APLASTIC ANEMIA ET CAUSA OF SUSPECT VIRAL HEPATITIS INFECTION: A CASE REPORT
on
ANEMIA APLASTIK ET CAUSA SUSPEK INFEKSI VIRUS HEPATITIS : SEBUAH LAPORAN KASUS
I Wayan Wawan Lismana
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
ABSTRAK
Anemia aplastik merupakan anemia yang terjadi karena kegagalan dari hematopoiesis yang relatif jarang dijumpai namun dapat mengancam nyawa. Penyebab dari anemia aplastik sendiri sebagian besar masih tidak diketahui atau idiopatik. Sebagian kecil kasus terutama karena infeksi virus salah satunya virus hepatitis sejak lama telah diketahui dapat menimbulkan gejala anemia aplastik. Laporan ini membahas tentang anemia aplastik yang dicurigai disebabkan oleh infeksi virus hepatitis. Perjalanan penyakit atau prognosis dari anemia aplastik bervariasi, akan tetapi prognosis buruk dapat terjadi apabila tidak ditangani dengan pengobatan yang baik
Kata kunci : anemia aplastik, infeksi virus hepatitis
APLASTIC ANEMIA ET CAUSA OF SUSPECT VIRAL HEPATITIS INFECTION: A CASE REPORT
ABSTRACT
Aplastic anemia is anemia that occurs because of a failure of hematopoiesis is relatively rare but can be life threatening. The cause of aplastic anemia itself is still largely unknown or idiopathic. Minority of cases mainly due to a virus infection, one of which is viral hepatitis has long been known to cause symptoms of aplastic anemia. This report discusses the suspected aplastic anemia caused by hepatitis virus infection. Course of the disease or the prognosis of aplastic anemia varies, but a poor prognosis may occur if not handled with good treatment
Keyword : aplastic anemia, hepatitis virus infection
PENDAHULUAN
Anemia aplastik merupakan sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan pansitopenia perifer hipoplasia sumsum tulang dan makrositosis yang disebabkan oleh eritropoesis dan peningkatan jumlah fetal hemoglobin (Young, 2001). Anemia aplastik terjadi karena kegagalan dari hematopoiesis yang relatif jarang dijumpai namun dapat mengancam nyawa. Insiden penyakit anemia aplastik secara global jarang terjadi, sekitar 2 kasus per 1 juta penduduk di negara-negara barat. Sedangkan di kawasan Asia insiden penyakit ini sekitar 3-7 kasus per 1 juta
penduduk dimana insidennya 2-3 kali lebih tinggi daripada negara barat (Calado, 2006). Anemia Aplastik dapat mengenai pada semua umur, serta dalam beberapa kasus dapat diturunkan secara genetik. Insiden anemia aplastik terbanyak ditemukan pada umur 20-25 tahun. Secara gender tidak terdapat perbedaan rasio anemia aplastik antara pria dan wanita, meskipun perjalanan penyakit serta manifestasi klinis pada pria lebih berat daripada wanita (Bakta, 2006). Mekanisme terjadinya anemia aplastik secara primer kemungkinan melalui kerusakan yang terjadi pada sel induk (seed theory), kerusakan pada lingkungan mikro (soil
theory) dan dapat melalui mekanisme imunologi (immune suppression). Mekanisme tersebut terjadi melalui berbagai faktor yaitu: familial (herediter), idiopatik (penyebabnya tidak diketahui) dan yang disebabkan karena pengaruh bahan kimia, radiasi ion, infeksi, obat-obatan, dan kelainan imunologis (Widjanarko,2001).
Anemia aplastik merupakan suatu penyakit yang akan diderita seumur hidup oleh pasien. Perjalanan penyakit atau prognosis dari anemia aplastik bervariasi, akan tetapi prognosis buruk dapat terjadi apabila tidak ditangani dengan pengobatan yang baik. Progresifitas anemia aplastik dapat menyebabkan rata-rata pasien meninggal dalam waktu 3 bulan (10-15% kasus) sedangkan pada perjalanan penyakit yang kronik dengan remisi dan relapse dapat meninggal dalam 1 tahun (50% kasus) (William,1993). Oleh karena itu, untuk penanganan anemia aplastik diperlukan kerjasama antara tim medis, pasien, serta keluarga dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi yang baik terhadap pasien beserta keluarganya pemahaman tentang penyakit dan komplikasi akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup pasien.
LAPORAN KASUS
Perempuan, usia 13 tahun, suku Bali, kebangsaan Indonesia mengeluh lemas sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit dan memberat sejak dua hari sebelum masuk rumah sakit. Lemas dirasakan pada seluruh tubuh, terus menerus sepanjang hari, dirasakan paling berat saat pasien berubah posisi dari posisi tidur ke posisi duduk dan tidak membaik dengan istirahat. Keluhan lemas ini sudah sering dirasakan pasien sejak kurang lebih 6 bulan yang lalu dan hilang timbul. Pasien juga mengeluh mengalami pusing dan pengelihatannya sering berkunang-kunang sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Adanya keluhan gusi berdarah dirasakan sejak 2
hari yang lalu secara tiba-tiba. Pada kulit pasien juga dikeluhkan adanya memar – memar atau bercak merah. Pasien juga mengatakan mengalami demam sejak 1 hari yang lalu, demam dikatakan tidak terlalu tinggi dan dirasakan seperti meriang Pasien mengatakan nafsu makan dan minumnya mengalami penurunan. Begitu juga berat badan pasien juga dikatakan mengalami penurunan. BAK dikatakan normal dan tidak ada keluhan. BAB dikatakan normal dan tidak pernah mengalami keluhan berak kehitaman. Pada keluarga pasien tidak ada yang mempunyai riwayat keluhan yang sama seperti yang dikeluhkan pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum yang lemah dengan tanda vital didapatkan adanya takipneu (24 kali per menit). Pemeriksaan khusus pada mata ditemukan pucat pada kedua kelopak mata dan ditemukan kedua mata mengalami tanda ikterus. Pada pasien ini juga ditemukan petekie pada kedua ekstremitas superior.
Pada penunjang diagnosis laboratorium pemeriksaan darah lengkap didapatkan jumlah sel darah putih yang rendah (2,90 x 10 3 µL), kadar hemoglobin yang rendah (8,00 g/dL), hematokrit yang rendah (8,90%), MCV (82,00) dan MCH (32,00) dalam batas normal, terjadi trombositopenia (40,00 K/uL). Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan Albumin 3,2; BUN 12,9; Creatinin 0,90; Ureum 33 mg/dL; Glukosa 99; Total Bilirubin 2,48; Bilirubin Direk 0,64; AST 156; ALT 24; Na 133,2; K 3,80. Pemeriksaan mikroskopis dengan sediaan aspirasi sumsum tulang yang terdiri dari eritrosit beserta sumsum tulang dengan selularitas yang normal. Sumsum tulang terdiri dari komponen haemopoeitik dari seri myeloid dan eritroid. Tampak gambaran hiperplasia eritroid fokal. Tampak pula gambaran promyelosit, eosinofil, stab, sel plasma dan segmen. Tampak pula gambaran deplesi jumlah megakariosit yang berukuran kecil. Sehingga dapat disimpulan pada aspirasi
sumsum tulang menunjang diagnosa klinis anemia aplastik.
Pada pasien ini berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, maka pasien didiagnosis dengan Anemia Aplastik dan suspek infeksi hepatitis virus.
Penatalaksanaan pada pasien ini disarankan untuk rawat inap di rumah sakit dengan tirah baring total, pemberian cairan berupa NaCl 0,9 % 20 tetes per menit, pemberian transfusi PRC 2 kolf per hari sampai Hb ≥ 10 g/dL, transfusi trombosit sampai dengan PLT ≥20.000 dan perdarahan berhenti, ceftazidin 3 x 1 gram IV, metilprednisolon 2 x 16 mg, diet tinggi kalori dan tinggi protein serta edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit dan penanganannya.
DISKUSI
Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan pansitopenia pada darah tepi karena terjadi kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa terjadinya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang (Maciejewski, 2001). Berdasarkan klinis anemia aplastik merupakan pansitopenia pada darah tepi yang disertai dengan hiposelularitas sumsum tulang dimana jaringan hemopoetik digantikan oleh jaringan lemak
Penyebab dari anemia aplastik sendiri sebagian besar masih tidak diketahui atau idiopatik (50-70 %). Namun berdasarkan penelitian epidemiologi penyebab anemia aplastik dibedakan menjadi 2, yaitu penyebab primer dan penyebab sekunder. Penyebab primer dapat berupa faktor genetik seperti anemia fanconi, anemia Estren-Dameshek dan Dyskeratosis congenital. Penyebab sekunder dari anemia aplastik dapat terjadi karena pengaruh radiasi, obat-obatan, bahan kimia, infeksi virus, dan kehamilan (Bakta, 2006).
Manifestasi klinis yang terdapat pada pasien dengan anemia aplastik dapat berupa sindrom anemia secara umum
seperti: badan terasa lesu, cepat lelah, sesak napas intoleransi terhadap aktivitas fisik, palpitasi, angina pectoris hingga gejala payah jantung. Gejala pada susunan syaraf dapat berupa sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang– kunang terutama terjadi pada perubahan posisi dari jongkok ke posisi berdiri, iritabel, lesu dan perasaan dingin pada ekstremitas (Sudoyo, 2001). Pada sistem pencernaan dapat terjadi mual, muntah, anoreksia, flaturensi, perut kembung, enek di hulu hati, diare atau obstipasi. Pada kulit akan tampak gambaran pucat, kulit tidak elastis atau kurang cerah, rambut tipis dan kekuning kuningan. Gejala perdarahan juga spesifik terjadi pada anemia aplastik yaitu: ptekie, perdarahan subkonjungtiva, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis/melena atau menorhagia pada wanita. Perdarahan pada organ dalam jarang dijumpai, namun jika terdapat perdarahan otak sering bersifat fatal. Tanda-tanda infeksi juga dapat mengikuti seperti ulserasi mulut atau tenggorokan, selulitis leher, febris, sepsis atau syok septik (Young, 2001).
Diagnosis dari anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan International Agranulocytosisand Aplastic Anemia Study Group (IAASG) yang antara lain harus memenuhi kriteria satu dari tiga ; Hb <10 g/dl atau Hct < 30%, trombosit < 50x109/L, Leukosit < 3,5x109 /L, kriteria lain yaitu; Retikulosit <30x109/L; gambaran aspirasi sumsum tulang menunjukkan adanya penurunan selularitas dengan hilangnya sel hematopoeitik atau selularitas normal oleh hiperplasiaeritroid fokal dengan deplesi seri granulosit dan megakariosit, Tidak adanya fobrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik; dan pansitopenia yang disebabkan obat sitostakita atau radiasi terapeutik harus dieksklusi (Widjanarko, 2001).
Pada pasien ini ditemukan gejala-gejala dari anemia aplastik antara lain keluhan lemas pada seluruh tubuh terus menerus sepanjang hari yang dirasakan sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit
dan memberat sejak dua hari lalu. Keluhan lemas ini sudah sering dirasakan pasien sejak kurang lebih 6 bulan yang lalu dan hilang timbul. Pasien juga mengeluh mengalami pusing sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pusing dirasakan terus menerus sepanjang hari dan timbul bersamaan dengan keluhan lemas. Pasien juga mengeluhkan pengelihatannya sering berkunang-kunang dan memberat bila melakukan aktifitas fisik. Keluhan berkurang setelah pasien beristirahat. Pasien merasakan kulit menjadi lebih pucat. Berdasarkan kriteria IAASG diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan dimana ditemukan pada pemeriksaan yaitu: Hb 8,00 g/dl atau Hct 8,90% (< 30%), trombosit 40,00 (< 50x109/L), leukosit 2,90 (< 3,5x109 /L), pasien juga tidak pernah minum obat-obat sitostatika dan radiasi terapeutik.
Pasien juga dicurigai mengalami infeksi hepatitis virus. Hal ini berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesa pasien mengalami keluhan-keluhan yang tidak spesifik dalam jangka waktu yang cukup lama, seperti badan lemas, cepat lelah, penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan. Sekilas keluhan tersebut menyerupai sindrom anemia. Sedangkan dari pemeriksaan fisik, ditemukan kedua mata mengalami ikterus. Selain itu hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan total bilirubin 2,48; bilirubin direk 0,64; AST 156; ALT 24.
Infeksi hepatitis virus merupakan sebagai suatu infeksi sistemik yang menimbulkan peradangan dan nekrosis sel hati, yang mengakibatkan terjadinya serangkaian kelainan klinik, biokimiawi, imunoserologik dan morfologik. Penularan infekasi dapat melalui parenteral maupun non parenteral. Penularan parenteral dapat berupa suntikan, transfusi darah, tindakan operasi, tusuk jarum, pembuatan tatto, tindik ataupun sunat. Penularan melalui kulit yang tidak utuh dapat terjadi melalui lesi, goresan atau abrasi maupun
keradangan pada kulit yang mengalami kontak dengan bahan yang infektif. Pada selaput lendir dapat terjadi penularan melalui selaput lendir mulut, hidung, mata dan alat kelamin (hubungan seksual). Selain penularan secara parenteral terdapat cara penularan lain yaitu melalui perinatal (vertikal). Faktor utama yang mempengaruhi penularan infeksi virus hepatitis secara vertikal (terutama pada penularan infeksi HBV) adalah status HBeAg dan anti-HBe ibu, disamping faktor rasial dan etnik. Ibu dengan anti HBeAg positif dapat menularkan infeksi HBV vertikal kepada bayi, sedangkan pada ibu dengan anti HBe positif tidak dapat menularkan infeksi HBV kepada bayi. Sebagian besar dari anak yang terkena penularan vertikal dapat mengalami infeksi yang menetap dan berisiko tinggi untuk menderita penyakit hati kronik. Selain itu virus Hepatitis juga dapat tertular melalui hubungan seksual (Dieterich, 2003). Untuk membuktikan tipe infeksi virus yang dialami pasien, maka kami usulkan untuk melakukan pemeriksaan serologi. Untuk membuktikan tipe infeksi virus yang dialami pasien, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan serologi.
Pasien yang mengalami infeksi virus hepatitis dapat juga mengalami anemia aplastik. Virus hepatitis selama ini dicurigai merupakan salah satu penyebab anemia aplastik, biasanya terjadi pada umur lebih muda (2-20 tahun) yang pada pasien ini berumur 13 tahun, gejala anemia muncul 24-30 minggu setelah infeksi hepatitis, beratnya infeksi hepatitis sendiri tidak berhubungan dengan beratnya anemia, gejala ini paling banyak ditemukan pada penduduk Asia terutama pada golongan sosial ekonomi yang rendah, prognosis pada pasien lebih jelek. Sebagian besar infeksi yang menyebabkan anemia aplastik disebabkan oleh virus hepatitis C, sedangkan virus hepatitis B lebih jarang terlibat. Patogenesis anemia aplastik yang diakibat oleh virus hepatitis belum diketahui pasti. kemungkinan virus mengeluarkan toksik yang langsung pada
sel induk hemopoetik atau sel stoma, atau melalui gangguan imunologik (Hilman, 2002).
Penatalaksaan dari anemia aplastik secara garis besar dapat diberikan terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Pada pasien ini dicurigai disebabkan oleh infeksi virus hepatitis, namun harus dibuktikan dahulu jenis virus yang menginfeksi sehingga terapi yang tepat dapat diberikan berdasarkan terapi spesifik pada virus hepatitis tertentu. Sehingga pemeriksaan serologi penunjang harus dilakukan untuk memastikan penyebab infeksi pada pasien ini. Terapi suportif dapat diberikan untuk mengatasi akibat pansitopenia seperti; untuk mengatasi infeksi dapat dilakukan higiene mulut, pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, tranfusi granulosit konsentrat diberikan pada sepsis berat kuman gram negatif, dengan neutropenia berat yang tidak memberikan respon pada antibiotika adekuat; untuk mengatasi anemia dapat dilakukan tranfusi PRC (packet red cell) jika Hb < 8 g/dl; untuk mengatasi perdarahan dapat diberikan tranfusi konsentrat trombosit jika terdapat perdarahan mayor atau trombosit < 20.000/mm3. Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang dapat dilakukan dengan pemberian anabolik steroid : oksimetolon atau atanozol, kortikosteroid dosis rendah sampai menengah: prednison 40-100 mg/hr dan GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah netrofil. Untuk kesembuhan jangka panjang dapat dilakukan dengan terapi definitif terdiri atas dua macam pilihan yaitu terapi imunosupresif dan transplantasi sumsum tulang.
RINGKASAN
Anemia aplastik merupakan salah satu jenis anemia yang disertai oleh pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang. Penyebab
anemia aplastik sebagian besar tidak diketahui, tetapi dapat disebabkan karena pengaruh bahan kimia, radiasi ion, infeksi, obat-obatan, dan kelainan imunologis. Infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya anemia aplastik salah satunya dapat disebabkan oleh virus hepatitis. Anemia aplastik yang disebabkan oleh infeksi virus dapat memberikan prognosis yang lebih buruk daripada penyebab lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Bakta, IM. Hematologi Klinik Ringkas.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG; 2006.hal.98-110
-
2. Calado RT, et all. Current concepts in the pathophysiology and treatment of aplastic anemia. 2006 108: 2509-2519. Prepublished online June 15, 2006;
doi:10.1182/blood-2006-03-010777
-
3. Dieterich DT, Svipak Jl.Hematologic Disorders Associated with Hepatitis C Virus Infection and Their Management.America : Clinical Infectious Diseases 2003; 37:533–41
-
4. Hilman RS, Kenneth AA. Hematology in Clinical Practice. Third edition. New York: Mc-Graw Hill, 2002. p. 27-40.
-
5. Maciejewski J, Young, NS. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. In : Eipsten FH, editor. New English Medical Journal, vol.336. Massachusetts Medical Society, 1997.
-
6. Sudoyo AW, Widjanarko A, Salonder H. Anemia Aplastik Dalam: Alwi I, Bahar A, Djojoninggrat D, Lesmana L, Mudjadid HE, Setiati S, Sudoyo AW, Suhardjono H, Sundaru H, Waspadji S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. hal.627-633
-
7. Widjanarko, A. Anemia Aplastik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001. p. 637-643.
-
8. William DM, Pancytopenia, Aplastic Anemia and Pure Red Cell Aplasia. In: Wintrobe’s Clinical Hematology
Volume I. Ninth Edition. Philadephia London: Lea&Febringer, 1993. p 911937.
-
9. Young, NS. Aplastic Anemia. In: Harrison’s Principles Of Internal
Medicine. Volume I. Fifteen edition. United states of America: the McGraw Hill Companies, 2001. p. 692-697.
6
Discussion and feedback