ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 10 NO.8,AGUSTUS, 2021


Diterima: 2021-04-30. Revisi: 2021 -07-29 Accepted: 2021-08-26

INDIKATOR KEBERHASILAN PROGRAM TUBERKULOSIS NASIONAL PUSKESMAS TIMUNG, KECAMATAN WAE RII, KABUPATEN MANGGARAI, NUSA TENGGARA TIMUR

Made Alit Darmawan1, Ni Wayan Meindra Wirtayani2 , Elisabeth Ernawaty N3 1Dokter Internsip Puskesmas Timung 2KSM Penyakit Dalam RSUD Bali Mandara 3Dokter Umum Puskesmas Timung e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis, dimana penularannya terutama melalui udara dan paru – paru menjadi organ target utama bakteri tersebut. Berdasarkan Kementerian Kesehatan RI di tahun 2018, terjadi peningkatan penemuan kasus TB setiap tahunnya, dimana pada tahun 2017 menunjukkan angka Case Notification Rate (CNR) tertinggi sebesar 161 per 100.000 penduduk. Peningkatan kasus tersebut berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi pada suatu wilayah Penelitian ini bertujuan untuk menilai angka keberhasilan program pemerintah di wilayah kerja Puskesmas Timung, Kecamatan Wae Rii, Kabupaten Manggarai. Program yang dinilai meliputi Case Detection Rate (CDR), Case Notification Rare (CNR), dan angka keberhasilan pengobatan pasien TB. Data yang digunakan selama bulan Januari 2017 hingga Desember 2018. Angka cakupan pengobatan semua kasus TB yang diobati / CDR di wilayah kerja Puskesmas Timung sebesar 27%. Indikator angka kejadian kasus TB / CNR sebesar 66 setiap 100.000 penduduk. Angka keberhasilan pengobatan pasien TB sebesar 85%.

Kata kunci : Infeksi TB, program TB, puskesmas Timung

ABSTRACT

Tuberculosis is ones of infectious diseases caused by Mycobacterium tuberculosis, which is transmitted through the air and affect lung as the main organ target. Based on data from Indonesian Ministry of Health, there was an increase in Case Notification Rate (CNR) rate over the years, especially in 2017 is about 161 per 100.000 population. That increase is inversely proportional to the level of education and sosio-economy. This study aimed to measure the success rate of the government program in the working area of Puskemas Timung, sub district of Wae Rii, district of Manggarai. Programs that are assessed include Case Notification Rate (CNR), Case Detection Rate (CDR), and success rate of tuberculosis treatment during January 2017 until December 2018. CDR value in Puskesmas Timung is equal to 27%, the CNR is equal to 66 per 100.000 population, and success rate of tuberculosis treatment is 86%.

Keywords : TB Infection, TB program, puskesmas Timung

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan di masyarakat. Penyakit ini diakibatkan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini menginfeksi beberapa organ manusia, terutama paru

– paru. Secara penyebarannya, bakteri tersebut ditularkan melalui percikan dahak. Bakteri tersebut dapat bertahan beberapa jam di ruangan gelap dan lembab hingga akhirnya seseorang dapat terinfeksi, terutama mereka yang memiliki imunitas yang rendah. Pada awalnya, pengendalian terhadap bakteri ini cukup lambat, hingga akhirnya Robert

Koch menemukan media yang mampu mengidentifikasi Mycobacterium tuberculosis pada tahun 18821

Hampir sebagian besar kasus tersebut berasal dari negara – negara berkembang. Adapun faktor – faktor penyebab tingginya insiden TB di dunia antara lain: angka kemiskinan yang tinggi terutama di negara – negara berkembang, gagalnya program TB yang sudah ditetapkan selama ini, perubahan demografik, dan dampak pandemi HIV. Tingginya tingkat kejadian HIV mempengaruhi tinginya resiko kejadian TB yang signifikan2.

Berdasarkan laporan CDR / Case Detection Rate di Indonesia dari 2008 hingga 2017 mengalami peningkatan yaitu dari 30,8% hingga 42,4%. Walau demikian, angka ini belum mencapai standar yang telah ditentukan yaitu sebsar 70%. Tahun 2017, didapatkan jumlah kasus baru TB mencapai 420.994 orang di Indonesia, dimana pasien laki – laki lebih banyak dibanding wanita. Tidak hanya itu, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi juga mempengaruhi prevalensi TBC di Indonesia, dimana berdasarkan survei prevalensi tuberkulosis 2013-2014 oleh Kemenkes RI, menyatakan bahwa prevalensi semakin rendah seiring denagn tingginya tingkat pendidikan begitu pula dengan tingkat ekonomi3.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun 2018, didapatkan kecenderungan peningkatan penemuan kasus TB dari tahun 2008 hingga 2017, dimana pada tahun 2017 menunjukkan angka CNR tertinggi yaitu sebesar 161 per 100.000 penduduk3.

Walau demikian, hingga saat ini belum pernah ada data yang menunjukkan penilaian indikator penanggulangan TB nasional di Puskesmas Timung, sehingga perlu diadakan evaluasi guna untuk mengetahui seberapa besar keberhasilan Puskesmas Timung dalam menanggulangi kasus TB selama ini.

Mycobacterium tuberculosis, bakteri aerob yang tidak menghasilkan spora ini menyerang organ manusia terutama paru – paru. Bakteri ini ditularkan melalui droplet pasien TB dan menginfeksi alveolus orang lain. Ukuran bakteri antara 1 – 5 mikron dan akan berada di dalam droplet setiap pasien batuk maupun bersin. Bakteri dapat bertahan di udara selama beberapa jam, tergantung ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi, dan kelembabannya. Bakteri yang mampu masuk ke dalam alveolus adalah yang berukurang kurang dari 5 mikron. Setiap seseorang yang batuk maupun bersin, akan menghasilkan kurang lebih 3.000 droplet. Awalnya, bakteri ini akan masuk ke host selanjutnya melalui saluran nafas dan akan berakhir di alveolus. Saat itu, sistem imun tubuh berupa makrofag akan merespon dan menyelimuti bakteri seperti sebuah kapsul. Fase ini disebut Latent Tuberculosis Infection (LTBI). Pada

fase ini, seseorang belum dikatakan menderita TB, karena hampir 90% orang yang sering terpapar dengan pasien TB akan menunjukkan hasil yang positif pada pemeriksaan tuberculin skin test (TST). Tes ini akan menunjukkan hasil poitif setelah 2 – 8 minggu seseorang terpapar bakteri Mycobacterium tuberculosis. Ketika sistem imun tidak mampu mempertahankan bakteri di dalam kapsul, maka bakteri tersebut akan keluar dan menyebar ke beberapa organ tubuh melalui pembuluh darah, terutama otak, laring, jaringan limfe, tulang, dan ginjal4.

Seseorang dalam fase LTBI akan menjadi penderita TB apabila dalam kondisi sistem imun yang rendah. Hal ini sering terjadi terutama pada pasien yang menderita HIV. Setiap tahunnya angka resiko menderita penyakit TB meningkat 7% hingga 10% pada pasien yang juga menderita HIV dan tidak mendapatkan terapi HIV yang adekuat. Anak berumur dibawah 5 tahun dalam fase LTBI juga akan beresiko menderita TB. Selain itu, orang – orang yang kecenderungannya meningkat menderita penyakit TB yang sebelumnya mengalami LTBI antara lain seseorang yang pernah terinfeksi bakteri TB dalam jangka waktu 2 tahun, pasien TB yang sebelumnya pernah mendapatkan terapi yang tidak adekuat, seseorang yang mendapatakan terapi imunosupresif, seseorang yang menderita silicosis, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik, leukemia, kanker di daerah kepala, leher, dan paru – paru, seseorang dengan riwayat gastrectomy atau bypass jejunoileal, seseorang yang memeiliki berat badan kurang dari 90% berat badan idealnya, perokok, pengguna narkoba, dan peminum alkohol5.

Gejala klasik yang timbul pada pasien penderita TB paru antara lain demam, batuk kronik disertaui dahak, keringat malam, nafsu makan menurun, dan hemoptisis. Sedangkan gejala pada penderita TB ekstraparu tergantung dari organ yang terkena dan TB jenis ini hanya terjadi pada 10% – 42% pasien, tergantung dari umur, latar belakang, status imun, dan penyakit penyerta lainnya4.

Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan TBC tahun 2011, batuk berdarah merupakan gejala utama kebanyakan pasien. Selain itu, keluhan yang dialami berupa sesak, nafsu makan menurun berakibat penurunan berat badan, keringat malam, dan demam kurang lebih satu bulan. Walaupun beberapa gejala di atas dapat juga ditemui pada penderita bronkiektasis, kanker paru, bronkitis kronis, asma, namun dikarenakan kasus TB di Indonesia masih tinggi, maka perlu dilakukan cek sputum secara mikroskopik pada penderita dengan gejala – gejala di atas2.

Pada tahun 1990-an, WHO dan IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease) membentuk strategi DOTS untuk mengendalikan TB, antara lain :

  • 1.  Komitmen politis

  • 2.  Penemuan kasus

  • 3.    Pengobatan standar, supervisi dan dukungan pasien

  • 4.    Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif

  • 5.    Sistem monitoring, pencatatan, dan pelaporan9

Dalam melakukan program TB, perlu diadakan monitoring dan evaluasi untuk menilai keberhasilannya. Monitoring berguna untuk deteksi awal, sedangkan program evaluasi berfungsi dalam menilai pencapaian tujuan, indikator, dan target program tersebut6.

BAHAN DAN METODE

Penelitian menggunakan desain deskriptif dengan pendekatan observasional retrospektif untuk menilai angka keberhasilan program TB nasional di wilayah kerja Puskesmas Timung. Sampel yang digunakan adalah pasien TB paru di wilayah kerja Puskesmas Timung sejak tanggal 1 Januari 2017 -31 Desember 2018, dimana sampel tersebut harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria inklusi yang dimaksud adalah penderita TB paru, dan pasien tinggal di wilayah kerja Puskesmas Timung. Sedangkan krtieria eksklusi penelitian ini meliputi data rekam medis tidak lengkap dan penderita TB ekstra paru. Data yang sudah diperoleh dimasukkan ke dalam rumus perhitungan sesuai panduan program TB Nasional, sehingga didapat hasil CDR, CNR, dan angka keberhasilan pengobatan pasien TB.

HASIL

Dari data yang terkumpul dari bulan Januari 2017 hingga Desember 2018, diperoleh 7 orang yang terdiagnosa TB paru secara bakterologis dari 116 orang yang terduga menderita TB paru. Angka insiden kasus TB setiap 100.000 penduduk di Kabupaten Manggarai adalah 252. Jumlah kasus TB sebanyak 26. Dari data tersebut maka angka CDR di Puskesmas Timung adalah 27%.

Dari data yang terkumpul selama 2017 - 2018, jumlah pasien TB yang diobati dan dilaporkan sebesar 7 orang. Sedangkan jumlah penduduk di wilayah Timung sebesar 10.573 jiwa selama tahun 2018. Maka didapatkan angka kejadian kasus TB wilayah kerja Puskesmas Timung selama tahun 2018 adalah 66 setiap 100.000 penduduk.

Berdasarkan data puskesmas, terdapat 7 pasien yang dinyatakan sakit TB selama tahun 2017 - 2018. Dari pasien yang dinyatakan sakit tersebut, pasien yang dinyatakan sembuh dan pengobatan lengkap adalah sebanyak 6 orang, sedangkan 1 orang putus obat. Berdasarkan rumus tersebut, maka angka keberhasilan pengobatan pasien TB di Puskesmas Timung yang berobat dari tahun 2017 hingga 2018 adalah sebanyak 86%.

PEMBAHASAN

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, angka CDR mengalami peningkatan dari tahun 2015 - 2017, yaitu 32,9% di tahun 2015, 35,8% di tahun 2016, dan 42,4% di tahun 2017. Hal ini menunjukkan cakupan pengobatan TB yang semakin membaik setiap tahunnya. Tidak hanya dalam 3 tahun belakangan, perbaikan ini sudah terjadi selama 10 tahun terakhir3.

Kementerian kesehatan telah menentukan target pencapaian CDR sebesar 70% (Minggu, D., dkk, 2018). Angka CDR di Puskesmas Timung pada tahun 2018 hanya sebesar 27%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Puskesmas Kota Semarang pada tahun 2014, didapatkan beberapa faktor yang mempengaruhi penemuan kasus baru pasien TB (CDR) dan memiliki hubungan yang bermakna antara lain komunikasi, sumber daya, disposisi, dan SOP di Puskesmas. Komunikasi yang dimaksud adalah apa yang diterima oleh penanggung jawab TB yang selanjutnya diteruskan kepada kader kesehatan di desa dan masyarakat dikhawatirkan akan terjadi kesalahan penyampaian informasi terutama tentang penanggulangan TB yang sesuai dengan buku pedoman, sehingga penjaringan tidak berjalan dengan maksimal. Sumber daya yang dimaksud adalah jumlah petugas TB yang tidak merata dan sarana serta prasarana yang tidak lengkap, seperti tidak adanya puskesmas satelit, sehingga pemeriksaan dahak yang lebih adekuat harus dikirim ke puskesmas lain yang memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Disposisi dalam hal ini bermakna adanya pelimpahan tanggung jawab yang sudah jelas, namun karena adanya tugas rangkap, pelaksanaan tugas penjaringan kasus TB tidak dapat dilakukan dengan maksimal. SOP nasional maupun SOP yang

sudah dimodifikasi oleh wilayah masing – masing tidak terlaksana dengan baik dikarenakan hanya mengacu pada pedoman nasional, yang seharusnya mengacu pada pedoman yang sudah dimodifikasi oleh daerah masing – masing mengingat karakteristik setiap daerah berbeda5.

Berdasarkan data KEMENKES tahun 2018, angka CNR kasus TB di Indonesia mengalami peningkatan dari 2015 – 2017. Hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor, antara lain upaya penemuan kasus (case finding), kinerja sistem pencatatan dan pelaporan suatu wilayah, jumlah pelayanan fasilitas kesehatan yang terlibat layanan DOTS, dan banyaknya pasien TB yang tidak dilaporkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan3.

Berdasarkan profil kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Timung, angka case notification rate pada tahun 2018 adalah sebanyak 66 dari 100.000 penduduk. Angka tersebut tidak menunjukkan kencederungan yang meningkat maupun menurun, dikarenakan angka CNR yang menetap dari tahun 2017. Walau begitu, hasil tersebut belum tentu sesuai dengan kondisi sesungguhnya yang ada di lapangan dikarenakan tenaga dan fasilitas yang kurang. Hal tersebut dapat mengakibatkan upaya penemuan kasus TB tidak dapat dilakukan secara maksimal7,8.

Badan kesehatan dunia telah mementukan jika standar angka keberhasilan harus mencapai minimal 85%. Di Indonesia, angka keberhasilan pada tahun 2017 mencapai 87,8% yang berarti telah mencapai standar yang telah ditentukan. Sesuai data KEMENKES pada tahun 2018, angka keberhasilan ini meningkat dari tahun – tahun sebelumnya3.

Dari perhitungan angka keberhasilan pengobatan pasien TB pada tahun 2017 hingga triwulan I tahun 2019 di wilayah kerja Puskesmas Timung mencapai 86%. Angka tersebut telah mencapai standar yang telah ditetapkan oleh dunia yaitu 85%.

Beberapa faktor yang mempengaruhi angka keberhasilan pengobatan TB antara lain status perkawinan, tingkat pendidikan, status HIV, kategori pengobatan, pengetahuan tentang TB. Selain faktor individu tersebut, ada juga faktor pemerintah yang mempengaruhi angka keberhasilan pengobatan seperti kemudahan pasien untuk mengakses fasilitas kesehatan, pelayanan kunjungan ke masyarakat, dan cara pengobatan9,10.

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

Dari ketiga indikator program tuberkulosis nasional yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Timung, maka dapat disimpulkan bahwa angka Case Detection Rate (CDR) belum mencapai standar sebesar 70%, angka Case Notification Rate (CNR) sama dengan tahun lalu, dan angka keberhasilan pengobatan tuberkulosis sudah mencapai standar sebesar 85%.

SARAN

  • 1.    Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi  Puskesmas Timung untuk

digunakan sebagai acuan pengambilan

keijakan kedepan dalam penanggulangan kasus tuberkulosis di wilayah kerja.

  • 2.    Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat agar mengetahui pentingnya pengetahuan akan program tuberkulosis secara nasional, sehingga penanggulangan tuberkulosis dapat dikerjakan bersama – sama.

  • 3.    Semoga penelitian ini dapat dilanjutkan guna untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan penanggulangan tuberkulosis kedepannya di Puskemas Timung atau dijadikan acuan untuk mengetahui keberhasilan program TB nasional di daerah lain.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Pusat Kedokteran dan Kesehatan RI. Panduan pengendalian tuberkulosis (TB) dengan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS) di fasilitas kesehatan polri. Jakarta : Kepolisian Negara Republik Indonesia Markas Besar; 2015.

  • 2.    KEMENKES RI. Pedoman nasional pengendalian    tuberkulosis.    Jakarta :

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2014.

  • 3.    Indah, M. Tuberkulosis. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI; 2018.

  • 4.    Zumla A, Raviglione M, Hafner R, Reyn CF.

Current concepts   tuberculosis.   United

Kingdom: The New England Journal of

Medicine; 2013.

  • 5.    WHO. Global tuberculosis report. Switzerland : World Health Organization; 2017.

  • 6.  WHO. Guidelines for treatment of drug-

susceptible tuberculosis and patient care. Switzerland : World Health Organization; 2017.

  • 7.  PUSDATIN. Tuberkulosis temukan obati

sampai sembuh. Jakarta :  Kementerian

Kesehatan RI; 2015.

  • 8.    Ali MK, Karanja S, Karama M. Factors associated with tuberculosis treatment outcomes among tuberculosis patients attending tuberculosis treatment centers in 2016-2017 in mogadishu, somalia. Kenya: The Pan African Medical Journal; 2017.

  • 9.    Kurniawan N, Rahmalia S, Indriati G. Faktor – faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobattan tuberkulosis paru. Riau : Jurnal Online Mahasiswa Universitas Riau; 2015.

  • 10.    Minggu D, dkk. Profil kesehatan provinsi nusa tengga timut tahun 2017. NTT : Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur; 2017.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2020.V10.i8.P02

12