ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 11 NO.5,MAY, 2022


Diterima: 2022-01-11 Revisi: 2022-02-11 Accepted: 2022-05-16

HUBUNGAN ANTARA SKOR KELAINAN ANATOMI SINUS PARANASAL DAN KAVUM NASI DENGAN SINUSITIS PARANASAL MENURUT GAMBARAN CT-SCAN SINUS PARANASAL PADA PASIEN DENGAN KLINIS SINUSITIS

Dessy Maria1, Made Widhi Asih2, Ni Nyoman Margiani2, I Gde Raka Widiana2, Putu Patriawan2, Nyoman Srie Laksminingsih2 1. Program Pendidikan Dokter Spesialis, Program Studi Ilmu Radiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

  • 2.    Departemen KSM Radiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar-Bali

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Sinusitis adalah proses peradangan dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal. Penyebab utama terjadinya sinusitis adalah gangguan drainase dan patensi kompleks ostiomeatal (KOM). Variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis menjadi faktor predisposisi terhadap kejadian sinusitis. Tujuan penelitian adalah menilai hubungan antara skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi dengan sinusitis paranasal menurut gambaran CT-scan sinus paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional retrospektif pada pasien dengan klinis sinusitis di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2020-2021. Sampel penelitian berjumlah 60 orang dengan usia di atas 21 tahun yang diambil secara consecutive sampling dari rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi. Analisis sinusitis dan skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi masing-masing dilakukan oleh seorang Radiolog Konsultan dilanjutkan dengan analisis data. Dari hasil uji beda proporsi antara kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi dengan sinusitis maupun antara skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi dengan sinusitis didapatkan tidak ada hubungan dengan nilai p>0,05. Pada hasil uji korelasi multivariat antara skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi dengan sinusitis setelah dikontrol dengan umur, jenis kelamin dan riwayat alergi secara statistik tampak tidak berhubungan dengan nilai p yang didapat semuanya >0,05. Tidak tampak korelasi antara skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi dengan sinusitis menurut gambaran CT-scan sinus paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis dengan nilai p 0,105. Masih diperlukan perbaikan metode penelitian lebih lanjut dengan desain penelitian analitik menggunakan rancangan prospektif.

Kata kunci : sinusitis., kelainan anatomi., CT-scan sinus paranasal

ABSTRACT

Sinusitis is an inflammatory process of one or more of the mucous membranes of the paranasal sinuses. The main causes of sinusitis are drainage disorders and patency of the ostiomeatal complex (OMC). Anatomical variations of the nose and paranasal sinuses are among the factors causing drainage disorders and are suspected to be predisposition factors to sinusitis. The aim of this study was to assess the relationship between paranasal sinus and nasal cavity anatomical abnormalities scores with paranasal sinusitis according to CT-scan images of paranasal sinuses in patients with clinical sinusitis. This study was designed as an analytical observational study with a retrospective cross-sectional approach in patients with clinical sinusitis at Sanglah General Hospital Denpasar in 2020-2021. The sample of this study was 60 people over 21 years of age taken by consecutive sampling from medical records that met the inclusion criteria. Analysis of sinusitis and anatomical abnormalities of the paranasal sinuses and nasal cavity were carried out by a Consultant Radiologist, followed by data analysis. From the test results, the proportion difference between paranasal sinus and nasal cavity anatomy abnormalities with sinusitis and between paranasal sinus and nasal cavity anatomical abnormalities scores with sinusitis found no relationship with p>0.05. In the multivariate correlation between the paranasal sinus and nasal cavity anatomical abnormalities scores with sinusitis after controlling age, sex and history of allergies, statistically the p-value is >0.05. There is no correlation between the anatomical score of the paranasal sinus and nasal cavity with sinusitis according to CT-scan of the paranasal sinuses in patients with clinical sinusitis with a p value of 0.105. It is still necessary to improve further research methods with analytical research designs using prospective designs. Keywords:sinusitis.,anatomical abnormalities.,sinusparanasalCT-scan.

PENDAHULUAN

Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal. Istilah rinosinusitis akhir-akhir ini sering digunakan untuk mengganti istilah sinusitis karena jarang peradangan mukosa sinus yang berdiri sendiri. Salah satu penyebab utama pada sinusitis adalah gangguan drainase terhadap patensi kompleks ostiomeatal (KOM). Variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis seperti: onodi cell, agger nasi cell, bula etmoid, prosesus unsinatus, concha bullosa, haller cell, agenesis sinus frontalis, dan deviasi septum nasi merupakan salah satu faktor penyebab gangguan drainase hidung dan sinus paranasalis dan diduga menjadi faktor predisposisi terhadap kejadian sinusitis. Variasi anatomi tersebut dapat menyebabkan obstruksi terhadap kompleks ostiomeatal (KOM) dan mengganggu pembersihan mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya rinosinusitis.1,2

Data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2016 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69% - nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF (Bedah sinus endoskopik fungsional). Dilaporkan 3,7% insiden komplikasi intrakranial dari semua pasien yang datang ke rumah sakit dengan gejala klinik rinosinusitis. 35-65% rinosinusitis sebagai sumber abses subdural.3

Gambaran anatomi sinus paranaslis pada CT-scan merupakan kondisi awal yang harus diketahui sebelum pembedahan sinus endoskopi begitu juga dengan evaluasi perluasan penyakit, sehingga membantu operator dalam mengarahkan operasi sesuai dengan luasnya kelainan yang ditemukan.4 CT-scan merupakan metode yang baik untuk evaluasi struktur anatomi karena dapat memperlihatkan dengan jelas struktur anatomi hidung dan sinus paranasal seperti kondisi kompleks ostiomeatal, kelainan anatomi, visualisasi ada atau tidaknya jaringan patologis di 4 sinus dan perluasannya5. Pemeriksaan CT-scan mampu memberikan gambaran struktur anatomi pada area yang tidak tampak melalui endoskopi. Pemeriksaan ini sangat baik dalam memperlihatkan anterior ethmoid cells, dua

pertiga atas kavum nasi dan resesus frontalis. Pada daerah ini CT-scan dapat memperlihatkan lokasi faktor penyebab sinusitis kronis, yaitu KOM6. Tujuan penelitian ini secara umum adalah menilai hubungan antara skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi dengan sinusitis paranasal menurut gambaran CT-scan sinus paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis.

TINJAUAN PUSTAKA

  • 2.1    Anatomi Sinus Paranasal dan Kavum Nasi

Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak. Bentuk sinus paranasal sangat bervariasi pada tiap individu dan semua sinus memiliki muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung yaitu sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri, sinus maksila kanan dan kiri (antrium Highmore) serta sinus sphenoid kanan dan kiri. Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sphenoidalis (terletak di belakang dahi). Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium.7,8

Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya pada fetus saat usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontalis dan sphenoidalis. Sinus maksilaris dan ethmoid sudah ada saat anak lahir sedangkan sinus frontalis mulai berkembang pada anak lebih kurang berumur 8 tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior sedangkan sinus sphenoidalis berkembang mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimum pada usia 15-18 tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan dipisahkan oleh sekat di garis tengah.0

Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis.10 Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi grup anterior yaitu frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior, ostia di meatus medius, pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring dan grup posterior yaitu ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis, ostia di meatus superior, pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring.11

Sinus maksilaris berbentuk piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apeks pada pars zygomaticus maxillae dan merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa. Sinus frontal memiliki tinggi 2,8 cm, lebar 2,4 cm dan dalam 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk, tidak simetris kanan dan kiri, volume pada orang dewasa ± 7cc, dan terletak di os frontalis. Sinus ethmoid berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara hidung dan mata. Sinus sphenoidal terletak pada korpus, alas dan prosessus tulang sfenoidalis dan volume pada orang dewasa ± 7 cc. Pada meatus medius yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.7

  • 2.2    Sinusitis Paranasal

Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan pada satu atau lebih sinus paranasal.12 Sinusitis dapat berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis8.

Sinusitis dapat bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 38 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Penyebab sinusitis akut adalah virus, bakteri, jamur, dan penyakit tertentu (fibrosis kistik). Penyebab sinusitis kronis adalah asma, penyakit alergi, dan gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir. Faktor predisposisi sinusitis yaitu gangguan fisik (akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik), gangguan faal hidung (oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok, polusi udara, atau karena panas dan kering), kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran (atresia atau stenosis koana, deviasi septum, hipertrofi konka media, polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik, tumor atau neoplasma, hipertroti adenoid, udem mukosa karena infeksi atau alergi, benda asing), berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek, trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal, dan kelainan imunologi didapat (imunodefisiensi karena leukemia dan imunosupresi oleh obat).13

Penegakan diagnosis sinusitis secara umum yaitu terdapat gejala dan tanda 2 mayor dan ≥2 kriteria minor. Kriteria mayor yaitu sekret nasal yang purulen, drainase faring yang purulen, purulen post nasal drip, batuk, foto rontgen (Water’s): air fluid level atau penebalan mukosa > 50% antrum, dan CT-scan koronal: penebalan atau opasifikasi mukosa sinus dan/atau air fluid level. Kriteria minor yaitu edema periorbital, sakit kepala, nyeri di wajah, sakit gigi, nyeri telinga, sakit tenggorokan, nafas berbau, bersin-bersin bertambah sering, demam, tes sitologi nasal (smear): neutrophil dan bakteri, dan ultrasound.7

  • 2.3    Gambaran CT-Scan Sinus Paranasal

CT-scan, memiliki sensitivitas dan spesifisitas (92% dan 94 % dengan positive predictive value 90% dan negative predictive value 95%) yang sangat baik untuk diagnosis sinusitis akut, menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi pernafasan atas dan 40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan diagnosis, luas dan beratnya sinusitis. Selain itu, CT-scan juga baik untuk menilai adanya kelainan anatomi pada sinus paranasal seperti agger nasi cell, haller cell, onodi cell, concha bullosa, deviasi septum nasi.14

  • 2.4    Hubungan antara Skor Kelainan Anatomi Sinus Paranasal dan Kavum Nasi dengan Sinusitis Paranasal Menurut Gambaran CT-scan

Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Pemeriksaan radiologis yang disarankan untuk membantu penegakkan diagnosis sinusitis adalah CT-scan potongan aksial, koronal dan sagital karena sensitifitas dan spesifisitasnya yang tinggi. Pemeriksaan ini dapat melihat adanya penebalan mukosa sinus, opasifikasi sinus dan adanya air-fluid level. Selain itu pemeriksaan CT-scan juga dapat membantu menilai perluasan sinusitis, komplikasi, dan menilai adanya kelainan anatomi yang menjadi faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi berdasarkan pemeriksaan CT-scan adalah hasil penjumlahan abnormalitas anatomi yang ditemukan pada CT-scan.

  • 1.    BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan desain studi analitik observasional dengan metode pendekatan potong lintang dan telah mendapatkan izin kelaikan etik (Ethical Clearance) dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (FK Unud) dengan nomor 1825/UN14.2.2.VII.14/LT/2020. Penelitian dilaksanakan di Instalasi Rekam Medis dan Instalasi Radiologi RSUP Sanglah Denpasar-Bali mulai dari bulan Mei 2020 hingga Juni 2021. Populasi target pada penelitian ini adalah populasi target pada penelitian ini adalah semua pasien berusia > 21 tahun yang dikirim untuk melakukan pemeriksaan CT-scan sinus paranasal dengan klinis sinusitis, dengan populasi terjangkau yaitu populasi terjangkau adalah semua pasien berusia > 21 tahun yang dikirim untuk melakukan pemeriksaan CT-scan sinus paranasal dengan klinis sinusitis yang dilakukan di Instalasi Radiologi Sentral RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari 2018 hingga Januari 2020 sejumlah 60 orang. Sampel dipilih dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi melalui metode konsekutif sampling. Kriteria inklusi yaitu berumur >21 tahun dan memiliki gambaran klinis sinusitis berdasarkan rekam medis. Kriteria eksklusi yaitu data rekam medis pasien tidak lengkap, gambaran CT-scan yang tidak layak baca seperti bergerak maupun gambaran yang tidak lengkap, pasien dengan tumor sinonasal, dan pasien trauma yang mengalami hematosinus. Data penelitian merupakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medis pasien, CT-scan sinus paranasal yang dengan syarat mempunyai irisan axial reformat coronal dan sagital dengan alat CT-scan Philips Brilliance 64-slice ketebalan irisan minimal 1.25 mm, dan system picture archieving and communication system (PACS) untuk menganalisis hasil CT-scan sinus paranasal. Variabel dependen adalah sinusitis berdasarkan pemeriksaan CT-scan sinus paranasal yaitu ditemukan adanya gambaran penebalan mukosa sinus, opasitas dan/atau adanya air-fluid level di satu atau lebih sinus paranasal yang terdiri dari sinus maksilaris, sinus frontalis,

sinus ethmoidalis, dan sinus sphenoidalis. Variabel independen adalah skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi berdasarkan pemeriksaan CT-scan sinus paranasal yaitu hasil penjumlahan dari abnormalitas anatomi (1. Ukuran terlebar masing-masing kelainan dalam mm dengan pembulatan lebih dari sama dengan 0,5 mm ke atas dan kurang dari 0,5 mm ke bawah, 2. Untuk Onodi cell, Haller cell, Agger nasi cell, Concha bullosa, agenesis sinus frontalis, tipe dibagi berdasarkan: unilateral diberi skor 1, bilateral diberi skor 2, 3. Untuk deviasi septum nasi tipe ditentukan berdasarkan klasifikasi Mladina dan dibagi menjadi 7 tipe yaitu tipe 1 midline septum or Mild deviation; tipe 2 anterior vertical, C-Shaped; tipe 3 posterior vertikal, C-shaped; tipe 4 S-shaped deviation; tipe 5 horizontal spur; tipe 6 horizontal spur with deep groove on the concave side; tipe 7 kombinasi, dimana tipe 1-6 mendapat skor 1, sementara tipe 7 mendapat skor 2, 4.

Untuk concha bullosa, tipe ditambahkan dengan pembagian posisi pneumatisasi dan dibagi menjadi 3 tipe yaitu tipe 1 lamellar, pneumatisasi dari lamella vertical konka; tipe 2 bulbous, pneumatisasi dari segmen bulbus konka; tipe 3 total (extensive), pneumatisasi dari segmen bulbus dan lamella konka, di mana tipe 1 dan 2 mendapat skor 1 dan tipe 3 mendapat skor 2). Variabel kendali mencakup jenis kelamin, umur, dan riwayat alergi. Data penelitian dicatat pada lembar pengumpulan data yang telah dipersiapkan.

Pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat lunak Statistical Package for the Social Science (SPSS) versi 24.0. Analisis statistik deskriptif/univariat digambarkan dalam bentuk tabel distribusi tunggal. Analisis bivariat dilakukan melalui uji Chi-Square dengan tingkat signifikansi (α) 0,05 untuk menggambarkan kejadian sinusitis berdasarkan ada/tidaknya kelainan anatomi sinus paranasal dan cavum nasi pada pemeriksaan CT scan sinus paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis. Analisis regresi logistik sederhana untuk menilai hubungan antara skor kelainan anatomi sinus paranasal dan cavum nasi dengan sinusitis paranasal pada pemeriksaan CT scan sinus paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis dengan menggunakan odds rasio yang menunjukkan peningkatan risiko terjadinya sinusitis setiap peningkatan 1 skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi. Analisis regresi logistik berganda untuk menilai hubungan antara skor kelainan anatomi sinus paranasal dan cavum nasi dengan sinusitis paranasal pada pemeriksaan CT scan sinus paranasal pada pasien dengan gambaran klinis sinusitis dengan mengontrol faktor umur, jenis kelamin, dan riwayat alergi. Besarnya efek variabel independen terhadap variabel dependen menggunakan parameter adjusted odds ratio dengan interval kepercayaan IK 95% dan p < 0,05.

  • 2.    HASIL

Penelitian ini mengikutsertakan 60 sampel. Terdapat 6 variabel yaitu usia, jenis kelamin, riwayat alergi, sinusitis berdasarkan pemeriksaan CT-scan, kelainan anatomi sinus paranasal dan cavum nasi menurut gambaran CT-scan sinus

paranal, dan skor kelainan anatomi sinus paranal dan kavum nasi menurut gambaran CT-scan.

  • 4.1    Analisis Univariat

    Tabel 1.     Tabel karakteristik sampel berdasarkan usia

    jenis kelamin dan riwayat alergi

    Variabel

    n=60

    Usia (tahun), rerata ± SB

    45,4 ± 15,9

    Jenis kelamin:

    Laki-laki

    40 (66,67%)

    Perempuan

    20 (33,33%)

    Riwayat alergi:

    Ya

    35 (58,3%)

    Tidak

    25 (41,7%)

Berdasarkan Tabel 1, didapatkan bahwa rerata usia yaitu 45,4 tahun dengan simpangan baku kurang lebih 15,9 tahun. Sementara itu, jumlah laki-laki dengan klinis sinusitis pada penelitian ini sebanyak 40 orang (66,7%) dan perempuan sebanyak 20 orang (33,3%). Riwayat alergi subjek penelitian, didapatkan pasien dengan klinis sinusitis yang memiliki riwayat alergi sebanyak 35 orang (58,3%) dan yang tidak memiliki riwayat alergi sebanyak 25 orang (41,7%).

Tabel 2. Tabel karakteristik sampel berdasarkan sinusitis paranasal menurut gambaran CT-scan

Variabel

n=60

Sinusitis paranasal menurut

gambaran CT-scan:

Ya

53 (88,3%)

Tidak

7 (11,7%)

Sinusitis maksilaris:

Ya

48 (80%)

Tidak

12 (20%)

Sinusitis frontalis:

Ya

30 (50%)

Tidak

30 (50%)

Sinusitis ethmoidalis:

Ya

34 (56,7%)

Tidak

26 (43,3%)

Sinusitis sphenoidalis:

Ya

28 (46,67%)

Tidak

32 (53,33%)

Berdasarkan Tabel 2, subjek penelitian dengan sinusitis pada CT-scan sebanyak 53 orang (88,3%) dan subjek penelitian yang tidak sinusitis sebanyak 7 orang (11,7%). Pada penelitian ini didapatkan pasien dengan sinusitis maksilaris sebanyak 48 orang (80%), sinusitis frontalis sebanyak 30 orang (50%), sinusitis ethmoidalis sebanyak 34 orang (56,7%) dan sinusitis sphenoidalis sebanyak 28 orang (46.67%).

Tabel 3.     Tabel   karakteristik

sampel  berdasarkan

Berdasarkan Tabel 4, didapatkan nilai minimum sebesar 0

kelainan anatomi sinus nasi menurut gambaran

paranasal dan kavum CT-scan

dan nilai maksimum 172 dengan rerata skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi sebesar 18,50 dengan simpangan baku kurang lebih 24,30. Skor Onodi cell memiliki nilai rerata 4.08 dengan simpangan baku kurang lebih 6,39, Agger nasi cell memiliki nilai rerata 5.3 dengan simpangan baku kurang lebih 15,22, Haller cell mempunyai nilai rerata 3,13 dengan simpangan baku kurang lebih 7,73, Concha bullosa mempunyai nilai rerata 1,70 dengan simpangan baku kurang lebih 3,26 dan deviasi septum nasi mempunyai nilai rerata 18,50 dengan simpangan baku kurang lebih 24,30.

4.2 Analisis Bivariat

Variabel

n=60

Kelainan anatomi sinus paranasal dan cavum nasi menurut gambaran CT-scan sinus paranasal:

Ya

Tidak

Agenesis sinus frontalis:

Ya

Tidak

Onodi cell:

53 (88,3%)

7 (11,7%)

3 (5%) 57 (95%)

Ya Tidak Agger nasi cell:

Ya Tidak

21 (35%)

39 (65%)

21 (35%)

39 (65%)

Tabel 5.     Distribusi sinusitis berdasarkan ada tidaknya

kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi  menurut  gambaran  CT-scan  sinus

paranasal

Haller cell:

Ya Tidak

14 (23,33%)

46 (76,67%)

Variabel           Sinusitis        PR    IK   Nilai

95%

Ya    Tidak                 p

Concha Bullosa: Ya Tidak Deviasi septum nasi:

14 (23,33%)

46 (76,67%)

Kelainan   Ya     46       7     1,152  1,037 0,584

anatomi        (86,8%) (13,2%)          –

Tidak    7        0            1,280

(100%)  (0,0%)

Ya Tidak

40 (66,67%)

20 (33,33%)

Berdasarkan Tabel 5, dari hasil uji beda proporsi

Berdasarkan Tabel 3, didapatkan subjek penelitian dengan kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi sebanyak 53 orang (88,3%) dan subjek penelitian yang tidak terdapat kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi sebanyak 7 orang (11,7%). Kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi yang dinilai ada 6 yaitu agenesis sinus frontalis, Onodi cell, Agger nasi cell, Haller cell, Concha bullosa dan deviasi septum nasi. Pada penelitian ini didapatkan pasien dengan agenesis sinus frontalis sebanyak 3 orang (5%), Onodi cell sebanyak 21 orang (35%), Agger nasi cell sebanyak 21 orang (35%), Haller cell sebanyak 14 orang (23,33%), Concha bullosa sebanyak 14 orang (23,33%) dan deviasi septum nasi sebanyak 40 orang (66,67%).

Tabel 4.     Tabel karakteristik sampel berdasarkan skor

kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi menurut gambaran CT-scan

antara kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi dengan sinusitis menurut gambaran CT-scan sinus paranasal didapatkan dari 53 orang subjek penelitian dengan kelainan anatomi ditemukan adanya sinusitis sebanyak 46 orang (86,8%) dan yang tidak mengalami sinusitis sebanyak 7 orang (13,2%), sementara dari 7 orang subjek penelitian yang tidak ada kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi ditemukan semuanya mengalami sinusitis (100%).

Dari analisa tersebut didapatkan nilai prevalence ratio 1,152 dengan IK95% 1,037 – 1,280 dan nilai p 0,584 (> 0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan antara kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi dengan sinusitis menurut gambaran CT-scan sinus paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis.

4.3 Analisis Regresi Logistik Sederhana

Variabel

n=60

Tabel 6.     Hasil uji regresi logistik sederhana hubungan

Skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi menurut gambaran CT-scan sinus paranasal, rerata ± SB

Skor Onodi cell, rerata ± SB Skor Agger nasi cell, rerata ± SB Skor Haller cell, rerata ± SB Skor Concha Bullosa, rerata ± SB Skor deviasi septum nasi, rerata ± SB

18,5 ± 24,3 4,08 ± 6,39 5,3 ± 15,2 3,13 ± 7,73

1,7 ± 3,3 4,23 ± 4,25

skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi dengan sinusitis menurut gambaran CT-scan

Variabel     OR     IK95%     Nilai p

Skor kelainan   0,972  0,938 – 1,006    0,105

anatomi

Berdasarkan Tabel 6, didapatkan Odds Ratio(OR) 0,972 dengan IK95% CI (Confidence Interval) 0,938 – 1,006 (melampaui 1) dan nilai p 0,105 (>0,05). Secara

keseluruhan, dari nilai tersebut didapatkan tidak ada hubungan antara skor kelainan kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi dengan sinusitis menurut gambaran CT-scan pada pasien dengan klinis sinusitis.

  • 4.3 Analisis Regresi Logistik Berganda

Tabel 7.     Hasil uji regresi logistik berganda hubungan

skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi dengan sinusitis  menurut

gambaran CT-scan  setelah mengendalikan

variabel usia, jenis kelamin dan riwayat alergi

Variabel     AOR     IK95%     Nilai p

Skor kelainan  0,968  0,929 – 1,0080,118

anatomi

Usia (tahun)    0,960   0,905 – 1,0180,175

Jenis kelamin   0,955   0,150 – 6,0890,961

Riwayat alergi   0,535   0,083 – 3,4350,510

  • 3.    PEMBAHASAN

Karakteristik jenis kelamin subjek penelitian didapatkan jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah wanita dengan perbandingan 2:1, di mana secara epidemiologi didapatkan bahwa wanita memiliki kemungkinan mengalami sinusitis 20,3% sementara laki-laki 11,5%. Walaupun demikian, pada penelitian mengenai sinusitis kronis di Pennsylvania tahun 2020 didapatkan bahwa laki-laki memiliki proporsi terkena sinusitis lebih besar daripada wanita (16,1% : 11,1%) dimana penelitian ini memakai 646 subjek penelitian dengan populasi terjangkau penelitian adalah pasien yang berobat di primary care dengan keluhan sinusitis15. Hal ini menunjukkan bahwa pada populasi umum, didapatkan secara gender, perempuan lebih banyak menderita sinusitis sementara pada populasi dimana subjek sudah memiliki gejala sinusitis didapatkan laki-laki lebih banyak menderita sinusitis, sehingga hasil penelitian ini masih sesuai dengan penelitian sebelumnya di Pennsylvania tahun 2020.

Karakteristik subjek penelitian yang lain adalah riwayat alergi di mana didapatkan lebih banyak dengan riwayat alergi yaitu sebesar 58,3% (35 orang). Hal ini sesuai dengan teori bahwa faktor predisposisi dari terjadinya sinusitis meliputi alergi, merokok, polusi udara, kelainan anatomi, imunodefisiensi, kekurangan gizi13. Alergi dapat memproduksi sekret yang berlebih sehingga dapat mengganggu aktivitas mukosilia dan akhirnya menyebabkan gangguan drainase pada sinus paranasal.

Dari penelitian ini didapatkan sinus yang mengalami sinusitis terbanyak menurut urutannya adalah sinus maksilaris 80% (48 orang), sinus ethmoidalis 56,7% (34 orang), sinus frontalis 50% (30 orang), dan sinus sphenoidalis 46,67% (28 orang). Hal ini sesuai dengan teori dimana sinus tersering yang mengalami sinusitis adalah sinus maksilaris dan sinus ethmoidalis. Sinus ethmoidalis merupakan sinus paranasal pertama yang berhubungan dengan cavum nasi dan mempunyai banyak selulae yang saling berhubungan sedangkan sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar yang mempermudah terjadinya sinusitis. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya ditemukan kelainan anatomi tersering yang menyertai sinusitis adalah deviasi septum nasi.16,17 Hal ini juga

sesuai dengan teori tentang pengaruh aerodinamik di mana deviasi septum nasi dapat menyebabkan peningkatan kecepatan aliran udara dalam rongga nasal yang menyebabkan mukosa kering dan fungsi mukosilia berkurang.

Kelainan anatomi terbanyak yang ditemukan menurut urutannya adalah deviasi septum nasi sebesar 66,67% (40 orang), diikuti onodi cell dan agger nasi cell sebesar 35% (21 orang), haller cell dan concha bullosa sebesar 23,33% (14 orang) dan yang tersedikit adalah agenesis sinus frontalis sebesar 5% (3 orang).

Hubungan antara kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi dengan sinusitis menurut gambaran CT-scan pada pasien dengan klinis sinusitis yaitu didapatkan bahwa dari 53 orang subjek penelitian dengan kelainan anatomi ditemukan 86,8% mengalami sinusitis dan 13,2% tidak mengalami sinusitis, sementara dari 7 orang subjek penelitian yang tidak ada kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi ditemukan semuanya mengalami sinusitis (100%). Hal ini dapat terjadi karena subjek penelitian pada penelitian ini dibatasi hanya pada orang dengan klinis sinusitis atau yang telah mengalami tanda dan gejala sinusitis. Pada orang yang telah mengalami tanda dan gejala sinusitis dan memiliki kelainan anatomi, ada 7 orang yang tidak mengalami sinusitis (13,2%). Hal ini dapat terjadi karena gejala yang muncul bisa saja bukan karena sinusitisnya (peradangan pada sinus) tetapi karena kelainan anatominya. Di sisi lain, bila pasien tidak ditemukan adanya kelainan anatomi dan mengalami gejala, maka gejala yang muncul memang disebabkan dari sinusitisnya, maka semuanya (100%) mengalami sinusitis.

Tidak ada hubungan antara skor kelainan kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi dengan sinusitis menurut gambaran CT-scan pada pasien dengan klinis sinusitis. Hal ini dapat terjadi karena pembatasan dari subjek penelitian yang memang sudah mengalami gejala sinusitis.

Skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi tidak ada hubungan dengan sinusitis setelah mengendalikan faktor umur, jenis kelamin dan riwayat alergi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai adjusted OR 0,968 dengan nilai IK95% 0,929 – 1,008 dan nilai p 0,118 (>0,05). Hal ini mungkin disebabkan bahwa kejadian sinusitis tidak hanya disebabkan oleh karena adanya kelainan anatomi, tetapi dari beberapa literatur disebutkan bahwa kejadian sinusitis juga dicetuskan oleh banyak faktor seperti karena alergi, infeksi, polusi udara, proses autoimun, genetik bahkan dapat pula karena idiopatik. Dan juga karena sepanjang variasi anatomi itu tidak mengganggu fungsi mukosilier, ventilasi dan drainase sinus (misalnya karena ukuran yang kecil) serta tidak menimbulkan gangguan respirasi, maka variasi anatomi ini tidak dikategorikan sebagai keadaan yang patologis.

Dengan demikian, masih terdapat beberapa kelemahan dalam penelitian ini, seperti penelitian masih menggunakan pendekatan potong lintang retrospektif dimana hanya mengambil data berdasarkan dari catatan rekam medis yang tersedia pada suatu waktu tertentu saja sehingga tidak semua data klinis dan perjalanan peyakit dapat diperoleh secara lengkap, subjek penelitian masih terbatas pada pasien yang memang sudah memiliki gejala klinis sinusitis, sehingga tidak dapat menggambarkan kondisi umum di populasi dan tidak menggambarkan secara umum bagaimana kelainan anatomi mempengaruhi terjadinya sinusitis, kelainan dan skoring masih

dilakukan secara umum sehingga sulit menentukan apakah masing-masing kelainan memiliki kontribusi tersendiri atau bersama-sama terhadap sinusitis secara umum atau spesifik pada sinusitis tertentu dan kasus sinusitis yang ditemukan sudah terjadi pada beberapa sinus sekaligus, sehingga sulit menentukan apakah kelainan anatomi berperan pada semua sinusitis atau pada sinusitis tertentu saja.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara skor kelainan anatomi sinus paranasal dan kavum nasi dengan sinusitis menurut gambaran CT-scan sinus paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis.

Hal yang dapat disarankan bagi para peneliti adalah perbaikan metodologi penelitian yaitu dengan menggunakan rancangan penelitian prospektif menggunakan 2 populasi yang memiliki kelainan anatomi dan yang tidak memiliki kelainan anatomi kemudian diikuti untuk dinilai apakah mengalami sinusitis agar dapat mengurangi bias yang timbul dalam penelitian sehingga hasil yang didapat menjadi lebih baik serta dilakukan penelitian terpisah pada masing-masing kelainan anatomi dan sinusitis yang spesifik dari lokasi kelainan anatomi serta grading dari masing-masing kelainan anatomi untuk mengetahui kontribusi kelainan terhadap kejadian sinusitis.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Pinheiro AD, Facer, Kem EB. 2003. Rhinosinusitis Current Concept and Management in Balley Head and Neck Surgery-Otolaryngology 3 rd edition. 346-69.

  • 2.    Rao JJ, et al. 2005. Classification Septum Nasal Deviations-Relation The Sinonasal Pathology. Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck Surgery. July-September 2005. 3

  • 3.    Punagi Q, dkk, (2008). Pola Penyakit. Sub Bagian Rinologi di RS Pendidikan Makassar periode 2003-2008. Bagian Ilmu kesehatan THT-KL. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

  • 4.    Muslim R (1999). Peran Tomografi Komputer dalam Deteksi Kelainan dan Sebagai Persiapan Pra Operasi Bedah Sinus Endoskopi Fungsional pada Penderita Sinusitis Kronik. Kumpulan Makalah Simposium Sinusitis. Bagian THT FK-UI/ RSUP Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta.

  • 5.    Zinriech, SJ. et al. (2001). Three-Dimensional Volumetric Display of the Nasal Ostiomeatal Channels and Paranasal Sinuses, American Journal of Roentgenology. 2001;176: 241-245.10.2214/ajr.176.1.1760241

  • 6.    Zinreich SJ, Gotwald T. (2001). Radiographic Anatomy of the Sinuses. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, editor. Diseases. Hamilton BC Decker Inc. 13-26.

  • 7.    Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505

  • 8.    Mangunkusumo, Endang, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3

  • 9.    Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2002, 115 – 119.

  • 10.    Shyamal, Kumar DE. Fundamental of Ear, Nose and Throat & Head-NeckSurgery. Calcuta: The New Book Stall; 1996. 191-8

  • 11.    Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok.Jakarta: EGC; 2000. 26-48

  • 12.    Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara;1997. 2-9

  • 13.    Tadjudin OA. Batuk Kronik Pada Anak Ditinjau Dari Bidang THT. 1992.31Http://www.kalbe.co.id [diakses tanggal 30 November 2008]

  • 14.    Noorian, Vahid. Et al. (2012). Assesssment od the Diagnosis Accuracy of Limited CT scan of Paranasal Sinusies in the Identification of Sinusitis. Iranian Red Cressent Medical Journal. 2012 Nov. 14(11):    709-712. doi:

10.5812/ircmj.1797

  • 15.    Kevin Hur, Kevin C. Welch, Asthma and Chronic Rhinosinusitis: Origins and Pathogenesis, The Unified Airway,       10.1007/978-3-030-50330-7,       (39-55),

(2020).Crossref.https://doi.org/10.1007/978-3-030-50330-7

  • 16.    Chalabi Y.E (2010). Clinical Manifestations in different types of nasal septal deviation.The N Iraqi J Med; 6 (3): 2429

  • 17.    Kuang, CT, (2004). Uncommon Anatomic Variation in Patiens with Cronic Paranasal Sinusitis. American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery. 09. 221-25.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2022.V11.i5.P10

62