjadi tinea glabrosa karena keduanya terdapat pada kulit yang tidak berambut. Walaupun secara klinis terdapat murni tinea kruris atau korporis, namun bisa ditemukan tinea kruris et korporis bersamaan.3 Insidensi dermatomikosis di Indonesia masih cukup tinggi. Dari data beberapa rumah sakit di Indonesia pada tahun 1998 didapatkan persentase dermatomikosis terhadap seluruh kasus dermatosis bervariasi dari 2,93% (Semarang) sampai 27,6% (Padang).4 Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2008 terdapat 274 (7,02%) kasus baru dermatomikosis superfisialis, 58 kasus (21,16%) diantaranya adalah tinea korporis dan 61 kasus (22,26%) adalah tinea kruris.5 Dari segi usia, data dari beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa remaja dan

kelompok usia produktif adalah kelompok usia terbanyak menderita dermatomikosis superfisialis dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih muda atau lebih tua. Kemungkinan karena segmen usia tersebut lebih banyak mengalami faktor predisposisi atau pencetus misalnya pekerjaan basah, trauma, banyak berkeringat, selain pajanan terhadap jamur lebih lama.4 Walaupun demikian tidak terdapat perbedaan secara khusus gambaran klinis tinea korporis dan tinea kruris baik pada remaja, anak-anak maupun orang dewasa. Secara umum gambaran klasik lesi tinea korporis dan tinea kruris berupa lesi anular dengan central clearing dan tepi eritema yang aktif. Lesi yang berdekatan dapat bergabung membentuk pola gyrata atau polisiklik. 1,2 Semua dermatofita dapat menyebabkan tinea korporis, tetapi yang merupakan penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Trichophyton tonsurans, sedangkan tinea kruris kebanyakan disebabkan oleh Trichophyton rubrum dan Epidermophyton floccosum. Trichophyton tonsurans merupakan jamur antropofilik dan tersebar diseluruh

dunia dengan distibusi yang luas. Spesies ini sering menimbulkan lesi yang bersifat kronis.1 Jamur dermatofita dapat ditularkan secara langsung maupun secara tidak langsung, dan untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur dermatofita harus memiliki kemampuan untuk melekat pada kulit host (pejamu), mampu menembus jaringan pejamu dan selanjutnya mampu bertahan dan menyesuaikan dengan suhu dan lingkungan biokimia pejamu. Sedangkan variabilitas host, seperti umur, jenis kelamin, ras, budaya dan imunitas dapat mempengaruhi manifestasi klinis dan perjalanan penyakit infeksi dermatofita ini. Ini menunjukkan bahwa penyakit ini bersifat multifaktorial.1,6 Sebagian besar kasus tinea korporis dan tinea kruris berespon baik dengan preparat anti jamur topikal. Preparat topikal yang dapat digunakan diantaranya alilamin (naftitin, terbinafin), imidazol, tolnaftat, siklopiroks dan salep whietfield, sulfur presipitatum 4-10% dan asidum salisilikum 2-3% yang merupakan obat topikal konvensional.1-3 Akan tetapi pada lesi yang luas, tidak dapat mentoleransi obat topikal, gagal dengan pengobatan topikal dan penderita dengan

infeksi kronis maka diperlukan pemberian preparat antijamur sistemik yaitu griseofulvin, terbinafin, flukonazol atau itrakonazol.1,3,7 Tidak ada satu pustakapun yang menyebutkan batasan waktu untuk dapat mengkatagorikan tinea korporis akut maupun kronis, walaupun istilah tersebut banyak digunakan pada beberapa kepustakaan. Secara umum, berdasarkan kamus kedokteran, istilah kronis menunjukkan lamanya perjalanan suatu penyakit, dan istilah kronisitas umumnya digunakan pada penyakit yang telah berlangsung selama lebih dari 3 bulan.8 Kronisitas dalam dermatofitosis merupakan hal yang sering dijumpai klinisi, mengingat dermatofitosis merupakan penyakit yang bersifat multifaktorial dan semua faktor yang terlibat merupakan suatu keadaan yang dapat berubah.1,6 Berikut dilaporkan suatu kasus tinea korporis et kruris yang kronis dan meluas pada separuh tubuh seorang remaja, yang disebabkan oleh Trichophyton tonsurans. Kasus ini diajukan untuk mengetahui faktor-faktor endogen dan eksogen yang mempengaruhi manifestasi klinis dan perjalanan penyakit ini. Pengetahuan ini penting

dalam penatalaksanaan pasien dan mencegah rekurensi.

KASUS

Seorang laki-laki, berusia 36 tahun, suku Manado, No CM:   01.39.25.21,

dikonsulkan dari subdivisi Morbus Hansen Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah dengan suspek Tinea korporis dan tinea kruris. Keluhan Utama penderita adalah timbul bercak-bercak kemerahan dan bersisik pada ketiak kiri, pelipatan paha kanan dan kiri serta bokong yang disertai rasa gatal. Keluhan ini dirasakan sejak satu minggu yang lalu. Awalnya muncul bercak merah dengan sisik putih sebesar uang logam pada ketiak kanan. Bercak tersebut lama kelamaan bertambah lebar dan meluas ke daerah pelipatan paha dan bokong. Bercak-bercak kemerahan tersebut dirasakan sangat gatal terutama bila berkeringat dan udara panas. Riwayat pengobatan. Penderita belum pernah mengobati bercak-bercak kemerahan tersebut. Riwayat penyakit dahulu. Penderita didiagnosis Morbus Hansen tipe LL sejak bulan Juni 2010 dan mendapatkan pengobatan MDT MB 12 seri. Penderita kontrol secara teratur ke subdivisi MH poliklinik Kulit dan

Kelamin RSUP Sanglah. Pada bulan Maret 2011 penderita didiagnosis dengan Reaksi Eritema Nodusum Leprosum Ringan pada bulan Maret 2011 dan mendapatkan pengobatan metilprednisolon 3x8mg dengan tappering of. Sejak bulan april sampai sekarang, penderita mendapatkan pengobatan MDT MB seri 12 dengan metilprednisolon 2x8mg.

Riwayat peyakit yang sama pernah dialami sekitar 1 tahun yang lalu. Penderita mengeluh timbul bercak-bercak kemerahan di pelipatan paha kanan dan kiri. Penderita berobat ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah dan diberikan satu macam Ketokenazole 2% cream dan sudah mengalami kesembuhan. Riwayat penyakit yang sama pada teman sekamarnya atau teman di tempatnya bekerja disangkal penderita. Penderita tidak memelihara anjing, kucing atau ternak lainnya. Pada pemeriksaan fisik ditemukan status present dan general dalam batas normal. Status dermatologi pada lokasi ketiak kiri tampak makula eritema berbatas tegas, bentuk bulat, ukuran ± Ø 1-3cm, dengan skuama putih halus diatasnya. Bagian tepi lesi tampak meninggi terdiri dari papul milier

eritema. Lokasi pada daerah pelipatan paha kanan & kiri dan bokong tampak makula hiperpigmentasi, batas tidak tegas karena telah menyatu dengan lesi di bokong. Tampak skuama putih halus diatasnya, dan pada beberapa tempat tampak skuama agak tebal. Bagian tepi lesi tampak meninggi terdiri dari papul

milier eritema (Gambar 1,2, dan 3)

gambar 2 Lesi pada dada & perut

gambar 1. Lesi pada paha & tungkai depan

gambar 3. Lesi pada paha dan tungkai bagian belakang

Pemeriksaan dengan lampu Wood’s tidak menunjukkan fluoresensi. Pada pemeriksaan mikroskopis sediaan yang berasal dari bagian tepi lesi dalam KOH 10% tampak hifa panjang bersepta

(Gambar

4).

Gbr. 4. Gambar hifa panjang pada

pemeriksaan mikroskopis dari bagian tepi lesi dalam KOH 10%

Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan dalam batas normal. Pada pemeriksaan urin rutin didapatkan hasil dalam batas normal. Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal dalam batas normal. Diagnosis kerja : tinea korporis et tinea kruris. Diagnosis banding : Candidiasis. Penunjang diagnosis yang diusulkan adalah kultur dari kerokan tepi lesi yang meninggi pada agar Saboraud’s dextrose agar yang diinkubasi pada suhu 26ºC. Penatalaksanaan: Terbinafin 1 x 250 mg per hari selama 2 minggu, untuk mengurangi gatal mebhidrolin naphadisilat 2 x 50 mg jika gatal, dan terapi topikal diberikan ketokonazol shampoo dioleskan 3 kali seminggu. Pada penderita diberikan KIE agar minum obat secara teratur, menjaga kulit tetap kering, memakai pakaian yang longgar dan dari bahan yang menyerap keringat, mencuci dan mengganti pakaian secara teratur.

PEMBAHASAN

Tinea korporis merupakan istilah untuk menunjukkan adanya infeksi jamur golongan dermatofita. Semua dermatofita dapat menyebabkan tinea korporis, tetapi yang merupakan penyebab tersering adalah Trichophyton

rubrum, Trichophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Trichophyton tonsurans, sedangkan tinea kruris kebanyakan disebabkan oleh Trichophyton rubrum dan Epidermophyton floccosum. Trichophyton tonsurans merupakan jamur antropofilik dan tersebar diseluruh dunia dengan distibusi yang luas. Pada kasus, dari anamnesis didapatkan lesi awal muncul pada tungkai, lesi tersebut dengan cepat membesar dan menyatu dengan lesi yang terdapat dipaha, kemudian meluas ke perut dan punggung. Penderita juga mengeluh rasa gatal pada lesi tersebut, terutama bila udara panas dan berkeringat. Perluasan lesi pada kasus ini kemungkinan disebabkan karena penggunaan kortikosteroid topikal dan pemakaian pakaian yang tertutup. Dari anamnesis didapatkan riwayat penggunaan betametason krim, yang diperoleh dari puskesmas. Penderita mengatakan sejak menggunakan krim tersebut tidak ada perbaikan bahkan lesi bertambah luas. Selain itu saat bekerja, penderita selalu menggunakan celana jeans yang ketat yang biasanya dicuci setelah 1 minggu pemakaian. Pada kasus ini didapatkan gambaran klinis pada ketiak, lipatan

paha, lesi terutama terdapat pada bagian tubuh yang tertutup, lesi berupa makula hiperpigmentasi, berbatas tegas, bentuk geografika, dengan skuama putih halus diatasnya, dan pada beberapa tempat tampak skuama agak tebal. Bagian tepi lesi tampak meninggi terdiri dari papul milier eritema. Gambaran lesi ini sesuai dengan gambaran tinea korporis dan tinea kruris. Tidak tampak adanya tanda inflamasi pada lesi. Gambaran candidiasis pada pelipatan paha adalah macula eritema bentuk semilunar, maserasi di bagian sentral dengan adanya lesi satelit. Pada kasus gambaran klinis macula eritema bentuk semilunar central healing dengan tepi meninggi sesuai gambaran tinea kruris. Pasien ini adalah pasien dengan kusta tipe lepramatosa dengan tipe LL dengan pengobatan kortikosteroid. Tinea Kruris dan Korporis biasanya muncul pada pasien dengan immunocompromissed dimana pada kasus ini penurunan system imun diakibatkan oleh penggunaaan kortikosteroid. Pada kasus lesi meluas disebabkan juga oleh terapi topical dengan kortikosteroid yaitu betametason topical. Dari hal tersebut diperkirakan penyebab infeksi pada kasus berasal dari spesies antropofilik, selain itu penderita

juga menyangkal memelihara binatang seperti anjing maupun kucing, dan juga tidak pernah kontak dengan binatang peliharaan lainnya. Diagnosis tinea korporis dan tinea kruris seringkali cukup hanya dengan klinis. Namun beberapa penyakit kulit lain juga dapat menyerupai tinea korporis ataupun tinea kruris sehingga diperlukan konfirmasi infeksi dermatofita melalui pemeriksaan mikroskopis dengan kalium hidroksida (KOH) dan/atau kultur jamur.9 Pada tinea korporis maupun tinea kruris bahan sebaiknya diambil dengan mengerok tepi lesi yang meninggi atau aktif.3 Sensitivitas pemeriksaan mikroskopis KOH adalah sebesar 50-60%. Walaupun pemeriksaan mikroskopik dapat membuktikan adanya infeksi jamur dalam beberapa menit, tetapi pemeriksaan tersebut tidak dapat memberikan gambaran yang lebih spesifik atau untuk identifikasi profil dari agen yang menginfeksi. Evaluasi mikroskopik ini juga dapat memberikan hasil negatif palsu sehingga kultur jamur harus dilakukan ketika infeksi dermatofita dicurigai secara klinis.1,3,10 Pada kasus, pemeriksaan KOH menunjukkan gambaran hifa panjang bersepta, dan dari pemeriksaan kultur

dari bagian tepi lesi dalam media agar Sabouroud dektrose pada hari ke-7 tampak pertumbuhan koloni jamur. Tampak koloni seperti beludru, berwarna putih kekuningan, dengan bagian sentral meninggi dan bertumpuk, dikelilingi lipatan konsentris berwarna putih. Secara mikroskopis tampak gambaran hifa tanpa adanya makrokonidia. Berdasarkan gambaran koloni yang tumbuh dan dari hasil pemeriksaan mikroskopis disimpulkan bahwa spesies penyebab pada kasus ini adalah Trichophyton tonsurans. Selain pemeriksaan KOH dan kultur, pada kasus juga dilakukan pemeriksaan penunjang menggunakan sinar Wood. Pada kasus pemeriksaan dengan sinar Wood tidak menunjukkan fluoresensi. Tidak semua dermatofita akan berflouresensi dibawah sinar ultraviolet. Beberapa dermatofita yang memberikan hasil yang positif pada pemeriksaan ini antara lain spesies zoofilik M.canis dan M.audouinii yang menyebabkan tinea kapitis akan memberikan fluoresensi hijau kebiruan, tinea versikolor yang disebabkan oleh Malassezia furfur yang berfluoresensi kuning pudar sampai putih dan eritrasma oleh karena Corynebacterium minutissimum yang

berpendar merah koral terang. Tes ini memiliki sensitivitas yang rendah dan hanya mendeteksi 50% infeksi oleh M. canis.9,10 Beberapa pustaka menggambarkan bahwa secara klinis lesi tinea korporis yang kronis berupa makula atau plak hiperpigmentasi yang berbatas tegas dengan skuama yang halus hingga kasar, sehingga tampak lesi yang psoriasiform. Umumnya lesi yang kronis ini disertai tinea kruris dan tinea pedis.12 Sedangkan menurut kamus kedokteran, suatu penyakit dikatakan kronis bila perjalanan penyakitnya telah berlangsung selama lebih dari 3 bulan.8 Kronisitas dalam dermatofitosis disebabkan karena penyakit ini bersifat multifaktorial dan identifikasi faktor-faktor tersebut penting untuk penatalaksanaan lebih lanjut dan mencegah rekurensi.1,6 Beberapa keadaan yang berhubungan dengan tinea glabrosa kronis antara lain atopi, penyakit Cushing, diabetes mellitus, pemakaian obat-obatan terutama kortikosteroid, penyakit dengan penurunan kekebalan, endokrinopati yang familier, penyakit perivaskuler, kelainan keratinisasi, penyakit kolagen vaskuler, tumor (limfoma, thymoma, sarkoma kaposi), dan AIDS.13 Pada

kasus, keluhan lesi kulit yang disertai rasa gatal telah dialami penderita sejak 3 tahun yang lalu. Selain dari lamanya perjalanan penyakit, gambaran kronisitas pada kasus ini dapat dilihat dari morfologi lesi yaitu berupa makula hiperpigmentasi, batas tegas dengan skuama putih halus diatasnya, dan pada beberapa tempat tampak skuama agak tebal. Lesi yang kronis ini juga disertai oleh tinea kruris. Luasnya lesi dan perjalanan penyakit yang kronis pada kasus ini kemungkinan terjadi karena beberapa hal antara lain, 1) higine personal yang kurang, ini terlihat dari kebiasaan menggunakan handuk bersama, kebiasaan bertukar pakaian, penggunaan pakaian yang ketat dan tertutup dalam waktu yang lama dan jarang dicuci; 2) pengetahuan yang kurang, ini dapat dilihat dari ketidakmampuan memilih tempat pengobatan yang benar dan lambatnya respon penderita serta keluarganya dalam mencari tempat pengobatan yang tepat; 3) dari hasil kultur, dapat diidentifikasi bahwa spesies penyebab pada kasus ini adalah Trichophyton tonsurans. Trichophyton tonsurans dikenal sebagai jamur antropofilik yang sering menimbulkan lesi kronis

noninflamasi; 4) pada penderita terdapat atopik diatesis, hal ini dapat dilihat dari kulit penderita yang kering dan peningkatan kadar IgE. Juga dari anamnesis didapatkan riwayat rhinitis alergica pada penderita dan ayahnya, serta keluhan sering gatal bila berkeringat. Pada penderita atopi umumnya terjadi kulit yang kering (xerosis) akibat berkurangnya ceramide pada stratum korneum. Hal ini menyebabkan fungsi barrier kulit terganggu sehingga bakteri, virus dan dermatofit lebih mudah menempel dan penetrasi kedalam kulit.14 Dalam mengobati dermatofitosis, klinisi harus memilih antara pengobatan topikal atau sistemik. Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan adalah luas dan beratnya infeksi, daerah yang terlibat, kondisi ko-morbid atau kemungkinan interaksi obat, antisipasi efikasi pengobatan, biaya dan akses pengobatan serta kenyamanan penggunaan. Pasien dengan infeksi jamur yang terbatas pada kulit glabrosa biasanya paling baik diobati dengan anti jamur topikal.15 Obat anti jamur topikal yang ideal setidaknya memiliki kemampuan fungisidal pada dosis terapi, tidak menimbulkan resistensi, memiliki spektrum luas,

bersifat keratinofilik, hipoalergenik, efek samping minimal/tidak ada dan murah.16 Tinea korporis atau tinea kruris dengan lesi terlokalisir pada kulit tak berambut memberi respon yang baik dengan pengobatan topikal seperti alilamin (naftitin, terbinafin), butenafin, imidazol, tolnaftat, siklopiroks ataupun salep whietfield, sulfur presipitatum 4-10% dan asidum salisilikum 2-3% yang merupakan obat topikal konvensional.7 Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi (70-100%) dan jarang ditemukan efek samping. Obat ini diberikan dua kali sehari selama 2 sampai 4 minggu.1 Terapi ini dioleskan sampai 3 cm di luar batas lesi dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh.1,3,7 Antijamur oral diberikan pada infeksi yang luas, lesi yang lebih inflamasi, tidak dapat mentoleransi obat topikal, gagal dengan pengobatan topikal dan penderita dengan infeksi kronis. Pilihan preparat antijamur sistemik yang dapat diberikan antara lain griseofulvin, flukonazol, itrakonazol atau terbinafin.1,7,13 Terbinafin merupakan obat anti jamur kelas alilamin yang berfungsi menghambat skualen epoksidase. Target awal terbinafin

adalah lapisan dalam dan luar dari dinding sel artrokonidial diikuti dengan penghancuran sitosol dan organel intrasel. Pemberian terbinafin oral sangat baik diarbsorbsi (70%) dan tidak tergantung dengan makanan. Terbinafin bersifat lipofilik dan keratolitik. Dosis terbinafin 3-6 mg/kgBB/hr selama 1-2 minggu adalah efektif dalam pengobatan tinea korporis dan tinea kruris.16-18 Hal tersebut didukung dari hasil yang diperoleh pada suatu penelitian terhadap 22 pasien tinea korporis dan tinea kruris yang menggunakan terbinafin 250 mg perhari selama 1 minggu, didapatkan 100 persen kesembuhan klinis dan mikologi pada minggu keenam.17 Pada beberapa penelitian yang membandingkan efikasi terbinafin dengan griseofulvin dalam pengobatan tinea korporis dan tinea kruris didapatkan perbaikan respon klinis dan angka perbaikan mikologi lebih tinggi pada kelompok yang mendapat pengobatan dengan terbinafin dengan angka kekambuhan yang lebih kecil.19,20 Terbinafin memiliki selektifitas yang tinggi, sehingga secara keseluruhan obat ini ditoleransi dengan baik dengan insiden efek samping yang rendah. Efek samping yang paling sering dalam

pemberian oral adalah keluhan 17 gastrointestinal (3,5 sampai 5 persen).

Pada kasus diberikan terapi kombinasi terbinafin 1 x 250 mg perhari secara oral disertai ketokonazol shampoo yang dioleskan pada kulit tiga kali seminggu. Terapi kombinasi merupakan prinsip pengobatan yang diakui memiliki keunggulan dalam bidang mikologi. Obat yang dipilih biasanya terdiri dari sistemik dan topikal. Mekanisme kerja obat pada target yang berbeda akan meningkatkan keberhasilan terapi. Selain itu tujuan pemberian terapi topikal juga untuk membantu mempercepat eradikasi dermatofita dari kulit pasien sehingga mengurangi penyebaran ke bagian tubuh lain atau kepada orang lain dan lingkungan di sekitarnya.1 Prognosis pada kasus ini adalah baik karena beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perjalanan penyakit telah dapat diidentifikasi, selain itu respon penderita terhadap terapi yang diberikan cukup cepat, tanpa adanya laporan efek samping pengobatan terutama terhadap terapi sistemik. Selain pemberian terapi, penanganan dermatofitosis pada penderita juga memerlukan perhatian yang menyeluruh seperti penderita harus selalu menjaga kebersihan, menghindari

pakaian yang basah, lembab atau terlalu ketat, sebaiknya berganti pakaian jika banyak berkeringat saat bekerja. Disarankan kepada penderita untuk tidak lagi menggunakan handuk bersama dan bertukar pakaian.

RINGKASAN

Telah dilaporkan satu kasus tinea kruris dan tinea korporis yang luas dan kronis pada seorang remaja berusia 19 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, klinis dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan lesi kulit disertai rasa gatal pada kedua kaki hingga ke dada sejak kurang lebih 3 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan gambaran klinis berupa makula hiperpigmentasi, batas tegas, bentuk geografika, berskuama putih halus dan pada beberapa tempat skuama tampak tebal, dengan bagian tepi yang lebih aktif. Pemeriksaan KOH 10% tampak gambaran hifa panjang bersepta. Gambaran koloni yang tumbuh dan dari hasil pemeriksaan mikroskopis sesuai dengan spesies Trichophyton tonsurans. Lesi yang luas dan perjalanan penyakit yang kronis pada kasus ini diduga disebabkan oleh higine yang kurang,

pengetahuan yang rendah, sifat khas spesies Trichophyton tonsurans sebagai penyebab infeksi dan kondisi atopik diatesis pada penderita. Pada penderita diberi pengobatan Terbinafin 1x250 mg peroral selama 2 minggu dikombinasi dengan topikal ketokonazol shampoo hasil pada pasien didapatkan hasil yang baik.

KEPUSTAKAAN

  • 1.    Goedadi M, Suwito PS. Tinea

Korporis dan Tinea Kruris. In :

Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, editors.

Dermatomikosis Superfisialis,

2nd Ed. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI, 2004, p : 31-35

  • 2.    Adiguna MS. Epidemiologi

Dermatomikosis di Indonesia. In

: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, editors.

Dermatomikosis Superfisialis,

2nd Ed. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI, 2004, p : 1-6

  • 3.    Register Pasien Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Mikologi RS Sanglah Denpasar 2008

  • 4.    Kuswadji,    Budimulja U.

Penatalaksanaan Dermatofitosis di      Indonesia.      MDVI

1997;24(1):36-39

  • 5.    Medical term : Chronic illness. Available                       :

http://www.wikipedia.com (Accessed: 2013, Oktober 28th)

  • 6.    Hainer BL. Dermatophyte Infections. Am Fam Physician 2003;67(1):101-108

  • 7.    Nugroho   SA, Siregar   RS.

Pemeriksaan         Penunjang

Diagnosis Mikosis Superfisialis. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono  K,  Menaldi  SL,

Dwihastuti        P, editors.

Dermatomikosis Superfisialis, 2nd Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2004, p: 99-107

  • 8.    Frey D, Oldfield RJ, Bridger RC. Trichophyton tonsurans. In : A Colour Atlas of Pathogenic Fungi, 2nd Ed. Holland : Smeets-Weert, 1981, p : 64-65

  • 9.    Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Cutaneous Fungal Infections. In : Fitzpatrick’s Color Atlas and Sinopsis       of       Clinical

Dermatology, 5th Ed. New York:

McGraw-Hill Medical, 2005,p : 686 - 751

  • 10.    Cholis M. Penatalaksanaan Tinea Glabrosa dan Perkembangan Obat Anti Jamur Baru. Cermin Dunia Kedokteran 2001;130:21-24

  • 11.    Sukanto H. Dermatitis an overview. Kumpulan naskah New Perspective of Dermatitis, Surabaya 2008, p : 1-14

  • 12.    High WA, Fitzpatrick JE. Topical Antifungal Agent. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrist BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology In    General

Medicine, 7th Ed. New York: McGraw-Hill Medical, 2008, p : 2116-2121

  • 13.    Kuswadji, Widaty S. Obat Anti Jamur. In :  Budimulja U,

Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, editors. Dermatomikosis Superfisialis, 2nd Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2004, p : 108-118

  • 14.    Lee-Bellantoni MS, Konnikov N. Oral Antifungal Agent. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrist BA, Paller AS,

Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology In    General

Medicine, 7th Ed. New York: McGraw-Hill Medical, 2008, p : 2211-2216

  • 15.    Adiguna MS. Pengobatan Dermatofitosis          dengan

Terbinafin.              MDVI

1999;26(4):187-191

  • 16.    Voravutinon V. Oral Treatment of Tinea Corporis and Tinea Cruris with Terbinafine and Griseofulvin : a Randomized Double Blind Comparative Study. J Med Assoc Thai 1993;76(7):388-393

  • 17.    Del Palacio HA, Lopez GS, Gonzalez LF, Moreno PP, Iglesias DL. A Comparative Double-blind     Study     of

Terbinafine and Griseofulvin in Tinea Corporis and Tinea Cruris. Clin      Exp       Dermatol

1990;15(3):210-216