ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 9 NO.8,AGUSTUS, 2020



Diterima:13-08-2020 Revisi:20-08-2020 Accepted: 27-08-2020

PROPORSI PASIEN KATARAK

PADA RUMAH SAKIT MATA BALI MANDARA TAHUN 2015

I Gusti Ngurah Agung Trisnu Kamajaya1, Putu Yuliawati2, Ariesanti Tri Handayani2 1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Bagian/SMF Ilmu Pendidikan Mata RSUP Sanglah Koresponding : I Gusti Ngurah Agung Trisnu Kamajaya

Email: [email protected]

ABSTRAK

Katarak merupakan penyebab dominan kebutaan yang dapat dicegah didunia dan bertanggung jawab terhadap 75% dari seluruh kasus kebutaan dan 90% kasus tersebut berasal dari negara berkembang, terjadi pada seluruh umur dan insidennya meningkat pad,a umur 50 tahun ke atas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah pasien katarak, faktor risiko terkait dan penanganan serta tajam penglihatan paska operasi. Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang menggunakan desain cross sectional descriptive study secara consecutive sampling dari rekam medis pasien di RS Mata Bali Mandara pada periode Januari 2015-Desember 2015. Data disajikan dalam bentuk deskriptif. Berdasarkan data yang diperoleh, angka kejadian katarak tahun 2015 adalah 2.356 pasien dan 96 pasien dipilih dalam penelitian ini dengan hasil: (1) rentangan umur dominan adalah 60-69 tahun (2) jenis kelamin perempuan ditemukan terbanyak (3) distribusi asal pasien terbanyak dari Kabupaten Gianyar (4) dari 96 pasien dengan 192 mata, terdiagnosis katarak senilis imatur (KSI) sebanyak 96 mata, katarak senilis matur (KSM) sebanyak 24 mata, KSI dan KSM bilateral sebanyak 17 mata, dan katarak juvenile sebanyak 7 mata (5) tindakan small incision cataract surgery (SICS) sebanyak 58 kali dan 93 kali phacoemulsifikasi dan 10 mata tanpa tindakan (6) terdapat penurunan jumlah visus no light perception (NLP) dan counting finger (CF) light perception (LP) serta peningkatan jumlah visus 6/6-6/7.5 setelah tindakan (7) intra ocular lens (IOL) power dominan emetropia (18.00D-22.00D). Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya untuk membahas mengenai faktor risiko, hubungan antar variable serta penyebab terjadinya katarak.

Kata kunci: jenis katarak, SICS, phacoemulsifikasi, perbaikan tajam penglihatan

ABSTRACT

Cataract, the major cause of preventable blindness in the world responsible to 75% of all case of blindness and 90% of those cases are from developing countries, it happens in all ages and the incidence increase in 50 years old or later. The aims are to understand the cataract patient number, known risk and surgery also visual acuity after surgery. This research is an observational research which conduct a cross sectional descriptive study in consecutive sampling taken from the medical record at Bali Mandara Eye Hospital in period of January 2015-December 2015. The data is revealed in form of descriptive. From the data obtained, the incidence of cataract in 2015 are 2.356 patient and 96 patient are taken in this research within result: (1) range ages of 60-69 are dominant age (2) women have a greater quantities (3) origin distribution common from Gianyar Regency (4) from 96 patient and 192 eyes, been diagnosed

as immature senile cataract (KSI) about 96 eyes, mature senile cataract (KSM) about 24 eyes, KSI and KSM bilaterally about 17 eyes and juvenile cataract about 7 eyes (5) small incision cataract surgery (SICS) been done in 58 times and 93 times for phacoemulsification also 10 eyes without surgery (6) there are descent in number of no light perception (NLP) visual acuity and counting finger (CF) 5m-light perception (LP) also increase of the number of 6/6-6/7.5 visual acuity after surgery (7) intra ocular lens (IOL) power that dominantly used are the emmetropia (18.00D-22.00D). The result from this study may be used as the basic data for the next research to discuss abour the risk, correlation between variable also the cause of cataract.

Keywords: cataract type, SICS, phacoemulsification, visual acuity

PENDAHULUAN

Katarak didefinisikan suatu kekeruhan pada lensa bening didalam mata yang mengurangi jumlah cahaya yang masuk dan mengakibatkan deteriorasi dari penglihatan, yang merepresentasikan masalah ekonomi dan kesehatan publik yang signifikan. Suatu kekeruhan pada lensa dapat dikatakan sebagai katarak apabila mengakibatkan penurunan visus mata dan terdapat suatu disabilitas fungsional yang didapatkan oleh pasien. Katarak merupakan penyebab dominan kebutaan yang dapat dicegah di dunia dan bertanggung jawab terhadap 75% dari seluruh kasus kebutaan1 dan sekitar 90% kebutaan dari studi berikut berasal dari Negara berkembang. Berdasarkan WHO, kebutaan akibat katarak adalah visus dibawah 3/60 dari visus normal. Terjadi pada seluruh kelompok umur dan insidennya meningkat pada umur 50 tahun keatas.2 Berdasarkan survei kebutaan tahun 2007 telah dikemukakan angka kebutaan di indonesia mencapai 1,67%. Angka kebutaan yang besar ini menempatkan angka kebutaan di Indonesia menjadi yang tertinggi kedua di dunia setelah Ethiopia, dilaporkan pada pertemuan Asia Pacific Academy of Ophthalmology di Sydney 2010.3 Berdasarkan RISKESDAS 2013, prevalensi Katarak di Bali sebesar 2,7% sedangkan di Indonesia 1,8%.

Katarak merupakan suatu penyakit mutifaktorial yang muncul dari berbagai alasan bisa akibat penuaan atau penyebab sekunder terhadap faktor herediter, trauma, inflamasi, penyakit nutrisional atau metabolik, atau radiasi4. Katarak dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe umum yaitu nuclear, cortical, dan Posterior Subscapular yang diekstraksi menggunakan kode diagnostik dari International Classification of Disease, 10th Revision (ICD-10) atau ICD-9-CM untuk klasifikasi dari katarak.1 Pasien dengan gejala katarak akan mengalami manifestasi penurunan visus, penglihatan silau, perubahan resep kacamata, dan perubahan persepsi warna, gejala umum termasuk penglihatan kabur, halo sekitar cahaya, penglihatan ganda dan perubahan warna dan kontras.5 Faktor risiko

seseorang yang cenderung mendukung pembentukan katarak salah satunya adalah umur, jenis kelamin perempuan, komponen genetik, penggunaan kortikosteroid, diabetes, nikotin dan alkohol.6

Penanganan yang secara visual signifikan untuk katarak adalah operasi. Ekstraksi katarak adalah salah satu prosedur yang paling sering dipilih. Penanganan operatif termasuk menggantikan lensa matanya dengan lensa palsu, dan selama 15 tahun ini telah banyak ditemukan perubahan besar mengenai teknik operasi yang ditujukan untuk kemajuan fungsi penglihatan setelah operasi.7 Penanganan nonoperatif termasuk konseling pasien mengenai gejala penglihatan katarak, menyediakan kepastian tentang penyebab disabilitas penglihatan, dan meresepkan kacamata. Hasil dari beberapa studi mengenai operasi katarak berulang kali membuktikan hasil yang positif bahkan pada pasien diabetes dan age-related macular degeneration (AMD) menunjukkan perbaikan signifikan setelah operasi katarak, namun tidak dapat dipungkiri munculnya komplikasi setelah operasi katarak dislokasi Intraocular Lens (IOL), retinal detachment, endolftalmitis yang berpotensi membahayakan penglihatan walaupun begitu komplikasi yang berakhir kehilangan pandangan jarang ditemukan.4

Kota Denpasar merupakan ibu kota Provinsi Bali, Indonesia yang telah memiliki sarana pelayanan kesehatan yang baik di Provinsi Bali, terdapat 3 rumah sakit milik pemerintah serta 13 buah rumah sakit swasta, salah satunya adalah RS Mata Bali Mandara. RS Mata Bali Mandara Provinsi Bali adalah Rumah Sakit Negeri Kelas A yang mampu meberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas dimana terdata jumlah dokter umum, dokter spesialis dan dokter gigi tercatat 22 orang, 11 orang dan 4 orang. Saat ini Rumah Sakit Mata Bali Mandara belum memiliki data mengenai proporsi dan karakteristik pasien katarak yang datang berobat ke rumah sakit tersebut, sehingga dengan meningkatnya insiden katarak dan kebutaan akibat katarak di Indonesia terutama

Bali, maka penulis berminat untuk membuat proposal tentang proporsi dan karakteristik pasien katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara pada Tahun 2015.8

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan metode studi deskriptif cross-sectional. Pengambilan data dilaksanakan di ruang rekam medis Rumah Sakit Mata Bali Mandara, Denpasar, Bali pada bulan Juli tahun 2016. Subjek penelitian adalah pasien katarak yang terdaftar menjadi pasien di Rumah Sakit Mata Bali Mandara dari bulan Januari 2015 hingga bulan Desember 2015 yang data rekam medis pasien tersebut lengkap. Pengambilan sampel dilakukan secara retrospektif dari bulan Desember 2015 hingga bulan Januari 2015 tujuannya untuk mendapatkan data yang baru terlebih dahulu apabila sampel belum terpenuhi sehingga diambil kembali data pada bulan sebelumnya. Jumlah sampel yang diperlukan untuk penelitian ini adalah 96 sampel yang diambil secara consecutive sampling. Rekam medis yang dikumpulkan akan disesuaikan dengan kriteria inklusi dan ekslusi kemudian didata: jenis katarak, visus pre-operasi dan visus paska-operasi, grade katarak, umur dan gender, jenis pembedahan, penggunaan IOL dan demografi alamat pasien kemudian data di observasi dan disajikan dalam bentuk tabel atau naratif.

HASIL

Berdasarkan penelitian yang dimulai pada bulan Mei 2016 dan berakhir pada Oktober 2016 yang dimana mengambil data pada Ruang Rekam Medis RS Mata Bali Mandara dengan periode 1 Januari 2015 hingga 31 Desember 2015 terdapat 2.356 pasien katarak yang tercatat, yang dimana terdapat 1058 pasien dilakukan penanganan SICS dan 1298 pasien dilakukan penanganan Phacoe. Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 96 pasien yang telah diambil 4 pasien masing-masing dari Phacoemulsifikasi dan SICS untuk mewakili setiap bulannya dan telah diindentifikasi kriteria inklusi dan ekslusinya, dan delapan pasien hilang dalam follow up dan datanya tidak lengkap. Secara detail dari 96 pasien tersebut terdapat 192 mata yang diteliti, terdapat 80,63% mata yang mengalami penyakit katarak, 12,9% mata yang sebelumnya telah dioperasi dan 6,47% mata normal. Berdasarkan gender dari 96 pasien yang diteliti terdapat 43,01% adalah laki-laki dan 56,99% adalah perempuan

Berdasarkan demografi alamat asal pasien persebaran kabupaten tempat tinggal

dominan 23,65% berasal dari Kabupaten Gianyar, 19,35% dari Kota Denpasar, 17,20% dari Kabupaten Tabanan, 9,67% dari Kabupaten Badung, 7,52% dari Kabupaten Klungkung, 6,44% dari Kabupaten Bangli, 5,37% dari Kabupaten Jembrana dan Karangasem, 3,22% dari Kabupaten Buleleng dan 2,15% dari Kabupaten diluar Bali sesuai dengan Tabel 1.

Tabel 1. Demografi Alamat Pasien

Nama Kabupaten

Persentase menderita katarak

Jumlah

Kabupaten Karangasem

5,37%

5

Kabupaten Klungkung

7,52%

7

Kabupaten Tabanan

17,20%

17

Kota Denpasar

19,35%

18

Kabupaten Badung

9,67%

9

Kabupaten Bangli

6,44%

6

Kabupaten Buleleng

3,22%

3

Kabupaten Gianyar

23,65%

24

Kabupaten Jembrana

5,37%

5

Kabupaten diluar Bali

2,15%

2

Penelitian ini menemukan rentangan umur yang paling dominan pada pasien katarak adalah umur 60-69 tahun sebesar 37,51% dengan perbandingan pada perempuan sebesar 21,87% dan pada laki-laki sebesar 15,62% setelah itu rentang umur 70-79 tahun sebanyak 31,25% laki-laki sebesar 14,58% dan perempuan sebesar 16,60%, kemudian sebesar 14,58% untuk rentangan umur 80-89 tahun dengan perbandingan laki-laki dan perempuan sama 7,29%, 7,29% untuk rentangan umur 5059 tahun dengan laki-laki sebesar 2,08% dan perempuan sebesar 5,20%, pada rentangan umur <50 tahun totalnya sebesar 8,3% dengan perempuan 4,16% dan laki-laki 3,12% dan 2,08% untuk rentangan umur 90-99 tahun total perempuan sesuai dengan Tabel 2.

Tabel 2. Persebaran Umur Pasien Katarak RS Mata Bali Mandara Tahun 2015

Persebaran umur pasien

Laki-laki

Perempuan

TOTAL %

Jumlah

%

Jumlah

%

Umur <50 tahun

3

3,12

4

4,16

8,30

Umur 5059 tahun

2

2,08

5

5,20

7,29

Umur 6069 tahun

15

15,62

21

21,87

37,51

Umur 70-

14

14,58

16

16,60

31,25


79 tahun

Umur 80-                                      . . „

Umur 80-

89 tahun                ,                   ,           ,

Umur 90-     „                           ___

Umur 90-

99 tahu                  ,                    ,            ,


Penelitian sebelumnya yang dilakukan di sumatera barat menunjukkan koherensi dengan teori, dimana dari 914 sampel yang diambil secara random sampling terdapat pasien katarak sebesar 201 pasien, selain itu 272 ditemukan dengan umur 21-29 tahun dan hanya ditemukan 3 atau 1,1% dibandingkan pada umur 60+ yaitu dari 116 pasien dengan umur tersebut ditemukan 96 pasien atau 82,8% menderita katarak, dibandingkan dengan penelitian ini pasien terbanyak terdapat pada umur 60-69 tahun sebesar 37,51% dibandingkan umur dibawah 50 tahun sebesar 8,3%.9 Terdapat pula persamaan pada hasil karakteristik gender dimana perempuan dengan katarak ditemukan lebih dominan dari laki-laki dimana 88 didiagnosa katarak diantara 420 orang untuk laki laki yaitu 21,0% dibandingkan perempuan 22,9%, pada penelitian ini perempuan sebesar 57,29% sedangkan pada laki-laki 42,71% kedua hal ini terjadi diakibatkan pada penelitian sebelumnya berfokus untuk mendiskripsikan prevalensi katarak pada orang dewasa umur 21 tahun atau lebih tua pada daerah perifer di sumatera dan proporsi tertinggi ditemukan wanita lebih banyak daripada laki-laki yang berumur 20-29 tahun, dan dalam penelitian tersebut menyatakan sesuai teori umur dan gender menjadi faktor risiko terhadap katarak dengan menyebutkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi katarak untuk orang dewasa umur 21-29 tahun sebesar 1,1% meningkat menjadi 82,8% pada orang dewasa umur lebih dari 60 tahun dan perempuan memiliki jumlah prevalensi yang lebih tinggi jika dibandingkan laki-laki untuk semua tipe katarak kecuali kortikal. Berdasarkan pekerjaan dari pasien tercatat 38,70% dominan sebagai kategori petani/pekebun sedangkan tercatat 22,58% sebagai pekerjaan dengan kategori lain-lain, 16,12% tercatat pekerjaan rumah tangga, 11,83% pekerjaan sebagai wiraswasta, 6,45% pekerjaan sebagai buruh dan 3,22% tercatat dengan kategori pedagang.9

Berdasarkan ICD-10 sebagai acuan diagnosa pasien katarak RS Mata Bali Mandara baik secara unilateral

Tabel 3. Diagnosa Pasien Katarak RS Mata Bali Mandara berdasarkan ICD-10

Diagnosis     Pre-operatif     Post-operatif

(ICD-10)   Jumlah   %    Jumlah    %

KSI

Unilateral      10     10,41      6      6,25

D (H25.11)

KSI

Unilateral S     4      4,16      2      2,08

(H25.12)

KSI

Bilateral      41     42,70      0      0,00

(H25.13)

KSI

Unilateral      3      3,12      2      2,08

D (H25.11)

KSI

Unilateral S     7      7,29      0      0,00

(H25.12)

KSM

Bilateral       7      7,29       0       0,00

(H25.13)

KSI dan

KSM

KSM

Bilateral                   ,                    ,

(H25.13)

Katarak      „     „

a ara        7      7,29      0      0,00

Juvenile

Riwayat      13     13,54     86     89,58

Operasi


ataupun bilateral dapat dikategorikan sesuai dengan Tabel 3 baik diagnosa pre-operasi ataupun paska-operasinya, dimana dari 192 mata yang diteliti sebelum dilakukan penanganan terdapat 16,12% didiagnosa KSI Unilateral Dextra (H25.11) dan menurun hingga 4,30% setelah dilakukan penanganan, 4,30% didiagnosa KSI Unilateral Sinistra (H25.12) sebelum dan sesudah penanganan, 30,10% pre-operasi didiagnosa KSI Bilateral (H25.13) dan tidak ditemukan setelahnya, 4,30% didiagnosa KSM Unilateral Dextra (H25.11) yang menurun 2,15% setelah penanganan, 1,01% kasus KSM Unilateral Sinistra (H25.12) yang tuntas diperbaiki sama dengan KSM bilateral (H25.13) yang awalnya 4,30% ataupun KSI dan KSM bilateral (H25.13) yang awalnya 12,90%. Terdapat peningkatan kasus pseudofakia sebanyak 20,43% hingga mencapai angka 33,33%. Dari sekian jenis katarak senilis, ditemukan juga katarak juvenile sebanyak 7,52% yang paska-operasinya telah tuntas diperbaiki. Penelitian sebelumnya mengenai profil pasien dengan katarak yang dilakukan selama 2 tahun di rumah sakit di india secara cross sectional pada prevalensi katarak senilis imatur tedapat sebesar 95 diantara 1000 pasien atau 9,50% dan untuk katarak matur dengan nilai terbesar 505 dari 1000 pasien atau 50,5% sedangkan pada penelitian ini ditemukan katarak katarak senilis imatur lebih dominan yaitu 96 mata dari

192 mata atau 50,00% dan pada katarak senilis matur sebesar 24 dari 192 mata yaitu 12,50% nilai tersebut belum memperhitungkan katarak senilis imatur dan matur yang terjadi dikedua mata, dari data tersebut terbalik antara angka maturitas katarak penelitian ini dan penelitian sebelumnya.10

Penanganan terhadap katarak dalam RS Mata Bali Mandara adalah berupa SICS dan tindakan phacoemulsifikasi, dimana dalam penelitian ini pada Tabel 4a. terdapat 96 pasien dan total 192 mata secara rinci terbagi sesuai tindakannya 58 mata atau 30,20% dari jumlah total yang dilakukan tindakan SICS, 93 mata atau 48,42% yang dilakukan tindakan phacoemulsifikasi, dan 41 mata tidak dilakukan tindakan dimana ada 31 mata normal diantaranya sebesar 16,14%. Dalam penanganan katarak berdasarkan diagnose yang sebelumnya telah dijelaskan, pada tindakan untuk katarak senilis imatur lebih dominan daripada katarak senilis matur dan dalam dilakukan modalitas tindakan terhadap KSI dilakukan SICS sebanyak 28 kali dan untuk phacoemulsifikasi sebanyak 81 kali sedangkan untuk KSM untuk SICS sebanyak 30 kali dan phacoemulsifikasi sebanyak 12 kali sesuai yang dijelaskan pada Tabel 4b.

Terkait dengan tindakan yang dilakukan RS Mata Bali Mandara, terdapat kecenderungan digunakan phacoemulsifikasi karena RS ini merupakan pusat rujukan untuk kelainan mata dan sudah terdapat alat yang memadai untuk melakukan phaco, tindakan SICS masih diindikasikan untuk katarak yang sangat matur dan indikasi lainnya

Tabel 4a. Jenis Tindakan Katarak RS Mata Bali Mandara

Jenis Tindakan

Persentase

Jumlah

SICS

30,20

58

Phacoemulsifikasi

48,43

93

Tanpa tindakan

5,20

10

Mata normal

16,14

31

dahulu tindakan SICS sebelum tindakan phacoemulsifikasi terkait ketersediaannya di perifer. Perbaikan visus paska tindakan dapat dilihat dari jumlah visus terburuk hingga terbaik sebelum, sesudah dan sebulan setelah tindakan menjadi lebih baik.

Penelitian sebelumnya yang menggunakan Randomized Controlled Trial pada tindakan phacoemulsifikasi menunjukkan data yang berbeda pada follow up minggu pertama dimana pada visus terbaik yaitu 6/66/9 pada penelitian ini menunjukkan data yang sangat minim yaitu 12,19% sedangkan pada penelitian beliau menunjukkan data 21,87%, pada visus baik 6/12-6/18 penelitian tersebut menunjukkan data yang mirip 46,35% sedangkan pada penelitian ini 47,56%, pada visus borderline atau 6/24-6/60 menunjukkan angka dominan pada penelitian Gogate sebesar 30,72% dibandingkan 24,39%, pada visus yang terburuk pada penelitian beliau menunjukkan data yang sangat minim 1,04% dibandingkan pada visus CF-LP 12,19%, 6/60-6/120 sebesar 3,65% dan 0% pada visus NLP.11 Pada penelitian sebelumnya terdapat perbedaan yang tidak terlalu besar dibandingkan penelitian ini, pada visus terbaik atau 6/6-6/9 setelah 6 minggu tindakan phacoemulsifikasi terdapat perbedaan besar dominan pada penelitian beliau sebesar 36,75% disbanding 15,85%, pada visus kategori baik 6/12-6/18 pada penelitian ini sebesar 54,87% dibandingkan 44,32%, pada visus borderline beliau sebesar 18,37% dibandingkan 21,95% dan visus terburuk sebsar 0,5% namum pada penelitian ini sebesar 0% pada NLP, 2,43% pada visus CF-LP, dan 4,87% pada visus 6/60-6/120.11 Penelitian sebelumnya memiliki presentase yang mirip dengan penelitian ini terkait visus uncorrected setelah seminggu ataupun 6 minggu tindakan phacoemulsifikasi namun dapat perbedaan yang cukup signifikan pada visus terburuk baik follow up seminggu atau 6 minggu setelah tindakan seperti yang dijelaskan pada Tabel 5.11

Tabel 4b. Tindakan SICS dan Phacoemulsifikasi Mata Katarak RS Mata Bali Mandara


Tabel 5. Persentase Visus Terburuk Hingga Terbaik Sebelum dan Sesudah Tindakan Phacoemulsifikasi


Diagnosis

Jenis Tindakan

SICS

Phacoemulsifikasi

OD KSI

14

41

OS KSI

14

40

OD KSM

16

3

OS KSM

14

9

TOTAL

58

93


Selain itu RS ini merupakan RS pendidikan dimana kompetensi residen harus menguasai


Kategori Visus

Visus Pre (H-1 Minggu)

Visus Post (H+1 Minggu)

Visus Post (H+1 Bulan)

[NLP]

2,43%

0,00%

0,00%

[CF 5m-LP]

39,02%

12,19%

2,43%

[6/60-6/120]

26,82%

3,65%

4,87%

[6/24-6/48]

30,48%

24,39%

21,95%

[6/9-6/20]

1,21%

47,56%

54,8%

[6/6-6/7.5]

0,00%

12,19%

15,85%


Terdapat beberapa perbedaan yang cukup juga apabila kita membedakan antara penelitian ini dengan penelitian terkait dengan visus keluaran setelah tindakan SICS baik seminggu atau 6 minggu setelah tindakan, pada penelitian ini seminggu setelah tindakan didapatkan visus uncorrected terbaik 6/6-6/9 sebear 4,34% berbeda jauh dengan penelitian Gogate sebesar 20,94%, pada visus kategori baik 6/12-6/18 sebesar 15,94% dibandingkan penelitian beliau sebesar 40,31%, pada visus borderline 6/246/60 dominan pada penelitian ini sebesar 47,82% dibandingkan penelitian beliau sebesar 37,17% dan untuk visus terburuk 1,57% pada penelitian beliau dan 0% NLP, 20,28% visus CF-LP dan untuk visus 6/60-6/120 sebesar 11,59% pada penelitian ini. 11 Visus terbaik keluaran SICS setelah 6 minggu tindakan pada penelitian ssebelumnya menunjukkan angka 31,62% dibandingakan 5,79% yang terbilang kecil untuk penelitian ini, pada visus 6/12-6/18 pada penelitian ini menujukkan angka sebesar 30,43% dibandingkan 38,50% penelitian beliau, pada visus borderline menunjukkan angka 43,47% dibandingkan penelitian beliau sebesar 28,87% dan untuk visus terburuk pada penelitian beliau nihil sedangkan NLP 0%, CF-LP dan visus 6/60-6/120 sama sebesar 10,14% pada penelitian ini.11 Perbedaan yang cukup signifikan dapat dilihat dari visus setelah 6 minggu tindakan SICS penelitian ini dan penelitian beliau, jumlahnya lebih dominan jauh antara 31,62% dan 5,79% untuk visus terbaik seperti yang dijelaskan pada Tabel 6.

Perbedaan tersebut baik dari data penelitian sebelumnya terkait visus keluaran paska tindakan phacoemulsifikasi dan SICS dapat dikaitkan dengan beberapa faktor salah satunya adalah operator dependen dimana pada penelitian tersebut telah menyamakan variabel operator dan beberapa faktor lain terkait sampling dimana pada penelitian tersebut menggunakan random sampling untuk menghindari bias, pencatatan data baik uncorrected ataupun best-corrected visual acuity yang dilakukan minggu pertama dan keenam paska tindakan dan validitas lainnya. Terkait dengan RS Mata Bali Mandara juga merupakan rumah sakit pendidikan.

Tabel 6. Persentase Visus Terburuk Hingga Terbaik Sebelum dan Sesudah Tindakan SICS

Kategori Visus

Visus Pre (H-1 Minggu)

Visus Post (H+1 Minggu)

Visus Post (H+1 Bulan)

[NLP]

0,00%

0,00%

0,00%

[CF 5m-LP]

71,01%

20,28%

10,14%

[6/60-6/120]

18,84%

11,59%

10,14%

[6/24-6/48]

10,14%

47,82%

43,47%


[6/9-6/20]      0,00%      15,94%     30,43%

[6/6-6/7.5]     0,00%      4,34%      5,79%

Berdasarkan kedua data tersebut dapat ditemukan beberapa keluaran visus yang tidak membaik setelah operasi baik SICS ataupun Phacoemulsifikasi dapat dikarenakan oleh kelainan refraksi residual yang disebabkan oleh faktor pre-operasi, operatif dan paska-operasi.12,13 Faktor pre-operasi yang berpengaruh berupa misestimasi posisi IOL paska-operasi dan pengkuruan axial length pre-operasi; IOL power yang inadekuat, batasan perhitungan dan kesalahan produksi IOL. Kausa operatif termasuk variasi operasi pada ukuran dan posisi sentral kapsulorhelix yang mempengaruhi letak final IOL dan ketergantungannya terhadap operator, SIA atau surgical induced astigmatism dapat juga sebagai kausa kelainan refraksi setelah tindakan operasi selain itu kausa paska tindakan dapat terjadi ketika proses penyembuhan luka seperti pergerakan anterior IOL akibat fibrosis dan kontraksi capsular bag setelah tindakan.12,13

Persebaran IOL Power atau Biometri pasien yang akan dilakukan tindakan dibedakan mata dextra dan mata sinistra, dimana pasien dengan diagnosa myopia (IOL Biometri <18.00D) pada mata dextra tercatat 4,82% sedangkan pada mata sinistra tercatat 1,37%, pada pasien dengan diagnose emetropia atau normal dengan IOL Biometri 18.00D – 22.00D pada mata dextra sebesar 35,86% dan pada mata sinistra sebesar 41,37%. Pada IOL dengan Biometri lebih dari 22.00D atau hipermetropia tercatat pada mata dextra sebesar 8,27% sama dengan mata sinistra seperti Tabel 7.

Tabel 7. IOL Biometri atau Power Pasien Katarak yang akan Dilakukan Tindakan

Besaran

Biometri/Power IOL

Mata Kanan

Mata Kiri

Miopia (<18,00D)

Emetropia (18,00D-

4,82%

35,86%

1,37%

41,37%

22,00D) Hipermetropia

8,27%

8,27%

(>22,00D)


Keterbatasan Penelitian

Dalam melakukan penelitian tidak terlepas dari adanya keterbatasan yang dapat mempengaruhi kualitas hasil penelitian. Keterbatasan penelitian dapat disajikan sebagai berikut:

  • 1.    Penelitian ini tidak mempertimbangkan variabel lain seperti operator, sumbu (axial length) dan perbedaan teknik

operasi dari operator, astigmatisme, komplikasi intraoperative dan paska-operasi yang mempengaruhi tajam penglihatan paska operasi

  • 2.    Penelitian ini hanya mencari data dasar dari rekam medis tidak mencari korelasi antar variabel yang berkaitan

  • 3.    Penelitian ini tidak dapat menjelaskan faktor ekonomi dan pertimbangan lain dari pasien terkait pemilihan tindakan SICS atau phacoemulsifikasi.

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa pada periode 1 Januari 2015 hingga 31 Desember 2015 terdapat 2.356 pasien katarak yang tercatat pada rekam medis RS Mata Bali Mandara, yang dimana terdapat 1058 pasien dilakukan penanganan SICS dan 1298 pasien dilakukan penanganan phacoemulsifikasi dengan rentang umur 90-99 tahun dengan jenis kelamin yang dominan adalah jenis kelamin perempuan yang tercatat dominan pada kabupaten Gianyar. Berdasarkan ICD-10 tipe katarak yang paling banyak ditemukan adalah KSI. Dalam tiap intervensi baik SICS atau phacoemulsifikasi penggunaan IOL biometri kategori emetropia tercatat paling dominan, tindakan phacoemulsifikasi lebih dominan akibat RS ini merupakan pusat rujukan dari RS perifer karena ketersediaan alat yang memadai, selain itu RS ini merupakan RS pendidikan sehingga selain indikasi untuk dilakukan SICS, Luaran yang didapat dari tindakan phacoemulsifikasi dan SICS terhadap katarak terdapat penurunan jumlah visus buruk dan peningkatan pada jumlah visus terbaik.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat diberikan seperti pemenuhan kelengkapan data dalam rekam medis sehingga pendataan bisa lebih lengkap dan tidak kekurangan data dan penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mencari faktor risiko, pencetus, penyebab serta korelasi antar variabel tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    M. Katibeh, HR Moein, M Yaseri.

Prevalence of Second-Eye Cataract Surgery and Time Interval after First-Eye Surgery in Iran: A Clinic-Based Study. Iran: Middle East African Journal of Ophthalmology; 2013;20(1):72-6.

  • 2.  Cerim A, Dizdarevic A, Pojskic B.

Occurrence     and     morphological

characteristic of cataracts in patients treated with general steroid therapy at Cantonal Hospital Zenica. Zenica: Med Glas. 2014;11(2): 295-9.

  • 3.  Anonim. Situasi Gangguan Penglihatan

dan Kebutaan. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2014.

  • 4.  Murrill CA, Stanfield DL, VanBrocklin

MD. Optometric Clinical Practice Guideline Care of the Adult Patient with Cataract.     American     Optometric

Association. 2004;10(2):6-70.

  • 5.    Kohnen T, Baumeister M, Kook D. Cataract Surgery With Implantation of an Artificial Lens. Frankfurt: Dtsch Arztebl Int. 2009; 106(43): 695–702.

  • 6.    Gupta VB, Rajagopala M, Ravishankar B. Etiopathogenesis of cataract:    An

appraisal. India:   Indian Journal of

Opthalmology. 2012; 62(2): 104–108 .

  • 7.    Bellan Lorne. The Evolution of Cataract Surgery:  The Most Common Eye

Procedure in Older Adults. Ontario: Geriatric and Aging. 2008;11(6):328-332.

  • 8.    Depkes.go.id,    (2015). Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia. [Diunduh dari].            http://www.depkes.go.id

index.phpact=page&pg=profil_kesehatan _kabupaten&provid=PV-017 [Diakses 16 Des. 2015].

  • 9.    Husain R, Tong L, Fong A. Prevalence of Catarct in Rural Indonesia. Indonesia: Amerian Academy of Opthalmology. 2005; 112(7): 1255-1257.

  • 10.    Vasanthamurthy E, Sinha T. A Study of Profile of Patient with Cataract. India: Annals of International Medical and Dental Research. 2016;2(4): 121-122

  • 11.    Gogate P, Deshpande M, Wormald R. Safety      and      Efficacy      of

Phacoemusification Compared with Manual Small-Incision Cataract Surgery by a Randomized Controlled Clinical Trial. India: American Academy of Opthalmology. 2005;112(5): 869-873.

  • 12.    Alio Jorge L, Abdelghany AA. Enhancements After Cataract Surgery:

Causes of unsatisfactory visual outcome after cataract surgery. New York: Curr Opin Opthalmology. 2015;26(1): 5-50.

  • 13.    Wormald Richard P, Phacoemulsification vs Small-Incision Manual Cataract Survery:  An Expert Trial. United

Kingdom: Cochrane Eyes and Vision Group. 2007;32(2): 143-144.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2020.V9.i8.P18

108