ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 11 NO.11,NOVEMBER, 2022

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



Diterima: 2022-01-07 Revisi: 2022-08-28 Accepted: 25-09-2022

PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK USIA REMAJA DI SMP NEGERI 3 DENPASAR PADA TAHUN 2021

Ni Made Dwitya Arianingtyas1, Anak Agung Mas Putrawati Triningrat2, Ni Made Laksmi Utari2, I Wayan Eka Sutyawan2

  • 1    Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

  • 2    Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina tetapi dibagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Terdapat tiga kelainan refraksi yaitu miopia, hipermetropia, astigmatisma atau campuran kelainan-kelainan tersebut. Diantara kelainan refraksi tersebut, miopia adalah yang paling sering dijumpai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana prevalensi dan karakteristik kelainan refraksi pada anak usia remaja di SMP Negeri 3 Denpasar pada tahun 2021. Desain penelitian ini dengan menggunakan metode cross sectional yang dimana pengumpulan sampel pada penelitian ini dilakukan secara tidak acak (non probability sampling) dengan teknik purposivesampling. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan melihat nilai presentase dan frekuensi. Pada penelitian ini, sebanyak 232 siswa yang mengisi kuesioner, namun hanya sebanyak 46 siswa yang menggunakan kacamata. Karakteristik remaja yang mengalami kelainan refraksi di SMP Negeri 3 Denpasar sebanyak 36 anak (78,3%) yang berumur 14tahun, yang didominasi oleh perempuan sebanyak 27 anak (58,7%). Pada anak, gangguan refraksi lebih pada masa-masa pertumbuhan dimana aktivitas semakin meningkat bertepatan dengan aktivitas kerja mata yang terus bertambah melalui aktivitas penglihatan jarak dekat. Simpulan hasilpenelitian ini dimana prevalensi penggunaan kacamata pada remaja yang mengalami kelainan refraksi di SMP Negeri 3 Denpasar sebanyak 46 anak (19,8%) dari 232 remaja siswa yang mengisi kuisioner.

Kata Kunci : Kelainan Refraksi, Prevalensi, Karakteristik, Remaja

ABSTRACT

Refractive error is a condition in which a firm image is not formed on teh retina but on the front or back of the yellow spot and is not located at a sharp poiyn. There are three refractive errors, namely myopia, hypermetropia, astigmatism or a mixture of these disorders. Among these refractive errors, myopia is the most common. The purposes of this study was to find study was to find out how the prevalence and characteristik of refractive errors in adolescent children at SMP Negeri 3 Denpasar in 2021. The designof this study used a cross sectional method where the sample collection in this studywas conducted non-randomly (non-probability sampling) with purposive techniquesampling. Data analysis was carried out descriptively by looking at the percentageand frequency values. In this study, as many as 232 students filled out the questionnaire, but only 46 studentd uses glasses. The characteristics of adolescents with refractive error at SMP Negeri 3 Denpasar were 36 children (78.3%) aged 14 years, which were dominated by women as many as 27 children (58.7%). In children, refractive errors are more common in the growth period where increased activity coincides with increased eye activity through near vision activities. The conclusion of this study is that the prevalence of the use of glasses in adolescents with refractive errors at SMP Negeri 3 Denpasar is 46 children (19.8%) of the 232 adolescent students who filled out the questionnaire.

Keywords : Refractive Error, Prevalence, Charasteristics, Adolecents

PENDAHULUAN

Penyakit mata yang dapat menyebabkan penurunan penglihatan sering dikatakan sebagai kelainan refraksi. Kelainan refraksi merupakan keadaantidak terdapat bayangan tegas pada retina namun bagiandepan atau belakang terdapat bintik kuning yang diklasifikasikan menjadi miopia sebagai kasus tersering, kemudian hiperopia, astigmatisme, atau campuran dari kelainan tersebut. Berdasarkan WHO tahun 2010, prevalensi miopia di dunia mencapai 27%.1 Seluruh kelompok umur dapat menderita kelainan refraksi, terutama pada masa remaja. Diduga penyebab kelainanrefraksi adalah perubahan gaya hidup anak zaman sekarang yang akrab dengan gadget.2Berdasarkan WHO, didapatkan 43% penurunan pengelihatan/low vision diakibatkan oleh kelainan refraksi yang tidak terkoreksi yaitu sekitar 153 juta populasi di dunia. Turunnya tajam penglihatan dapat dikoreksi menggunakan kacamata, lensa kontak atau pendekatan bedah. Sebanyak sekitar 13 juta dari kasustersebut merupakan anak berusia 5-15 tahun yang termasuk prevalensi tertinggi di Asia Tenggara.3Berdasarkan hasil penelitian Wadani menyatakan kelainan refraksi merupakan sebab gangguan pengelihatan, utamanya miopia yang mencapai sekitar90% pada anak berusia 5-15 tahun.4Kelainan refraksi di Indonesia merupakan prevalensi tertinggi pada kasus penyakit mata yaitu sekitar 25% populasi atau sekitar 55 juta individu. Kemudian sekitar 10% dari 66 juta anak usia sekolah diIndonesia masih rendah angka pemakaian kacamata koreksi atau sekitar 12,5% dari kebutuhan.5 Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan(PGPK) tahun 2011 di Indonesia menunjukkan sebesar 22,1% merupakan gangguan penglihatan terkait kelainan refraksi. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, angka kebutaan mencapai 0,4% di Indonesia dengan penyebab terbesar berupa gangguan refraksi dan katarak.6Kelainan refraksi terkait gangguan penglihatan adalah masalah kesehatan utamanya usia anak. Hal inidikarenakan hampir 80% informasi dalam 12 tahun pertama kehidupan anak diperoleh lewat penglihatan. Keterlambatan dalam koreksi refraksi pada anak usia sekolah dapat berdampak terhadap kemampuan memahami pembelajaran dan menurunnya potensi kecerdasan sebab 30% informasi didapatkan melalui kombinasi lihat dan dengar. Anak yang memiliki kelainan pada refraksi umumnya hanya diketahui gejala gangguan terkait pengelihatannya melalui aktivitas keseharian sang anak.Berdasarkan penelitian di desa Manggis, Kabupaten Karangasem tahun 2014 didapatkan

prevalensi turunnya tajam penglihatan siswa kelas 3-6 yang berjumlah 120 individu mencapai 70 %.2American Optometric Association (AOA) menyebutkan faktor resiko kelainan refraksi diantaranya genetik atau keturunan serta lingkungan seperti aktivitas outdoor, beraktivitas jarak dekat, dan pendidikan.7 Daerah perkotaan cenderung memiliki aktivitas yang mengarah kepada modernisasi, baik dari segi gaya hidup dan pola habitus (kebiasaan). Anak-anak remaja menjadi kebiasaan memanjakan diri dengan kehidupanmodern, dimana mereka akan menjalani aktivitas yang seringkali jarang

dilakukan di luar rumah. Pola kebiasaan tersebut yang menyebabkan anak cenderungberaktivitas sehari-hari dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Akibatnya, perkembangan mereka sangat ketergantungan akan gadget. Bagi kehidupan anak di pedesaan, melakukan aktivitas bermain di luar ruangan membuat anak dapat melatih kemampuan matanya untuk melihat ke arah yang jauh,sehingga hal itu dapat mengurangi risiko anak mengidap kelainan refraksi seperti miopia. Pola gaya hidup seperti itu tentu berbeda dengan gaya hidup anak perkotaan yang lebih mengandalkan pada kemajuan teknologi sebagai teman bermainnya dan hanya berdiam diri di depan layar gadget.Faktor lingkungan belajar seperti halnya di SMPNegeri 3 Denpasar juga menunjukkan frekuensi alokasiwaktu belajar yang cukup padat yaitu pagi hari pukul07.30 hingga 16.00 Wita. Sebagai sekolah favorit siswaSMP Negeri 3 Denpasar dengan prestasi akademik yang cukup membanggakan sehingga memicu sivitasnya untuk terus menjaga dan mempertahankan citra sekolah dalam upaya meraih prestasi tidak hanya diperoleh siswa melalui proses belajar di sekolah tetapi juga melalui les dan bimbingan belajar di luar jam sekolah. Pada tataran ini dapat dipahami jika sedikit demi sedikit akan terjadi kelelahan pada mata akibat intensitas belajar dan penggunaan teknologi komputerdan gadget yang juga cukup intens.Memasuki proses pembelajaran di era Revolusi Industri 4.0 pemanfaatan teknologi sudah menjadi keharusan. Terlebih di masa pandemi Covid-19 dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah tentang social distancing (jaga jarak) tidak boleh berkerumun maka untuk mencegah dan memutus rantai penularan wabah Covid-19 yang sangat mematikan itu maka proses pembelajaran pun dilakukan secara online atau dalamjaringan (daring). Jadi mau-tidak mau anak-anaksekolahan harus menggunakan media gadget atau komputer untuk mengikuti proses pembelajaran daring.Tanpa bermaksud untuk menonjok faktor teknologi dalam hal ini sebagai pemicu, namun secara faktual fenomena menunjukkan anak, remaja dan dewasa kecanduan serta tidak percaya diri dengan situasi jika tidak membawa gadget dalam genggaman.Hasil sintesis dari kajian beberapa artikel dalam jurnal yang dapat penulis telusuri sejauh ini menunjukkan bahwa belum ada penelitian atau artikel yang khusus membahas prevalensi dan karakteristik kelainan refraksi pada anak usia remaja SMP terutama di lingkungan perkotaan. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik mengangkat prevalensi miopia pada anak usia remaja di SMP Negeri 3 Denpasar padatahun 2021 yang akan dinilai dengan menggunakan datakuisioner online.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif cross sectional dengan pengambilandata dilakukan dengan menggunakan kuesionersecara online. Peneitian dilakukan dari bulanJanuari 2021 hingga September 2021. Data yang diambil pada penelitian ini meliputi kelainanrefraksi, usia, jenis kelamin, riwayat keluarga,sosiodemografi orang tua, dan faktor perilaku anak. Kriteria inklusi yang digunakan 33

adalah siswa kelas 8 yang mengalami kelainan refraksi di SMP Negeri 3 Denpasar yang dilihat berdasarkan penggunaan kacamata. Kriteria ekslusi dalam penelitian yaitu siswa yang tidak mau berpartisipasidalam penelitian, serta siswa yang mengalamikelainan refraksi mata disertai pula dengankelainan mata lainnya seperti katarak, glukoma danlainnya. Pengumpulan sampel didapatkan tidak Saudara (kandung) yang menggunakan kacamata acak (non probability sampling) dan teknik Ya 2 purposive sampling. Data yang terkumpul dari instrumen kuesioner secara online kemudian diolah dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS). Kemudian data yang didapat setelah diolah akan di analisis untuk mendeskripsikan/menggambarkan data yang telah

Tabel 1. Karakteristik Remaja yang Mengalami Kelainan Refraksi di SMP Negeri 3 Denpasar


terkumpul.Penelitian ini telah mendapatkan keterangan kelaikan etik dari Komisi Etik Penelitian (KEP) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dengan nomor 3009/UN14.2.2.VII.14/LT/2021.

HASIL

Pada penelitian ini, sebanyak 232 siswa yang mengisi kuesioner, namun hanya sebanyak 46 siswa yang menggunakan kacamata. Dari 46 siswa tersebutdianalisis pada tabel dibawah ini.Karakteristik responden pada penelitian ini meliputi variabel umur dan jenis kelamin, orang tua dan saudara kandung yang menggunakan kacamata yang ditampilkan pada Tabel 1.

Karakteristik

f (46)

%

Umur (tahun) 13

9

19,6

14

36

78,3

15

Jenis kelamin

1

2,2

Laki-laki

19

41,3

Perempuan

Ibu yang

menggunakan kacamata

27

58,7

ya

27

58,7

tidak

Ayah yang

menggunakan kacamata

19

41,3

ya

23

50,0

tidak

23

50,0

Orang tua yang menggunakan kacamata

Keduanya

18

39,1

Salah satunya

14

30,4

Tidak

14

30,4

Saudara (kandung)yang Menggunakan kacamata

Ya

22

47,8

Tidak

24

52,2

Hasil Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagianbesar respondern berumur 14 tahun sebanyak 36 anak(78,3%), sebanyak 9 anak (19,6%) berumur 13 tahun

dan sebanyak 1 anak (2,2%) berumur 15 tahun. Padapenelitian ini didominasi oleh perempuan sebanyak 27 anak (58,7%) sedangkan laki-laki sebanyak 19 anak (41,3%).

Distribusi frekuensi riwayat keluarga yang menggunakan kacamata pada remaja yang mengalami kelainan refraksi di SMP Negeri 3 Denpasar menyatakan bahwa ibu yang

menggunakan kacamatasebesar 27 orang (58,7%), ayah yang menggunakan kacamata sebesar 23 orang (50,0%) dan saudara kandung yang menggunakan kacamata sebesar 22 orang (47,8%). Distribusi frekuensi riwayat orang tua yang menggunakan kacamata pada remaja yang mengalami kelainan refraksi di SMP Negeri 3 Denpasar menyatakan bahwa kedua orang tua yang menggunakankacamata sebanyak 18 responden (39,15), salah satunyamenggunakan kacamata sebanyak 14 responden (30,4%) dan tidak keduanya yang menggunakankacamata sebanyak 14 responden (30,4%)

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Sosiodemografi Orang Tua pada Remaja yang Mengalami KelainanRefraksi di SMP Negeri 3 Denpasar

Variabel

f (46)

%

Daerah tempat tinggal

orang tua

Kota

45

97,8

Daerah pariwisata

1

2,2

Pekerjaan ibu

Tidak bekerja

13

28,3

PNS

9

19,6

Wiraswasta

19

41,3

Buruh

5

10,9

Pekerjaan ayah

Tidak bekerja

3

6,5

PNS

15

32,6

Wiraswasta

22

47,8

Buruh

6

13,0

Tingkat pendidikan ibu

SMP

1

2,2

SMA/Sederajat

14

30,4

Sarjana

31

67,4

Tingkat pendidikan ayah

SMP

1

26,1

SMA/Sederajat

12

71,7

Sarjana

33

Berdasarkan tabel di atas, distribusi frekuensi sosiodemografi orang tua pada remaja yang mengalami kelainan refraksi di SMP Negeri 3 Denpasar menyatakan bahwa sebagian besar orang tua responden bertempat tinggal di kota sebanyak 45 orang (96,1%) dan hanya sebesar 1 orang (2,2%) yang bertempat tinggal di daerah pariwisata. Pekerjaan ibu responden sebagian besar berprofesi sebagai wiraswata

sebanyak 19 orang (41,3%), namun terdapat sebanyak 13 orang (28,3%) ibu responden tidak bekerja. Dilihat dari pekerjaan ayah responden, sebagian besar juga juga berprofesi sebagai wiraswasta sebanyak 22 orang (47,8%). Berdasarkan tingkat pendidikan orang tua responden dapat dilihat bahwa sebagian besar orang tua responden pendidikan Sarjana

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kondisi Penglihatan pada

Remaja yang Mengalami Kelainan Refraksi di SMP Negeri 3

Denpasar

Variabel

f

(46)

%

Pusing saat membaca/ kegiatan jarak dekat

Ya

11

23,9

Tidak

35

76,1

Penglihatan kabur jarak jauh

Ya

45

97,8

Tidak

1

2,2

Berdasarkan tabel di atas, distribusi frekuensi kondisi penglihatan pada remaja yang mengalami kelainan refraksi di SMP Negeri 3 Denpasar menyatakan bahwa responden yang mengalami pusing saat membaca atau kegiatan jarak dekat

sebanyak 11 anak (23,9%), sedangkan responden yang mengalami penglihatan kabur jarak jauh sebanyak 45 anak (97,8%).

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Nearwork pada Remaja yang Mengalami Kelainan Refraksi di SMP Negeri 3 Denpasar

Variabel

f (46)

%

Anak yang suka membaca

Ya

32

69,6

Tidak

14

30,4

Durasi membaca

≤3 jam

30

93,8

>3 jam

2

6,3

Anak yang suka bermain

video games

Ya

26

56,5

Yidak

20

43,5

Durasi bermain video games

≤3 jam

24

92,3

>3 jam

2

7,7

Anak yang suka bermain gadget

Ya

44

95,7

Tidak

2

4,3

Durasi bermain gagdet

≤3 jam

22

50,0

>3 jam

22

50,0

Berdasarkan tabel di atas, distribusi

frekuensi perilaku

dengan durasi ≤3 jam sebanyak 24 anak (92,3%) dan durasi

membaca sebanyak 32 anak (69,6%)

menyatakan suka

>3 jam sebanyak 2 anak (7,7%). Distribusi frekuensi

membaca dengan durasi≤3 jam sebanyak 30 anak (93,8%)

penggunaan gadget pada remaja yang mengalami kelainan,

dan durasi >3 jam sebanyak 2 anak

(6,3%). Distribusi

bermain video games sebanyak 44 anak suk bermain gagdet

frekuensi bermain games, sebanyak 26 anak bermain (56,5%)

(95,7%) dengan durasi ≤3 jam dan >3 jam masing- masing

sebanyak 50 anak (50%

PEMBAHASAN

Kelainan refraksi atau ametropia ialah keadaan dimana bayangan tegas tak terbentuk di retina,sebagai akibatnya terjadi ketidakseimbangan penglihatan dan menghasilkan bayangan kabur.Kelainan refraksi pada anak dapat dilihat tergantungusia dan aktivitasnya. Pada anak, gangguan refraksi saat pertumbuhan dimana kegiatan semakin bertambahterkait dengan aktivitas kerja mata melalui kegiatanpenglihatan dekat umumnya dilakukan anak jaman kini. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan umur sebagian besar mengalami kelainanrefraksi pada umur 14 tahun yaitu 36 anak (78,3%).Kelainan refraksi ditemukan di berbagai usia anak. Berdasarkan studi bentuk defisiensi pengelihatanmencapai 25% anak usia sekolah.8 Penelitian lainnyatahun 2014 pada Poliklinik Mata RSUP Sanglahmendapatkan bahwa rerata usia kelainan refraksi 9,30±2,12 tahun terbagi menjadi kategori usia 9-12tahun (63,3%) serta usia 6-8 tahun (36,7%).9 Selain itu,sebanyak 27 anak berumur 8 tahun (31,8%) pada beberapa SD di Kecamatan Medan Timur mengalami penurunan tajam pengelihatan akibat refraksi.10 Penelitian lainnya menyebutkan lebih dari 80 pasien berusia 10-14 tahun.11Berdasarkan jenis kelamin, penelitian inimenunjukkan kelainan refraksi berupa miopia tertinggipada perempuan yaitu 27 anak (58,7%) dibandingkan laki-laki, 19 anak (41,3%). Temuan ini sejalan dengan penelitian pada siswa MTSS Ulumul Quran Banda Aceh, miopia paling banyak diderita oleh perempuandengan jumlah 24 anak (58,5%).12 Penelitian yang dilakukan Ihsanti juga menunjukkan kejadian miopia berdasarkan jenis kelamin tertinggi pada perempuan sebanyak 35 anak (64,8%) dibandingkan laki-laki 19anak (35,2%).11 Bila ditelaah lebih lanjut berdasarkan jenis kelamin, Seharusnya tidak mengalami kelainan refraksi mata yang berbeda jauh antara perempuan dan laki-laki. Namun dari penelitian didapatkan kelainan refraksi dengan rasio 1,4:1, dimana perempuan lebih tinggi daripada anak laki-laki. Perbedaan tersebut dikatakan sebagai akibat dari aktivitas anak perempuan untuk melihat jarak dekat di dalam ruangan yang lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki yang aktivitasnya cenderung di luar rumah.8Pada penelitian ini menunjukkan bahwakelainan refraksi memiliki riwayat keluarga yang menggunakan kacamata baik pada ayah, ibu dan saudara kandung. Pada penelitian ini sebanyak 18 responden (39,1%) memiliki orang tua yang menggunakan kacamata, salah satu orang tua yang menggunakan kacamata sebanyak 14 responden (30,4%). Sejalan dengan penelitian terdahulu yang menyebutkan semakin cepatnya pertumbuhan bola mata serta pergeseran refraksi ke arah miopi apabila terdapat riwayat miopia pada orang tua. Adanya predisposisi keluarga dan paparan faktor miopiagenik menyebabkan emetropisasi berlangsung tak terkendali sehingga berujung pada pemanjangan aksial bola mata yang berkembang menjadi miopia sedang pada anak. Selain itu, Riwayat miopia pada orang tua juga dikatakan menyebabkan anak cenderung beraktivitas melihat dekat berbeda dengan anak dengan orang tua yang tidak memiliki riwayat miopia.13Faktor risiko terpenting dari miopia adalah

keturunan. Anak dengan riwayat kedua orang tua miopia dikatakan memiliki prevalensi 33-60%. Sedangkan bila hanya satu orang tua yang mengidapmiopia prevalensinya menjadi 23-40% dan bagi yangmemiliki orang tua tanpa riwayat miopia, hanya sekitar 6-15% anak akan mengidap miopia.14 Berbeda denganstudi lainnya, prevalensi anak mengidap miopia dari keluarga yang tidak memiliki riwayat miopia adalah 27 individu (29,3%). Kemudian bila salah satu orangtuamenderita miopia didapakan 42 individu (45,7%) danketika kedua orang tuanya mengidap miopia didapatkan sebanyak 23 individu (25,0%).15 Penelitian telahmenyebutkan bayangan yang jatuh di depan retina atau miopia berkaitan dengan pemanjangan sumbu horizontal bola mata, dimana abnormalitas ini dapat dijelaskan karena adanya kelainan pada genetik. Sebanyak 18 lokus gen pada 15 kromosom diduga memiliki peran penting terhadap miopia meskipun belum dapat dibuktikan sebab-akibatnya secara langsung.16Hasil penelitian prevalensi kelainan refraksi berdasarkan tempat tinggal menujukkan bahwa sebagian besar orang tua tinggal di daerah kota sebanyak 45 orang (97,8%). Kondisi geografis atau daerah tempat tinggal berdasarkan penelitian menunjukkan adanya pengaruh terhadap kelainanrefraksi. Penelitian di Hyderbad India terhadap anak usia sekolah menunjukkan prevalensi miopia di perkotaan lebih tinggi daripada pedesaan.17 Tingginyaprevalensi miopia yang didapatkan di daerah pusat kota atau pusat yang dapat dijangkau ke seluruh kota dibandingkan daerah pinggiran kota.18 Hal yang dapat menjelaskan fenomena tersebut melalui penelitian Lin,anak yang tinggal di perkotaan beraktivitas jarak dekatdengan durasi lebih panjang dibandingkan luar ruangberbeda dengan anak yang tinggal di pedesaan.19

Hasil penelitian prevalensi kelainan refraksi pada anak berdasarkan pekerjaan orang tua, sebagian besar orang tua bekerja sebagai wiraswasta. Pekerjaanibu responden sebagian besar berprofesi sebagaiwiraswata sebanyak 19 orang (41,3%), namun terdapatsebanyak 13 orang (28,3%) ibu responden tidak bekerja.Dilihat dari pekerjaan ayah responden, sebagian besar juga juga berprofesi sebagai wiraswasta sebanyak 22 orang (47,8%). Penelitian yang dilakukan Sofiani menyebutkan keadaan atau status ekonomi orang tua yang digambarkan melalui jenis pekerjaan pada remaja di SMA 2 Temanggung berpengaruh terhadap miopia pada anak. Sebanyak 45 siswa (48,9%) memiliki orang tua dengan pekerjaan formal dan 47 siswa (51,1%) memiliki orang tua dengan pekerjaan wiraswasta.15 Dampak dari jenis pekerjaan orang tua adalah penghasilan yang berkaitan dengan status ekonomi. Melalui penelitian Saxena, didapatkan hubungan yangbermakna antara miopia dengan status ekonomi (p=0,037) yang dapat dijelaskan melalui kemudahan untuk mengakses komputer, permainan dan televisi serta durasi yang lebih panjang pada status ekonomi yang lebih tinggi.15Pada penelitian ini,

prevalensi kelainan refraksi pada anak terkait tingkat pendidikan orang tuamenunjukkan sebagian besar orang tua berlatar belakang pendidikan sarjana, 31 ibu (67,4%) berpendidikan sarjana dan 33 ayah (71,7%) berpendidikan

sarjana. Studi sebelumnya oleh Wulansari, didapatkan tingkat pendidikan orang tua terhadap miopia tidak berpengaruh secara bermakna. Terjadinya hal tersebut mungkin berhubungan dengan sikap orang tua.18 Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasyim, hubungan bermakna didaptkanantara tingkat pendidikan orang tua dengan miopia, dimana pendidikan orang tua yang lebih tinggi menunjukkan rendahnya anak mengidap miopi bila dibandingkan dengan pendidikan orang tua yang lebih rendah.20Berdasarkan penelitian ini distribusi frekuensi perilaku penggunaan kacamata pada remaja yang mengalami kelainan refraksi di SMP Negeri 3 Denpasarmenyatakan bahwa sebanyak 46 anak (100,0%).Responden yang menggunakan kacamata, sebesar 31 anak (67,4%) mengetahui ukuran kacamata dan sebesar15 anak (32,6%) tidak mengetahui ukuran kacamata. distribusi frekuensi kondisi penglihatan pada remaja yang mengalami kelainan refraksi miopia di SMP Negeri 3 Denpasar menyatakan bahwa responden yang mengalami pusing saat membaca atau kegiatan jarakdekat sebanyak 11 anak (23,9%), sedangkan respondenyang mengalami penglihatan kabur jarak jauh sebanyak45 anak (97,8%).Pada penelitian ini, kelainan refraksi pada anak dengan distribusi frekuensi perilaku membaca sebesar 69,6% dengan durasi ≤3 jam sebanyak 30 anak (93,8%) dan durasi >3 jam sebanyak 2 anak (6,3%).Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Komariah menunjukkan durasi membaca 2 jam atau lebih berkaitan dengan terjadinya kelainan refkasi atau sekitar 38,2%.21 Aktivitas jarak dekat diantaranya berupa membaca dalam waktu panjang lebih dari 2 jamsecara rutin dapat mengawali terjadinya miopia sebagai akibat kumulatif kegiatan tersebut. Pada kenyataannya seseorang mengalami miopia cenderung membaca pada jarak lebih dekat tanpa koreksi.22 Penelitian oleh Sofiani menyatakan durasi membaca buku selama 30 menit sebanyak 56 siswa (60,9%), berbeda dengan 36 siswa (39,1%) lainnya yang memiliki kebiasaan durasi bacatidak baik yaitu lebih dari 30 menit.15Pada penelitian ini perilaku bermain video games pada anak yang mengalami kelainan refraksi miopia sebanyak 26 anak (56,5%) dengan durasi ≤3 jam sebanyak 24 anak (92,3%) dan durasi >3 jam sebanyak2 anak (7,7%). Penggunaan gadget pada anak yang mengalami kelainan refraksi miopia sebanyak 44 anak(95,7%). Penggunaan gadget intensitas dalam sekali dengan durasi ≤3 jam dan >3 jam masing-masing sebanyak 50 anak (50%). Berdasarkan penelitian yangdilakukan oleh Ariaty didapatkan tidak adanya (0%) responden yang tergolong risiko rendah atau menggunakan gadget kurang dari 30 menit menderitamiopia dan 38 (100%) lainnya yang tidak menderita miopia.23Penelitian lainnya menyebutkan penggunaan gagdet lebih dari 2 jam dalam sehari lebih tinggi proporsinya untuk mengidap miopia hingga lebih dari 40% dimana probabilitas mengalami miopia mencapai 1,232 kali lebih tinggi dibandingkan anak dengan frekuensi penggunaan gadget kurang dari 2 jam perhari.24 Penelitian ini menunjukkan aktivitas dan lihatjarak dekat berpengaruh terhadap tingginya dan derajatkeparahan miopia. Temuan ini sejalan dengan teori kebiasaan dalam membaca atau penggunaan gadget dalam

durasi panjang berdampak pada tingginya tonus siliaris yang berujung cembungnya lensa sehingga bayangan objek jatuh di depan retina, terjadi miopia.Usia anak sekolah cenderung memakai gadgetcukup lama. Mayoritas anak memakai gadget dengan durasi panjang yaitu lebih dari 2 jam atau sekitar 54,8%.25 Kegiatan terkait durasi penggunaan gadget berlebih dapat berdampak pada turunnya tajam penglihatan akibat stres pada otot akomodasi ketika berusaha untuk melihat objek dengan dimensi yang kecil pada jarak dekat dalam waktu lama. Otot pada mata yang digunakan untuk bekerja dalam waktu lamaakan menimbulkan ketegangan otot siliar karena penumpukan asam laktat serta kelelahan mata.24

Keunggulan dari dilaksanakan penelitian tentang prevalensi kelainan refraksi pada anak usia remaja ini, bahwa lokasi penelitian dilihat berdasarkan intensitas belajar yang cukup tinggi dibandingkan dengan sekolah lainnya. Selain itu, penelitian ini dapatdilaksanakan dengan metode online di era pademi saatini. Kelemahan dari penelitian ini bahwa analisis penelitian deskriptif, sehingga belum memperkuathubungan faktor risiko terjadinya miopia pada anak remaja. Selain itu, data diambil hanya melalui kuesioner bukan pemeriksaan refraksi langsung sehingga jika ada anak yang sebenarnya memiliki kelainan refraksi tapi tidak memakai kacmata sehingga tidak menjadi responden dalam penelitian.

SIMPULAN DAN SARAN

Adapun simpulan penelitian sebagai berikut:

Prevalensi penggunaan kacamata pada remaja yangmengalami kelainan refraksi di SMP Negeri 3 Denpasar sebanyak 46 anak (19,8%) dari 232 remaja siswa yang mengisi kuisioner. Karakteristik remaja yang mengalami kelainan refraksi di SMP Negeri 3 Denpasar paling banyakberumur 14 tahun yang didominasi oleh perempuan.

Distribusi frekuensi riwayat keluarga yang menggunakan kacamata pada remaja yang mengalami kelainan refraksi di SMP Negeri 3 Denpasar menyatakan bahwa paling banyak ibu yang menggunakan kacamata dibandngkan ayah.

Distribusi frekuensi sosiodemografi orang tua padaremaja yang mengalami kelainan refraksi miopia di SMP Negeri 3 Denpasar menyatakan bahwa sebagian besar orang tua responden bertempat tinggal di kota dengan latar belakang pendidikan Sarjana dan bekerja sebagai wiraswasta.

Distribusi frekuensi perilaku membaca, bermain games, penggunaan gadget pada remaja yang mengalami kelainan refraksi miopia di SMP Negeri3 Denpasar menyatakan bahwa sebagian besar anak suka membaca, suka bermain video games dan sukabermain gadget.

Adapun saran penelitian sebagai berikut:

Bagi Orang tua

Untuk dapat memantau perilaku anak dirumah serta memberikan pembatasan dalam menggunakan gadget atau membaca dalam waktu yang lama.

Bagi Guru

Untuk dapat memantau perilaku anak di sekolah,serta dapat memberikan tugas sekolah yang melibatkan aktivitas di luar rumah sehingga dapatmengurangi aktivitas penggunaan gadget. Bagi Tenaga Kesehatan

Dapat memberikan sosialisasi tentang faktor risiko serta pencegahatan dari kelainan refraksi miopo pada anak remaja dan kegiatan skrining mata padaanak-anak.

Bagi Peneliti berikutnya

Bagi peneliti berikutnya dapat melakukan penelitian dengan melakukan pemeriksaan visus untuk memastikan kelainan pada anak sekolah serta penggalian pertanyaan yang lebih dalam lagi pada calon responden mengenai faktor-faktor berisiko terjadinya kelainan refraksi miopi pada anak DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    World Health Organization. Visual Impairment and Blindness. Fact Sheet No.

282.  2014. [online]. Availlable at http://www.who.int/

mediacentre/ factsheets/fs282/en/. Viewed: October, 2020.

  • 2.    Hutami WD, Wulandari PA. Prevalensi Penurunan Tajam Penglihatan pada Siswa Kelas 3-6 Sekolah Dasar Negeri 1 Manggis, Karangasem Bali Tahun 2014. Intisari Sains Medis. 2016;6(1):102-10.

  • 3.    World Health Organization. Global Magnitude of Visual Impairment Caused by Uncorrected Refractive Errors in 2004. (http://www.who.int, viewed: October, 2020

  • 4.    Al Wadaani FA, Amin TT, Ali A, Khan AR. Prevalence and pattern of refractive errors among primary school children in Al Hassa, Saudi Arabia. Global journal of health science. 2013 Jan;5(1):125.

  • 5.    Anma AM. Jaelani A. Kebiasaan yang Bisa Menyebabkan Kejadian Rabun Jauh di Poliklinik mata RSUD Kota Baubau. J Med Surg Nurs. 2014;1(1):11-4.

  • 15.    Sofiani A, Santik YD. Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat miopia pada remaja (Studi dI SMA Negeri 2 Temanggung Kabupaten Temanggung). Unnes Journal of Public Health. 2016 Apr 15;5(2):176-85.

  • 16.    titi Lestari T, Anggunan A, Triwahyuni T, Syuhada R. Studi Faktor Risiko Kelainan Miopia Di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. 2020 Jun 30;9(1):305-12.

  • 17.    Uzma N, Kumar BS, Salar BK, Zafar MA, Reddy VD. A comparative clinical survey of the prevalence of refractive errors and eye diseases in urban and rural school children. Canadian journal of ophthalmology. 2009 Jun 1;44(3):328-33.

  • 18.    Wulansari D, Rahmi FL, Nugroho T. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Miopia Pada Anak Sd Di Daerah Perkotaan Dan Daerah Pinggiran Kota. Diponegoro Medical Journal (Jurnal Kedokteran Diponegoro).2018;7(2):947-61.

  • 6.    Ri K. Riset kesehatan dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI. 2013; 2013.h. 110-9.

  • 7. American Academy of Opthalmology, 2019

  • 8.    Saiyang B, Rares LM, Supit WP. Kelainan Refraksi Mata pada Anak. Medical ScopeJournal. 2021;2(2):5965.

  • 9.    Mihartari PG, Sutyawan IW, Triningrat AM. Gambaran Umum Kelainan Refraksi pada Pasien Anak Usia 6-12 Tahun di Divisi Refraksi dan Lensa Kontak Poliklinik Mata RSUP Sanglah Tahun 2014. E-Jurnal Medika. 2017;6(12):170-4.

  • 10.    Ramadhani AA. Prevalensi Penurunan Ketajaman Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi pada Siswa-Siswi Kelas 3 SD di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan Timur.2017

  • 11.    Ihsanti D, Tanuwidjaja S, Respati T. Hubungan Usia Dan Jenis Kelamin Dengan Derajat Kelainan Refraksi Pada Anak Di Rs Mata Cicendo Bandung.2015

  • 12.    Basri S, Pamungkas SR, Arifian FF. Prevalensi Kejadian Miopia yang Tidak Dikoreksi pada Siswa MTSS Ulumul Quran Banda Aceh. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika. 2020 Dec 26;3(4):1-8.

  • 13.    Gustin RK, Andiny S. Factors Associated With Myopia Incidence at Regional General Hospital DR. Adnaan WD Payakumbuh Year2017. Jurnal Kesehatan. 2018 Jan 31;9(1):33-43.

  • 14.    Yingyong P. Risk factors for refractiveerrors in primary school children (6-12 years old) in Nakhon Pathom Province. Medica journal of the Medical Association of Thailand. 2010 Nov 1;93(11):1288.

  • 19.    Lin Z, Gao TY, Vasudevan B, Ciuffreda KJ, Liang YB, Jhanji V, Fan SJ, Han W, Wang NL. Near work, outdoor activity, and myopiain children in rural China: the Handan offspring myopia study. BMC ophthalmology. 2017 Dec;17(1):1-8.

  • 20.    Hashim SE, Tan HK, Wan-Hazabbah WH, Ibrahim M. Prevalence of refractive error in Malay primary school children in suburban area of Kota Bharu, Kelantan, Malaysia. Annals Academy of Medicine Singapore. 2008 Nov 1;37(11):940.

  • 21.    Komariah C. Hubungan status refraksi, dengan kebiasaan membaca, aktivitas di depan komputer, dan status refraksi orangtua pada anak usia sekolah dasar. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2014 Aug26;28(2):137-40.

  • 22    Gopalakrishnan S, Prakash MV, Jha RK. A study of refractive errors among medical students in AIMST University, Malaysia. Indian Med J. 2011;105(11):365-74.

  • 23.    Ariaty Y, Hengky HK. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA MIOPIA PADA SISWA/I SD KATOLIK KOTA PAREPARE. Jurnal Ilmiah Manusia Dan Kesehatan. 2019 Sep 30;2(3):377-87.

  • 24    Permana GA, Sari KA, Aryani P. Hubungan perilaku penggunaan gadget terhadap miopia pada anak sekolah dasar kelas 6 di Kota Denpasar.

  • 25.    Nisaussholihah N, Faradis RH, Roesbiantoro A, Muhammad DS, Masdan H. Pengaruh Penggunaan Gadget Terhadap KejadianMiopia Pada Anak Usia Sekolah (4-17 Tahun) Di Poli Mata Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya. Jurnal Kesehatan Islam e-ISSN. 2020 Sep 24;2615:8345.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2022.V11.i11.P06

41