ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL.10 NO.2,FEBRUARI, 2021

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



Diterima:06-12-2020 Revisi:11-1-2021 Accepted: 02-02-2021

STUDI FAUNA LARVA NYAMUK PADA CUBANG DI DESA BESAKIH, KECAMATAN RENDANG, KABUPATEN KARANGASEM

Putu Ari Paramitha Widiani1, I Made Sudarmaja2, I Kadek Swastika3 1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

2Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Email : [email protected]

ABSTRAK

Nyamuk berperan sebagai vektor penyakit melalui gigitannya. Keberadaan larva nyamuk pada tempat penampungan air merupakan salah satu cara mengestimasi kepadatan populasi nyamuk dan salah satu faktor risiko penularan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui studi fauna larva nyamuk pada cubang (tempat penampungan air tradisional) di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif menggunakan studi potong lintang. Sampel cubang dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan dilihat distribusi larva nyamuk berdasarkan spesies, volume cubang, kedalaman cubang, kedalaman air cubang, keberadaan ikan, dan kondisi cubang. Hasil penelitian menunjukkan dari 23 cubang yang diteliti, terdapat 7 cubang yang positif terdapat larva nyamuk (30,4%). Larva nyamuk yang paling banyak ditemukan pada cubang adalah larva nyamuk Culex sp. Larva nyamuk paling banyak ditemukan pada cubang yang bervolume sedang (71,4%). Berdasarkan kedalaman cubang dan kedalaman air cubang, larva nyamuk hanya ditemukan pada cubang yang memiliki kedalaman dan kedalaman air yang dangkal (100%). Larva nyamuk lebih banyak ditemukan pada cubang yang tidak berisi ikan (71,4%). Larva nyamuk ditemukan pada semua cubang yang terbuka (57,1%) dan pada 3 cubang yang tertutup (42,9%).

Kata Kunci : Studi fauna, Larva, Nyamuk, Tempat penampungan air.

ABSTRACT

Mosquitoes act as vectors of disease through their bite. The presence of mosquito larvae in water reservoirs is the way to estimate the density of mosquito populations and one of the risk factors for transmission of diseases transmitted by mosquitoes. This study aims to determine the fauna study of mosquito larvae in the cubang (traditional water reservoirs) at Besakih Village, Rendang Subdistrict, Karangasem Regency. The research was conducted by descriptive method using cross-sectional study. Samples cubang were selected based on inclusion criteria and seen the distribution of mosquito larvae by their species, cubang volume, cubang depth, the depth of cubang water, fish existence, and conditions of the cubang. The results showed that of the 23 cubang examined, there are 7 cubang were positive for mosquito larvae (30.4%). The mosquito larvae most commonly found in the cubang are Culex sp. mosquito larvae. Mosquito larvae most commonly found in medium-volume of the cubang (71.4%). Based on the depth of the cubang and the depth of cubang water, mosquito larvae are only found in the cubang with shallow depths and shallow water depths (100%). Mosquito larvae were found in cubang which has not fish in it (71.4%). Mosquito larvae were found in the cubang with the condition was opened. (57.1%) and in the 3 cubang with the condition was closed (42.9%).

Keywords : Study Fauna, Larvae, Mosquito, Traditional Water Reservoirs.

PENDAHULUAN

Nyamuk berperan sebagai vektor penyakit dan melalui gigitannya, nyamuk sering dikaitkan dengan masalah kesehatan dimana nyamuk dapat menimbulkan gatal dan bintik-bintik, namun mereka juga dapat menularkan berbagai macam agen penyakit yang berbahaya bagi kesehatan.1 Terdapat ± 2400 jumlah spesies nyamuk yang telah diketahui. Jenis-jenis nyamuk yang menjadi vektor utama penyakit diantaranya dari famili culicidae yang dapat dibagi menjadi 3 tribus, yaitu tribus culicini (Culex, Aedes, Mansonia), tribus anophelini (Anopheles), dan tribus toxorhynchitini (Toxorhynchites).2

Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, mulai dari demam berdarah, malaria, hingga filariasis memiliki angka kasus penderita dan kasus kematian yang terus meningkat sampai saat ini. Angka kasus malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia belum terjadi penurunan kasus, bahkan di beberapa daerah terjadi peningkatan pada kasus ini.3

Dalam siklus hidupnya, nyamuk mengalami empat stadium yang dimulai dari telur, larva, pupa, hingga dewasa. Keberadaan larva nyamuk pada tempat penampungan air merupakan salah satu cara mengestimasi kepadatan populasi nyamuk dan salah satu faktor risiko penularan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk.4 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan larva adalah suhu, kelembaban udara, curah hujan, lingkungan biotik (seperti tumbuhan dan predator), dan kadar oksigen yang terlarut dalam air.

Desa Besakih merupakan daerah yang terletak di dataran tinggi. Dengan iklim yang cukup dingin dan memiliki kelembaban udara yang tinggi ini akan sangat berpengaruh dengan perkembangan larva. Cubang merupakan tempat penampungan air tradisional yang dibuat oleh masyarakat dalam bentuk bak besar di dalam tanah (seperti sumur) untuk menampung air hujan. Dengan banyaknya cubang yang ada di Desa Besakih ini juga dapat mempengaruhi nyamuk untuk berkembang biak dan larva pun berkembang dengan cepat. Penelitian yang dilakukan oleh Sayono pada tahun 2011 membuktikan bahwa larva nyamuk mampu untuk tetap hidup dan berkembang pada berbagai jenis air yang ada di alam sebagai tempat perindukan.5

Untuk itu diperlukan penelitian mengenai studi fauna larva nyamuk pada cubang untuk mengetahui distribusi larva nyamuk pada cubang berdasarkan spesies, volume cubang, kedalaman cubang, kedalaman air cubang, keberadaan ikan, dan kondisi cubang.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional dengan rancangan penelitian potong lintang yang dilaksanakan di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, pada bulan Februari sampai dengan Juni 2019. Subyek penelitian yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi yaitu cubang yang diizinkan oleh pemiliknya untuk diteliti dan tidak ditaburkan larvasida dalam cubang tersebut.

Prosedur pengambilan data meliputi wawancara dengan pemilik rumah mengenai kepemilikan cubang, selanjutnya pemilik rumah dimintai informed consent oleh peneliti, sesudah itu cubang diobservasi dan alat berupa tunnel trap. Setelah dipasang dan didiamkan selama 1 hari, tunnel trap diangkat, kemudian air cubang yang berisikan larva nyamuk dimasukkan ke dalam botol. Setelah mengumpulkan larva yang didapat, larva diamati secara mikroskopis menggunakan mikroskop di laboratorium parasitologi untuk mengetahui jenis larva nyamuk yang didapat. Data yang didapat kemudian diolah dengan program pengolahan data yaitu Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 22. Penelitian ini sudah dinyatakan layak etik oleh Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dengan nomor etik 214/UN14.2.2VII.14/LP/2019.

HASIL

Hasil penelitian pada cubang yang dimiliki warga di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem dipaparkan berdasarkan distribusi dan jenis larva nyamuk pada cubang, volume cubang, kedalaman cubang, kedalaman air cubang, keberadaan ikan, dan kondisi cubang.

Tabel 1. Distribusi Larva Nyamuk pada Cubang

Hasil

Frekuensi

Persentase (%)

Positif

7

30,4

Negatif

16

69,6

Total

23

100

Tabel 1 menunjukkan dari 23 cubang yang diteliti, ditemukan 7 cubang positif terdapat larva nyamuk (30,4%) dan 16 cubang tidak terdapat larva nyamuk (69,6%).

Pada saat penelitian, terjadi letusan Gunung Agung sehingga pada beberapa cubang yang terbuka, didapatkan berisikan abu vulkanik. Sehingga pada salah satu cubang ditemukan larva nyamuk, namun larva nyamuk tersebut tidak dapat diidentifikasi jenisnya karena larva tersebut mati dan strukturnya rusak.

Tabel 2. Distribusi Larva Nyamuk pada Cubang Berdasarkan Jenisnya

Larva Nyamuk Berdasarkan Spesies

Frekuensi

Persentase (%)

Aedes

5

2,0

albopictus

Anopheles sp.

21

8,4

Culex sp.

223

89,6

Total

249

100

Tabel 2 menunjukkan terdapat 3 jenis larva nyamuk pada cubang-cubang yang positif terdapat larva nyamuk tersebut. Larva nyamuk tersebut diantaranya adalah Aedes albopictus sebanyak 2,0%, Anopheles sp. sebanyak 8,4%, dan Culex sp. sebanyak 89,6%. Sehingga dapat disimpulkan larva nyamuk yang paling banyak ditemukan adalah larva nyamuk Culex sp.

Tabel 3. Distribusi Larva Nyamuk Berdasarkan Volume Cubang

Volume

Cubang

Frekuensi

Larva Nyamuk

P n

ositif

%

Ne n

gatif %

Kecil

4

2

28,6

2

12,5

Sedang

18

5

71,4

13

81,3

Besar

1

0

0

1

6,3

Total

23

7

100

16

100

Tabel 3 menunjukkan pada 7 cubang yang positif terdapat larva nyamuk, diantaranya ditemukan pada 2 cubang yang memiliki volume kecil (28,6%) dan 5 cubang yang bervolume sedang (71,4%). Sedangkan pada 16 cubang lainnya, tidak ditemukan larva nyamuk. Dari hasil data tersebut, larva nyamuk paling banyak ditemukan pada cubang yang bervolume sedang.

Tabel 4. Distribusi Larva Nyamuk Berdasarkan Kedalaman Cubang

Kedalaman Cubang

Frekuensi

P n

Larva Nyamuk

ositif %

Ne n

gatif %

Dangkal

22

7

100

15

93,8

Dalam

1

0

0

1

6,3

Total

23

7

100

16

100

Tabel 4 menunjukkan Dari 23 cubang yang dimiliki warga, terdapat 22 cubang dengan kedalaman dangkal yaitu <3 meter (95,7%) dan 1 cubang dengan kedalaman yang dalam yaitu >5 meter (4,3%). Tidak ditemukan cubang dengan kriteria kedalaman sedang yaitu 3-5 meter. Pada 7 cubang dengan larva nyamuk positif, ketujuh cubang tersebut memiliki kedalaman yang dangkal (100%). Sedangkan 16 cubang dengan larva nyamuk negatif, diantaranya ada 15 cubang

(93,8%) dengan kedalaman dangkal, 1 dengan kedalaman yang dalam yaitu >5 meter (6,3%). Jadi dari hasil penelitian ini, larva nyamuk hanya ditemukan pada cubang yang memiliki kedalaman yang dangkal.

Tabel 5. Distribusi Larva Nyamuk Berdasarkan Kedalaman Air Cubang

Kedalaman

Air Cubang

Frekuensi

P n

Larva Nyamuk

ositif %

Ne n

gatif %

Dangkal

22

7

100

15

93,8

Dalam

1

0

0

1

6,3

Total

23

7

100

16

100

Tabel 5 menunjukkan pada 7 cubang yang ditemukan berisikan larva nyamuk semuanya memiliki kedalaman air yang dangkal (100%). Sedangkan 16 cubang dengan larva nyamuk negatif, diantaranya ada 15 cubang (93,8%) dengan kedalaman air yang dangkal dan 1 cubang dengan kedalaman air yang dalam (6,3%). Jadi dari hasil penelitian ini, larva nyamuk hanya ditemukan pada cubang yang memiliki kedalaman air yang dangkal.

Tabel 6. Distribusi Larva Nyamuk Berdasarkan Keberadaan Ikan

Keberadaan

Ikan

Frekuensi

Larva Nyamuk

Positif

Negatif

n

%

n

%

Ada

16

2

28,6

14

87,5

Tidak Ada

7

5

71,4

2

12,5

Total

23

7

100

16

100

Tabel 6 menunjukkan dari 23 cubang yang dimiliki warga, terdapat 16 cubang yang berisi ikan dan 7 cubang tidak berisi ikan. Pada cubang yang tidak berisi ikan, diantaranya 5 cubang ditemukan larva nyamuk (71,4%) dan 2 cubang tidak terdapat larva nyamuk (12,5%). Selanjutnya pada cubang yang berisi ikan, terdapat 14 cubang yang tidak terdapat larva nyamuk (87,5%) dan ada 2 cubang ditemukan larva nyamuk (28,6%). Jadi dari hasil penelitian ini, larva nyamuk lebih banyak ditemukan pada cubang yang tidak berisi ikan. Namun pada cubang yang berisi ikan, juga ditemukan larva nyamuk.

Tabel 7. Distribusi Larva Nyamuk Berdasarkan Kondisi Cubang

Kondisi cubang

Frekuensi

Larva Nyamuk

P n

ositif

%

Ne n

atif

%

Terbuka

4

4

57,1

0

0

Tertutup

19

3

42,9

16

100

Total

23

7

100

16

100

Tabel 7 menunjukkan terdapat 4 cubang yang kondisinya terbuka dan 19 cubang yang kondisinya tertutup. Dari 4 cubang yang terbuka, semuanya berisikan larva nyamuk (100%). Bila dilihat dari sudut keberadaan larva, maka 57,1% ditemukan pada 4 cubang yang terbuka dan 42,9% pada 3 cubang yang tertutup. Sedangkan 16 cubang yang tertutup lainnya tidak ditemukan larva. Jadi dari hasil penelitian ini, larva nyamuk ditemukan pada semua cubang yang terbuka dan pada 3 cubang yang tertutup.

Gambar 1. Cubang tertutup

Gambar 2. Cubang terbuka

PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang dilakukan pada cubang di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, didapatkan bahwa prevalensi larva nyamuk yang ditemukan pada cubang di daerah ini adalah 30,4%. Sehingga terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi ditemukannya larva nyamuk di daerah ini yaitu volume cubang, kedalaman cubang, kedalaman air cubang, keberadaan ikan, dan kondisi cubang itu sendiri.

Berdasarkan jenis larva nyamuk yang didapat dalam penelitian, larva nyamuk yang paling banyak ditemukan di daerah ini adalah larva nyamuk Culex sp yaitu sebanyak 89,6%. Banyaknya ditemukannya larva nyamuk Culex

sp. ini dipengaruhi oleh suhu yang dimiliki Desa Besakih, dimana daerah ini merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki suhu agak rendah. Suhu optimum untuk pertumbuhan larva nyamuk Culex sp. ini berkisar antara 20°C–30°C.6 Larva nyamuk Culex sp. sering ditemukan pada genangan atau tempat penampungan air yang terlindung dari sinar matahari. Sehingga larva nyamuk Culex dapat berkembang dengan baik di daerah ini.7

Larva nyamuk Aedes sp. jarang ditemukan di daerah ini karena Aedes aegypti lebih menyukai tempat kecil yang terdapat di dalam rumah dan Aedes albopictus berkembang biak di luar rumah yaitu di pepohonan atau kebun atau kawasan di pinggir hutan. Maka dari itu, larva Aedes sp. ini jarang sekali ditemukan pada cubang milik warga di Desa Besakih ini (hanya 2,0%).

Selanjutnya pada salah satu cubang terbuka ditemukan larva nyamuk Anopheles sp (8,4%). Dimana jumlahnya tergolong sedikit dibandingkan dengan larva nyamuk Culex sp. Hal ini dikarenakan larva Anopheles sp. sering ditemukan pada tipe perairan yang dangkal dan larva Anopheles sp. sendiri menghindari untuk berkembangbiak pada air yang tercemar polusi.8 Hal ini sesuai dengan kondisi yang terjadi pada saat penelitian dimana pada saat dilakukannya penelitian, terjadi letusan Gunung Agung yang menyebabkan abu vulkanik dan debu yang dihasilkan dari letusan ini mencemari air pada cubang yang terbuka. Sehingga larva nyamuk Anopheles sp. ini sedikit ditemukan pada cubang warga Desa Besakih.

Larva nyamuk pada cubang dengan volume yang kecil yaitu sebanyak 28,6% dan cubang dengan volume sedang sebanyak 71,4%. Pengelompokan volume cubang ini dibagi menjadi 3, yaitu volume cubang besar apabila volume cubang 50.000-100.000 liter, sedang volume cubang 10.000-50.000 liter, dan kecil apabila volume cubang 1.000-10.000 liter. Sebuah penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan volume tempat penampungan dengan keberadaan larva. Dimana pada tempat penampungan air yang volumenya sedang lebih banyak ditemukan larva. Hal ini dikarenakan kapasitas penampungan airnya lebih banyak pada tempat penampungan air yang berukuran lebih besar, sehingga air pada tempat penampungan air yang bervolume lebih besar ini berada cukup lama di dalam tempat penampungan air tersebut dan sulit untuk dikuras.9 Pada cubang dengan volume yang besar tidak ditemukan larva nyamuk oleh karena kondisi cubang yang tertutup, maka dari itu nyamuk tidak dapat berkembang biak pada cubang dengan volume besar ini.

Kedalaman cubang dan kedalaman air cubang dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu dangkal, sedang, dan dalam. Dikatakan dalam apabila kedalamannya >5 meter, sedang apabila kedalamannya 3-5 meter, dan dangkal apabila kedalamannya <3 meter. Pada penelitian ini, larva nyamuk ditemukan pada semua cubang dengan kedalaman yang dangkal yaitu sebanyak 100%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang mengatakan bahwa kedalaman tempat penampungan air yang berbeda-beda dapat mempengaruhi keberadaan larva nyamuk. Kedalaman tempat penampungan air yang cukup dalam hingga 4 meter, mengakibatkan nyamuk tidak menyukai tempat tersebut dijadikan tempat perindukannya.10

Larva nyamuk ditemukan pada 7 cubang dengan kedalaman air yang dangkal yaitu sebanyak 100%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang serupa pada sumur yang menemukan bahwa sumur yang memiliki tinggi air permukaan kurang dari 3 meter dapat memperpendek jarak permukaan air sehingga nyamuk dapat dengan mudah menjangkau sumur untuk meletakkan telurnya di dalam sumur.11 Sama seperti halnya dengan penelitian ini, cubang dengan kedalaman air yang dangkal akan mempermudah nyamuk menjangkau cubang untuk meletakkan telur-telurnya pada cubang sampai berkembang menjadi larva nyamuk hingga nyamuk dewasa.

Dalam penelitian ini larva nyamuk lebih banyak ditemukan pada cubang yang tidak berisi ikan. Dimana larva nyamuk ditemukan pada 5 cubang yang tidak berisi ikan (71,4%) dan 2 cubang berisi ikan (28,6%). Hal ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan biologis, yaitu tidak adanya predator larva nyamuk berupa ikan.12 Dimana ikan sangat berperan penting untuk pengendalian larva nyamuk. Dari hasil wawancara peneliti dengan responden, didapatkan bahwa semua responden yang memelihara ikan pada cubang, semuanya memelihara ikan lele. Walaupun sudah berisi ikan, ternyata ada 2 cubang yang tetap berisi larva nyamuk. Ini bisa terjadi karena ikan lele bukan predator yang bagus untuk larva nyamuk. Predator yang bagus untuk larva nyamuk adalah ikan kepala timah (Aplocheilus panchax). Ikan kepala timah merupakan salah satu jenis ikan larvivorous, dimana jenis ikan ini yang paling dikenal untuk mengurangi populasi larva nyamuk di seluruh dunia. Beberapa ikan yang telah digunakan dibeberapa negara dan sukses untuk mengurangi populasi nyamuk vektor penyakit adalah Gambussia afinis, Aplocheilus panchax, dan poecilia reticulata.13,14

Berdasarkan kondisi cubang larva nyamuk ditemukan pada 4 cubang yang terbuka (57,1%) dan 3 cubang yang tertutup (42,9%).

Bila dilihat dari jenis cubang, didapatkan semua cubang yang terbuka berisi larva nyamuk karena nyamuk mudah mencapai breeding place (tempat perindukan nyamuk). Sehingga didapatkan hasil bahwa larva nyamuk ditemukan pada semua cubang yang terbuka. Penggunaan tutup pada cubang merupakan salah satu faktor yang menentukan keberadaan larva nyamuk pada cubang tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang menunjukkan bahwa tempat perindukan nyamuk adalah pada sumur yang terbuka.10 Terdapat penelitian yang lain mengatakan bahwa penggunaan penutup pada tempat penampungan air dapat mencegah tempat penampungan tersebut menjadi tempat perindukan nyamuk.15 Maka dari itu, penggunaan penutup pada cubang dapat mencegah ditemukannya larva nyamuk.

SIMPULAN

Dari 23 cubang yang diteliti, 7 cubang positif terdapat larva nyamuk (30,4%). Larva nyamuk yang paling banyak ditemukan pada cubang adalah larva nyamuk Culex sp. Larva nyamuk paling banyak ditemukan pada cubang yang bervolume sedang (71,4%). Berdasarkan kedalaman cubang dan kedalaman air cubang, larva nyamuk hanya ditemukan pada cubang yang memiliki kedalaman dan kedalaman air yang dangkal (100%). Selanjutnya larva nyamuk lebih banyak ditemukan pada cubang yang tidak berisi ikan (71,4%). Larva nyamuk ditemukan pada semua cubang yang terbuka (57,1%) dan pada 3 cubang yang tertutup (42,9%).

SARAN

Perlu diadakannya edukasi melalui penyuluhan terkait pencegahan tempat perindukan nyamuk, sehingga prevalensi nyamuk di Desa Besakih ini dapat diturunkan dan warga yang memiliki cubang diharapkan untuk menutup cubang dan memelihara ikan pada cubang agar dapat mencegah nyamuk berkembang biak pada cubang. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga dapat memberikan informasi mengenai studi larva di Bali. Selain itu perlu dilakukan penelitian analitik lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara berbagai variabel.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Widoyono. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan,        Pencegahan        dan

Pemberantasannya. Jakarta :  Erlangga.

2008.h.157-173

  • 2.    Sutanto, I., Ismid, I. S., Siarifuddin, P. K., Sungkar, S. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas

Kedokteran,     Universitas     Indonesia.

2015.h.250.

  • 3.    Pusat Data dan Informasi. Buletin Jendela Data    dan    Informasi    Kesehatan

Epidemiology Malaria di Indonesia. Jakarta : Kemenkes RI. 2011.h.2

  • 4.    Purnama S, Baskoro T. Maya Index and Larva Density Aedes Aegypti Toward Dengue Infection. Makara Journal of Health Research. 2013;16(2):57-64.

  • 5.    Sayono, Qoniatum S, Mibhfakhudin. Pertumbuhan larva Aedes aegypti pada air tercemar. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang. 2011; 7(1):16-17.

  • 6.    Wibowo S. Pengaruh Pencucian Kain Payung yang Dicelup Insektisida Permetherine Terhadap Daya Bunuh Nyamuk Culex sp. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhamadiyyah Semarang, Semarang; 2010.h.31

  • 7.    Barodji B, Damar T, Boesri H, Sudini S, Sumardi S. BIONOMIK VEKTOR DAN SITUASI MALARIA DI KECAMATAN KOKAP, KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA.    Jurnal    Ekologi

Kesehatan. 2003;2(2):109-216

  • 8.    Mulyadi M. Distribusi spatial dan karakteristik habitat perkembangbiakan Anopheles spp. serta peranannya dalam penularan malaria di Desa Doro Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 2010.h.11-12

  • 9.    Ayuningtyas E. Perbedaan Keberadaan Jentik Aedes aegypti Berdasarkan

Karakteristik Kontainer di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue. Fakultas Ilmu Keolahragaan,     Universitas     Negeri

Semarang; 2013.h.74-75

  • 10.    Susanti Said G. Survei Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Spp pada Sumur Gali Milik Warga di Kelurahan Bulusan Kota Semarang (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Rowosari Semarang). Jurnal Kesehatan     Masyarakat     Universitas

Diponegoro. 2012;1(2):326-337.

  • 11.    Gionar Y, Rusmiarto S, Susapto D, Elyazar I, Bangs M. Sumur sebagai habitat yang penting untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Buletin Penelitian Kesehatan Jakarta. 2001;29(1):27.

  • 12. Munif A,  Imron TA M. Panduan

Pengamatan  Nyamuk  Vektor Malaria.

Jakarta: Sagung Seto; 2010.h.7-53

  • 13.  Chakraborty,  Somnath,  Bhattacharya S,

Bhattacharya S. Control of Mosquitoes by

The Use of Fish In Asia with Special Reference to India:  Retrospects And

Prospects. Journal of Human and Enviroment. 2008;15(3):147-156.

  • 14.    Gupta, Sandipan, Banerjee S. Comparative Assessment of Mosquito Biocontrol Efficiency Between Guppy (Poecilia reticulata) and Panchax minnow (Aplocheilus panchax). Journal of Bioscience Discovery. 2013;4(1):89-95.

  • 15.    Medronho R, Câmara V, Pedreira C,

Macrini L, Lagrotta M, Novellino D. Aedes aegypti Immature Forms Distribution According to Type of Breeding Site. The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene. 2009;80(3):401-404.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2021.V10.i2.P10

60