PREVALENCE AND CHARACTERISTICS OF INFANTS WITH RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME IN THE NEONATUS INTENSIVE CARE UNIT OF SANGLAH HOSPITAL IN 2020
on

ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 12 NO.8,AGUSTUS, 2023

DOAJ
DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS
Diterima: 12-03-2023 Revisi: 02-05-2023 Accepted: 25-06-2023
PREVALENS DAN KARAKTERISTIK BAYI DENGAN SINDROM GAWAT NAPAS DI UNIT PERAWATAN INTENSIF NEONATUS RSUP SANGLAH TAHUN 2020
Ni Kadek Yusthiani Sukarta1, Dyah Kanya Wati2, Putu Mas Vina Paramitha Cempaka2, Komang Ayu Witarini2, Ayu Setyorini Mestika Mayangsari2
1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUP Sanglah Denpasar
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Sindrom gawat napas (SGN) adalah penyebab gangguan pernapasan pada bayi yang timbul beberapa jam setelah bayi lahir dan dapat menyebabkan henti napas bahkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran prevalens dan karakteristik bayi dengan SGN di unit perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah tahun 2020. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif potong lintang dengan pengambilan data secara retrospektif. Sampel penelitian ini adalah bayi usia 0-28 hari dengan SGN di ruang perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah yang tercatat dalam rekam medis lengkap dari 1 Januari 2020 hingga 31 Desember 2020. Prevalens bayi dengan SGN di unit perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah Tahun 2020 adalah 10,9%. Seluruhnya adalah kehamilan tunggal dengan mayoritas berusia 0 hari (63,9%), berjenis kelamin perempuan (52,8%), dan merupakan anak kedua (50%). Kebanyakan ibu sudah melakukan pemeriksaan kehamilan (91,7%), tanpa riwayat penyakit (75%), primipara (50%), dan ketuban pecah <24 jam (75%). Mayoritas bayi lahir dengan usia kehamilan sangat prematur (61,1%), dengan operasi sesar (55,6%), BBLSR (30,6%), dan skor APGAR 7-10 (75%). Sebanyak 36,1% bayi menggunakan alat bantu napas berupa CPAP dan mendapatkan antibiotik lini 1 (94,4%). Bayi dengan SGN memiliki variabilitas karakteristik yang meliputi karakteristik umum karaktetistik riwayat kehamilan dan persalinan. Saran bagi peneliti lain diharapkan kedepannya dilakukan penelitian studi analitik lebih lanjut.
Kata kunci : Bayi baru lahir, karakteristik, prevalens, sindrom gawat napas
ABSTRACT
Respiratory distress syndrome (RDS) is a cause of respiratory distress in baby that occurs several hours after newborns and can cause respiratory arrest and even death. This study aims to provide an overview of the prevalence and characteristics of infants with RDS in neonatal intensive care unit of Sanglah Hospital in 2020. This study used a cross-sectional descriptive approach with retrospective data. The study sample was infants aged 0-28 days with RDS in the neonatal intensive care unit of Sanglah Hospital who were recorded in complete medical records from January 1, 2020 to December 31, 2020. The prevalence of infants with RDS in the neonatal intensive care unit of Sanglah Hospital in 2020 was 10.9%. All of them were singleton pregnancies with a magnitude of 0 days (63.9%), female (52.8%), and second children (50%). Most of the mothers had done prenatal care (91.7%), without a history of disease (75%), primipara (50%), and ruptured membranes <24 hours (75%). Babies born with very premature gestational age (61.1%), by cesarean section (55.6%), low birth weight (30.6%), and APGAR score 7-10 (75%). A total of 36.1% of infants used a breathing apparatus in CPAP and received first-line antibiotics (94.4%). Infants with RDS have a high variability of characteristics including the general characteristics of the history of pregnancy and childbirth. The recommendation for other researchers are expect to conduct further analytical studies in the future.
Keywords : Newborns, characteristics, prevalens, respiratory distress syndrome
PREVALENS DAN KARAKTERISTIK BAYI DENGAN SINDROM GAWAT NAPAS DI UNIT PERAWATAN,. Ni Kadek Yusthiani Sukarta1, Dyah Kanya Wati2, Putu Mas Vina Paramitha Cempaka2, Komang Ayu Witarini2, Ayu Setyorini Mestika Mayangsari2
-
1. PENDAHULUAN
Sindrom gawat napas (SGN) adalah penyebab gangguan pernapasan yang sering menimpa bayi baru lahir, timbul dalam beberapa jam setelah bayi lahir. SGN dapat menyebabkan henti napas bahkan kematian, sehingga meningkatkan angka kesakitan dan kematian bayi baru lahir. SGN jarang terjadi pada bayi cukup bulan dan kerap menimpa bayi prematur. Insiden SGN dengan berat badan dan usia kehamilan dikatakan berbanding terbalik.1
SGN merupakan masalah paling banyak yang ditemukan di unit perawatan intensif neonatus yaitu sekitar 68%.2 Kejadian sindrom gawat napas di Indonesia diperkirakan terjadi sekitar 150.000 dari 950.000 bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Dari data tersebut, BBLR cukup banyak menyumbang kejadian SGN. Semakin rendah berat bayi maka semakin tinggi risiko mengalami SGN.3 Pada hasil data Riskesdas tahun 2010 di Provinsi Bali, prevalensi kejadian BBLR sebesar 12,1% didapatkan 181 dari 18.386 jumlah kelahiran hidup di kota Denpasar.4 SGN juga merupakan penyebab utama kematian pada bayi lahir prematur. Vermont Oxford Network melaporkan dari 8.156 bayi di Eropa selama tahun 2017, sekitar 80% bayi berusia 28 minggu terindikasi sindrom gawat napas dan meningkat menjadi 90% pada bayi usia kehamilan 24 minggu.5
Penelitian di unit perawatan intensif neonatus RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda dari 95 responden, didapatkan bayi yang mengalami SGN sebesar 83 orang (87,4%) dan bayi yang tidak mengalami SGN sebanyak 12 orang (12,6%). Berdasarkan data tersebut penyebab utamanya adalah karena paru-paru bayi belum cukup matur untuk berkembang akibat dari kurangnya produksi surfaktan.1
Surfaktan adalah bahan surface-active yang diproduksi oleh sel epitel saluran napas atau disebut juga sel pneumosit tipe II.6 Kekurangan surfaktan akan mengakibatkan alveolus kolaps dan daya kembang paru berkurang sehingga bayi akan mengalami sesak napas.7 Terapi surfaktan memegang peran penting dalam manajemen sindrom gawat napas karena dapat mengurangi pneumotoraks dan meningkatkan kelangsungan hidup bayi.5
Penelitian di RSUD Kanjuruhan Kepanjen tahun 2016, menunjukkan kematian BBLR preterm sebesar 76,9% dan 80% kematian pada bayi kurang bulan dengan BBLR akibat SGN. Penelitian mengenai predisposisi tingkat kejadian SGN pada neonatus preterm di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, didapatkan faktor predisposisi paling bermakna terhadap insiden RDS yakni asfiksia prenatal, berat lahir <1500 gr, persalinan sesar, usia gestasi 24-33 minggu, dismaturitas, jenis kelamin laki-laki, dan komplikasi maternal seperti hipertensi, eklampsi, dan ketuban pecah dini.8 Faktor yang dapat mengurangi risiko sindrom gawat napas adalah ketuban pecah lama, jenis kelamin perempuan, persalinan pervaginam, kortikosteroid antenatal, surfaktan, agen tokolitik dan tindakan pencegahan.6
Sindrom gawat napas tidak hanya menyebabkan sesak napas pada bayi, namun juga menyebabkan kematian pada bayi, oleh karena itu perlu diketahui tindakan pencegahan dari SGN diantaranya dapat dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi antenatal untuk memastikan kesehatan dan usia kehamilan yang akurat, memantau janin secara rutin, mencegah persalinan prematur, dan memastikan kematangan paru janin sebelum kelahiran. Modalitas terapi SGN sendiri yaitu kortikosteroid antenatal, terapi surfaktan, dan alat bantu pernapasan.6
Berdasarkan masalah tersebut, dilihat dari tingginya kejadian sindrom gawat napas di Indonesia sementara data mengenai sindrom gawat napas yang masih terbatas, khususnya di daerah Bali. Peneliti tertarik untuk membuat tulisan dengan topik prevalens dan karakteristik sindrom gawat napas untuk memberikan gambaran dan data terbaru mengenai SGN mengingat pentingnya hal tersebut.
-
2. BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dengan pengambilan data secara retrospektif menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data rekam medis pasien. Data yang diambil pada penelitian ini meliputi jenis kelamin, riwayat antenatal ibu, paritas, riwayat penyakit ibu, cara persalinan, pecah ketuban, usia kronologis, usia kehamilan, berat badan lahir, jumlah kehamilan, pemberian steroid antenatal, pemberian surfaktan, pemberian antibiotik, pemakaian alat bantu napas, skor APGAR, dan luaran pasien.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah bayi usia 028 hari dengan sindrom gawat napas di ruang perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah dengan data rekam medis lengkap dari tanggal 1 Januari 2020 hingga 31 Desember 2020. Bayi baru lahir yang mempunyai kelainan kongenital dan kelainan lain yang bermakna akan dieksklusi dalam penelitian ini. Pengumpulan sampel menggunakan teknik consecutive sampling dengan besar sampel minimal dalam penelitian ini adalah 97 sampel.
Data yang terkumpul dari rekam medis pasien akan diolah dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS). Kemudian data yang didapat setelah diolah akan di analisis untuk mendeskripsikan/menggambarkan data yang telah terkumpul.
Penelitian ini telah disetujui Komisi Etik Penelitian (KEP) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dengan nomor 3010/UN14.2.2.VII.14/LT/2021.
-
3. HASIL
Penelitian ini melibatkan 328 orang dengan jumlah sampel terdiagnosis SGN sebanyak 36 orang (10,9%). Dari 36 sampel tersebut merupakan bayi usia 0-28 hari dengan SGN di ruang perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah dengan data rekam medis lengkap dari tanggal 1 Januari 2020 hingga 31 Desember 2020.
Karakteristik sosiodemografi sampel disajikan dalam tabel 1. Bayi dengan SGN di unit perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah tahun 2020 didominasi berusia 0
hari secara kronologis dengan frekuensi 23 orang (63,9%). Mayoritas bayi tersebut merupakan rujukan dengan frekuensi 20 orang (55,6%). Sebagian besar bayi dengan SGN menggunakan BPJS untuk pembiayaan dengan frekuensi 24 orang (66,7%). Lebih dari setengah bayi dengan SGN berjenis kelamin perempuan dengan frekuensi 19 orang (52,8%).
Karakteristik riwayat kehamilan dan persalinan sampel disajikan dalam tabel 2. Bayi dengan SGN di unit perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah tahun 2020 kebanyakan merupakan anak kedua dengan frekuensi 18 orang (50,0%). Mayoritas bayi tersebut telah melalui pemeriksaan kehamilan sebelumnya dengan frekuensi 33 orang (91,7%).
Bayi dengan SGN di unit perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah tahun 2020 dominan lahir dari ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya (primipara) dengan frekuensi 18 orang (50%). Sebagian besar bayi yang diamati dalam penelitian ini lahir dari ibu yang tidak memiliki riwayat penyakit apapun yakni sekitar 27 orang (75,0%). Lebih dari setengah bayi tersebut juga lahir dari ibu yang mengalami ketuban pecah <24 jam dengan frekuensi 27 orang (75,0%). Semua bayi dengan SGN yang diamati tidak memiliki riwayat prenatal pemberian steroid antenatal sebelumnya.
Tabel 1. Karakteristik sampel penelitian berdasarkan anamnesis umum
23
63,9
Variabel |
Frekuensi |
Persentase |
(orang) |
(%) |
Usia
Kronologis
0 hari
1 hari |
6 |
16,7 |
2 hari |
4 |
11,1 |
3 hari |
2 |
5,6 |
16 hari |
1 |
2,8 |
Rujukan | ||
Iya |
20 |
55,6 |
Tidak |
16 |
44,4 |
Pembiayaan | ||
Umum |
11 |
30,6 |
BPJS |
24 |
66,7 |
Asuransi |
1 |
2,8 |
Jenis | ||
Kelamin | ||
Laki-laki |
17 |
47,2 |
Perempuan |
19 |
52,8 |
Total |
36 |
100 |
Bayi dengan SGN di unit perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah tahun 2020 umumnya lahir melalui cara persalinan operasi sesar dengan frekuensi 20 orang (55,6%). Pada saat bayi tersebut lahir dilakukan pengukuran skor APGAR dengan rata-rata bayi memperoleh skor 7-10 yakni sebanyak 27 (75,0%). Rata-rata bayi tersebut merupakan bayi sangat prematur dengan frekuensi 22 orang (61,1%). Berat badan lahir bayi kebanyakan tergolong berat bayi lahir sangat rendah (BBLSR) dengan frekuensi 11 orang (30,6%). Semua bayi dengan SGN yang diamati memiliki riwayat natal kehamilan tunggal.
Tabel 2. Karakteristik sampel penelitian berdasarkan riwayat |
Primipara |
18 |
50,0 | ||
kehamilan dan persalinan |
Multipara |
9 |
25,0 | ||
Variabel |
Frekuensi |
Persentase |
Riwayat Penyakit | ||
(orang) |
(%) |
Ibu Jantung |
1 |
2,8 | |
Urutan Anak dalam |
Asma |
3 |
8,3 | ||
Keluarga |
Covid 19 dan |
1 |
2,8 | ||
Pertama |
9 |
25,0 |
jantung | ||
Kedua |
18 |
50,0 |
Ca Nasofaring |
1 |
2,8 |
Ketiga |
2 |
5,6 |
Nefrolitiasis |
1 |
2,8 |
Keempat Kelima |
4 2 |
11,1 5,6 |
SLE |
1 |
2,8 |
Keenam |
1 |
2,8 |
Kolestasis |
1 |
2,8 |
Pemeriksaan |
Intrahepatik | ||||
Kehamilan |
Tidak ada |
27 |
75,0 | ||
Iya |
33 |
91,7 |
Ketuban Pecah | ||
Tidak |
3 |
8,3 |
<24 jam |
27 |
75,0 |
Paritas |
>24 jam |
9 |
25,0 | ||
Nulipara |
9 |
25,0 |
Pemberian Steroid |
Antenatal Tidak |
36 |
100 |
Cara Persalinan | ||
Normal |
16 |
44,4 |
Operasi sesar |
20 |
55,6 |
Skor APGAR | |||
7-10 |
(tidak |
27 |
75,0 |
asfiksia) 4-6 |
(asfiksia |
7 |
19,4 |
sedang) | |||
0-3 (asfiksia berat) |
2 |
5,6 | |
Usia Kehamilan | |||
Cukup bulan |
7 |
19,4 | |
Prematur |
7 |
19,4 | |
Sangat prematur |
22 |
61,1 | |
Berat Badan Lahir | |||
Normal |
(>2500 |
10 |
27,8 |
gram) BBLR |
(<2500 |
9 |
25,0 |
gram) BBLSR |
(<1500 |
11 |
30,6 |
gram) BBLASR gram) |
(<1000 |
6 |
16,7 |
Kehamilan Tunggal |
36 |
100 |
Pemakaian Alat | ||
Bantu Nafas | ||
Oksigen |
3 |
8,3 |
Ventilator |
9 |
25,0 |
NIV |
11 |
30,6 |
CPAP |
13 |
36,1 |
Pemberian | ||
Surfaktan | ||
Ya |
2 |
5,6 |
Tidak |
34 |
94,4 |
Pemberian | ||
Antibiotik | ||
Lini 1 |
34 |
94,4 |
Tidak diberikan |
2 |
5,6 |
Lama Perawatan | ||
<7 hari |
19 |
52,8 |
8-14 hari |
10 |
27,8 |
15-21 hari |
4 |
11,1 |
>21 hari |
3 |
8,3 |
Luaran | ||
Hidup |
25 |
69,4 |
Meninggal |
11 |
30,6 |
Total |
36 |
100 |
Riwayat perawatan bayi dengan SGN di unit perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah tahun 2020 umumnya memakai continuous positive airway pressure (CPAP) sebagai alat bantu napas dengan frekuensi 13 orang (36,1%). Hampir semua bayi tersebut tidak diberikan surfaktan dan hampir semua bayi tersebut diberikan antibiotik lini pertama dengan frekuensi masing-masing sebanyak 34 orang (94,4%). Lama perawatan bayi dengan SGN di unit perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah rerata <7 hari dengan frekuensi 19 orang (52,7%). Sebagain besar bayi tersebut hidup setelah diberikan perawatan yakni sebanyak 25 orang (69,4%).
-
4. PEMBAHASAN
Prevalens SGN pada penelitian ini adalah 10,9% atau sekitar 11 orang per 100 kelahiran. Penelitian epidemiologi tentang prevalens SGN di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti lain tetapi masih sangat jarang. Seperti yang dilaporkan oleh Dewi yang menyatakan bahwa di RSD Mangusada Badung kejadian SGN dalam 3 tahun terakhir dari 2017-2018 terus meningkat, yang mana di dapatkan bayi BBLR dengan komplikasi SGN selama 3 tahun terakhir mencapai angka tertinggi sebanyak 41 kasus (2019).9 Sejalan dengan penelitian Atika di RSUP Wahidin Sudirohusodo mengatakan bahwa kematian bayi baru lahir akibat gangguan pernapasan di ruang NICU terus meningkat tiga tahun belakangan yakni sebanyak 53 dari 191 bayi pada
tahun 2016, tahun 2017 sebanyak 61 dari 181 bayi dan tahun 2018 sebanyak 62 dari 185 bayi.10 Data epidemiologi di luar Indonesia menunjukkan trend yang sedikit berbeda. Prevalens SGN hanya 1% dari total seluruh kelahiran di Amerika atau sekitar 13 kasus per 100.000 ribu kelahiran. Di Eropa, prevalens SGN berada di kisaran angka 1 hingga 79 kasus per 100.000 kehamilan dengan insiden yang dipercaya lebih rendah dari kebanyakan negara di Amerika.11
SGN dapat berujung pada henti napas hingga kematian, sehingga dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian pada bayi baru lahir. Perjalanan SGN bervariasi tergantung karakteristik masing-masing, mulai dari berat bayi, tingkat keparahan penyakit, penggunaan terapi surfaktan dan adanya infeksi.6 Pada penelitian ini menggunakan definisi usia kronologis atau umur ketika diagnosis SGN ditegakkan karena kurang memungkinkan untuk menelusuri di usia berapa mulai timbul onset. Dari penelusuran didapatkan bayi dengan SGN di RSUP Sanglah didominasi berusia 0 hari. Temuan ini sejalan dengan teori yang menyatakan SGN merupakan penyebab gangguan pernapasan yang sering terjadi pada bayi baru lahir serta timbul dalam beberapa jam (4-6 jam) setelah bayi lahir.1
Hasil penelitian di RSUP Sanglah tahun 2020 menunjukkan bayi dengan SGN dominan berjenis kelamin perempuan. Penelitian oleh Adebami menemukan tidak
terdapat perbedaan bermakna antar jenis kelamin terhadap kejadian SGN.12 Hasil berbeda ditunjukkan hasil penelitian oleh Liu yang mendapatkan jenis kelamin dapat mempengaruhi karakteristik fisik seseorang dan dikaitkan dengan perkembangan beberapa penyakit. Liu menemukan SGN kebanyakan terjadi pada bayi laki-laki dengan alasan paru janin perempuan menghasilkan surfaktan lebih awal dalam kehamilan daripada paru janin laki-laki. Penjelasan lebih detail yakni bayi laki-laki memiliki hormon androgen yang menunda sekresi fibroblast paru dari fibroblast pneumosit yang dapat menunda perkembangan produksi protein surfaktan, sedangkan bayi perempuan memiliki estrogen yang mempercepat produksi protein surfaktan.13
Paritas diketahui sebagai faktor berpengaruh terhadap hasil konsepsi. Kehamilan dan persalinan dengan risiko lebih besar dikatakan pada anak pertama (primipara). Pada primipara biasanya terjadi kekakuan dari otot atau serviks sehingga kaki memberikan tahanan lebih besar dan dapat memperpanjang persalinan. Hal ini menyebabkan oksigen yang dibawa peredaran darah menuju janin dalam durasi lebih panjang sehingga janin menjadi stress yang berujung pada kejadian SGN.14 Teori ini sejalan dengan hasil penelitian di RSUP Sanglah yang menemukan rata-rata bayi dengan SGN lahir dari ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya.
Sebagian besar bayi dengan SGN lahir dari ibu yang tidak memiliki riwayat penyakit apapun tidak selaras dengan teori kebanyakan. Status kesehatan maternal khususnya awal kehamilan dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan kehamilan serta status kesehatan bayi dalam rahim ataupun yang sudah lahir. Masalah kesehatan pada ibu hamil khususnya diabetes dan hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi bayi berupa SGN. Pada ibu dengan diabetes biasanya darah ibu mempunyai pH lebih alkali dibandingkan dengan darah janin yang kaya akan karbondioksida. Hal ini mendorong pertukaran oksigen dan karbondioksida yang sedikit melewati membran plasenta sehingga dapat terjadi hipoksia pada saat lahir. Sedangkan pada ibu dengan hipertensi mekanisme yang terjadi adalah meningkatnya hambatan perifer sehingga mengakibatkan sirkulasi uteri plasenta tidak adekuat dan berujung kurangnya suplai darah ke plasenta.15 Temuan yang didapat di RSUP Sanglah mungkin dipengaruhi kemampuan diagnostik fasilitas kesehatan di Indonesia yang berbeda dengan di luar negeri, sehingga belum dapat mendeteksi berbagai riwayat penyakit ibu secara optimal.
Pada ibu hamil, air ketuban berfungsi mempertahankan serta menjaga bayi dari benturan akibat lingkungan di luar rahim. Pada insiden ketuban pecah dini dalam keadaan kepala janin belum masuk pintu atas panggul mengikuti aliran air ketuban, terjadi penjepitan antara kepala janin dan dinding panggul. Dalam durasi relatif cepat janin dapat mengalami hipoksia dan berujung SGN.16 Teori tersebut juga kembali sejalan dengan hasil penelitian di RSUP Sanglah yang menemukan dominan bayi dengan SGN lahir dari ibu yang mengalami ketuban pecah <24 jam. Kondisi ketuban pecah >24 jam sebenarnya juga turut meningkatkan risiko SGN. Berbagai mekanisme dapat terjadi selama kondisi ketuban pecah >24 jam seperti gangguan
pernapasan akibat tidak sengaja menghirup mekonium. Hal tersebut bersifat fatal, berisiko memicu SGN dan menyebabkan peradangan atau infeksi. Selain itu berdasarkan penelitian, kondisi ketuban pecah >24 jam berisiko meningkatkan tersumbatnya saluran pernapasan bayi sehingga paru-paru mengembang berlebihan. Pada kondisi yang parah, hal tersebut menyebabkan paru-paru rusak, pecah, bahkan hancur. Selanjutnya, paru-paru yang rusak tersebut menyebabkan udara keluar menumpuk pada dada sehingga memicu pneumothorax dan berujung pada paru-paru sulit mengembang kembali.17
Salah satu bentuk tatalaksana yang memperbaiki luaran bayi preterm adalah penggunaan kortikosteroid antenatal dalam rangka pematangan paru. Pemberian steroid antenatal pada ibu hamil dapat mengurangi insiden distress pernafasan dan penyakit penyerta. Apabila belum terpapar steroid antenatal, penggunaan surfaktan dipertimbangkan pada bayi dengan distress pernafasan sesegera mungkin setelah kelahiran.15 Hasil penelitian di RSUP Sanglah menunjukkan semua bayi SGN belum mendapatkan pemberian steroid antenatal sebelumnya dan dominan bayi yang mengalami SGN sudah mendapatkan surfaktan sesegera mungkin. Terkait kondisi steroid antenatal yang belum diadministrasikan tersebut mungkin disebabkan karena sebagian besar bayi ada di kondisi yang memerlukan tindakan terminasi sesegera mungkin atau tidak terdokumentasi dengan baik pada rekam medis.
Asfiksia nenonatorum dapat terjadi akibat gangguan dalam persediaan oksigen dan pengeluaran karbondioksida sehingga oksigen dalam darah berkurang dan karbondioksida menumpuk dalam darah. Bayi yang lahir melalui seksio cesarean (SC) mengandung cairan lebih banyak dibandingkan udara didalam parunya selama 6 jam pertama setelah lahir. Bayi dengan transmisi SC tersebut cenderung mengalami gangguan pernafasan akibat pengeluaran terlalu dinit sehingga sistem organ bayi belum beradaptasi atau bertransisi terhadap dunia luar rahim.18 Temuan peneliti sejalan dengan teori tersebut dimana bayi dengan SGN di unit perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah tahun 2020 umumnya lahir melalui cara persalinan operasi sesar.
Proses inflamasi yang terjadi pada SGN membutuhkan waktu yang signifikan untuk menimbulkan gangguan. Rangkaian peristiwa kekurangan atau tidak mengalirnya materi untuk produksi surfaktan ke dalam alveoli, penurunan sirkulasi paru, perfusi alveolar, serta PaO2 dan pH yang menurun tajam biasanya berlangsung dalam waktu 2 hingga 4 jam.19 Berdasarkan temuan peneliti, didapatkan bayi dengan SGN di unit perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah tahun 2020 umumnya lahir dengan skor APGAR 710 atau segera menangis setelah dilahirkan (tidak asfiksia). Perlu digarisbawahi bahwa kondisi tidak asfiksia belum menjamin bayi terbebas dari ancaman SGN akibat durasi yang dibutuhkan untuk timbulnya gejala. Hal tersebut menyebabkan seyogyanya dilakukan pemantaun berkala terhadap kondisi bayi baru lahir.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata bayi dengan SGN dominan merupakan bayi sangat prematur dengan berat bayi lahir sangat rendah. Temuan ini sejalan
dengan hasil yang didapatkan oleh Eliza, yaitu bayi yang lahir prematur cenderung mengalami SGN dikarenakan mengalami kekurangan surfaktan pada paru sehingga alveolus dalam paru menjadi kolaps. Selain itu pada bayi prematur dengan BBLR atau BBLSR, alveolus sejati sangat jarang serta diameter bronkiolus respiratoriusnya lebih kecil daripada diameter bronkiolus bayi cukup bulan sehingga memerlukan tekanan yang lebih besar untuk mengembang dibandingkan bayi dengan berat badan normal.20
Penatalaksanaan pada bayi baru lahir dengan gangguan pernafasan salah satunya adalah terapi oksigen. Tujuan terapi oksigen yakni menyediakan oksigen yang memadai bagi jaringan, mencegah akumulasi asam laktat yang dihasilkan oleh hipoksia serta pada waktu bersamaan untuk menghindari efek negatif potensial dari hiperoksia dan radikal bebas. Jika bayi tidak membutuhkan ventilasi mekanik, oksigen dapat dipasok menggunakan salah satunya CPAP untuk menyediakan konsentrasi dan kelembaban oksigen yang bervariasi.15 Hasil penelitian di RSUP Sanglah menemukan umumnya menggunakan CPAP sebagai alat bantu napas. Selain terapi oksigen, dokter juga sering memberikan antibiotik untuk bayi yang memiliki SGN untuk mengendalikan infeksi terutama apabila dokter menduga bahwa bayi mengalami infeksi.21 Hasil ini juga sesuai dengan temuan peneliti yakni hampir semua bayi SGN di RSUP Sanglah diberikan antibiotik lini pertama.
Produksi surfaktan oleh sel alveolar tipe II berguna mengurangi tegangan permukaan alveoli serta menjaga stabilitas alveolar dengan mekanisme pencegahan kolaps ruang udara kecil pada akhir ekspirasi. Pada keadaan prematur, asfiksia, hipoksemia, dan iskemia paru, produksi surfaktan berkurang. Akibat kekurangan produksi atau pelepasan surfaktan dapat menimbulkan atelektasis sehingga perfusi alveolus tetap terjaga namun ventilasi nihil dan berujung hipoksia. Menangani kondisi tersebut dapat diberikan surfaktan setelah lahir.22 Pada penelitian ini didapatkan hampir semua bayi dengan SGN di unit perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah tahun 2020 tersebut tidak diberikan surfaktan. Hal ini mungkin didasarkan pada panduan praktik klinis (PPK) yang dapat berbeda antar instalasi kesehatan. Berdasarkan PPK RSUP Sanglah tahun 2016, surfaktan hanya diberikan pada SGN grade III-IV dengan dosis sesuai produk yang ada yakni Survanta 4ml/kgBB dalam 4 jam.
Temuan yang didapat di RSUP Sanglah yakni lama perawatan bayi dengan SGN di unit perawatan intensif neonatus rata-rata <7 hari sesuai dengan teori pada umumnya. SGN merupakan penyakit yang dapat hilang sendiri. Setelah periode deteriorasi (sekitar 48 jam) dan bila tidak ada komplikasi, bayi yang menderita SGN akan mulai membaik pada 72 jam yang sering ditandai dengan awitan diuresis. Perbaikan ini terutama disebabkan oleh peningkatan produksi dan ketersediaan yang lebih besar material surfaktan-aktif. Bayi SGN yang bertahan dalam 96 jam pertama memiliki kesempatan mengalami pemulihan sehingga hanya membutuhkan perawatan kurang dari 7 hari.23
Prognosis SGN tergantung dari penyebab, adanya disfungsi organ lain, usia dan penyakit kronik penderita.
Prognosis umumnya bonam bahkan dengan pengobatan yang baik dapat menurunkan mortalitas hingga <10%. Dengan dukungan ventilasi yang memadai produksi surfaktan akhirnya dimulai dan begitu produksi dimulai SGN dapat hilang dalam 4 atau 5 hari.12 Pernyataan tersebut sesuai dengan temuan di RSUP Sanglah dimana sebagain besar bayi tersebut hidup setelah diberikan perawatan. Bayi yang tidak mendapatkan penanganan segera atau memiliki penyakit komplikasi lainnya yang akan memperburuk kondisi SGN dan dapat menyebabkan kematian.
Penelitian ini memilihi kelemahan berupa terdapat beberapa data rekam medis pasien SGN di unit perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah yang tidak lengkap sehingga beberapa sampel terekslusi. Hal ini berimplikasi jumlah data yang dianalisis menjadi lebih sedikit dari jumlah total sampel.
-
5. SIMPULAN DAN SARAN
Prevalens bayi dengan sindrom gawat napas di unit perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah Tahun 2020 adalah sebesar 10,9%.
Karakteristik bayi dengan sindrom gawat napas di unit perawatan intensif neonatus RSUP Sanglah Tahun 2020 meliputi karakteristik umum serta karakteristik riwayat kehamilan dan persalinan. Untuk karakteristik umum yakni didominasi berusia 0 hari, pasien rujukan, menggunakan BPJS, dan berjenis kelamin perempuan. Untuk karakteristik riwayat kehamilan dan persalinan yakni mayoritas merupakan anak kedua, telah melalui pemeriksaan kehamilan sebelumnya, lahir dari ibu yang melahirkan pertama kali (primipara), lahir dari ibu yang tidak memiliki penyakit apapun, lahir dari ibu yang mengalami ketuban pecah <24 jam, tidak diberikan steroid antenatal, melalui cara persalinan operasi sesar, dengan skor APGAR 7-10, merupakan bayi sangat prematur, tergolong BBLSR, dengan ibu riwayat natal kehamilan tunggal, memakai CPAP saat di unit perawatan intensif, tidak diberikan surfaktan, telah diberikan antibiotik lini pertama, dirawat rata-rata <7 hari, dan dengan luaran masih hidup.
Saran bagi peneliti lain diharapkan kedepannya dilakukan penelitian studi analitik lebih lanjut guna mencari hubungan antara variabel dan faktor risiko terjadinya sindrom gawat napas.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Wahyuni, S., Wiwin, N. Hubungan Usia Ibu dan Afiksia Neonatorum dengan Kejadian Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada Neonatus di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Borneo Student Research. 2020;1(3):1824-1832.
-
2. Chirian., Uji, A., Isayama, T., dkk. Neonatal Care in Japanese NICU: Note Base on Site Visit. Neonatal Network. 2012;31(2):89-95.
-
3. Andrews, K.M., Brouillette, D.B., Brouillette, R.T. Mortality, Infant. Elsevier Academic Press: Encyclopedia of Infant and Early Childhood Development. 2008;2:343-358.
-
4. Wiadyana, I., Suryawan. I., Sucipta. A. Hubungan Antara Bayi Berat Lahir Rendah dengan Afiksia Neonatorum di RSUD Wangaya Kota Denpasar. Intisari Sains Medis. 2018;9(2):95-99.
-
5. Sweet, D., Carnielli, V., Greisen, G., dkk. European Consensus Guidelines on the Management of Respiratory Distress Syndrome – 2019 Update. Neonatology. 2019;115(4):432-451.
-
6. Gomella, T., Cunningham, M., Eyal, F. Neonatology. 25th ed. Uneted State of America: McGraw-Hill Education Companies. 2013. h.834-839.
-
7. Fajariah, S., Bermawi, H., Tasli, J. Terapi Surfaktan pada Penyakit Membrane Hialin. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2016;3(3):194-202.
-
8. Agrina, M., Toyibah, A., Jupriyono. Tingkat Kejadian Respiratory Distress Syndrome (RDS) Antara BBLR Preterm dan BBLR Dismatur. Jurnal Informasi Kesehatan Indonesia. 2017;3(2):125-131.
-
9. Dewi, P. Gambaran Asuhan Keperawatan Pada Bayi Respiratory Distress Syndrome Dengan Pola Napas Tidak Efektif Di Ruang NICU RSD Mangusada Tahun 2020. Repository Poltekkes Kemenkes Denpasar. 2020.
-
10. Atika, A. Faktor Risiko Kejadian Respiratory Distress of Newborn Di Neonatal Intensive Care Unit RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Perpustakaan Universitas Hasanuddin. 2019.
-
11. Dyer, J. Neonatal Respiratory Distress Syndrome: Tackling A Worldwide Problem. Journal For Managed Care and Hospital Formulary Management.
2019;44(1):12-14.
-
12. Adebami, O. J., Joel-Medewase, V. I., Agelebe, E., dkk. Determinants of outcome in newborns with respiratory distress in Osogbo, Nigeria. International Journal of Research in Medical Sciences. 2017;5(4):1487.
-
13. Liu, J., Yang, N., Liu, Y. High-risk Factors of Respiratory Distress Syndrome in Term Neonates: A Retrospective Case-control Study. Balkan Medical Journal. 2014;33(1):64-68.
-
14. Cunningham. William Obstetrics (24th ed.). New York: The Mc-Graw Hill Companies. 2014.
-
15. Lowdermilk, D. L., Perry, S. E., & Cashion, K. Keperawatan Maternitas (8th ed.; K. R. Alden, Ed.). Singapore: Elseiver Mosb. 2014.
-
16. Safaah, N. Hubungan Antara Ketuban Pecah Dini dengan Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir di RSUD dr. R. Koesma Tuban Tahun 2009. Nu Tuba. 2009;1(2):422-426.
-
17. American Pregnancy Association (APA). 2020. Fetal Distress [online] [Accessed 15 Des. 2021]. Available from: https://americanpregnancy.org/healthy-
pregnancy/labor-and-birth/fetal-distress/
-
18. Zainuddin, Z. Hubungan Jenis Persalinan Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. E-CliniC. 2013;1(3):1–7.
-
19. Surasmi, Asrining. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC. 2003.
-
20. Eliza, E., Nuryani, D. D., Rosmiyati, R. Determinan Persalinan Prematur di RSUD Dr. Abdul Moeloek. Jurnal Kesehatan. 2017;8(2):305.
-
21. Condò, V., Cipriani, S., Colnaghi, M., dkk. Neonatal respiratory distress syndrome: are risk factors the same in preterm and term infants? Journal of Maternal-Fetal and Neonatal Medicine. 2017;30(11):1267–1272.
-
22. Cheifetz, I. Pediatric Acute Respiratory Distress Syndrome. Respiratory Care. 2011;56(10):1589-1599.
-
23. Balest, A. L. Respiratory Distress Syndrome in Neonates. MSD Manual. 2018.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
doi:10.24843.MU.2023.V12.i8.P10
68
Discussion and feedback