JMU

Jurnal medika udayana


ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 11 NO.9,SEPTEMBER, 2022


Diterima:2021-11-29 Revisi:2022-08-28 Accepted: 25-09-2022

HUBUNGAN PENYAKIT DIABETES MELLITUS DENGAN LEVEL HOMOSISTEIN PADA PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA POPULASI DI KOTA MATARAM

1. Lalu Muhammad Anthony, 2. Yanna Indrayana, 3. Deasy Irawati, 4. Catarina Budyono, 5. Herpan Syafii Harahap

  • 1.    Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Mataram

  • 2.    Departemen Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, Fakultas Kedokteran, Universitas Mataram

  • 3.    Departemen Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Mataram 4.Departemen Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Mataram

ABSTRAK

Latar Belakang: Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah tersumbatnya pembuluh darah perifer sebagian atau total akibat oklusi aterosklerosis terutama pada ekstremitas bawah. Hiperhomosisteinemia merupakan salah satu penanda penyakit kardiovaskular (PKV) yakni menunjukkan proses terbentuknya aterosklerosis. Penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa terdapat peningkatan level homosistein pada pasien dengan Diabetes Mellitus (DM). Namun, data mengenai level homosistein pada pasien PAP dengan DM tipe 2 terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara DM dengan level homosistein pada pasien PAP di Kota Mataram. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Kota Mataram. Sampel penelitian adalah subjek dengan PAP dengan nilai Ankle Brachial Index (ABI) <0,90 dan DM tipe 2. Hasil penelitian ini adalah level homosistein pada pasien PAP dengan DM dan PAP dengan non DM. Analisis data menggunakan uji T tidak berpasangan. Hasil: Lima puluh dua pasien PAP berpatisipasi dalam penelitian ini, dengan 39 sampel (75%) berjenis kelamin wanita dan rata-rata usia 57,4 tahun. Rerata level homosistein pada pasien PAP dengan DM (5,7±0,9 µmol/L) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan level homosistein pada pasien PAP dengan non DM (4,8±1,0 µmol/L) (p=0,001). Didapatkan bahwa riwayat hipertensi secara signifikan lebih banyak pada kelompok pasien PAP dengan non DM (p=0,012) dan nilai ABI secara signifikan lebih rendah pada pasien kelompok PAP dengan DM (p=0,049). Jenis kelamin, usia dan merokok tidak berhubungan dengan PAP dan DM. Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata level homosistein pada kelompok subjek PAP dengan DM dan non DM.

Kata Kunci: Penyakit Arteri Perifer, Diabetes Mellitus Tipe 2, Level Homosistein.

ABSTRACT

Background: Peripheral Arterial Disease (PAD) is partial or total blockage of blood vessel caused by occlusive atherosclerosis especially in lower extremity. Hyperhomocysteinemia had been used as a biomarker of cardiovascular disease (CVD) such atherosclerosis formation process. Previous study have reported higher incidence of homocysteine level in patient with Diabetes Mellitus (DM) type 2. However, data on homocysteine level in PAD patient with DM type 2 is limited. Therefore, this study aim to investigate the comparation between DM and homocysteine level in PAD patient in Mataram City. Method: This study is a cross sectional study conducted at Siti Hajar Islamic Hospital in Mataram City. The sample was patients with PAD with an ABI value <0.90 and DM type 2. The outcome of this study was homocysteine level on DM PAD patient and non-DM PAD patient. Data analysis using the unpaired T test. Result: fifty-two PAD patients in this study, with 75% female (39) and average age of 57.4 years old in this research. The average homocysteine level in PAD patient with DM (5.7±0.9 µmol/L) was significantly higher than those in non-DM PAD patient (4.8±1.0 µmol/L) (p=0.001). We found that history of hypertension was significantly higher in non DM PAD patient and ankle brachial index score

HUBUNGAN PENYAKIT DIABETES MELLITUS DENGAN LEVEL HOMOSISTEIN PADA,.. 1. Lalu Muhammad Anthony, 2. Yanna Indrayana, 3. Deasy Irawati, 4. Catarina Budyono, 5. Herpan Syafii Harahap

was significantly lower in DM PAD patient (p=0.049). Gender, age and smoking were not asssociated with DM in PAD. Conclusion: There is a significant differences of homocysteine level within DM patient compared to non DM patient.

Keywords: Peripheral Arterial Disease, Diabetes Mellitus Type 2, Homocysteine Level.

PENDAHULUAN

Penyakit arteri perifer adalah tersumbatnya pembuluh darah perifer sebagian atau total akibat oklusi aterosklerosis terutama pada ekstremitas bawah1. Penyebab utama atau tersering terjadinya penyakit arteri perifer adalah terbentuknya aterosklerosis1–3. Studi oleh Global Burden of Disease menyatakan bahwa penderita penyakit arteri perifer didominasi oleh usia tua dan angka kematian dan disabilitas antara tahun 2005 hingga 2015 lebih dari 30% dan terus meningkat4. Adapun hiperhomosisteinemia dikatakan sebagai faktor risiko independen terhadap terjadinya aterosklerosis dan juga bertanggung jawab atas 10% risiko dari penyakit kardiovaskular5,6.

Diabetes mellitus memiliki komplikasi kelainan vaskular berupa penyakit arteri perifer7. Penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa terdapat peningkatan level homosistein pada pasien dengan diabetes mellitus8,9. Peningkatan level homosistein menjadi faktor risiko yang lebih tinggi untuk penyakit kardiovaskular pada subjek diabetes mellitus dibandingkan Nondiabetes mellitus10.

  • 1.    Hubungan Homosistein dan Diabetes Mellitus

Homosistein adalah asam amino yang mengandung sulfur ketika pembentukan metabolisme metionin5. Terjadinya peningkatan level homosistein di dalam darah ≥15 µmol/L disebut dengan hiperhomosistein3. Hiperhomosistein dapat disebabkan oleh faktor genetik seperti polimorfisme dari gen Methylenetetrahydrofolate Reductase (MTHFR), Methionine Synthase (MS), dan cystathionine β-synthase (CBS) dan faktor nutrisi seperti vitamin B12, vitamin B6 dan asam folat11. Pada kondisi diabetes mellitus dikatakan bahwa level homosistein menjadi meningkat8,9.

Peningkatan homosistein pada diabetes melitus dapat dipengaruhi oleh mutasi dari gen MTHFR 633CT dan penggunaan obat-obatan anti diabetes mellitus8,9,12,13. Mutasi dari gen MTHFR 633CT akan mengakibatkan peningkatan level homosistein yang nantinya akan meningkatkan produksi dari Reactive Oxygen Species (ROS). ROS dalam reaksi siklus redoks akan menyebabkan penurunan viabilitas sel yang mensekresi insulin, kemampuan fosforilasi glukokinase, respons sekresi insulin, dan kematian sel9.

Adapun penggunaan pengobatan insulin pada sebuah penelitian dengan hewan coba dikatakan berperan dalam aktivitas enzim hepatik pada metabolisme transulfurasi homosistein yaitu dengan menurunkan aktivitas CBS sehingga terjadi peningkatan level homosistein12. Pada sebuah penelitian cross sectional, ditemukan juga bahwa pada pasien diabetes mellitus yang mengonsumsi metformin memiliki level homosistein lebih tinggi dibandingkan pasien diabetes mellitus yang tidak mengonsumsi metformin13. Berdasarkan uraian diatas, peniliti tertarik untuk meneliti topik hubungan diabetes mellitus dengan level

homosistein pada populasi penyakit arteri perifer di Kota mataram.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan potong lintang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2020-April 2021 dan sudah mendapat persetujuan komisi etik penelitian kesehatan Universitas Mataram dengan nomor: 16/UN18.F7/ETIK/2021. Penelitian ini juga merupakan pohon dari penelitian dr. Yanna Indrayana, Sp.JP dengan judul penelitian “Serum Homocysteine Level and Ankle-Brachial Index in Peripheral Arterial Disease”14. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien penyakit arteri perifer di poliklinik jantung dan penyakit dalam Rumah Sakit Islam Siti Hajar Kota Mataram pada bulan September-November 2019. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini consecutive sampling yaitu seluruh subjek yang memenuhi kriteria akan dijadikan sampel hingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 52 sampel. Kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien dengan penyakit diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit arteri perifer dan bersedia mengikuti penelitian ini. Adapun kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah pasien yang memiliki riwayat penyakit ginjal kronis, penyakit hati berat, atau mengonsumsi suplemen asam folat, vitamin B6, dan vitamin B12 dalam 3 bulan terakhir dan nilai ankle brachial index ≥1,4.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit arteri perifer. Adapun variabel terikat dalam penelitian ini adalah level homosistein didalam plasma darah. Diabetes mellitus tipe 2 ditegakkan dengan melihat hasil dari salah satu pemeriksaan, yaitu pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl dengan keadaan pasien berpuasa selama 8 jam sebelum dilakukan pemeriksaan dan/atau pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral dengan beban glukosa 75 gr dan/atau pemeriksaan glukosa plasma sewatu ≥200 mg/dl dengan gejala klasik dan/atau pemeriksaan HbA1C ≥6,5 % dan/atau pasien yang telah terdiagnosis diabetes mellitus tipe 2 dan sedang menggunakan obat-obatan. Kemudian pasien dengan penyakit arteri perifer adalah pasien dengan nilai ankle brachial index ≤0,90. Nilai ankle brachial index merupakan rasio antara tekanan darah sistolik lengan dan tekanan darah sistolik tungkai. Adapun level homosistein adalah konsentrasi homosistein didalam plasma darah. Pemeriksaan level homosistein didapatkan pada serum pasien yang berpuasa selama 8-12 jam sebelum dilakukan tes. Level homosistein akan dinyatakan dalam satuan µmol/L. Level homosistein normal adalah 5-15 µmol/L. Analisis data menggunakan uji T tidak berpasangan menggunakan program analitik SPSS dengan Confidence Interval 95% dan p value <0,05.

HASIL

Penelitian ini melibatkan 52 subjek yang merupakan pasien pada poli jantung dan penyakit dalam Rumah Sakit Islam Siti Hajar Kota Mataram pada bulan September-November 2019. Dari 52 subjek dalam penelitian ini, didapatkan usia rerata subjek 57,4 tahun, yang mana sebagian besar didominasi oleh wanita (75%) dengan riwayat pendidikan terakhir subjek tidak sepenuhnya diketahui (53,8%) dan pekerjaan terbanyak dari subjek penelitian adalah sebagai Ibu Rumah Tangga (50,0%). Penelitian ini menggali faktor risiko yakni subjek dengan penyakit diabetes mellitus tipe 2, hipertensi, dan riwayat merokok. Didapatkan subjek yang memiliki riwayat diabetes berjumlah 26 orang (50%). Dari 26 subjek yang memiliki riwayat diabetes mellitus, terdapat penggunaan obat insulin sebanyak 13 (50,0%) orang, metformin sebanyak 10 (38,5%) orang, glimepiride sebanyak 1 (3,8) orang dan metformin dengan insulin sebanyak 2 orang (7,7%) orang. Adapun subjek yang memiliki riwayat hipertensi sebanyak 38 orang (73,1%) dan riwayat merokok berjumlah 2 orang (3,8%). Pada penelitian ini, seluruh subjek penyakit arteri perifer memiliki rerata nilai ankle brachial index yaitu 0,7 dan rerata level homosistein pada seluruh subjek yaitu 5,3 µmol/L (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian

Karakteristik

Rata-rata (Min-Max)

n(%)

Jenis Kelamin

Laki-laki

13 (25,0)

Perempuan

39 (75,0)

Usia (Tahun)

57,4 (30-79)

Pendidikan terakhir

Tidak tahu

28 (53,8)

SD

3 (5,8)

SMP/SLTP

3 (5,8)

SMA/SLTA

8 (15,4)

Sarjana

10 (19,2)

Pekerjaan

Tidak tahu

3 (5,8)

Pekerja swasta

12 (23,1)

IRT

26 (50,0)

PNS

4 (7,7)

Dosen

1 (1,9)

Pensiunan

6 (11,5)

Riwayat hipertensi

Ya

38 (73,1)

Tidak

14 (26,9)

Riwayat    diabetes

mellitus

Ya

26 (50,0)

Tidak

26 (50,0)

Pengunaan     obat

antidiabetes

Insulin

13 (50,0)

Metformin

10 (38,5)

Glimepiride

1 (3,8)

Insulin       +

metformin

2 (7,7)

Riwayat merokok

Ya

2 (3,8)

Tidak

50 (96,2)

Ankle brachial index  0,7 (0,6-0,8)

Level   homosistein  5,3 (2,4-7,4)

(µmol/L)

SD : Sekolah Dasar; SMP : Sekolah Menengah Pertama; SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; SMA : Sekolah Menengah Atas; SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas; IRT : Ibu Rumah Tangga; PNS : Pegawai Negeri Sipil.

Penelitian ini membandingkan karakteristik sampel berdasarkan status diabetes mellitus tipe 2. Didapatkan sebagian besar subjek pada kelompok penyakit arteri perifer dengan diabetes mellitus berjenis kelamin perempuan (46,2%) dengan rerata usia 59 tahun dan pada kelompok penyakit arteri perifer dengan Non-diabetes mellitus berjenis kelamin perempuan (51,3%) dengan rerata usia 55,8 tahun. Dalam penelitian ini, pada kelompok penyakit arteri perifer dengan diabetes mellitus didapatkan sebanyak 15 subjek (39,5%) memiliki riwayat hipertensi dan rerata nilai ankle brachial index 0,7. Sementara pada kelompok penyakit arteri perifer dengan Non-diabetes mellitus didapatkan sebanyak 23 subjek (60,5%) memiliki riwayat hipertensi, 2 subjek (100%) memiliki riwayat merokok, dan rerata nilai ankle brachial index 0,8. Pada karakteristik hipertensi dan nilai ankle brachial index, didapatkan nilai p signifikan (p<0,05)(Tabel 2).

Tabel 2. Gambaran distribusi subjek berdasarkan riwayat diabetes mellitus tipe 2

Riwayat Diabetes

Karakteristik             Mellitus            Nilai p

Diabetes Mellitus

NonDiabetes Mellitus

Jenis  kelamin,

n(%)

Laki-Laki

Perempuan

7 (46,2%)

19 (48,7%)

6 (53,8%)

20 (51,3%)

0,749

Usia±SB (tahun)

Rata-rata Termuda Tertua

59,0±11,4

30

77

55,8±11,8

37

79

0,339

Riwayat hipertensi, n(%)

Iya Tidak

15 (39,5%) 11 (78,6%)

23 (60,5%) 3 (21,4%)

0,012*

Riwayat merokok, n(%)

Iya

0 (0%)

2 (100%)

0,490

Tidak

26 (52,0%)

24 (48,0%)

Ankle brachial index±SB

Rerata Terendah Tertinggi

0,7±0,1

0,4

0,8

0,8±0,1

0,6

0,8

0,049*

*p<0,05

Penelitian ini bertujuan untuk mencari perbedaan dari level homosistein antara kelompok penyakit arteri perifer dengan diabetes mellitus dibandingkan kelompok penyakit arteri perifer dengan Non-diabetes mellitus di Kota Mataram. Hasil uji komparatif pada penelitian ini didapatkan perbedaan yang bermakna dari level homosistein antara kelompok penyakit arteri perifer dengan diabetes mellitus dibandingkan kelompok penyakit arteri perifer dengan Non-diabetes mellitus di Kota Mataram (Tabel 3).

Tabel 3. Uji T tidak berpasangan

Penyakit arteri perifer

Rerata level homosistein±SB

Nilai p

Perbedaan rerata (IK95%)

Diabetes mellitus

5,7±0,9

0,95

Non diabetes mellitus

4,8±1,0

0,001

(0,281,37)

PEMBAHASAN

Pada uji komparatif penelitian ini didapatkan perbedaan yang bermakna dari level homosistein antara kelompok penyakit arteri perifer dengan diabetes mellitus dibandingkan penyakit arteri perifer dengan Non diabetes mellitus di Kota Mataram. Belum ada penelitian secara langsung yang menghubungkan level homosistein pada kelompok penyakit arteri perifer dengan diabetes mellitus dan kelompok penyakit arteri perifer dengan Non-diabetes mellitus. Penelitian yang dilakukan Hoogeveen dkk oleh menunjukkan bahwa level homosistein yang tinggi menjadi faktor risiko (OR=1,6 IK95%) untuk penyakit kardiovaskular pada subjek diabetes mellitus dibandingkan Non-diabetes mellitus10.

Penggunaan obat anti diabetes berperan dalam peningkatan level homosistein diabetes mellitus. Pada penelitian dengan hewan coba, insulin dapat menyebabkan penurunan dari aktivitas enzim CBS sehingga mengakibatkan level homosistein meningkat11. Begitu pula dengan metformin. Pasien diabetes mellitus yang menkonsumsi metformin memiliki level homosistein lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak13.

Rerata level homosistein pada kelompok penyakit arteri perifer dengan diabetes mellitus adalah 5,7 µmol/L (Tabel 2). Rerata level homosistein pada penelitian ini jauh lebih rendah dibandingkan rerata level homosistein pada penelitian Hoogeveen dkk yakni 11,2 µmol/L10. Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh tidak terdapatnya subjek yang merokok pada kelompok penyakit

arteri perifer dengan diabetes mellitus. Merokok dapat menyebabkan terjadinya penurunan kadar vitamin B12 dan asam folat yang mana penurunan kedua vitamin tersebut merupakan faktor risiko terjadinya hiperhomosisteinemia15. Adapun hal yang juga mungkin dapat menyebabkan perbedaan level homosistein pada penelitian ini yaitu perbedaan metode pengukuran level homosistein. Pada penelitian ini mengukur level homosistein menggunakan metode immunoassay sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hoogeveen dkk menggunakan metode yang berbeda yaitu high performance liquid chromatography10.

Pada karakteristik jenis kelamin, didapatkan jumlah subjek wanita yang menderita penyakit arteri perifer dengan diabetes mellitus sebanyak 19 subjek (48,7%) dan laki-laki sebanyak 7 subjek (46,2%) (Tabel 2). Hal ini sejalan dengan penelitian Rhee dkk yang menggambarkan bahwa jenis kelamin wanita lebih banyak menderita penyakit arteri perifer dengan diabetes mellitus di Indonesia16. Pada populasi saat ini, wanita dikatakan lebih banyak menderita peyakit arteri perifer dibandingkan laki-laki yang mana kejadian penyakit arteri perifer meningkat pasca-menopause17. Pasca-menopause terjadi penurunan dari hormon estrogen pada tubuh wanita yang mengakibatkan endotel kehilangan kemampuan untuk memproduksi nitrit oxide sehingga mengakibatkan terjadi disfungsi endotel yang mana dapat meningkatkan kejadian aterosklerosis18.

Rerata usia pada kelompok penyakit arteri perifer dengan diabetes mellitus pada penelitian ini adalah 59,0±11,4 tahun (tabel 2). Penelitian yang dilakukan oleh Rhee dkk pada beberapa negara di seluruh dunia menunjukkan rerata usia subjek diabetes mellitus dengan penyakit arteri perifer yakni 63,7±8,2 tahun16. Pertambahan usia berhubungan dengan terbentuknya aterosklerosis sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular. Penuaan seluler menyebabkan endotel pengurangan produksi nitrit oxide, peningkatan pelepasan endothelin-1, dan peningkatan nuclear factor (NF)-kβ sehingga dapat mengakibatkan endotel kehilangan fungsi dan akan terjadi inflamasi pada daerah sekitar endotel. Kejadian ini menyebabkan monosit migrasi ke endotel19.

Dalam penelitian ini, didapatkan hubungan yang bermakna dari riwayat hipertensi antara kelompok penyakit arteri perifer dan diabetes mellitus dibandingkan kelompok penyakit arteri perifer dan Non-diabetes mellitus (p=0,012) (Tabel 2). Riwayat hipertensi didapatkan secara signifikan lebih tinggi pada kelompok penyakit arteri perifer dengan Non-diabetes mellitus. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ilminova dkk yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna dari diabetes mellitus yang secara signifikan lebih tinggi pada kelompok penyakit arteri perifer dengan hipertensi (p=0,02)20. Walaupun hipertensi sering dijumpai pada pasien diabetes mellitus namun prevalensinya bervariasi tergantung pada tipe dan durasi diabetes, usia, ras, indeks massa tubuh, kontrol gula darah dan ada atau tidaknya penyakit ginjal21. Pada sampel penelitian kami jumlah pasien hipertensi pada kelompok diabetes mellitus tidak lebih banyak dari kelompok Non-diabetes mellitus. Namun tetap direkomendasikan untuk melakukan pengukuran tekanan darah rutin pada setiap pasien diabetes mellitus.

Penyakit arteri perifer terjadi akibat pembentukan aterosklerosis melalui mekanisme inflamasi yang diperankan oleh zat vasoaktif seperti angiotensin. Angiotensis II dapat

menstimulasi Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH) atau Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NADP) oxidase pada sel endotel, sel otot, dan sel adventitia vaskular yang akan mengaktifkan ROS. ROS ini nantinya dapat mengakibatkan disfungsi endotel hingga mengaktifkan faktor inflamasi lainnya serta meningkatkan pemecahan nitrit oxiida yang berkontribusi pada progresifitas kerusakan vaskular dan aterogenesis22.

Pada penelitian ini didapatkan rerata nilai ankle brachial index pada kelompok penyakit arteri perifer dengan diabetes mellitus sebesar 0,7 dan pada subjek penyakit arteri perifer dengan Non-diabetes mellitus sebesar 0,8 (p=0,049) (tabel 2). Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Putri dkk yang menyatakan bahwa pada kelompok diabetes mellitus nilai ankle brachial index lebih rendah dibandingkan kelompok Non-diabetes mellitus (p=0,032)23. Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa nilai ambang batas ≤0,9 memiliki spesifitas dan sensitivitas ≥90% untuk menentukan penyakit arteri perifer24. Selain dijadikan alat diagnostik, nilai ankle brachial index juga dapat menunjukkan derajat keparahan dari penyakit arteri perifer. Semakin rendah nilai ankle brachial index, semakin parah oklusi yang terjadi25.

Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan. Pertama, lama diabetes mellitus tidak diteliti. Lama diabetes mellitus dikatakan sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai ankle brachial index dan derajat keparahan penyakit arteri perifer, yang mana semakin lama seseorang menderita diabetes mellitus, semakin bertambah berat nilai ankle brachial index dan derajat penyakit arteri perifer yang akan diderita pasien. Kedua, pada penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan terhadap jumlah asupan asam folat, vitamin B6 ataupun vitamin B12 yang dapat mempengaruhi level homosistein pada subjek. Defisiensi dari ketiga vitamin B larut dalam air tersebut dapat menyebabkan terjadinya hiperhomosisteinemia.

SIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Kota Mataram, maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik yang mana level homosistein pada kelompok penyakit arteri perifer dengan diabetes mellitus lebih tinggi dibandingkan kelompok penyakit arteri perifer dengan Non-diabetes mellitus.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada dr. Yanna Indrayana, Sp.JP., dr. Deasy Irawati, M.Sc., Ph.D., dr. Catarina Budyono, Sp.PD., dr. Herpan Syafii Harahap, M. Biomed, Sp.S., dr. I Gusti Ngurah Ommy Agustriadi, Sp.PD., Margian Tri Qurniadi, M. Alwan Rialdi dan seluruh sahabat serta pihak-pihak lain yang telah membantu hingga penelitian dan penulisan artikel ini dapat terlaksana dengan baik

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.     Criqui MH, Aboyans V. Epidemiology of Peripheral

Artery Disease. Circ Res. 2015;116(9):1509–26.

  • 2.     Conte SM, Vale PR. Peripheral Arterial Disease.

Hear Lung Circ [Internet]. 2018;27(4):427–32.

Available                                  from:

http://dx.doi.org/10.1016/j.hlc.2017.10.014

  • 3.     Ganguly P, Alam SF. Role of homocysteine in the

development of cardiovascular disease. Nutr J. 2015;14(1):1–10.

  • 4.     Hamburg NM, Creager MA. Pathophysiology of

intermittent claudication in peripheral artery disease. Circ J. 2017;81(3):281–9.

  • 5.     Guthikonda S, Haynes WG. Homocysteine: Role

and implications in atherosclerosis. Curr Atheroscler Rep. 2006;8(2):100–6.

  • 6.      Tinelli C, Di Pino A, Ficulle E, Marcelli S, Feligioni

M. Hyperhomocysteinemia as a risk factor and potential nutraceutical target for certain pathologies. Front Nutr. 2019;6(April):1–13.

  • 7.     Chawla A, Chawla R, Jaggi S. Microvasular and

macrovascular complications in diabetes mellitus: Distinct or continuum? Indian J Endocrinol Metab. 2016;20(4):546–53.

  • 8.     Agulló-Ortuño MT, Albaladejo MD, Parra S.

Plasmatic homocysteine concentration and  its

relationship with complications associated  to

diabetes mellitus. Clin Chim Acta. 2002;326(1– 2):105–12.

  • 9.     Huang T, Ren JJ, Huang J, Li D. Association of

homocysteine with type 2 diabetes: A meta-analysis implementing Mendelian randomization approach. BMC Genomics. 2013;14(1).

  • 10.    Hoogeveen EK, Kostense PJ, Beks PJ.

Hyperhomocysteinemia is associated with an increased risk of cardiovascular disease, especially in non-insulin-dependent diabetes mellitus: A population-based study. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 1998;18(1):133–8.

  • 11.    Bhargava S, Srivastava LM. Hyperhomocysteinemia

and its clinical implications – A short review. Curr Med Res  Pract [Internet]. 2014;4(3):112–8.

Available                                  from:

http://dx.doi.org/10.1016/j.cmrp.2014.06.005

  • 12.    Jacobs RL, House JD, Brosnan ME, Brosnan JT.

Effects of streptozotocin-induced diabetes and of insulin treatment on homocysteine metabolism in the rat. Diabetes. 1998;47(12):1967–70.

  • 13.    Dierkes J, Westphal S. Effect of drugs on

homocysteine concentrations. J Am Med Assoc. 2005;5.

  • 14.    Indrayana Y, Harahap HS. Serum Homocysteine

Level and Ankle-Brachial Index in Peripheral Arterial Disease. J Kesehat Masy. 2020;11(1):87– 95.

  • 15.    Mouhamed DH, Ezzaher A, Neffati F, Douki W,

Najjar MF. Effect of cigarette smoking on plasma homocysteine concentrations. Clin Chem Lab Med. 2011;49(3):479–83.

  • 16.    Rhee SY, Guan H, Liu ZM. Multi-country study on

the prevalence and clinical features of peripheral

arterial disease in asian type 2 diabetes patients at 22. high risk of atherosclerosis. Diabetes Res Clin Pract.

2007;76(1):82–92.

  • 17.    Schramm K, Rochon PJ. Gender Differences in 23.

Peripheral Vascular Disease. Semin Intervent Radiol. 2018;35(1):9–16.

  • 18.    Nawrocka A, Mlicki P, Matulewicz K, Olszewski B.

Atherosclerosis as a problem in postmenopausal 24. women. 2019;9(9):1049–63.

  • 19.    Wang JC, Bennett M. Aging and atherosclerosis:

Mechanisms, functional consequences, and potential therapeutics for cellular senescence. Circ Res. 2012;111(2):245–59.

  • 20.    Ilminova F, Nugroho K, Ismail A. Hubungan Antara 25.

Status Diabetes Melitus Dengan Status Penyakit Arteri Perifer (PAP) Pada Pasien Hipertensi. J Kedokt Diponegoro. 2015;4(4):813–23.

  • 21.    De Boer IH, Bangalore S, Benetos A. Diabetes and

hypertension: A position statement by the American diabetes association. Diabetes Care [Internet]. 2017;40(9):1273–84.       Available       from:

https://care.diabetesjournals.org/content/40/9/1273.f ull-text.pdf

Li J, Chen J. Inflammation may be a bridge connecting hypertension and atherosclerosis. 2005;925–9.

Putri AD. Gambaran Ankle-Brachial Index (ABI) Penderita Diabetes mellitus (DM) Tipe 2 Di Komunitas Senam Rumah Sakit Immanuel Bandung. 2010;09(Dm).

Aboyans V, Criqui MH. Measurement and Interpretation  of the  Ankle-Brachial Index A

Scientific Statement From the American Heart Association.      2012;      Available      from:

http://circ.ahajournals.org/lookup/suppl/doi:10.1161 /CIR.0b013e318276fbcb/-/DC1.

Beckman JA, Creager MA, Libby P. Diabetes and Atherosclerosis Epidemiology, Pathophysiology, and Management. 2015;287(19).


https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2022.V11.i9.P16

88