RELATIONSHIP BETWEEN TOBACCO DEPENDENCE AND SCHIZOPHRENIA
on
HUBUNGAN ANTARA KETERGANTUNGAN TEMBAKAU DAN SKIZOFRENIA
Wayan Widhidewi
Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
ABSTRAK
Ketergantungan tembakau pada pasien skizofrenia merupakan masalah yang banyak mendapat perhatian dengan sedikitnya pilihan terapi. Individu dengan skizofrenia memiliki angka prevalensi merokok dua sampai empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Konsekuensinya, pasien juga memilikai angka penghentian merokok yang lebih rendah dibandingkan populasi umum. Peningkatan prevalensi penggunaan tembakau pada populasi ini membuat gejala semakin rumit dan memiliki efek samping pada fisiologi pasien. Selain itu pasien skizofrenia cenderung menjadi perokok berat dibandingkan dengan perokok pada populasi umum. Hal ini meningkatkan resiko pasien untuk mengalami morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan merokok. Biaya yang dikeluarkan pasien untuk rokok juga menjadi sangat besar. Studi menunjukkan bahwa pasien dengan skizofrenia merokok sebelum onset dari penyakit dan mulai merokok lebih awal dibandingkan populasi rata-rata. Pasien juga menjadi psikotik lebih awal dari pasien yang tidak merokok, dan juga memerlukan dosis obat anti psikotik yang lebih tinggi.
Kata Kunci: skizofrenia, ketergantungan tembakau, merokok, nikotin
RELATIONSHIP BETWEEN TOBACCO DEPENDENCE AND SCHIZOPHRENIA
ABSTRACT
Tobacco dependence in schizophrenia patients is a problem that got more concern, with few treatment options. Peoples with schizophrenia have a prevalence rate of cigarette smoking two until four times higher than the general population. Consequently, patients also have a lower smoking quit rate than the general population. Tobacco dependence in this population may complicate symptoms and also has adverse physiological effects on patients. Besides that, patients with schizophrenia tend to smoke more heavily than smokers in general population. This can increased smoking-related morbidity and mortality and impose a significant financial burden on patients. Recent studies demonstrated that patients with schizophrenia smoke before the onset of the illness and also start smoking earlier than the average population. Patients become psychotic earlier than patients who do not smoke, and require higher dose of anti-psychotic medications.
Keywords: schizophrenia, tobacco dependence, smoking, nicotine
PENDAHULUAN
manifestasi psikotik seperti mendengar
Ketergantungan tembakau merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada populasi dengan penyakit mental berat. Sekitar 70-80% dari individu dengan skizofrenia, kelainan bipolar dan penyakit mental berat lain menggunakan tembakau, sementara prevalensi merokok pada populasi umum hanya 20-30%. Individu dengan skizofrenia memilik frekuensi merokok 1,5-2 kali lebih tinggi dibanding populasi umum, dan diantara semua diagnosis psikiatri frekuensi merokoknya 1,5 kali lebih tinggi. 1,2,3,4
Skizofrenia merupakan salah satu penyakit mental yang paling melemahkan, mempengaruhi kira-kira 1% populasi global. Penyakit ini ditandai dengan adanya gangguan pada kognisi dan emosi, serta mempengaruhi bahasa, pikiran, persepsi, afek, dan perasaan diri. Gejala meliputi
suara dari dalam diri, atau mengalami sensasi lain yang tidak berhubungan dengan sumber yang jelas (halusinasi) dan memberikan arti atau maksud yang tidak biasa pada kejadian normal atau mempertahankan kepercayaan personal yang salah (delusi). 1
Ketergantungan tembakau telah menjadi pusat perhatian pada populasi ini. Individu dengan skizofrenia memiliki angka ketergantungan tembakau 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Penggunaan tembakau tidak hanya menurunkan kualitas hidup pasien, tapi juga menyebabkan kematian akibat penyakit medis. 1,2
Individu dengan skizofrenia rata-rata menghisap sebanyak 25 batang rokok tiap harinya. Hal ini lebih tinggi secara signifikan dari populasi umum. Biaya bulanan yang dikeluarkan pasien
skizofrenia untuk rokok menjadi sangat besar. Efek berbahaya dari merokok pada pasien dengan skizofrenia meliputi angka kejadian kanker yang tinggi, penyakit kardiovaskular dan respirasi, serta meningkatnya gejala psikiatri dan gejala kambuhan yang lebih berat. 1,2 Demografi dan Gejala Klinis
Puncak onset skizofrenia pada laki-laki biasanya terjadi antara usia 15-25 tahun, sedangkan pada wanita puncak onset terjadi pada usia 25-35 tahun. Walaupun insiden penyakit ini sedikit lebih tinggi pada laki-laki, wanita juga tidak jarang mengalami penyakit ini. Namun ada pula studi yang menyatakan bahwa insiden dan prevalensi skizofrenia sama pada laki-laki dan perempuan. Pada kedua gender, onset dari penyakit ini dipercepat dengan adanya suatu fase premorbid, yang secara tipikal terjadi pada masa kanak-kanak, yang ditandai adanya defisit kognitif, motorik dan sosial yang ringan dan kadang
menunjukkan gejala-gejala seperti depresi (depression like symptoms). Walaupun fase berikutnya dapat bervariasi pada waktu terjadinya, fase prodromal dari penyakit biasanya mulai muncul saat remaja. Fase ini ditandai dengan defisit fungsional dan gejala positif yang sangat singkat. Gejala positif skizofrenia adalah gejala pengubahan-realita yang mencakup delusi dan halusinasi dan dapat berupa auditorik maupun visual. Tahap psikotik diikuti dengan suatu tahap yang stabil yang ditandai dengan kemunduran sosial dan fungsional, berbagai kesulitan kognitif dan gejala negatif. Defisit kognitif contohnya ketidakmampuan untuk memfokuskan perhatian ataupun ingatan kerja yang terganggu. Gejala negatif meliputi suatu kehilangan dari fungsi afektif seperti penarikan sosial (sosial withdrawal), kehilangan motivasi, miskin bicara,
kurangnya minat, kesenangan dan inisiatif (Tabel 1) 1,2,5
Gejala negatif juga dapat menyebabkan gangguan fungsional yang lebih berat dibandingkan dengan psikosis. Gejala negatif dan defisit kognitif merupakan faktor prediktif penting dalam menentukan kemampuan pasien untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Gejala klinis yang lain dari skizofrenia meliputi cemas, gangguan penglihatan, disorientasi dari pikiran dan tingkah laku, gangguan sensorik dan motorik serta gangguan mood. Individu dengan skizofrenia juga memiliki angka mortalitas yang tinggi. Mereka lebih rentan untuk melakukan usaha bunuh diri karena gaya hidup yang miskin dan juga memiliki lebih banyak penyakit medis. 1,2,3
Faktor Resiko
Walaupun penyebab pasti dari skizofrenia masih belum diketahui, resiko genetik, biologikal, lingkungan
dan neurodevelopment telah diusulkan untuk menjelaskan skizofrenia. Faktor resiko berikut ini dijelaskan di bawah: faktor genetik, lingkungan, teori peningkatan neurotransmiter dan teori neurodevelopmental, serta faktor resiko penggunaan zat.1 Resiko skizofrenia meningkat pada populasi yang tidak bekerja, berpendidikan rendah, tidak menikah serta mereka yang memiliki tingkat sosioekonomi rendah.5
Studi mengenai genetik dan keluarga telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki orangtua ataupun saudara kandung dengan skizofrenia memiliki kemungkinan sepuluh kali lipat lebih besar untuk mengalami penyakit yang sama, dan mereka dengan kedua orangtua skizofrenia lima puluh kali lipat lebih mungkin mendapatkan penyakit tersebut. 1,5
Kembar monozigot dan anak angkat yang memiliki ibu biologis dengan skizofrenia juga menunjukkan
suatu resiko yang lebih besar untuk perkembangan penyakit itu sendiri. 1
Satu teori yang diajukan tentang gejala skizofrenia adalah bahwa individu dengan penyakit tersebut cenderung memiliki peningkatan level neurotransmiter dopamin di otak mereka. Teori ini didasarkan pada efek dari obat stimulan yang meningkatkan neurotransmisi dopaminergik. Selain itu juga ditemukan bahwa ketika individu dengan skizofrenia diterapi dengan obat antipsikotik, terdapat suatu penurunan neurotransmisi dopaminergik di otak dan pasien menunjukkan fungsionalitas yang lebih baik pada level perseptual dan gejala positif yang lebih sedikit. 1,5
Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan penyakit ini meliputi sensitifitas individu ini pada lingkungan sekitar setiap harinya seperti musim, urbanisasi, status sosioekonomi dan hubungan kekeluargaan serta interaksi
dari semua faktor tersebut meningkatkan insiden penyakit ini. 1
Hipotesis neurodevelopmental dari skizofrenia adalah suatu teori mayor yang juga diusulkan sebagai suatu faktor resiko untuk skizofrenia. Hipotesis ini mengusulkan bahwa abnormalitas dari perkembangan otak awal yang mempengaruhi sirkuit kritikal di otak dapat meningkatkan resiko dari skizofrenia. Hipotesis tersebut diperoleh dari observasi seperti frekuensi dari komplikasi obstetrik, pajanan dari agen infeksius atau toksik pada masa prenatal dan gangguan fisik dan neurofisiologikal yang berkontribusi terhadap kelainan otak. Hal ini juga diusulkan sebagi fakta bahwa selama trimester kedua masa kehamilan, efek prenatal meliputi defisit pada dorsolateral prefrontal korteks (DLPFC). Area ini selanjutnya mempengaruhi tugas mengingat, yang berkontribusi pada gejala skizofrenia. 1,5
Penggunaan Zat Sebagai Suatu Faktor Resiko
Skizofrenia sering dicetuskan oleh interaksi dari semua faktor resiko yang telah disebutkan di atas. Bagaimanapun, faktor resiko mayor yang lain pada individu dengan skizofrenia adalah penggunaan obat-obatan terlarang, alkohol dan terutama merokok. Data dari The Epidemiological Catchment Area (ECA) menunjukkan bahwa 47% dari individu dengan skizofrenia melakukan penyalahgunaan zat selama hidupnya, dimana sebesar empat kali lipat dibandingkan dengan populasi non-skizofrenik. Pasien skizofrenia memiliki angka prevalensi merokok dua sampai empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Resiko dari merokok telah menjadi perhatian besar pada individu dengan skizofrenia sebab penelitian terbaru telah mendemonstrasikan bahwa pasien dengan skizofrenia tidak hanya
merokok sebelum onset dari penyakitnya, tetapi mereka mulai merokok lebih awal dibandingkan dengan populasi rata-rata dan juga menjadi psikotik lebih awal dari rata-rata pasien skizofrenia yang tidak merokok.1,5
Sebagai tambahan, mereka juga membutuhkan pengobatan yang lebih sebab kandungan tar dalam tembakau diketahui dapat mengurangi kadar antipsikotik dalam darah. Ketergantungan tembakau pada populasi ini juga menyebabkan angka kematian yang tinggi pada populasi ini dan mereka dengan penyalahgunaan zat berumur lebih muda pada saat rawat inap pertama mereka dan lebih sering masuk rumah sakit sesudah itu. 1,6
HUBUNGAN KETERGANTUNGAN TEMBAKAU DAN SKIZOFRENIA
Beberapa model telah diajukan untuk menjelaskan mengapa individu dengan skizofrenia cenderung merokok lebih
dari populasi umum. Sebagian dari model ini cenderung untuk menerangkan keuntungan yang dirasakan pasien dari merokok. Model ini juga menjelaskan mengapa pasien dengan skizofrenia memiliki angka merokok yang lebih tinggi. 1,7
Model yang pertama adalah model “self-medication” dari gejala negatif, yang menyebutkan bahwa individu dengan skizofrenia menggunakan rokok sebagai cara untuk menghilangkan gejala depresif dan psikotik mereka. Nikotin dapat mengatasi gejala negatif seperti anhedonia dan penarikan sosial karena kemampuan nikotin untuk meningkatkan level dopamin pada nucleus accumbens dan korteks prefrontal, serta adanya peningkatan pada sistem reward; efek umum dari nikotin yang memberikan perasaan relaks dan bahagia. Nikotin diketahui dapat meningkatkan proses kognitif
yang berhubungan dengan fungsi prefrontal seperti atensi atau aktivitas berpikir. Nikotin berperan sebagai fasilitator dalam proses ini dan menyelaraskan aktivitas neuronal pada korteks prefrontal. Nikotin dapat meningkatkan proses plastis di hipokampus yang menguntungkan bagi defisit kognitif pada skizofrenia yang berhubungan dengan proses belajar dan memori. 1,7
Penjelasan sosial untuk ketergantungan tembakau pada populasi ini yaitu pasien skizofrenia memiliki sangat banyak waktu dengan sangat sedikit kegiatan yang dapat dilakukan selain merokok. Karena pasien dengan gejala negatif mayor cenderung menghindari interaksi sosial, suatu alasan yang masuk akal untuk menjelaskan ketergantungan tembakaunya yaitu bahwa merokok dapat dengan mudah menjadi suatu
“pengisi waktu” dan suatu alat untuk |
diantara pasien psikiatri. Faktanya, |
menghindari kebosanan untuk pasien. 1,2 |
perokok dengan anhedonia dan |
Alasan lain mengapa individu |
memiliki afek positif yang rendah |
dengan skizofrenia memiliki angka |
memiliki keinginan yang sangat tinggi |
ketergantungan tembakau yang tinggi |
untuk merokok dan memiliki angka |
adalah karena mereka biasanya |
3 penghentian merokok yang rendah.3 |
memiliki kesulitan yang besar dalam |
Banyak studi telah melaporkan |
penghentian merokok. Hal ini |
bahwa gejala awal skizofrenia |
dikarenakan pasien menggunakan |
menyebabkan inisiasi dari merokok. |
tembakau sebagai “self-medication” |
Telah diduga bahwa individu dengan |
untuk menenangkan gejala negatif |
skizofrenia termotivasi untuk merokok |
mereka, sehingga berhenti merokok |
karena merokok tidak hanya berperan |
dapat menjadi suatu tantangan besar |
sebagai mekanisme menghadapi |
untuk banyak pasien. 1,7 |
penyakit tetapi juga menyediakan |
Anhedonia atau |
pembebasan sementara dari gejala |
ketidakmampuan untuk merasakan |
psikiatri. Fase prodromal dari |
kesenangan yang merupakan salah satu |
skizofrenia berlangsung satu atau dua |
dari fenomena klinis pada pasien |
tahun sebelum onset dari gejala |
skizofrenia, sering dikaitkan dengan |
psikotik. Selama fase ini pasien |
merokok. Angka kejadian anhedonia |
biasanya mengalami gejala-gejala |
yang tinggi dilaporkan terdapat pada |
kecemasan, berkurangnya atensi dan |
populasi yang merokok, dan dianggap |
penarikan sosial. Ini tidak sampai akhir |
merupakan suatu faktor resiko yang |
dari fase prodromal saat gejala positif |
menyebabkan kekambuhan merokok |
mulai muncul. Suatu studi yang |
memeriksa hubungan antara faktor
Efek menenangkan dari
lingkungan dan familial yang dapat menyebabkan pasien merokok mendapatkan hasil utama bahwa rata-rata perbedaan waktu diantara permulaan dari merokok dan onset dari skizofrenia adalah 2,3 ± 6,6 yang secara signifikan lebih rendah dari perbedaan waktu untuk subjek dengan psikosis lain (8,6 ± 6,3). Studi lain menunjukkan bahwa merokok mungkin merupakan suatu tanda dari fase prodromal skizofrenia. Temuan ini dapat berhubungan dengan model “selfmedication” sebab temuan itu menyatakan bahwa individu dengan skizofrenia mengalami ketergantungan tembakau sebagai akibat dari gejala abnormal selama fase prodromal, yang menyebabkan pasien menggunakan ketergantungan tembakau sebagai suatu bentuk pembebasan dari gejala psikiatri. 1,7
merokok pada populasi skizofrenia telah diketahui sebagai satu dari banyak alasan mengapa pasien termotivasi untuk merokok. Terdapat suatu studi yang membandingkan alasan utama untuk merokok diantara subjek kontrol dan individu dengan skizofrenia. Pada subjek dengan skizofrenia, ketenangan sebagai alasan utama untuk merokok lebih banyak dari grup pembandingnya. Studi ini juga merupakan contoh dari “self-medication”. Efek menenangkan sementara dari merokok dapat dirasakan sebagai sesuatu yang sangat menarik bagi pasien, sebab gejala dari penyakit tidak hanya menyebabkan kecemasan, tetapi juga menyebabkan stres fisiologikal yang besar. 1,6,7
Alasan lain mengapa skizofrenia dapat mendorong seseorang untuk merokok adalah karena interaksi dari rokok tembakau dengan obat-obat antipsikotik. Suatu studi mengajukan
hipotesis bahwa individu dengan skizofrenia termotivasi untuk merokok untuk mendapatkan pembebasan dari efek samping obat antipsikotik.1 Hal ini disebabkan oleh induksi enzim polycyclic aromatic carbohydrates yang diproduksi ketika tembakau dibakar. Enzim ini kemudian akan menginduksi cytochrome P450 1A2 (CYP1A2) dan UDP glucoronosyltransferase (UGT), yang berguna dalam metabolisme obat-obatan antipsikotik, yang akan terbentuk penuh 2 minggu setelah inisiasi merokok. Enzim ini dapat menurunkan level obat-obatan antipsikotik (baik tipikal maupun atipikal) dalam plasma sampai sepertiga dari dosisnya. Hal inilah yang menyebabkan efek samping obat berkurang, termasuk gejala ekstrapiramidal dan depresi farmakogenik. Enzim tersebut akan kembali normal dalam 2-4 minggu setelah seseorang berhenti merokok.2
Obat antipsikotik tipikal seperti haloperidol memiliko efek blok terhadap dopamin yang sangat kuat. Disinilah merokok dapat meredakan efek samping dari pengobatan melalui efektivitasnya dalam menstimulasi pelepasan dopamin.7 Berkurangnya level obat antipsikotik dalam plasma menyebabkan pasien memerlukan dosis pengobatan yang lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Dosis yang lebih tinggi dapat berakibat pada efek samping yang lebih banyak, dan sebagai akibatnya pasien juga memiliki angka ketergantungan tembakau yang lebih tinggi.1,6
Kendati temuan bahwa merokok dapat disebabkan oleh karena gejala dari skizofrenia, banyak studi telah melaporkan bahwa merokok dapat merupakan satu dari banyak faktor resiko lingkungan yang menyebabkan skizofrenia. Dalam suatu studi kohort didapatkan bahwa perokok usia remaja
memiliki resiko yang lebih besar kedepannya untuk mengalami skizofrenia dan secara signifikan lebih mungkin dirawat inap untuk skizofrenia kedepannya. Sebagai tambahan, ditemukan juga bahwa nikotin mengaktifasi aktifitas neurotransmisi dari dopamin mesolimbik yang berperan sebagai reward. Reward ini penting untuk para remaja yang mulai menunjukkan gejala dari penyakit psikiatri. 1,3
Dalam suatu studi ditemukan bahwa dibandingkan dengan perokok tanpa gangguan mental, perokok dengan skizofrenia dan depresi merasakan rokok lebih menguntungkan karena adanya nilai reward yang besar dibandingkan dengan reward alternatif untuk aktivitas lain. Walaupun nilai reward dari merokok berarti bagi pasien skizofrenia, neurotransmisi dari dopamin mesolimbik dapat meningkatkan resiko psikosis pada
individu yang sudah terekspos oleh resiko familial dan lingkungan lain dari skizofrenia. Jadi, dapat dibuat hipotesis bahwa merokok pada individu dengan skizofrenia yang berada pada resiko tinggi untuk mendapatkan penyakit tersebut karena faktor lain, dapat menjadi suatu tanda untuk perkembangan skizofrenia. 1,3
Walaupun faktor-faktor yang berhubungan dengan merokok dapat dianalisis pada hampir semua titik dari penyakit, remaja adalah suatu waktu yang kritis untuk mengevaluasi merokok karena merokok rata-rata dimulai pada umur 15 tahun. Pada sebagian besar kasus, merokok juga terjadi sebelum onset dari penyakit. Banyak studi telah disahkan bahwa onset dari skizofrenia terjadi sekitar umur 18 tahun. Fakta bahwa inisiasi dari merokok terjadi hampir selalu 3 tahun sebelum onset dari penyakit mungkin dapat dijelaskan oleh pengaruh
familial, penyalahgunaan zat dan juga neurotransmisi nikotinik yang berperan dalam patofisiologi skizofrenia.1,6
Suatu studi menyimpulkan bahwa remaja dari orangtua yang memiliki kebiasaan merokok atau melakukan penyalahgunaan zat lebih mungkin untuk mulai merokok pada usia lebih muda. Sebagai tambahan, suatu lingkungan rumah yang stabil dengan dua orangtua biologis atau keluarga yang mendukung perkembangan individu dapat melindungi remaja dari penyalahgunaan zat. 1
Studi lain juga mengusulkan bahwa jumlah rokok yang dihisap sebelum onset dari penyakit juga secara signifikan berhubungan dengan resiko untuk berkembangnya skizofrenia. Dibandingkan dengan individu yang tidak merokok, remaja yang merokok 19 batang rokok per hari memiliki resiko 1.38 kali lebih besar untuk masuk
rumah sakit karena skizofrenia dan mereka yang merokok 10 batang rokok atau lebih per harinya 2.28 kali lebih mungkin untuk diopname di rumah sakit selanjutnya. 1,6
Penyalahgunaan zat juga meningkatkan resiko terjadinya skizofrenia. Sebagai tambahan, onset merokok yang lebih awal juga dilihat sebagai suatu indikator dari penyalahgunaan zat. 1
Remaja tidak hanya memiliki resiko yang lebih besar untuk menjadi skizofrenia karena terdapat semua faktor resiko lain, tetapi mereka juga diketahui memiliki defisit kognitif yang lebih besar dibandingkan pasien skizofrenia dewasa. Dalam suatu studi didapatkan bahwa pasien remaja menunjukkan hasil tes fungsi motorik, bahasa dan daya ingat yang lebih buruk secara signifikan dari pasien dewasa. Hal ini merupakan temuan yang penting karena seperti sudah diketahui bahwa
banyak individu dengan skizofrenia merokok untuk menenangkan defisit kognitif mereka dan sangat mungkin bahwa banyak dari remaja ini telah mulai merokok untuk menenangkan defisit kognitifnya. Bagaimanapun, juga telah diketahui bahwa merokok meningkatkan neurotransmisi dopamin mesolimbik, yang dapat meningkatkan resiko psikosis pada individu yang telah terpajan oleh resiko familial dan lingkungan lain dari skizofrenia. 1,3,4
Alasan lain mengapa remaja yang merokok memiliki resiko lebih besar untuk menjadi skizofrenia karena selama fase prodromal, remaja mengalami penarikan sosial, perilaku aneh dan juga pencapaian sekolah yang rendah. Hal ini terjadi ketika permulaan merokok juga mulai menjadi suatu bentuk “self-medication”. Merokok juga dapat memberi efek menenangkan untuk remaja selama fase distress afektif. Oleh karena itu, fakta bahwa
remaja mulai merokok selama periode ini mungkin menjadi suatu indikator dari penyakit mental yang serius seperti skizofrenia. 1,7
Pasien dengan ketergantungan nikotin berat dikatakan memiliki gejala positif yang lebih besar serta mendapatkan resep obat-obatan antipsikotik dengan dosis yang lebih tinggi. Gejala negatif lebih besar tampak pada pasien dengan ketergantungan ringan, yang dikonfirmasi dengan peningkatan angka sindrom defisit pada grup ini. Gejala positif dan negatif yang lebih besar juga berhubungan dengan penyesuaian sosial yang buruk. Hal ini didukung temuan bahwa pasien dengan ketergantungan nikotin berat lebih banyak tidak bekerja. 6
Salah satu studi menyatakan bahwa disamping segala pengaruh buruknya, merokok dapat merupakan suatu faktor protektif yang independen
terhadap terjadinya skizofrenia. Hal ini sesuai dengan uji coba pada binatang yang menunjukkan efek neuroprotektif dari nikotin serta pelepasan dopamin prefrontal sebagai respon terhadap nikotin.4
Implikasi dari Ketergantungan Tembakau pada Skizofrenia
Ketergantungan tembakau pada pasien skizofrenia dapat memiliki banyak implikasi yang tidak diinginkan. Berdasarkan laporan National Institute of Mental Health, individu dengan skizofrenia memiliki harapan hidup yang lebih singkat dan meningkatnya angka kematian dibandingkan dengan populasi umum. Peningkatan angka morbiditas dan mortalitas dapat disebabkan oleh ketergantungan tembakau dan faktor resiko lain yang dapat dimodifikasi seperti kurangnya nutrisi, obesitas, gaya hidup sedenter dan perawatan kesehatan yang buruk. Lebih dari itu, pasien memiliki resiko
dua kali lipat untuk penyakit kardiovaskular dan tiga kali lipat resiko untuk mengalami penyakit saluran respirasi dan kanker paru-paru. Hal ini menyebabkan usia harapan hidup pada pasien ini berkurang hingga 20%. Perokok berat pada populasi ini juga berhubungan dengan resiko yang lebih tinggi dari penyalahgunaan zat. 1,2,6
Merokok juga mempengaruhi metabolisme dan kadar obat-obatan
psikiatri dalam darah. Obat-obatan yang biasa digunakan oleh pasien yang levelnya di darah dipengaruhi oleh merokok adalah olanzapine, clozapine, haloperidol dan fluphenazine. Hal ini penting bagi para profesional di bidang kesehatan mental untuk mempertimbangkan ketergantungan tembakau ketika memonitor dosis obat pasien. 1,4,7 Walaupun penyesuaian dosis dapat menjadi salah satu pilihan untuk menghadapi situasi ini, strategi alternatif adalah dengan mengganti
pengobatan. Contohnya risperidon dan aripiprazol yang dimetabolisme melalui CYP2D6 dan CYP3A, serta quetiapine dan ziprasidone yang dimetabolisme melalui CYP3A, sehingga kadarnya dalam plasma tidak dipengaruhi oleh 2 rokok. 2
Pasien dengan skizofrenia juga sering memiliki kesulitan keuangan dan ketergantungan tembakau hanya menambah biaya, sebab sebagian besar pasien merokok sebanyak rata-rata 25 batang per hari. Pasien dapat menghabiskan kurang lebih 30% dari dana bulanan hanya untuk membeli produk-produk tembakau. Beban finansial ini membuat pasien kesulitan untuk memperoleh rokok disamping fakta bahwa mereka ketagihan terhadap rokok. 1,2
Yang terakhir, tetapi yang paling penting, remaja yang memiliki resiko untuk berkembang menjadi skizofrenia dan yang mulai merokok pada usia
muda lebih mungkin menjadi pecandu rokok di kemudian hari dan juga lebih mungkin mengalami implikasi yang tidak diinginkan dari ketergantungan tembakau seperti yang sudah disebutkan diatas, lebih awal dari mereka yang tidak merokok. 1
RINGKASAN
Ketergantungan tembakau sering terjadi pada populasi dengan penyakit mental berat. Sekitar 70-80% dari individu dengan penyakit mental berat menggunakan tembakau, sedangkan prevalensi merokok pada populasi umum hanya 20-30%. Diantara populasi penyakit mental berat, individu dengan skizofrenia memiliki prevalensi ketergantungan tembakau tertinggi. Skizofrenia merupakan salah satu penyakit mental yang paling melemahkan, mempengaruhi kira-kira 1 % populasi global. Penyakit ini ditandai dengan adanya gangguan yang dalam pada kognisi dan emosi, mempengaruhi
bahasa, pikiran, persepsi, afek, dan perasaan diri. Gejala biasanya meliputi manifestasi psikotik seperti mendengar suara dari dalam diri, halusinas dan delusi.
Ketergantungan tembakau merupakan suatu pusat pada populasi ini. Individu dengan skizofrenia memiliki angka ketergantungan tembakau 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Penggunaan tembakau tidak hanya menurunkan kualitas hidup pada pasien ini, tapi juga menyebabkan kematian akibat penyakit medis.
Individu dengan skizofrenia rata-rata menghisap sebanyak 25 batang rokok tiap harinya. Hal ini lebih tinggi secara signifikan dari populasi umum. Individu dengan skizofrenia menggunakan rokok sebagai suatu cara untuk menghilangkan gejala depresif dan psikotik mereka. Efek menenangkan dari merokok pada
populasi skizofrenia juga merupakan satu dari banyak alasan mengapa pasien termotivasi untuk merokok. Alasan lain adalah untuk mengontrol efek samping dari obat-obat antipsikotik, karena tembakau dapat menurunkan kadar antipsikotik dalam darah.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Patel M. Tobacco Dependence and Schizophrenia: A Complex Correlation Journal of Young Investigators. Vol 19; Issue 20. 2010.
-
2. Winterer G. Why do patients with schizophrenia smoke?. Current Opinion in Psychiatry. 2010; 23:112-119.
-
3. AhnAllen CG, Liverant GI, Gregor KL, Kamholz BW, Levitt JJ, Gulliver SB, dkk. The relationship between rewardbased learning and nicotine dependence in smokers with schizophrenia. Psychiatry Research. 2012; 196:9–14.
-
4. Zammit S, Allebeck P, Dalman C, Lundberg I, Hemmingsson T, Lewis G. Investigating the Association Between Cigarette Smoking and Schizophrenia in
a Cohort Study. American Journal of Psychiatry. 2003; 160:2216–2221.
-
5. El-Missiry A, Aboraya AS, Manseur H, Manchester J, France C, Border K. An Update on the Epidemiology of Schizophrenia with A Special Reference to Clinically
Important Risk Factors.
International Journal of Mental Health and Addiction. 2011; 9:39–59
-
6. Krishnadas R, Jauhar S, Telfer S, Shivashankar S, McCreadie RG. Nicotine Dependence and Illness Severity in Schizophrenia. The British
Journal of Psychiatry. 2012; 1-7.
-
6. Kumari V, Postma P. Nicotine Use in Schizophrenia: The Self Medication Hypotheses.
Neuroscience and
Neurobehavioral Reviews. 2005;
29: 1021-1034.
Positive Symptoms |
Negative symptoms |
Deliriiuii |
Loss of affect |
Auclitoiy or visual hallucinations |
Social withdrawal |
Auditoiy or visual delusions |
Loss of mood |
Psychosis |
Poor speech |
Lack of interest, pleasure and initiative | |
Poor hygiene |
Table 1. Symptoms of Schizophrenia. Source: Tandon R, Nasrallah HA. & MS., K. (2009).
Schizophrenia, "just the facts” 4. clinical features and conceptualization. Schizophrenia Research.
Tabel 1. Gejala Skizofrenia1
19
Discussion and feedback