PERITONITIS PRIMER AKIBAT DARI

PENGGUNAAN KATETER VENA UMBILIKALIS PADA NEONATUS : SEBUAH LAPORAN KASUS

Made Melly Mulandari

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali.

ABSTRAK

Peritonitis primer merupakan infeksi ruang peritoneal yang biasa terjadi pada pasien dengan ascites yang tidak berhubungan dengan penyakit abdominal maupun retroperitoneal. Kasus peritonitis primer oleh karena sepsis umbilikal yang terjadi dari pemasangan kateter umbilikal sebanyak 8 kasus dari 32 bayi baru lahir yang mengalami peritonitis. Laporan ini membahas kasus peritonitis primer pada bayi perempuan 22 hari yang menunjukkan infeksi dari penggunaan kateter vena umbilikalis. Pencitraan foto BOF dicurigai suatu pneumoperitoneum. Dilakukan pembedahan laparotomi pada pasien untuk menegakkan diagnosis dan drainase cairan ascites. Pasien dirawat di ruang NICU, diberikan terapi cairan, oksigen dan antibiotik pilihan (Cefoperasone sulbactam + Amikacin selama 7 hari). Setelah 5 hari kondisi pasien membaik sehingga dipindahkan ke ruang perawatan bayi.

Kata kunci: peritonitis, kateter umbilikal.

PERITONITIS RESULTING FROM PRIMARY UMBILICAL VEIN CATHETER USE IN NEONATES: A CASE REPORT

ABSTRACT

Primary Peritonitis is an infection of the peritoneal cavity which is common in patients with ascites who are not associated with abdominal disease or retroperitoneal. Cases of primary peritonitis due to umbilical sepsis that occurs from umbilical catheter as many as 8 cases out of 32 cases of newborns who suffered peritonitis. This report discusses the case of primary peritonitis in 22 days neonatal who showed infections which cause used umbilical venous catheter. Imaging finding (BOF) suspected a pneumoperitoneum. Laparotomy surgery on this patient for diagnostic and drainage ascites fluid. Patient admitted to intensive care (NICU) given fluid therapy, oxygen, and specific antibiotic (Cefoperasone sulbactam + Amikacin for 7 days). After 5 days, the patient’s condition improved, so transferred to the neonatal room.

Keywords: peritonitis, umbilical catheter.

PENDAHULUAN

Peritonitis merupakan suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya dan merupakan penyakit berbahaya dalam bentuk akut maupun kronis.1,2 Biasanya disebabkan oleh infeksi dimana reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa yang kemudian di antara perlekatan fibrosa tersebut akan terbentuk abses.

Peritonitis dibagi menjadi 3, yaitu peritonitis primer, peritonitis sekunder, dan peritonitis tersier.1 Peritonitis primer merupakan infeksi ruang peritoneal yang biasa terjadi pada pasien dengan ascites yang tidak berhubungan dengan penyakit abdominal maupun retroperitoneal. Kasus peritonitis primer pernah dilaporkan oleh Singer dan Hammar (1972) sebanyak 12 kasus dari 32 bayi baru lahir yang mengalami peritonitis.3

Bakteri penyebab peritonitis primer adalah Streptococcus pneumonia (±70%), Enterobacter; E. coli (60%), dan Staphylococcus aureus (2-4%).1,4

Beberapa fasilitas pelayanan kesehatan, terutama di daerah perifer, prosedur penggunaan kateter umbilikal pada bayi baru lahir dengan resiko infeksi bersifat rutin. Beberapa jurnal dan guideline menyebutkan penggunaan kateter umbilikal merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya infeksi yang berlanjut menjadi peritonitis yang sangat jarang dijumpai, biasanya disertai dengan tanda akut abdomen yang mengancam

nyawa.5,6,7,8 Sehingga perlu pertimbangan yang matang mengenai cost dan benefit dari penggunaan kateter umbilikal, ditinjau dari kompetensi tenaga medis yang melakukan prosedur dan perlunya pemantauan rutin terhadap fungsi dan komplikasi tindakan.

Peritonitis umumnya mengenai semua usia, tetapi pada neonatus umumnya terjadi dengan puncak usia 3 minggu setelah lahir. Prevalensi peritonitis pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:1.3 Diagnosis peritonitis ditegakkan berdasarkan evaluasi klinis, radiologis, kultur cairan ascites. 9,10

Pada laporan ini disajikan kasus peritonitis primer oleh karena penggunaan kateter umbilikal dengan pencitraan foto BOF didapatkan udara bebas pada abdomen dan distensi usus-usus yang dicurigai suatu pneumoperitoneum. Sehingga dilakukan pembedahan laparotomi eksplorasi untuk menemukan penyebab peritonitis. Selain itu, dilakukan juga kultur cairan ascites untuk menemukan agen infeksi sebagai konfirmasi diagnosis peritonitis.

ILUSTRASI KASUS

Bayi perempuan, 22 hari, suku Bali, rujukan dari Rumah Sakit Swasta dengan diagnosis sementara Necrotizing Enterocolitis (NEC), datang ke IRD bagian Anak RSUP Sanglah (15/06/2013) dengan keluhan utama perut membesar yang disertai demam. Perut mulai membesar sejak 2

hari pulang dari Rumah Sakit Umum Daerah. Pasien juga dikeluhkan mengalami demam dan sempat muntah sebanyak dua kali, volume ± ½ gelas aqua, dengan muntahan berupa cairan susu. Pasien juga dikatakan rewel oleh ibunya, menangis dan tidak bisa ditenangkan. Buang air besar dikatakan tidak normal (konstipasi) dan buang air kecil sedikit atau menurun dari biasanya.

Berat badan lahir pasien 2200 gram dan lahir 1 bulan lebih awal dari tanggal perkiraan USG. Selain itu, pasien dengan riwayat penggunaan kateter umbilikal selama 8 hari karena ditemukan adanya resiko tinggi terjadinya infeksi. Selain itu, kateter umbilikal sebagai akses dalam memasukkan obat secara intravena, pemberian nutrisi parenteral dan cairan intravena.

Pada pemeriksaan fisik umum (status general), keadaan umum pasien sakit sedang dan adanya demam dengan suhu tubuh 38ᵒ C. Pada pemeriksaan status lokalis regio abdomen, ditemukan adanya distensi, bising usus menurun, dan pembuluh darah vena pada abdomen tampak besar. Tali pusat pasien sudah lepas.

Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan hasil WBC 6,986 x 10^3/µL (rendah), sedangkan pemeriksaan kimia darah dalam batas normal. Pasien juga diperiksa CRP dengan hasil 194,70 mg/L (tinggi) dan Analisa Gas Darah didapatkan pH tinggi sebesar 7,51, dengan pCO2 30,00 mmHg (rendah) dan pO2 211,00 mmHg (tinggi). Pada foto BOF dicurigai suatu pneumoperitoneum

dengan gambaran udara bebas pada abdomen sisi kanan dan subdiafragma kanan serta tampak adanya distensi dari usus-usus.

Pada pasien ini kemudian dilakukan prosedur parasintesis untuk mendapatkan sampel pemeriksaan kultur (15/06/2013). Penampakkan makroskopis sampel yang didapatkan berupa cairan berwarna agak kekuningan dengan konsistensi kental sebanyak 4 ml dalam spuit. Pasien kemudian menjalani prosedur laparotomi eksplorasi (16/06/2013) untuk menegakkan diagnosis pasti pada pasien ini. Pembedahan laparotomi ditemukan pocketed abses pada daerah intraperitoneal yang dicurigai berasal dari kateter umbilikal. Saat dilakukan tes kebocoran dengan cara memijat usus, tidak tampak perforasi baik dari gaster hingga colon distal. Sehingga diagnosis pada pasien ini menjadi Peritonitis Generalisata et causa Pocketed Abses Intraperitoneal dengan bakteri penyebab Enterobacter gergoviae.

Setelah dilakukan pembedahan laparotomi, pasien dirawat di ruang intensif, yaitu Neonatal Intensive Care Unit (NICU) karena keadaan pasien letargi dan hipotermi.

Di ruangan pasien diberikan terapi oksigen, terapi intravena cairan dan antibiotik hingga keadaan umum pasien menjadi baik. Terapi oksigen sebesar 6 liter/menit dengan menggunakan headbox. Antibiotik yang diberikan adalah Cefoperasone sulbactam + Amikacin (selama 7 hari) yang merupakan anjuran antibiotika

berdasarkan hasil kultur pus dan juga Metronidazole untuk mencegah bakteri anaerob. Selain itu, dilakukan puasa pada pasien hingga keadaan usus kembali normal dengan suara bising usus normal, dan pada pasien dilakukan puasa selama 3 hari. Kemudian dilanjutkan feeding per oral berupa susu. Keadaan pasien membaik setelah setelah 5 hari dirawat intensif, lalu pasien dipindahkan ke ruang perawatan bayi.

Gambar 1. Foto klinis pasien. Tampak distensi abdomen dengan pembesaran pembuluh darah vena.

Gambar 2. Foto BOF menunjukkan adanya pneumoperitoneum.

DISKUSI

Peritonitis primer merupakan infeksi ruang peritoneal yang biasa terjadi pada pasien dengan ascites yang tidak berhubungan dengan penyakit abdominal maupun retroperitoneal.1,2 Peritonitis menimbulkan efek sistemik, seperti perubahan sirkulasi, perpindahan cairan, masalah pernapasan, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

Terdapat tiga puluh dua kasus peritonitis pada neonatus yang tercatat di Rumah Sakit Umum Harari, Salisbury dari Februari 1967 sampai dengan November 1971 yang memiliki survival rate 34,4%. Singer dan Hammar (1972) menemukan peritonitis primer yang disebabkan oleh sepsis umbilikal berkontribusi sebanyak 8 dari 12 kasus yang tercatat dan sisanya 20 kasus merupakan peritonitis sekunder pada bayi baru lahir di Afrika.3 Sedangkan di negara Nigeria terdapat sebanyak enam kasus yang merupakan peritonitis primer oleh karena sepsis umbilikal antara Januari 1972 sampai dengan Juli 1973.9

Prevalensi peritonitis pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:1.3 Prevalensi pada neonatus sering terjadi setelah beberapa hari waktu kelahiran dengan puncaknya 3 minggu setelah lahir. Terjadinya peritonitis akibat dari penggunaan kateter umbilikal merupakan kasus yang sangat jarang terjadi.

Penyebab terjadinya peritonitis primer adalah inflamasi, perforasi, dan invasi bakteri dengan infeksi bakteri

merupakan penyebab mayoritas yang terhitung kira-kira 10% dari semua pediatric dengan keadaan gawat darurat abdomen.1 Bakteri yang sering berperan adalah Streptococcus pneumonia (±70%), Enterobacter; E. coli (60%), dan Staphylococcus aureus (2-4%).1,4 Perjalanan infeksi dari peritonitis primer biasanya tidak tampak karena melalui hematogen, limfogen, ataupun migrasi transmural. Patogenesis yang mungkin terjadi adalah infeksi hematogen dari penggunaan kateter umbilikal yang pernah dilaporkan dalam sebuah kasus.11

Dalam kasus ini, pembesaran perut dan infeksi terjadi setelah beberapa hari dipasang kateter umbilikal sebagai akses pemberian antibiotik dan nutrisi yang kemudian memiliki keluhan demam, muntah, konstipasi, produksi urine menurun, dan pasien sering menangis atau rewel.

Hal tersebut sesuai dengan jurnal yang menyebutkan pasien dengan peritonitis memiliki keluhan perut membesar, muntah, demam. Selain itu, bayi senantiasa menangis setelah muntah dan kembali muntah bila makan.3,12 Tanda akut abdomen gejala yang paling sering terjadi dan merupakan tanda berbahaya. Selain itu, adanya demam juga sebagai gejala dari peritonitis yang merupakan salah satu indikasi terjadinya infeksi. Kejadian pada neonatus sering dijumpai mual, muntah, diare, hipotermi, atau syok.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan distensi abdomen dan peristaltik lambung menurun pada kasus ini. Dapat terlihat jelas pembuluh darah

vena pada perut yang merupakan akibat dari distensi abdomen yang terjadi.

Diagnosis dari peritonitis primer dapat ditegakkan dari evaluasi klinis, radiologis, parasintesis, dan hasil kultur cairan ascites. Pada pencitraan foto BOF ditemukan adanya udara bebas pada abdomen dan tampak distensi dari usus-usus yang dicurigai 3 suatu           pneumoperitoneum.

Penampakan radiologisnya mirip dengan Meconium Peritonitis yang disebutkan oleh Rickham, 1954 sehingga dilakukanlah tindakan parasintesis untuk mendukung penegakkan     diagnosis.13     Dari

parasintesis dilakukan kultur darah yang kemudian dilanjutkan dengan pembedahan laparotomi untuk mengetahui penyebab peritonitis dan melakukan drainase dari hasil parasintesis yang telah ditemukan.

Pada      peritonitis,      laparotomi

merupakan pilihan utama untuk menemukan infeksi peritoneal dengan ditemukannya pus yang kemudian dilakukan kultur untuk pilihan antibiotik inisial sebagai terapi. Selain itu, tindakan laparotomi juga bertujuan 10 untuk drainase ruang peritoneal.

Kasus ini dilakukan tindakan laparotomi setelah didapatkan pus dari parasintesis.

Modalitas terapi peritonitis pada neonatus yang disebutkan dalam kepustakaan adalah terapi intensif di ruang NICU hingga keadaan umum menjadi baik dengan terapi intravena berupa terapi cairan pemberian antibiotik, prokinetik.9 Tujuan pemberian antibiotik adalah untuk

eradikasi bakteri penyebab, prokinetik juga diberikan untuk menghambat transit time pada intestinal agar pertumbuhan bakteri yang berlebihan dihambat.

Pilihan pertama antibiotik pada peritonitis adalah Cefotaxim, dimulai dari tahun 1985 setelah dilakukan beberapa studi. Pengobatan ini lebih baik dan lebih efisien dari terapi inisial dan diberikan dosis 2 gram secara intravena setiap 8 jam. Sama halnya dengan Cefotaxim, antibiotik Ceftriaxon juga efisien dengan dosis 2 gram setiap 24 jam. Pemberian antibiotik Cefotaxim atau Ceftriaxon adalah selama 5 hari. Antibiotik alternatif dapat juga diberikan amoxicillin/clavulanic acid, fluoroquinolones, atau piperacillin/tazobactam.10,12 Tetapi, antibiotik beberapa kasus dapat dipilih dari hasil kultur cairan peritoneal (pus) yang menunjukkan antibiotik spesifik untuk eradikasi bakteri penyebab. Pada kasus ini diberikan antibiotik Cefoperazone Sulbactam + Amikacin dan Metronidazole sebagai antibiotik bakteri anaerob.

Perawatan intensif yang didapatkan pasca pembedahan sebagai indikator keberhasilan terapi dan menurunkan komplikasi yang terjadi. Komplikasi yang umumnya terjadi pasca pembedahan adalah perdarahan, perforasi, dan infeksi luka operasi. Apabila tindakan pembedahan dikerjakan dengan tepat maka prognosisnya baik dan tidak akan timbul kekambuhan.

RINGKASAN

Peritonitis primer akibat dari penggunaan kateter umbilikalis vena merupakan kasus yang sangat jarang dijumpai namun membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat, terutama pada neonatus yang menunjukkan adanya tanda akut abdomen yang mengancam nyawa. Prognosis sangat bergantung pada diagnosis yang tepat dan sedini mungkin serta terapi yang adekuat. Kasus pada laporan ini merupakan kasus Peritonitis sebagai komplikasi dari sebuah prosedur rutin pemasangan kateter umbilikal. Tindakan laparotomi dengan pemberian antibiotik spesifik bertujuan untuk menangani infeksi yang telah terjadi dan mencegah kekambuhan.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Johnson C, Baldessarre J, Levison M. Peritonitis:   Update on

Pathophysiology,         Clinical

Manifestations, and Management. Clinical Infectious Disease 1997;24:1035-47

  • 2.    Malangoni MA : Peritonitis – the Western experience.    World

Journal of Emergency Surgery 2006, 1 : 25.

  • 3.    Singer dan Hammar. Neonatal Peritonitis. S.A. Medical Journal 1972;46:987-93

  • 4.    Armitage T dan Williamson R. Primary peritonitis in children and adults. Postgraduate Medical Journal 1983;59:21-24

  • 5.    Schlesinger A, Braveman R, Dipietro M.. Neonates and Umbilical Venous Catheters: Normal Appearance, Anomalous

Positions, Complications, and Potential Aid to Diagnosis. AJR 2003;180:1147-1153

  • 6.    Anderson J, Leonard D, Braner D, Lai S, Tegtmeyer K. Umbilical vascular catheterization. The New England Journal of Medicine 2008;359:e18

  • 7.    Hunter J. Umbilical venous catheterization of the newborn. Children Hospital UVC Guideline. 2008

  • 8.    Umbilical                 Arterial

Catheter/Umbilical       Venous

Catheter/Peripheral Longlines-Information for parents/carers. Northern Lincolnshire and Goole Hospitals. 2011

  • 9.    Duggan M dan Khwaja M. Neonatal primary peritonitis in Nigeria. Archives of Disease in Childhood 1975;50:130-32

  • 10.    Alexandra F dan Benea L. Spontaneous Bacterial Peritonitis: Pathogenesis,          Diagnosis,

Treatment. J Gastrointest Liver Dis. March 2006 Vol.15 No.1:51-56

  • 11.    Thore, M. De La Peritonite Chez Les Nouveau Nes. Archives General de Medicine. Paris: 1846

  • 12.    Koulaouzidis A, Bhat S, Saeed A. Spontaneous bacterial peritonitis. World J Gastroenterol March 2009;15(9):1042-1049

  • 13.    Rickham P. Peritonitis in the neonatal period. Archives of disease in childhood 1954:23-31

7