ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 13 NO.02, FEBRUARI, 2024




Received: 2023-08-05 Revision: 2023-11-28 Accepted: 02-01-2024

RESUSITASI OTAK PADA PASIEN CEDERA KEPALA BERAT DI RUMAH SAKIT UMUM

PUSAT SANGLAH DENPASAR TAHUN 2020


Made Anindya Dwikinta 1, Tjokorda Gde Bagus Mahadewa2, Sri Maliawan2, I Wayan Niryana2

1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia

2Departemen Ilmu Bedah, Bagian Ilmu Bedah Saraf, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Cedera kepala adalah masalah serius di seluruh dunia dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada usia muda. Peningkatan angka cedera kepala berat terus terjadi seiring dengan banyaknya angka kecelakaan yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik resusitasi otak pada pasien dengan cedera kepala berat. Penelitian deskriptif dengan metode penelitian cross-sectional dan data yang diperoleh sebanyak 35. Pengolahan data menggunakan SPSS dan ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi sesuai dengan variabbelnya. Penelitian ini didapatkan pasien dengan cedera kepala berat terbanyak pada usia >45 tahun yaitu 18 orang (51.4%), dan berjenis kelamin laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan dengan wanita sebanyak 24 orang (68.6%). GCS paling banyak ditemukan dengan total GCS 3-5 sebanyak 21 orang (60%). Regimen resusitasi otak pada pasien cedera kepala berat diberikan cairan kristaloid (NaCl 0,9%, ringer laktat) sebanyak 35 orang (100%), manitol 20% sebanyak 22 orang (62.9%) dan fenitoin sebanyak 33 orang (94.3%). Nilai GOS semua pasien cedera kepala berat dengan nilai GOS 1 atau meninggal dunia (100%). Kematian pasien cedera kepala berat paling banyak pada <48 jam pertama sebanyak 27 orang (77.1%).

Kata Kunci : resusitasi otak., cedera otak traumatic., cedera kepala berat.

ABSTRACT

Head injury is a serious problem worldwide and causes morbidity and mortality at a young age. The increase in the number of severe head injuries continues to occur along with the number of accidents. This study aimed to examine the characteristics of brain resuscitation in patients with a severe head injury. Descriptive research with cross-sectional research method and the data obtained as many as 35. Data processing using SPSS and displayed in a distribution table according to the variables. This study found that patients with severe head injuries were most often at the age of >45 years, namely 18 people (51.4%), and male sex was more common than women as many as 24 people (68.6%). The most common GCS was found with GCS 3-5 as many as 21 people (60%). The brain resuscitation regimen in patients with a severe head injury was given crystalloid solution (0.9% NaCl, Ringer's lactate) in 35 people (100%), mannitol 20% in 22 people (62.9%), and phenytoin in 33 people (94.3%). The GOS value of all patients with severe head injury with a GOS value of 1 or died (100%). Most deaths from severe head injury patients were in the first <48 hours as many as 27 people (77.1%).

Keywords:brain resuscitation., traumatic brain injury., severe head injury.

PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan masalah serius di seluruh dunia dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada usia muda. Pasien dengan cedera kepala sering mengalami edema serebral yang disebabkan oleh akumulasi kelebihan cairan di ruang intraseluler dan ekstraseluler otak atau perdarahan intrakranial yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.1

Data dari CDC tahun 2006-2014 menunjukkan kejadian cedera kepala di Amerika Serikat sekitar 2,87 juta kunjungan ke unit gawat darurat, termasuk 288.000 kasus rawat inap dan kematian mencapai 56.800 kasus. Di Eropa, cedera kepala berat yang dirawat di rumah sakit adalah sekitar 235 kasus per 100.000 orang per tahun. Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, prevalensi cedera kepala adalah 11,9%. Di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan, 1.627 kasus cedera kepala terjadi pada tahun 2010. Di Bali, kejadian cedera kepala traumatis, khususnya di Rumah Sakit Sanglah, diperkirakan mencapai 2000 kasus per tahun, 30% di antaranya cedera kepala berat dan cedera kepala sedang. 2,3,4

Cedera kepala dikategorikan menurut tingkat keparahannya dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dan morfologinya. Skor GCS untuk keparahan cedera kepala adalah cedera kepala ringan dengan skor 14-15, cedera kepala sedang dengan skor 9-13 dan cedera kepala berat dengan skor 3-8. Menurut penelitian di RSUD Dr Abdul Aziz Singkawang semakin berat derajat cedera kepala akan meningkatkan angka kematian pasien. Penilaian GCS sangat penting untuk dikuasai karena memiliki kegunaan untuk dapat memberikan pengobatan, menentukan perbaikan, perburukan, dan prognosis.5,6

Berdasarkan patologinya, cedera dapat diklasifikasikan menjadi dua mekanisme atau tahapan, yaitu cedera primer (primary injury) dan cedera sekunder (secondary injury) yang menyebabkan cedera otak sekunder. Cedera kepala primer dapat mengakibatkan kerusakan pada kulit kepala (laserasi), tulang (kranial, dasar tengkorak, dan tulang wajah), vaskular, atau kontusio serebral. Cedera kepala sekunder terjadi beberapa saat setelah cedera kepala primer (benturan). Penyebab utama cedera kepala sekunder adalah hipotensi, hipoksia, peningkatan tekanan intrakranial, dan penurunan perfusi darah ke otak dan pireksia.7

Beberapa data menunjukkan bahwa kerusakan saraf tidak hanya terjadi selama trauma (cedera primer), tetapi terjadi dalam hitungan menit, jam, dan hari. Setengah dari angka kematian pada cedera otak traumatis terjadi dalam 2 jam pertama setelah trauma. Langkah-langkah yang diperlukan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada cedera kepala adalah pemahaman dan

pengelolaan yang lebih baik dari survei primer dan resusitasi dan survei sekunder untuk pencegahan cedera kepala sekunder dengan mengambil tindakan yang cepat, tepat dan benar. Survei primer dan resusitasi dilakukan untuk menstabilkan fungsi vital, mencegah hipotensi, hipoksia, dan iskemia serebral.8

Survei primer memiliki tiga tahapan meliputi (A) Airway, yaitu mengontrol jalan napas agar tidak terjadi hipoksia, (B) Breathing, yaitu ventilasi yang adekuat; dan (C) Sirkulasi, yaitu mempertahankan aliran darah serebral (tekanan perfusi serebral) dan tekanan intrakranial (TIK). (D) Disability yaitu evaluasi cepat status neurologis dan (E) Exposure yaitu melepas pakaian pasien untuk mengevaluasi tubuh pasien. Survei primer dilakukan untuk mencegah terjadinya cedera sekunder sehingga cedera kepala sekunder tidak terjadi. Survei sekunder adalah penilaian pemeriksaan menyeluruh dari kepala hingga kaki untuk mengidentifikasi semua cedera yang dapat memperburuk kondisi pasien. Survei sekunder meliputi pemeriksaan head to toe dan pemeriksaan neurologis, dan jika sudah stabil dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti CT-scan.9,10

Berdasarkan latar belakang dan data yang diperoleh, penulis tertarik untuk meneliti karakteristik resusitasi otak pada pasien cedera kepala berat di RSUP Sanglah Denpasar.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan desain potong lintang untuk mengetahui karakteristik resusitasi otak pada pasien cedera kepala berat di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2020. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pengumpulan data diperoleh dari rekam medis pasien cedera kepala berat di RSUP Sanglah Denpasar. Kriteria inklusi penelitian ini menggunakan pasien cedera kepala berat yang tidak menjalani operasi kraniektomi dekompresi.

Sampel penelitian ini menggunakan teknik total sampling dan consecutive sampling pada 35 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan aplikasi SPSS univariat dan akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dengan variabel berdasarkan usia, jenis kelamin, GCS, GOS, regimen resusitasi otak dan mortalitas.

HASIL

Penelitian ini mengkaji karakteristik resusitasi otak pada cedera kepala berat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar tahun 2020. Penelitian ini mencatat umur, jenis kelamin, GCS, GOS, regimen resusitasi otak.

Tabel 1. Karakteristik Cedera Kepala Berat Berdasarkan Usia

Usia (tahun)

Jumlah (n)

Persentase (%)

3-11

2

5.7

12-25

8

22.9

26-45

7

20.0

>45

18

51.4

Total

35

100.0

Pada Tabel 1 didapatkan hasil bahwa pasien cedera kepala berat yang dilakukan tindakan resusitasi otak di RSUP Sanglah Denpasar adalah kelompok usia lanjut yaitu 18 orang (51,4%) sedangkan distribusi usia paling sedikit terjadi pada anak-anak berkisar 0- 11 tahun yaitu 2 orang (5,7%).

Tabel 2. Karakteristik Cedera Kepala Berat berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Jumlah (n)

Persentase (%)

Male

24

68.6

Female

11

31.4

Total

35

100.0

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien yang mendapatkan perawatan resusitasi otak cedera kepala berat di RSUP Sanglah Denpasar adalah berjenis kelamin laki-laki. Yakni sebanyak 24 orang (74,6%), sedangkan perempuan ditemukan mengalami cedera kepala berat lebih sedikit, yakni 11 orang. (31,4%) (Tabel 2).

Tabel 3. Karakteristik Cedera Kepala Berat menurut Glasgow Coma Scale

Tabel 4. Karakteristik Cedera Kepala Berat Berdasarkan Glasgow Outcome Scale

GOS

Jumlah (n)

Persentase (%)

Mati (1)

35

100.0

Hidup (2-5)

0

0

Total

35

100.0

Dari hasil penelitian didapatkan nilai GCS pasien resusitasi otak pada cedera kepala berat di RSUP Sanglah Denpasar yaitu meninggal (1) sebanyak 100,0% (Tabel 4).

Tabel 5. Karakteristik Cedera Kepala Berat Berdasarkan Regimen Resusitasi Otak

Regimen Resusitasi Otak

Jumlah (n)

Persentase

(%)

Kristaloid

35

100.0

Manitol 20%

22

62.9

Fenitoin

33

94.3

Berdasarkan temuan pada penelitian ini mengenai tatalaksana resusitasi otak yang diberikan pada pasien cedera kepala berat, sebagian besar pasien mendapatkan kristaloid berupa normal saline (0,9% NaCl) atau dengan ringer laktat sebanyak 35 pasien (100,0 pasien). %). Selain semua pasien yang mendapat kristaloid, 33 pasien diberikan antikonvulsan yaitu fenitoin. Dari 35 pasien tersebut, 22 pasien diberikan manitol pada pasien cedera kepala berat yang mendapat resusitasi otak di RSUP Sanglah Denpasar (Tabel 5).

Tabel 6. Karakteristik Cedera Kepala Berat Berdasarkan Mortalitas (jam)

Total GCS

Jumlah (n)

Persentase (%)

3-5

21

60.0

6-8

14

40.0

Total

35

100.0

Mortalitas (jam) Jumlah (n) Persentase (%)

< 48 hours

27

77.1

> 48 hours

8

22.9

Total

35

100.0

Jika dilihat dari klasifikasi pasien menurut Glasgow Coma Scale didapatkan hasil mayoritas pasien yang datang dengan cedera kepala berat di RS Sanglah Denpasar, sebanyak 21 orang dinilai memiliki total GCS awal 3- 5. Ada juga 14 pasien dengan cedera kepala berat dengan total GCS 6-8 (Tabel 3).

Berdasarkan data dari penelitian ini, resusitasi otak pada pasien cedera kepala berat di RSUP Sanglah Denpasar sebagian besar datang dan mendapat perawatan <48 sebelum pasien meninggal. Sedangkan pasien yang bertahan lebih dari 48 jam cukup sedikit yaitu 8 orang (22,9%) (Tabel 6).

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1 didapatkan bahwa resusitasi otak pada cedera kepala berat paling banyak ditemukan pada usia diatas 45 tahun yang tergolong lansia yaitu sebanyak 18 orang. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan di RSUD dr. M. Haulussy Ambon, dimana penderita cedera kepala berat terbanyak terdapat pada remaja usia 15-24 tahun yaitu 12 orang (40%). Lansia sering mengalami cedera kepala karena kurangnya kesadaran atau introspeksi, penurunan keseimbangan, dan kecelakaan atau jatuh dari ketinggian. Lansia mengalami perubahan anatomi dan fisiologis akibat proses penuaan sehingga berdampak pada peningkatan morbiditas dan mortalitas hingga 28% pada pasien lanjut usia.11,12

Berdasarkan tabel 2 penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh RSUD Tugurejo Semarang, dimana mayoritas berada pada kelompok laki-laki sebanyak 47 orang (75,4%) dan perempuan sebanyak 15 orang (24,6%). Pria lebih sering mengalami cedera kepala karena pekerjaan dan aktivitas fisik yang lebih berisiko dibandingkan wanita.13

Berdasarkan tabel 3, dibandingkan penelitian dari Instalasi Gawat Darurat RSU Tugurejo Semarang tahun 2010-2011, hasilnya relatif sama. Mayoritas GCS 3-5 awal adalah 19 orang. Harap dicatat bahwa GCS di bawah 8 adalah cedera difus. Dalam klasifikasi CT scan, cedera difus Marshall dibagi menjadi 4 derajat. Cedera difus grade I tidak menunjukkan perdarahan dan kelainan patologis intrakranial dengan angka kematian 30-40%. Pada cedera difus grade II, cistern masih terlihat baik dengan midline shift 0-5mm, terdapat lesi fokal, dan tidak ada perdarahan intrakranial >25 ml, dan angka kematian 60%. Cedera difus grade III (pembengkakan) tangki air menyempit atau hilang dengan pergeseran garis tengah 0-5mm dan tidak ada perdarahan intrakranial >25 ml dengan angka kematian 8085%. Pada cedera difus grade IV dengan pergeseran garis tengah > 5 mm, dibagi menjadi 2 kategori: lesi massa yang dievakuasi dan lesi massa yang tidak dievakuasi dengan perdarahan intrakranial dengan volume lebih dari 25 mm tanpa pembedahan dengan angka kematian 99%. RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang bahwa terdapat hubungan positif antara Marshall CT Score dengan mortalitas pasien cedera kepala dimana semakin tinggi skor Marshall maka semakin tinggi pula angka mortalitasnya, namun akan terjadi penurunan kategori cedera difus grade IV yang dilakukan dengan mengevakuasi lesi massa karena operasi pada pasien.14,15

Berdasarkan tabel 4 angka Glasgow Outcome Scale, penelitian ini hampir sama dengan penelitian di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou, Manado, pada tahun 2010-2011, sebanyak 18 orang meninggal dunia sedangkan 7 orang masih hidup. Hal ini terjadi karena sampel yang digunakan adalah pasien resusitasi otak dengan cedera kepala berat yang tidak dioperasi. Sampel ini juga ditemukan dengan lesi massa non-evakuasi derajat III dan IV difus yang memiliki prognosis buruk dengan mortalitas mencapai 100% dan tidak ada perbaikan otak. Diobati atau tidak diobati masih memiliki prognosis yang buruk. Selain itu, terdapat faktor http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2024.V13.i02.P15

risiko usia dimana semakin bertambahnya usia, semakin besar risiko outcome yang buruk pada pasien cedera kepala berat.3,16

Pada tabel 5, regimen resusitasi otak di RS Sanglah Denpasar menggunakan cairan kristaloid, manitol dan antikonvulsan sebagai regimen resusitasi otak. Cairan kristaloid merupakan cairan awal yang digunakan pada pasien trauma dengan keunggulan murah, mudah didapat, tidak menimbulkan alergi, dan efektif untuk memulihkan cairan tubuh sehingga cairan kristaloid menjadi regimen utama resusitasi otak. Ulasan ini sebanding dengan penelitian ini karena larutan kristaloid diberikan kepada semua pasien dengan cedera kepala berat sebagai manajemen awal.17

Cairan kristaloid yang diberikan pada regimen resusitasi otak adalah NaCl 0,9% dan ringer laktat. Normal saline digunakan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang, memperbaiki ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan menjaga tubuh tetap terhidrasi dengan baik. Ringer laktat adalah sejenis cairan kristaloid yang mengandung kalsium, kalium, laktat, natrium, klorida dan air, yang cocok untuk pasien cedera kepala berat yang mengalami perdarahan karena dapat terjadi asidosis laktat, sehingga ringer laktat cocok untuk mengoreksi hal tersebut.17

Manitol 20% adalah osmodiuretik yang akan membuat perbedaan osmolaritas. Dapat menarik air dari jaringan otak ke dalam pembuluh darah otak untuk mengurangi volume otak total dan mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan edema serebral dan hipertensi intrakranial. Terdapat kontraindikasi pemberian manitol yaitu pada pasien dengan hipotensi, karena penggunaan manitol tidak menurunkan TIK pada pasien hipovolemik dan dapat memperburuk hipotensi dan iskemia serebral. Hanya pasien yang tidak hipotensi yang diberikan manitol 20%. Hal ini sesuai dengan penelitian ini bahwa tidak semua pasien dengan cedera kepala berat diberikan manitol 20% sebagai regimen resusitasi otak mereka.18

Fenitoin adalah obat antiepilepsi generasi pertama dan telah disetujui FDA sebagai obat profilaksis untuk kejang selama dan setelah operasi saraf. Fenitoin diberikan dalam 24 jam pertama setelah cedera kepala dengan dosis muatan 10-20 mg/kgBB. Ulasan ini sebanding dengan penelitian ini. Hanya 2 orang yang tidak diberikan fenitoin mungkin karena tidak ada lesi fokal tetapi mengalami edema serebral, cedera difus, pembengkakan batang otak yang menyebabkan iskemia otak dan akhirnya kematian. Resusitasi otak yang dilakukan pada pasien cedera difus tidak berpengaruh karena terdapat kerusakan luas yang terjadi pada gagal napas ekstrakranial, hipoksia, dan edema serebral intrakranial, yang berdampak pada peningkatan TIK, penurunan perfusi dan iskemia otak sehingga dapat menyebabkan kematian otak.19

Berdasarkan tabel 6, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian dari Universitas Sam Ratulangi Manado. Sebanyak 14 pasien (56%) meninggal pada >48 jam, sedangkan pada kelompok <48 jam, sebanyak 4 orang. Hal yang membedakan penelitian ini adalah kriteria inklusi sampel dalam penelitian, dimana penelitian di Manado juga

P a g e 83

menggunakan pasien yang masih dapat diobati dengan luka massa yang dievakuasi sehingga mortalitas pasien yang bertahan lebih dari 48 jam lebih tinggi. Berdasarkan penelitian dari Mbemba, ada hubungan antara kematian dini dengan peningkatan Marshall CT Score. Pada lesi massa yang tidak dievakuasi, kematian pasien mencapai 100% karena adanya total edema, dan tekanan akan diteruskan ke segala arah, menyebabkan hipertensi intrakranial, tidak ada perfusi intra-arteri dan menyebabkan otak menjadi iskemik. Jika otak iskemik dan berlangsung lama, akan menyebabkan kematian otak. Pada mortalitas kurang dari 48 jam setelah terjadinya cedera karena aliran darah otak akan berkurang lebih dari setengah aliran darah otak normal sehingga otak dapat mengalami iskemia yang pada akhirnya akan menyebabkan hipotensi.9,15,16

SIMPULAN DAN SARAN

Pasien dengan resusitasi otak pada cedera kepala berat paling banyak ditemukan pada rentang usia di atas 45 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. GCS total awal yang paling sering ditemukan dengan skor 3-5 dan dengan GOS 1. Resusitasi otak pada cedera kepala berat diberikan kristaloid berupa NaCl 0,9% dan Ringer laktat, serta diberikan manitol 20%, dan antikonvulsan. diberikan dalam bentuk fenitoin. Angka kematian per jam adalah yang paling umum, kurang dari 48 jam.

Terdapat keterbatasan dalam penelitian ini yaitu hanya dilakukan pada pasien dengan cedera kepala berat yang tidak menjalani kraniektomi dekompresi (pembedahan). Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan mengenai hal ini. Pihak terkait diharapkan dapat mengedukasi masyarakat tentang menjaga dan lebih memperhatikan keselamatan diri dalam bekerja dan beraktivitas.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Romner B, Grände P-O. “Traumatic brain injury: Intracranial pressure monitoring in traumatic brain injury”. National Rev Neurology. 2013;9(4):185–6.

  • 2.    Tagliaferri F, Compagnone C, Korsic M, Servadei F, Kraus J. “A systematic review of brain injury epidemiology in Europe”. Acta Neurochirurgica. 2006;148(1):255-268.

  • 3.    Indharty R. “The increase of serum Bcl-2 concentration in moderate head injury outcome: The role of ACTH 4-10 Pro 8 -Gly 9 -Pro 10”. Asian J Neurosurgery. 2013;8(2):83.

  • 4.    Niryana W. “Risk Factors of High Intracranial Pressure and the Related Outcomes in Subjects With Severe Head Injury in Sanglah General Hospital Denpasar”. Neurologi Spinale Med Chir. 2018;1(3):52–5.

  • 5.    Mustarhfiroh, Saragih SGR, Natalia D. Hubungan antara Glassgow Coma Scale dan Tingkat Mortalitas

pada pasien Cedera Kepala dengan Lesi Perdarahan Subarachnoid. Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. 2018;4(01):1.

  • 6.    Holmes JF, Palchak MJ, MacFarlane T, Kuppermann N. “Performance of the pediatric Glasgow Coma Scale in children with blunt head trauma”. Acad Emerg Med. 2005;12(9):814–9.

  • 7.    Fiddiyanti ilma, Trimurtini I, Tri Ghana A. “Korelasi Ct-Scan Kepala Dengan Glasgow Coma Scale (Gcs) 13-15 Pada Pasien Cedera Kepala Ringan Di Rumah Sakit Dustira Cimahi”. Med Kartika Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2020;3(Volume 3 No 2):113–25.

  • 8.    Procaccio F, Stocchetti N, Citerio G, Berardino M, Beretta L, Della Corte F, et al. “Guidelines for the treatment of adults with severe head trauma (part II). Criteria for medical treatment”. J Neurosurg Sci. 2000 Mar;44(1):11–8.

  • 9.    Afiani N. Resusitasi Cairan Pada Cedera Kepala. Jurnal Ilmu Kesehat Media Husada. 2015;4(1):75–83.

  • 10.    ATLS. “Advanced trauma life support. Vol. 48, American College of Surgeons”. 2018. 102–125 p.

  • 11.    Siahaya N, Huwae LBS, Angkejaya OW, Bension JB, Tuamelly J. Prevalensi Kasus Cedera Kepala Berdasarkan Klasifikasi Derajat Keparahannya Pada Pasien Rawat Inap Di Rsud Dr. M. Haulussy Ambon Pada Tahun 2018. Molucca Medica. 2020;12(1):14– 22.

  • 12.    Qodir A. Penatalaksanaan Pasien Lansia Dengan Trauma. Jurnal Ilmu Kesehatan Media Husada. 2015;4(1):67–74.

  • 13.    Hartoyo M, Raharjo SS, Budiyati. “Predictor’s Factors of Mortality of Patients Suffering from Severe Head Injury in Emergency Department at General Hospital Tugurejo Semarang”. J Ris Kesehat. 2012;1(3).

  • 14.    Yogipranata RM, Sukmaningtyas H. Korelasi diameter selubung nervus optik dan marshall ct. Neurona. 2018;35(3):6–7.

  • 15.    Kumoro TAC, Saragih SGR, Natalia D, Ilmu SMF, Saraf B, Abdul R, et al. Korelasi Marshall CT Score sebagai Prediktor Mortalitas pada Penderita Cedera Kepala di RSUD dr Abdul Aziz Singkawang. 2019;5(1),1507–18.

  • 16.    Rawis ML, Lalenoh DC, Kumaat LT. Profil pasien cedera kepala sedang dan berat yang dirawat di ICU dan HCU. e-CliniC.2016;1(3).

  • 17.    Posangi I. Penatalaksanaan Cairan Perioperatif Pada Kasus Trauma. Jurnal Biomedik. 2013;4(1).

  • 18.    Yulianti Bisri D. Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak Traumatik: apakah masih diperlukan. Jurnal Neuroanestesi Indonesia. 2013;2(3):177–87.

  • 19.    Ruslami R, Bisri T. “The Use of Antiepileptic Drugs for Posttraumatic Seizure Prophylaxis after Traumatic Brain Injury”. Neuroanastesi Indonesia. 2016;5(1):77–

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2024.V13.i02.P15

P a g e 84