JMU

Jurnal medika udayana


ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 11 NO.10,OKTOBER, 2022

I—∖∕~s A  Idirectoryof

OPEN ACCESS

IJOURNALS


Diterima: 2022-01-04 Revisi: 2022-08-28 Accepted: 25-09-2022

HUBUNGAN FLAT FOOT DENGAN CHRONIC ANKLE INSTABILITY PADA ATLET BASKET KELOMPOK UMUR 14 TAHUN DI KLUB BASKET ELITE BALI DAN MERPATI BALI

Adiel Theodore Koeswandi1, Muliani2, Yuliana2, I Nyoman Mangku Karmaya2

1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

2Departemen Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Semakin berkembangnya olahraga bola basket di Indonesia ditandai dengan partisipasi anak-anak dimulai dari usia dini. Pada atlet usia muda sangat rentan terjadi cedera yang disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya flat foot yang banyak dialami oleh usia muda. Pada atlet basket sering mengalami cedera pada sendi engkel dan jika cedera tersebut berulang dapat menyebabkan terjadinya chronic ankle instability (CAI). Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan data bentuk kaki dilakukan dengan menggunakan wet footprint test lalu dilanjutkan dengan pengukuran clarke’s angle. Pengambilan data CAI mengunakan kuesioner Identification of Functional Ankle Instability (IdFAI). Teknik pengambilan sampel menggunakan sistem total sampling dan didapatkan 35 responden dari klub basket Elite Bali dan Merpati Bali. Analisis data dilakukan dengan uji chi square didapatkan nilai p<0,05 yang berarti adanya hubungan antara flat foot dengan CAI. Tetapi pada sampel hanya ditemukan 1 orang dengan flat foot sekaligus menderita CAI pada kaki kiri maupun kaki kanan. Dapat disimpulkan bahwa flat foot dapat disingkirkan menjadi faktor risiko dari terjadinya CAI. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk dapat mengeneralisasi hasil penelitian ini.

Kata kunci : flat foot., chronic ankle instability., atlet basket kelompok umur 14 tahun

ABSTRACT

This A massive development of basketball in Indonesia was marked by participation of children starting from an early age. Young aged athletes are very susceptible to get injuried by various factors, one of which is flat foot which often experienced by children. Most common injury experienced by basketball athletes is ini ankle joint and if the injury is repeated it can cause chronic ankle instability (CAI). This research is an analytic observational study with a cross sectional approach. Foot shape data was collected using the wet footprint test and then continued with the measurement of Clarke’s angle. CAI data collection used the Identification of Functional Ankle Instability (IdFAI) questionnaire. The sampling technique used a total sampling and obtained 35 respondents from the Elite Bali and Merpati basketball club. Data analysis was carried out by using the chi square test and obtained p<0.05, which means that there is a relationship between flat foot and CAI. However, in the sample, only one person with flat foot and CAI was found with both the left and right foot. It can be concluded that flat feet can be excluded as a risk factor for CAI. Further research is needed with a larger sample size to be able to generalize the results of the study.

Keywords : flat foot., chronic ankle instability., under 14 aged basketball athlete

PENDAHULUAN

Flat Foot atau pes planus merupakan kondisi anatomi dimana turunya longitudinal dan atau medial arches pada telapak kaki. Akitbatnya seluruh permukaan telapak kaki menyentuh lantai atau permukaan tanah saat melakukan aktifitas dengan menahan beban. Saat lahir, manusia memiliki bentuk kaki yang datar diakibatkan adanya fat pad atau adipose cushion yang berada di

bawah medial longitudinal arch dan akan berkurang pada usia dua sampai lima tahun.1 Terdapat juga flatfoot yang didapatkan saat dewasa (acquired) yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti hipokinesia, obesitas dan faktor keturunan. Secara anatomi flat foot dapat dijelaskan akibat dari deformitas struktur tulang, ketidakseimbangan otot, kelemahan ligamen, dan posterior tibial tendon dysfunction (PTTD). Pada PTT normal, saat lutut ekstensi gastrocnemius akan memberikan kekuatan yang

lebih tinggi pada kaki melalui tendon achilles dan akan membuat tumit menjadi naik. Dengan disfungsi PTT, akan terjadi penurunan inversi yang mencegah terbentuknya arkus longitudinal medial dan menyebabkan penggerak ke depan yang dihasilkan oleh triceps surae tidak lagi bekerja pada bagian kepala metatarsal, tetapi pada kaki bagian tengah. Chronic stress PTT pada flat foot dan menyebabkan mikrotrauma dan degenarasi PTT. Jika struktur jaringan lunak pada arkus melemah maka kompleks triceps normal menjadi lebih ketat atau lebih pendek dalam posisi plantarfleksi dari talus dan calcaneus karena triceps surae tidak akan diregangkan selama berjalan. Jika kompleks triceps surae menjadi lebih ketat maka peningkatan tekanan pada struktur pendukung normal dari arkus akan melemah dan midfoot akan menjadi longgar dan kolaps.2,3

Pada anak usia 2 tahun sekitar 90% masih terdapat pembentukan infantile adipose cushion pada medial telapak kaki. Prevalensi menurun drastis pada anak usia 10 tahun yaitu hanya sebanyak 4%. Pada penelitian yang dilakukan di Kecamatan Sukajadi, Bandung, ditemukan bahwa penurunan penderita flat foot pada anak usia 6-10 tahun terlihat tidak terlalu signifikan. Periode kritis dalam perkembangan arkus longitudinal medial yaitu pada usia 3-6 tahun. Pada usia dewasa sebanyak 23% dari populasi mengalami flat foot. Dua per tiga kasus flat foot pada orang dewasa disebabkan oleh kompleks subtalar, hiperfleksibel sendi engkel, dan seperempatnya terdapat kontraktur pada otot triceps surae.1,4,5 Cara untuk mendiagnosis flat foot sangat bervarasi mulai dari yang paling mudah seperti wet footprint test hingga pemeriksaan radiologi untuk mengetahui adanya pelemahan tendon/ligament. Pada umunya, flat foot tidak diperlukan pengananan lebih lanjut jika tidak menimbulkan gejala dan menganggu aktifitas sehari-hari. Penanganan paling umum yaitu penggunaan orthosis masih belum dapat dibuktikan manfaatnya. Jika terjadi pembengkakan dan atau nyeri dapat diberikan nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID) atau jika terjadi pelemahan ligmen dapat dilakukan latihan penguatan otot tibialis posterior. Pada kasus tertentu penderita flat foot kesulitan dalam melakukan aktifitas sehari-hari akibat nyeri dan disertai penurunan kualitas hidup dapat disarankan untuk melakukan tindakan pembedahan.6

Pada atlet usia muda akan lebih tinggi risiko cedera dikarenakan ketidakseimbangan dalam kontrol neuromuskular, kekuatan, dan kelenturan. Selama masa pertumbuhan, tulang rawan akan lebih mudah terkena cedera dibandingkan pada orang dewasa. Pada usia 6 hingga 14 tahun, peningkatan massa kaki adalah dua kali lipat peningkatan panjang kaki yang akan menyebabkan ketidakseimbangan kekuatan dan penurunan kontrol ekstremitas bawah.7 Pada peneitian di Amerika Serikat pada atlet basket usia muda didapatkan bahwa jumlah cedera terbesar adalah pada sendi engkel yaitu sebesar 35,9% pada wanita dan 43,2% pada pria. Cedera tersebut paling sering terjadi pada saat terjadinya kontak fisik atau lompatan seperti pada saat melakukan rebounding (25,1%) dan pada posisi

bertahan (14,8%).8 Pada penelitian yang dilakukan pada beberapa klub basket kelompok

Kelompok umur dibawah 18 tahun di Finlandia, engkel merupakan lokasi cedera tersering kedua setelah lutut yaitu sebesar 17,8% dan hamper setengah dari total kejadian tersebut terjadi secara berulang.9

Chronic Ankle Instability (CAI) merupakan kondisi yang terjadi setelah terjadinya ankle sprain yang terjadi secara berulang pada struktur yang sama atau pada mekanisme yang berbeda yang menyebabkan insufisiensi pada ligamen engkel lateral. Patofisiologis pada chronic ankle instability dapat dibagi menjadi dua yaitu instabilitas mekanik dan fungsional. Instabilitas mekanik yaitu kelemahan pada sendi engkel yang terlibat akibat ankle sprain yang terjadi akibat adanya gerakan yang melebihi batas fisiologis sendi. Pada instabilitas fungsional akan muncul gejala yang yang subjektif seperti merasakan sensasi giving way, yang diduga disebabkan oleh defisit proprioseptif dan neuromuscular.10,11 Flat foot yang berkaitan dengan talus akan mengakibatkan kaki hiperpronasi sehingga tumpuan berat badan berpindah ke depan. Hal ini juga dapat mengakibatkan tendinopathy yang disebabkan oleh meregangnya PTT dan mereggangnya ligamen. Kelemahan otot, ligamen, dan tendon yang disebabkan dapat mengurangi kesimbangan pada penderita flat foot, bagaimanapun juga akan meningkatkan resiko cedera pada saat bermain basket dengan intensitas tinggi. Pastinya akan berefek secara langsung pada instabilitas sendi engkel. Karena adanya instabilitas pada sendi engkel tentunya akan memperbesar peluang terjadinya ankle sprain berulang yang chronic ankle instability. Pada Beberapa penelitian juga menunjukan bahwa otot tungkai pada flat foot lebih lemah jika dibandingkan dengan telapak kaki normal.12 Pada atlet basket usia muda dengan flat foot dapat melakukan pencegahan terhadap risiko cedera yaitu dengan penggunaan kinesio tape dan latihan penguatan otot fleksor intrinsik, seperti flexor digitorum brevis, abductor digiti minimi, dan abductor hallucis dengan cara toe curl dan short foot exercise.13,14

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini adalah penelitian cross sectional dengan metode observasional analitik yang dilaksanakan pada bulan Februari 2021 hingga Agustus 2021. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik oleh pihak Komisi Etik Penelitian (KEP) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar melalui surat keterangan kelaikan etik (ethical clearance) yang bernomor 504/UN14.2.2.VII.14/LT/2021. Teknik pengambilan sampel mengunakan total sampling pada atlet basket kelompok umur 14 tahun di klub basket Elite Bali dan Merpati Bali. Pengambilan sampel pada kedua klub tersebut karena merupakan dua klub basket yang ada di Bali. Total atlet kelompok umur 14 tahun pada kedua tersebut dipilih dengan kriteria inklusi berusia 12 sampai 14 tahun, bersedia menandatangani informed consent, dan memiliki pengalaman berlatih basket minimal 1 tahun. Atlet yang mengalami ankle sprain selama seminggu sebelum pengambilan

data akan di eksklusi. Data yang diambil merupakan data primer yaitu pengambilan sampel bentuk kaki mengunakan metode wet footprint test dan stabilitas sendi engkel mengunakan pengisian kuesioner Identification of Functional Ankle Instability (IdFAI). Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis dengan perangkat lunak Statistical Package for the Social Science (SPSS) untuk dilakukan analisis data bivariat mengunakan uji chi square.

HASIL

Penelitian ini dilakukan pada atlet basket putra Merpati Bali pada tanggal 29 Maret 2021, pada atlet basket putra putri klub Elite Bali pada tanggal 30 Maret 2021, dan pada atlet basket putri klub Merpati Bali pada 1 April 2021. Sampel penelitian diambil setelah atlet melakukan latihan di GOR Merpati Denpasar untuk klub Merpati Bali dan GOR Ngurah Rai Denpasar untuk klub Elite Bali.

Pada sampel kaki kiri terdapat perbedaan yang cukup signifikan pada persentase bentuk kaki. Didapatkan 13 kaki normal (37,1%), 15 kaki flat foot (42,9%), dan 7 kaki cavus foot (20%). Persentase flat foot yang didapatkan pun cukup tinggi dibandingkan kaki kana yaitu pada pria 8 kaki (53,5) dan perempuan 7 kaki (35%) (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi bentuk kaki kiri berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Bentuk Kaki

Total

Normal

Flat Foot

Cavus Foot

n

%

n

%

n

%

n

%

Laki-laki

4

26,6

8

53,3

3

20

15

100

Perempuan

9

45

7

35

4

20

20

100

Total

13

37,1

15

42,9

7

20

35

100


Dengan adanya perbedaan persentase bentuk kaki pada kaki kanan dan kaki kiri, terdapat 2 kelompok flat foot yang didapatkan pada sampel yaitu unilateral dan bilateral. Pada keseluruhan sampel didapatkan 16 orang yang memiliki bentuk kaki flat foot dengan pembagian 10 orang unilateral (62%) dan 6 orang bilateral (38%) (Gambar 2).

Gambar 1. Grafik distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin

Dikarenakan sedikitnya jumlah populasi target sehingga digunakan teknik total sampling untuk mendapatkan sampel penelitian. Dari populasi target tersebut didapatkan jumlah sampel sebanyak 35 orang yang merupakan atlet basket kelompok umur 14 tahun di klub basket Merpati Bali dan Elite Bali yang hadir saat latihan dan disesuaikan dengan kriteria inklusi dan ekslusiyang telah ditetapkan. jumlah sampel perempuan sedikit lebih banyak daripada laki-laki yaitu sebanyak 20 orang (57%), dan laki-laki sebanyak 15 orang (43%) (Gambar 1).

Pengambilan sampel bentuk kaki dilakukan pada kaki (kanan dan kiri) dengan menggunakan metode wet footprint test dilakukan secara langsung setelah atlet melakukan latihan. Pada 35 sampel kaki kanan didapatkan 18 kaki (51,4%) normal, 7 kaki

(20%) flat foot dan 10 kaki (28,5%) cavus foot. Pada sampel laki- laki terdapat jumlah kaki flat foot lebih sedikit yaitu sebanyak 2 kaki (13,3%), sedangkan pada perempuan memiliki jumlah yang lebih banyak yaitu 5 kaki (25%) (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi bentuk kaki kanan berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Bentuk Kaki

Total

Normal

Flat Foot

Cavus Foot

n

%

n

%

n

%

n

%

Laki-laki

8

53,3

2

13,3

5

33,3

15

100

Perempuan

10

50

5

25

5

25

20

100

Total

18

51,4

7

20

10

28,5

35

100

Gambar 2. Grafik keterlibatan kaki pada flat foot

Pada penelitian chronic ankle instability menggunakan kuesioner IdFAI yang diisi secara langsung oleh sampel penelitian secara langsung dilakukan pada kedua kaki sampel penelitian. Pada sampel kaki kanan ditemukan 18 kaki (51,4%) yang memiliki engkel stabil dan 17 kaki (48,6%) yang instabil. Pada kaki kiri ditemukan 19 kaki (54,3%) yang memiliki engkel stabil dan 16 kaki (45,7%) yang instabil. Dengan total didapatkan 37 kaki (52,9 %) yang stabil dan 33 kaki (47,1%) yang instabil (Tabel 3). Dari total 21 orang dengan chronic ankle instability didapatkan lebih banyak yang terjadi bilateral dibandingkan unilateral (Gambar 3).

Tabel 3.

Distribusi chronic ankle instability berdasarkan kaki

Kaki

Chronic Ankle Instability

Total

Stabil

Instabil

n  %

n

%

n

%

Kanan

18   51,4

17

48,6

35

100

Kiri

18   54,3

16

45,7

35

100

Total

37  52,9

33

47,1

70

100

Gambar 3. Grafik keterlibatan kaki pada chronic ankle instability

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa pada sebagian besar (68%) sampel dengan chronic ankle instability memiliki riwayat cedera. Riwayat cedera terbanyak adalah ankle sprain dengan 64% (Gambar 4).

Gambar 4. Grafik riwayat cedera pada sampel dengan chronic ankle instability

Tabel 4.     Tabulasi silang bentuk kaki kanan dengan chronic

ankle instability pada atlet basket kelompok umur 14 tahun di klub basket elite bali dan merpati bali

Kaki

Chronic Ankle Instability Juml

%

P

Stabil

Instabil

ah (n)

n

%

N

%

N

%

Lainnya

11

39,3

17

60,7

28

100

0,008

Flat Foot

7

100

0

0

7

100

Jumlah (n)

18

51,4

17

48,6

35

100

*lainnya: normal foot dan cavus foot

Pada tabulasi silang didapatkan hasil pada bentuk kaki kanan normal dan cavus terdapat 11 kaki (39,3%) yang memiliki engkel stabil dan 17 kaki (60,7%) yang instabil. Sedangkan pada flat foot kanan didapatkan 7 kaki (100%) yang memiliki engkel stabil dan tidak ada yang instabil.

Hasil uji statistik chi square dengan menggunakan fisher’s extract test dikarenakan terdapat 2 nilai expected yang kurang dari 5, dengan Pvalue yang didapatkan pada kolom “Exact Sig.” diketahui p value 0,008 (<0,05). Hal ini menunjukan bahwa terdapat hubungan antara bentuk kaki kanan dengan chronic ankle instability pada atlet basket kelompok umur 14 tahun di klub Elite Bali dan Merpati Bali (Tabel 4).

Pada tabulasi silang didapatkan hasil pada bentuk kaki kiri normal dan cavus terdapat 5 kaki (25%) yang memiliki engkel stabil dan 15 kaki (75%) yang instabil. Sedangkan pada flat foot kanan didapatkan 14 kaki (93,3%) yang memiliki engkel stabil dan 1 kaki (6,7%) yang instabil.

Hasil uji statistik chi square dengan menggunakan pearson chi square dikarenakan tidak terdapat nilai expected yang kurang dari 5, dengan Pvalue yang didapatkan pada kolom “Asymptotic Significance” diketahui p value kurang dari 0,005. Dengan hasil tersebut dapat simpulkan bahwa terdapat hubungan antara bentuk kaki kiri dengan chronic ankle instability pada atlet basket kelompok umur 14 tahun di klub Elite Bali dan Merpati Bali (Tabel 5).

Tabel 5.     Tabulasi silang bentuk kaki kiri dengan chronic

ankle instability pada atlet basket kelompok umur 14 tahun di klub basket elite bali dan merpati bali

Kaki        Chronic Ankle     Juml %    P

Instability

ah (n)

Stabil

Instabil

n

%

N

%

N

%

Lainnya

5

25

15

75

20

100  0,000

Flat Foot

14

93,3

1

6,7

15

100

Jumlah (n)

19

54,3

16

45,7

35

100

*lainnya: normal foot dan cavus foot

PEMBAHASAN

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara flat foot dengan chronic ankle instability pada atlet basket kelompok umur 14 tahun di klub basket Elite Bali dan Merpati Bali. Data bentuk kaki diperoleh dari wet footprint test dan chronic ankle instability diperoleh dari pengisian kuesioner IdFAI oleh sampel penelitian secara langsung bersamaan dengan pengambilan data bentuk kaki.

Pengukuran bentuk kaki dilakukan dengan wet footprint test, lalu dilanjutkan dengan penghitungan Clarke’s angle. Clarke’s angle merupakan salah satu indeks yang sering dipakai untuk penelitian selain the Staheli index dan the Chippaux- Smorax index. Pada penelitian tahun 2015 pada orang dewasa, didapatkan bahwa Clarke’s angle memiliki spesifitas paling tinggi mencapai 90,7% dibandingkan dengan kedua indeks lainnya. Pada penderita flat foot 0,11 kali berpeluang untuk mendapatkan hasil negatif dibandingkan dengan kaki normal. Hal ini menandakan bahwa Clarke’s angle memiliki akurasi yang tinggi dalam mendiagnosis flat foot.15

Pada penelitian didapatkan hasil jumlah flat foot pada kaki kanan 13% pada laki-laki dan 25% pada perempuan. Sedangkan pada kaki kiri didapatkan jumlah 53,3 % pada laki-laki dan 35% pada perempuan. Terdapat penelitian yang dilakukan oleh Pfeifer et al., pada tahun 2006 yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan flat foot yang lebih tinggi dikarenakan nilai rearfoot valgus pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan pada segala usia. Dengan hasil yang didapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada bentuk kaki menurut jenis kelamin. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian terbaru yang telah dilaksanakan pada anak usia sekolah di Iran dan Cina.16,17

Terdapat perbedaan jumlah flat foot antara kaki kanan dan kiri, hal ini menandakan bahwa terdapat dua kelompok yaitu flat foot unilateral maupun bilateral. Didapatkan hasil 10 orang (62%) dengan flat foot unilateral dan 6 orang (38%) dengan flat foot bilateral. Pada beberapa penelitian membuktikan bahwa bertambahnya usia berpengaruh terhadap menurunnya prevalensi flat foot bilateral pada anak tetapi pada kasus unilateral prevalensinya konstan. Pada penelitian Chen et al, pada tahun 2010 didapatkan hasil pada usia 3 tahun prevalensi flat foot bilateral sebanyak 54,5% dan

menurun menjadi 21% pada usia 6 tahun. Pada flat foot unilateral didapatkan bertambah dari 14,2% menjadi 17,5%.17,18

Terdapat 2 jenis CAI yang telah diterima yaitu mekanik dan fungsional. Instabilitas mekanik berkaitan pada keterbatasan range of motion (ROM) pada sendi engkel. Sedangkan instabilitas fungsional merupakan perasaan subjektif pada instabilitas sendi engkel atau berulang, symptomatic ankle sprain (atau keduanya) yang disebabkan oleh proprioseptif dan defisit neuromuskular. Sedikitnya penelitian untuk prevalensi chronic ankle instability (CAI) disebabkan oleh tidak adanya gold standart untuk mengidentifikasi CAI. Sebagian besar penelitian menggunakan kuesioner untuk mendiagnosis CAI. Pada penelitian ini hanya mendiagnosis functional instability sehingga digunakan kuesioner IdFAI. Kuesioner ini dipilih karena merupakan kuesioner yang singkat, sederhana, mudah dimengerti, dan sudah terbukti memiliki akurasi yang sangat baik dalam mengidentifikasi CAI.19

Pada penelitian ini didapatkan hasil 47% dari jumlah sampel memiliki CAI. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian dengan sampel yang lebih banyak yang dilakukan Tanen et al. tahun 2013 pada atlet sekolah menengah dan universitas di Amerika Serikat didapatkan 31,1% memiliki CAI. Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa 57% CAI terjadi bilateral. Belum ada penelitian yang meneliti faktor yang menyebabkan CAI terjadi pada bilateral. Terdapat teori yang dapat menguatkan hasil ini yaitu bahwa jika satu sisi bagian tubuh cedera, maka akan berdampak ke sisi yang lainnya. Pada penelitan tersebut didapatkan persentase lebih tinggi pada sampel yang lebih muda yaitu tingkat sekolah menengah dibandingkan universitas. Ada banyak kemungkinan faktor yang mempengaruhi yaitu tidak adanya pelatih fisik yang dapat membantu untuk mencegah terjadinya CAI dengan taping, penguatan, dan program rehabilitasi yang komprehensif. Selain itu tingkat partisipasi yang lebih lama pada atlet tingkat universitas tentunya diikuti dengan kemampuan dan permainan yang lebih baik sehingga dapat mengurangi resiko untuk cedera engkel. Faktor terakhir yaitu kurangnya perlengkapan penunjang yang tersedia dan kesadaran untuk peregangan dan pemanasan untuk mencegah terjadinya cedera.20

Cedera pada kaki dan engkel merupakan cedera tersering yang dialami oleh atlet basket dikarenakan adanya gerakan akselerasi dan deselerasi yang cepat, dan lompatan yang dilakukan pada permainan bola basket. Pada atlet usia muda diperlukan tindakan preventif agar tidak sampai terjadi CAI. Salah satu yang dapat dilakukan adalah melakukan rehabilitasi penuh pada cedera awal dengan fokus pada optimalisasi propriosepsi dan kekuatan peroneal agar tidak terjadinya kejadian yang berulang dan kronis. Seperti yang didapatkan pada penelitian ini bahwa sekitar 64% penderita chronic ankle instability memiliki riwayat ankle sprain. Selain itu juga terdapat tindakan preventif yang dapat dilakukan saat kembali bermain setelah cedera yaitu dengan

menggunakan external ankle support dan penggunaan taping yang benar dan sesuai dengan kebutuhan.21

Pada penelitian ini didapatkan bahwa terdapat hubungan antara flat foot dengan chronic ankle instability (p<0,05) pada kaki kanan (p=0,008) dan pada kaki kiri (p=0,000), tetapi jika dilihat kembali pada penyebaran distribusi data bahwa penderita CAI lebih banyak pada sampel dengan cavus foot maupun normal foot dibandingkan dengan flat foot yang hanya 1 saja pada kaki kiri yang memiliki CAI. Dengan hasil ini maka flat foot dapat disingkirkan dari faktor yang mempengaruhi terjadinya CAI.

Tidak adanya hubungan antara flat foot dengan chronic ankle instability pada penelitian ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pada penelitian ini hanya mendiagnosis functional ankle instability menggunakan kuesioner, yang mana penilaian tersebut bersifat subjektif. Pada pengisian kuesioner diperlukan pemahaman sampel penelitian untuk mendapatkan hasil yang optimal. Sedangkan mechanical ankle instability tidak diteliti karena untuk diagnosis diperlukan lebih sulit untuk dilakukan tetapi pemeriksaannya bersifat objektif. Terdapat beberapa keterbatasan juga pada penelitian ini antara lain sedikitnya jumlah sampel yang disebabkan menurunnya partisipasi atlet dalam latihan dikarenakan kondisi pandemi.

Selain itu, mekanisme cedera pada ankle sprain maupun chronic ankle instability sangat kompleks. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mekanisme cedera yaitu secara anatomi, mekanikal, dan fungsional yang mana dapat saling berkaitan. Hal ini menyebabkan ada banyak kemungkinan patomekanisme yang dapat terjadi pada atlet dengan CAI sehingga bisa saja flat foot merupakan salah satu dari faktor tersebut, tetapi harus dibuktikan kembali pada penelitian dengan jumlah sampel yang lebih banyak.22

Meskipun tidak adanya hubungan antara flat foot dan CAI tetapi kondisi atlet dengan flat foot tetap harus mendapatkan perhatian yang lebih. Beberapa penelitian menunjukan bahwa pada 80% atlet dengan flat foot memiliki gejala nyeri tumit bawah pada saat gerakan melompat dan akselerasi deselerasi yang mendadak. Nyeri yang ditimbulkan disebabkan oleh plantar fasciitis. Pada penderita flat foot berat beban tubuh tidak seimbang terjadi karena penurunan kekuatan otot dan gerakan dorsofleksi. Jika dibiarkan terlalu lama maka akan menyebabkan menebalnya plantar fascia.23,24

Pada penelitian yang dilakukan pada unit kegiatan mahasiswa (UKM) basket di kota Makassar tahun 2016 didapatkan bahwa adanya agility yang lebih buruk pada atlet dengan flat foot dibandingkan dengan kaki normal. Agility merupakan hal yang sangat penting pada permainan bola basket sehingga akan mempengaruhi performa atlet saat pertandingan.25

Diperlukan kesadaran pada organisasi pembinaan dan pelatih atlet usia muda untuk lebih memperhatikan resiko cedera yang mungkin terjadi pada atletnya. Tujuannya adalah agar tidak berdampak negatif pada atlet tersebut untuk jangka pendek maupun panjang. Dengan kondisi atlet usia muda

yang memiliki tubuh yang sehat dan fit tentunya sangat bermanfaat juga untuk perkembangan pada seluruh cabang olahraga yang ada di indonesia.

SIMPULAN DAN SARAN

Dengan hasil penelitian seperti yang sudah tertulis diatas maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara flat foot dengan chronic ankle instability pada atlet basket kelompok umur 14 tahun di klub basket Elite Bali dan Merpati Bali.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperlukan lebih banyak lagi penelitian mengenai cedera yang mungkin terjadi pada atlet basket usia muda dan risiko yang akan dialami oleh atlet dengan flat foot. Kedepannya juga diperlukan penelitian lebih lanjut dengan alat diagnosi yang lebih advance dan sampel yang lebih besar untuk dapat menggeneralisasikan hasil yang didapatkan.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Atik A., and Ozyurek S. Flexible Flat Foot. North Clin Istanbul. 2014;1:57-64.

  • 2.    Durrant B., Chockalingam N., Hasimi F. Posterior Tibial Tendon Dysfunction. Journal of the American Podiatric Medical Association. 2011;101(2):176-185.

  • 3.    Boerum D. H. V., and Sangeorzan B. J. Biomechanics and Pathophysiology of Flat Foot. Foot Ankle Clin N Am. 2003;8:419-430.

  • 4.    Carr II J. B., Yang S., Lather L. Pediatric Pes Planus: A-state-of-the-art-review. Pediatrics. 2016;137(3).

  • 5.    Fadillah V. N. M., Mayasari W., Chaidir M. R. Gambaran Faktor Risiko Flat Foot Pada Anak Umur 6-10 Tahun Di Kecamatan Sukajadi. JSK. 2017;3(2):97-102.

  • 6.    Halabachi F., Mazaheri R., Mirshahi M., Abbasian L. Pediatric Flexible Flatfoot; Clinical Aspects and Algorithmic Approach. Iran J Pediatr. 2013;23(3):248-258.

  • 7.    Foss K. D. B., Myer G. D., Hewett T. E. Epidemiology of Basketball, Soccer, and Volleyball Injuries in Middle-school Female Athletes. The Physician and Sport Medicine. 2014;42(3):146-153.

  • 8.    Borowski L. A., Ellen E., Sarah K., Comstock R. D. The Epidemiology of US High School Basketball Injuries, 20052007. The American Journal of Sport Medicine. 2008;36(12): 2328-2335.

  • 9.    Pasanen K., Ekola T., Vasankari T., Kannus P., Heinonen A., Kujala U. M., Pakkari J. High Ankle Injury Rate in Adolescent Basketball: A 3 Years Prospective Follow Up Study. Scand J Med Sci Sport. 2016;pp.1-7.

  • 10.    Delahunt E., Coughlan G. F., Caulfield B., Nightingale E. J., Lin C. C., Hiller C. E. Inclusion Criteria when Investigating Insufficiencies in Chronic Ankle Instability. Meds Sci Sports Exerc. 2010;42(11): 2106-2121.

  • 11.    Hong C. C. and Tan K. J. Concept of Ankle Instability. OA Sports Medicine. 2014;2(1):3.

  • 12.    Ridjal A. I. Perbandingan Kekuatan Otot Tungkai antara Normal Foot dan Flat Foot pada Atlet Basket. Makassar: Universitas Hasanuddin. 2016

  • 13.    Jung D. Y., Kim M. H., Koh E. K., Kwon O. Y., Cynn H. S., Lee W. H. A Comparison in the Muscle Activity of the Abductor Hallucis and the Longitudinal Arch Angle During Toe Curl and Short Foot Exercise. Physical Therapy in Sport. 2011;12:30-35.

  • 14.    Kim E. K. and Kim J. S. The Effects of Short Foot Exercises and Arch Support Insoles on Improvement in the Medial Longitudinal Arch and Dynamic Balance of Flexible Flatfoot Patients. J Phys Ther Sci. 2016;28:3136-3139.

  • 15.    Pita-Fernández S., González-Martín C., Seoane-Pillado T., López-Calviño B., Pértega-Díaz S., Gil-Guillén V., 2015. Validity of Footprint Analysis to Determine Flatfoot using Clinical Diagnosis as the Gold Standard in a Random Sample Aged 40 Years and Older. J Epidemiol. 2015;25(2): 148 -154.

  • 16.    Sadegi-Demneh E., Jafarian F., Melvin J. M. A., Azadinia F., Shamsi F., Jafarpishe M. Flat Foot in School-Age Children, Prevalence and Associated Factors. Foot Ankles Spec. 2015;20(10):1-7.

  • 17.    Yin J., Zhao H., Zhuang G., Liang X., Hu X., Zhu Y., Zhang R., Fan X., Cao Y. Flexible Flatfoot of 6-13 Year-old Children: A Cross-sectional Study. Journal of Orthopaedic Science. 2018;23(3):552-557.

  • 18.    Chen K., Yeh C., Tung L., Yang F., Yang S., Wang C. Relevant Factors Influencing Flatfoot in Preschool-aged Children. Eur J Pediatr. 2011;170:931- 936.

  • 19.    Simon J., Donahue M., Docherty C. Development of the identification of functional ankle instability (IdFAI). Foot and Ankle International. 2012; 33(9):755-763.

  • 20.    Tanen L., Docherty C. L., Pol B. V. D., Simon J., Schrader J. Prevalence of Chronic Ankle Instability in High School and Division I Athletes. Foot Ankle Spec. 2014;7(1):37-43.

  • 21.    Gross, C., Goodloe, J. and Nunley, J., Management of Chronic Ankle Instability in the Basketball Player. Basketball Sports Medicine and Science, 2020;pp.459-466.

  • 22.    Bonnel F., Toullec E., Mabit C., Tourne Y. Chronic Ankle Instability: Biomechanics and Pathomechanics of Ligaments Injury and Associated Lesions. Orthopaedics & Traumatology: Surgery & Research. 2010;96: 424432.

  • 23.    Park S., Bang H., Park D. Potential for Foot Dysfunction and Plantar Fasciitis According to the Shape of the Foot Arch in Young Adult. Journal of Exercise Rehabilitation. 2018;14(3):497-502.

  • 24.    Kakade P. The Study of Flat Foot and Inferior Heel Pain in Sub Elite Basketball Players. International Journal of Physical Education, Sport and Health. 2020;7(1):16-18.

  • 25.    Darwis N. Perbandingan Agility Antara Normal Foot dan Flat Foot pada Atlet Unit Kegiatan Mahasiswa Basket di Kota Makassar. Skripsi: Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2016

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2022.V11.i10.P09

56