Diagnosis, Diagnosis Differensial dan Penatalaksanaan Immunosupresif dan Terapi Sumsum Tulang pada Pasien Anemia Aplastik

Thaha*, AA Wiradewi Lestari**, I Wayan Putu Sutirta Yasa**

*Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana **Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS. Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Anemia aplastik adalah anemia kegagalan sumsum tulang ditandai adanya pansitopenia dengan sebagian besar kasus terjadi kelainan sumsum tulang hypoplasia. Insidennya adalah 3-6 kasus per 1 juta penduduk pertahun. Gejala klinis yang timbul akibat anemia aplastik adalah sindrom anemia, leukopenia yang akan menyebabkan infeksi, dan trombositopenia yang akan menyebabkan pendarahan. Diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya bisitopenia atau pansitopenia tanpa adanya keganasan, infiltrasi, dan supresi pada sumsum tulang. Penatalaksanaan anemia aplastik terdiri dari terapi utama, terapi suportif, dan terapi jangka. Terapi utama adalah hindari pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab. Terapi suportif diberikan sesuai gejalanya yaitu anemia, neutropenia, dan trombositopenia. Terapi jangka panjang terdiri dari terapi imunosupresif dan terapi transplantasi sumsum tulang.

Kata kunci: anemia, anemia aplastik, pansitopenia

ABSTRACT

Anemia aplastic is anemia with bone marrow failure characterized by pancytopenia and at the most case with hypoplasia bone marrow. The incidence of anemia aplastic is 3-6 case per 1 million persons per year. Clinical presentations of anemia aplastic are anemia syndrome, leukopenia will cause infection, and thrombocytopenia will cause bleeding. Diagnosis of anemia aplastic is based on bicytopenia and pancytopenia without malignancy, infiltration, and suppression to bone marrow. Treatments for anemia plastic are main therapy, supportive therapy and long-term therapy. Main therapy is avoiding the caustic agent. Supportive therapy gives when there is a symptom from anemia, neutropenia and thrombocytopenia. Long-term therapy is immunosuppressive therapy and bone marrow therapy.

Keyword: anemia, anemia aplastic, pancytopenia

PENDAHULUAN

Anemia adalah suatu keadaan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai di klinik atau dilapangan, ditandai dengan adanya massa eritrosit atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Menurut bentuk eritrositnya anemia aplastik merupakan anemia normokromik normositer dan berdasarkan etiopatogenesisnya anemia aplastik termasuk anemia karena kerusakan jaringan sumsum tulang yang terjadi pengantian oleh jaringan lemak.

Anemia aplastik adalah penyakit yang sangat jarang, ditandai dengan adanya bisitopenia atau pansitopenia. Pansitopenia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya anemia, leukopenia, dan trombositopenia, dengan segala manifestasinya. Hal itu disebabkan oleh kegagalan sumsum tulang untuk memproduksi komponen darah, atau akibat kerusakan komponen darah, atau akibat kerusakan komponen darah di darah tepi, atau akibat maldistribusi komponen darah. Pada anemia aplastik terdapat kegagalan sumsum tulang untuk memproduksi komponen darah.

Anemia aplastik ditandai dengan adanya aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang, karena sumsum tulang sebagian besar kasus bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga anemia hipoplastik1.

LATAR BELAKANG

Anemia aplastik adalah anemia kegagalan sumsum tulang ditandai adanya pansitopenia dengan sebagian besar kasus terjadi kelainan sumsum tulang hypoplasia1. Dari tahun 1980 sampai tahun 2003 tercatat 235 kasus anemia aplastik2. Insidennya adalah 3-6 kasus per 1 juta penduduk pertahun dan insiden meningkat berdasarkan umur penderita. Laki-laki lebih sering terkena anemia aplastik dibandingkan dengan wanita1. Kebanyakan kasus anemia aplastik adalah kasus berat. Angka bertahan hidup dari 3 bulan, 2 tahun dan 15 tahun adalah 73%,57%, dan 51%2.

PATOGENESIS

Penyebab anemia aplastik sebagian besar tidak diketahui atau bersifat idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh proses penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Penulusuran penyebab dilakukan melalui penelitian

epidemiologik1. Penyebab anemia aplastik dapat dibagi dua sebagai berikut 1,3-6:

Penyebab Kongenital (20% dari kasus) antara lain : (a) anemia fanconi, (b) non fanconi Seperti cartilage hair hypoplasia, pearson syndrome, amegakaryotic thrombocytopenia, scwachman-diamond syndrome, dubowitz syndrome, diamond blackfan syndrome, familial aplastic anemia, dan (c) dyskeratosis congenital.

Penyebab yang didapat (80% dari kasus) antara lain : (a) akibat infeksi Seperti virus hepatitis, epstein barr virus, HIV, parovirus, dan mycobacteria, (b) akibat terpaparnya radiasi, bahan kimia seperti Benzene, Chlorinated hycrocarbons, dan organophospates, (c) akibat pemakaian obat-obatan seperti chloramphenicol, phenylbutazone, (d) akibat penyakit jaringan ikat seperti rheumatoid arthritis dan systemic lupus erythematosus (SLE), dan (e) akibat kehamilan. Patofisiologi timbulnya anemia dapat digambarkan secara skematik seperti pada Gambar1.

Seperti dilihat dari Gambar 1, akibat adanya kerusakan sel induk (seed theory), kerusakan lingkungan mikro (soil theory), dan adanya mekanisme imunologik menyebabkan kerusakan sel induk

hemopoetik yang menyebabkan pansitopenia. Pada pansitopenia, eritrosit menurun akan menyebabkan sindrom anemia, leukosit menurun akan menyebabkan tubuh mudah infeksi, dan trombosit menurun akan menyebabkan pendarahan.1

GEJALA KLINIS

Gejala klinis yang timbul akibat anemia aplastik adalah anemia, leukopenia dan trombositopenia. Gejala anemia bervariasi dari ringan sampai berat. Leukopenia akan menyebabkan infeksi berupa ulserasi mulut, febris dan sepsis atau syok septik. Trombositopenia akan menyebabkan pendarahan pada kulit seperti petechie dan echymosis, perdarahan pada mukosa seperti epistaksis, perdarahan subkonjungtiva, perdarahan gusi dan lain-lain. Tidak dijumpai adanya organomegali1,3-5.

KELAINAN LABORATORIUM

Kelainan laboratorik anemia aplastik antara lain : (a) tampak anemia normokromik normositer, (b) anemia dengan kadar hb kurang dari 7g/dl, (c) leukopenia dengan relatif limfositosis, (d) trombositopenia, (e) sumsum tulang hypoplasia, dan (f) besi serum normal atau meningkat, TIBC normal, HbF meningkat.1,3

DIAGNOSIS

Diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya bisitopenia atau pansitopenia tanpa adanya keganasan, infiltrasi, dan supresi pada sumsum tulang. Kriteria diagnosis pada anemia aplastik menurut international agranulocytosis and aplastic anemia study group (IAASG) antara lain : (1) satu dari tiga (a) hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari 30%, (b) trombosit kurang dari 50x109/L, (c) leukosit kurang dari 3,5x109/L atau netrofil kurang dari 1,5x109/L, (2) dengan retikulosit kurang dari 30x109/L, dan (3) dengan gambaran sumsum tulang yang dapat dilihat pada Gambar 21,7

DIAGNOSIS DIFERENSIAL

Yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis differensial adalah penyakit lain yang memiliki gejala pansitopenia. Penyakit yang memiliki gejala pansitopenia adalah fanconi’s anemia, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH), myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis, aleukemic leukemia, dan pure red cell aplasia1,4.

Fanconi anemia. Anemia fanconi adalah bentuk kongenital dari anemia aplastik dimana 10% dari pasien terjadi saat anak-anak. Gejala fisik yang khas adalah tinggi

badan yang pendek, hiperpigmentasi kulit, microcephaly, hipoplasia jari, keabnormalan alat kelamin, keabnormalan mata, kerusakan struktur ginjal dan retardasi mental. Anemia fanconi terdiagnosis dengan analisis sitogenik dari limfosit darah tepi yang menunjukkan kehancuran khromosom setelah culture dengan bahan yang menyebabkan pemecahan khromosom seperti diepoxybutane (DEB) atau mitomycin C (MMC)4,8.

Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH). PNH adalah anemia yang terjadi akibat hemolisis dan adanya hemoglobinuria dengan trombosis vena. 10% sampai 30 % dari pasien anemia aplastik berkembang menjadi PNH. Hal itu menunjukkan kemungkinan anemia aplastik merupakan salah satu penyebab PNH. Diagnosis PNH ditunjukkan dengan adanya penurunan expresi antigen CD59 sel dengan tes flow cytometry. Tes seperti sucrose hemolysis dan uji urine dapat melihat terjadinya hemosiderinuria sebagai salah satu gejala PNH4,9.

Myelodisplastic syndrome(MDS). MDS adalah kelompok penyakit clonal hematopoietic stem cell yang terdapat adanya keabnormalan differensiasi dan maturasi dari sumsum tulang, yang

membawa pada kegagalan sumsum tulang dengan sitopenia, disfungsi elemen darah, dan kemungkinan terjadi komplikasi leukemia. Kegagalan sumsum tulang biasanya hiperselular dan normoselular, walaupun begitu MDS dapat ditemukan dengan hiposelular. Penting untuk membedakan MDS hiposelular dengan anemia aplastik untuk menentukan manajemen dan prognosisnya. Yang membedakan MDS hiposelular adalah adanya abnormalitas clonal cytogenetic yaitu adanya abnormalitas pada tangan kromosom 5q, monosomi 7q, dan trisomi 8. Pada MDS juga mungkin ditemukan adanya cincin sideroblas (akumulasi besi pada mitokondria)4,10.

Myelofibrosis. Ada 2 ciri utama nyelofibrosis yaitu extramedullary hematopoesis dan fibrosis sumsum tulang. Extra medullatory hematopoesis menyebabkan hepatosplenomegali yang tidak terjadi pada anemia aplastik. Biopsi sumsum tulang menunjukkan derajat reticulin dan fibrosis kolagen dengan terjadinya peningkatan jumlah megakaryocytes4,11.

Aleukemic leukemia4. Aleukemic leukemia adalah penyakit yang memiliki ciri kehilangan sel blast pada darah tepi dari

pasien dengan leukemia, terjadi pada 10% dari semua penderita leukemia dan biasanya muncul pada anak yang sangat muda atau pada orang tua. Aspirasi sumsum tulang dan biopsy menunjukkan sel blast.

Pure red cell aplasia. Penyakit ini sangat jarang dan hanya melibatkan produksi eritrosit yang ditandai dengan adanya anemia, penghitungan retikulosit kurang dari 1%, dan sumsum tulang yang normoselular mengandung kurang dari 0,5% eritroblast4.

Untuk penyakit lainnya yang dapat menunjukkan gejala sitopenia seperti leukemia dapat dibedakan yang pada leukemia ditemukan tidak selalu adanya penurunan WBC. Kadar WBC pada leukemia dapat normal, turun, atau meningkat1.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan anemia aplastik terdiri dari terapi utama, terapi suportif untuk menangani gejala yang timbul akibat bisitopenia atau pansitopenia, dan terapi jangka panjang untuk memberikan kesembuhan pada sumsum tulang1,4.

Terapi utama adalah hindari pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab. Tetapi sering sulit untuk

mengetahui penyebab karena etiologinya yang tidak jelas atau idiopatik.

Terapi suportif diberikan sesuai gejala yang dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) anemia, (2) neutropenia, dan (3) trombositopenia.

Pada anemia. Pada anemia berikan tranfusi packed red cell jika hemoglobin kurang dari 7g/dl, berikan sampai hb 9-10 g/dl1. Pada pasien yang lebih muda mempunyai toleransi kadar hemogoblin sampai 7-8g/dl; untuk pasien yang lebih tua kadar hemoglobin dijaga diatas 8g/dl4.

Pada neutropenia. Pada neutropenia jauhi buah-buahan segar dan sayur, fokus dalam menjaga perawatan higienis mulut dan gigi, cuci tangan yang sering. Jika terjadi infeksi maka identifikasi sumbernya, serta berikan antibiotik spektrum luas sebelum mendapatkan kultur untuk mengetahui bakteri gram positif atau negatif. Tranfusi granulosit diberikan pada keadaan sepsis berat kuman gram negatif, dengan netropenia berat yang tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik1,4.

Pada trombositopenia. Pada trombositopenia berikan tranfusi trombosit jika terdapat pendarahan aktif atau trombosit kurang dari <20.000/mm31,4.

Terapi jangka panjang terdiri dari : (1) Terapi imunosupresif , dan (2) terapi transplantasi sumsum tulang.

Terapi transplantasi sumsum tulang lebih direkomendasikan sebagai terapi pertama, dengan donor keluarga yang sesuai. Maka karena itu, terapi imunosupresif direkomendasikan pada pasien : (a) lebih tua dari 40 tahun, walaupun rekomendasi berdasarkan dokter dan faktor pasiennya, (b) tidak mampu mentoleransi transplantasi sumsum tulang karena masalah penyakit atau usia tua, (c) tidak mempunyai donor yang sesuai, (d) akan diterapi tranplantasi sumsum tulang, tetapi sedang menunggu untuk donor yang sesuai, dan (e) memilih terapi imunosupresif setelah menimbang faktor resiko dan manfaat dari semua pilihan terapi.

Terapi imunosupresif adalah dengan pemberian anti lymphocyte globuline (ALG) atau anti thymocyteglobulin (ATG), kortikosteroid, siklosporin yang bertujuan untuk menekan proses imunologik. ALG dapat bekerja meningkatkan pelepasan haemopoetic growth factor. Sekitar 40%-70% dari kasus memberi respon terhadap pemberian ALG. Terapi ATG dapat menyebabkan reaksi alergi, dengan pasien mengalami demam, athralgia, dan skin rash

sehingga sering diberikan bersamaan dengan kortikosteroid. Siklosporin menghambat produksi interleukin-2 oleh sel-T serta menghambat ploriferasi sel-T dari respon oleh interleukin-2. Pasien yang diterapi dengan siklosporin membutuhkan perawatan khusus karena obat dapat menyebabkan disfungsi ginjal dan hipertensi serta perlu diawasi hubungan interaksi dengan obat lainnya. Terapi imunosupresif merupakan pilihan utama untuk pasien diatas 40 tahun. Pada 227 pasien dengan anemia aplastik berat yang diterapi imunosupresif selama 23 tahun (1978 sampai 1991), 78 pasien merespon penuh pengobatan, 23 pasien merespon kecil, 122 pasien tidak merespon, dan 4 pasien tidak teruji. Dari 122 yang tidak merespon meninggal dalam waktu 3 bulan setelah dimulainya terapi1,4,12.

Terapi transplantasi tulang merupakan terapi yang memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, dan mempunyai efek samping yang mengancam jiwa. Human Leukocyte Antigen (HLA) harus segera dicocokkan antara pasien dan donor ketika terapi transplantasi tulang dipilih. Transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan menurut : (a) donor yang terbaik biasanya berasal dari keluarga, (b) transplantasi sumsum tulang dengan pencocokan HLA keluarga merupakan

pilihan untuk pasien dengan umur dibawah 60 tahun (c) jika tidak ada HLA yang cocok dari keluarga, pasien dengan umur di bawah 40 tahun dapat melakukan transplantasi sumsum tulang dengan donor bukan keluarga. Jika pasien berumur lebih dari 40 tahun maka diberikan terapi imunosupresif, (d) adanya resiko graft rejection atau graft failure (ketika sumsum tulang yang ditransplantasi tidak tumbuh dan membuat sel darah untuk tubuh). Menerima banyak tranfusi meningkatkan resiko graft rejection karena kekebalan tubuh pasien membuat antibodi untuk melawan sel sumsum tulang yang ditransplantasi. Dokter harus meminimalisasi pemberian tranfusi darah, (e) Diberikan siklosporin A1 atau dosis tinggi cyclophosphamide4 untuk mengatasi adanya GvHD (graft versus Host Disease). Pemberian obat-obatan tersebut meningkatkan resiko timbulnya infeksi, (f) Memberikan kesembuhan 70%-90% dari kasus, dan (g) Anak-anak mempunyai angka kesembuhan yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa. 1,4,12

untuk penatalaksanaan terapi jangka panjang dapat dijelaskan melalui Gambar 3.

PROGNOSIS

Sebelum ditemukan adanya transplantasi sumsum tulang, 25% dari pasien meninggal dalam waktu 4 bulan dan 50% meninggal dalam waktu 1 tahun. Pada pasien yang mengalami transplantasi sumsum tulang, angka kesembuhannya adalah 70-90%, walaupun 20%-30% dari pasien yang melakukan transplantasi sumsum tulang mengalami Graft versus Host Disease (GvHD). Pemberian terapi imunosupresif yang intensif memberikan peningkatan yang signifikan pada Blood Countpada 78% pasien dalam 1 tahun. Walaupun ada resiko 36% dari pasien kambuh setelah 2 tahun1,4.

RINGKASAN

Anemia aplastik adalah anemia kegagalan sumsum tulang ditandai adanya pansitopenia dengan sebagian besar kasus terjadi kelainan sumsum tulang hypoplasia. Gejala klinis yang timbul akibat anemia aplastik adalah anemia, leukopenia dan trombositopenia. Leukopenia akan menyebabkan infeksi berupa ulserasi mulut, febris dan sepsis atau syok septik. Trombositopenia akan menyebabkan pendarahan pada kulit seperti petechie dan echymosis, perdarahan pada mukosa seperti epistaksis, perdarahan

subkonjungtiva, perdarahan gusi dan lain-lain. Diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya bisitopenia atau pansitopenia tanpa adanya keganasan, infiltrasi, dan supresi pada sumsum tulang. Penatalaksanaan anemia aplastik terdiri dari terapi utama, terapi suportif untuk menangani gejala yang timbul akibat bisitopenia atau pansitopenia, dan terapi jangka panjang untuk memberikan kesembuhan pada sumsum tulang. Terapi utama adalah hindari pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab. Terapi suportif diberikan sesuai gejalanya yaitu anemia, neutropenia, dan trombositopenia. Terapi jangka panjang terdiri dari terapi imunosupresif dan terapi transplantasi sumsum tulang.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Bakta IM : Hematologi Klinik ringkas. Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta. 2003; P, 98-109.

  • 2.    Montane E, Luisa I, Vidal X, Ballarin E, Puig R, Garcia N, Laporte JR, CGSAAA : Epidemiology of aplastic anemia: a prospective multicenter study. Haematologica. 2008; 98:518-23.

  • 3.    Sameer B, Esteban : Aplastic Anemia. Emedicine Medscape 2010. Available                    from

http://emedicine.medscape.com/articl e/198759. Accessed on 22 January 2011

  • 4.    Nabiel A, Solveig GE : Aplastic Anemia: review of etiology and treatment. Hospital physician. 1999; 1:46-52.

  • 5.    George BS, Marshall AL : Aplastic Anemia: acquired and inherited. William Hematology. 2010; 34:46383.

  • 6.    Neal SY, Jaroslaw M : The patophysiology of acquired aplastic anemia. N Engl J Med 1997; 336:1365-72.

  • 7.    Blood Journal : Incidence of aplastic anemia: the relevance of diagnostic criteria. By the international agranulocytosis and aplastic anemia study. Blood Journal. 1987; 70:171821.

  • 8.    Blanche PA, Jeffrey ML : Fanconi Anemia. Emedicine Medscape 2009. Available                    from

http://emedicine.medscape.com/articl e/960401. Accessed on 22 January 2011.

  • 9.    Emmanuel  CB,  Ulrich W :

Paroxymal              Nocturnal

Hemoglobinuria.        Emedicine

Medscape  2009.  Available from

http://emedicine.medscape.com/articl e/207468. Accessed on 23 january 2011

  • 10.    Emmanuel CB, Ulrich W : Myelodysplastic         Syndrome.

Emedicine Medscape 2009. Available                    from

http://emedicine.medscape.com/articl e/207347. Accessed on 23 January 2011.

  • 11.    J Martin J : Myelofibrosis. Emedicine Medscape 2009. Available from http://emedicine. medscape.com/article/956806.

Accessed on 23 January 2011.

  • 12.    Lemaistre CF, Paul S, Anthony S: Aplastic Anemia (severe). National Marrow Donor Program 2010. Available                    from

http://www.marrow.org/PATIENT/U ndrstnd_Disease_Treat/ Lrn_about_Disease/Aplastic_Anemi a/index.html. Accessed on 23 January                     2011.


Gambar 1 menunjukkan kerusakan sel induk hemopoetik menyebabkan gejala pansitopenia1.

Gambar 2 menunjukkan sumsum tulang penderita tampak hipoplasia dengan penggantian jaringan lemak (kiri) dibandingkan dengan sumsum tulang normal (kanan)1,7.


Gambar 3 menunjukkan indikasi terapi jangka panjang. Bagi yang diatas umur 60 tahun jika tidak mempunyai donor keluarga akan memilih

terapi imunosupresif. Umur 40 tahun masih dapat melakukan tranplantasi tulang dari donor yang bukan keluarga4.

11