PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ANAK

Scania Riendravi

Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Keluarga sangat berperan penting sebagai dasar perkembangan emosional dan sosial anak. Hubungan pertemanan juga mempengaruhi perkembangan psikososial anak. Perkembangan psikososial anak meningkat ditandai dengan adanya perubahan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang kebutuhan dan peraturan-peraturan yang berlaku. Pengetahuan tentang perkembangan psikososial anak akan membantu para orang tua dan guru dalam menghadapi tantangan saat membesarkan dan mendidik anak-anak/siswa serta membantu mengoptimalkan proses perkembangan yang akan dialami anak dengan cara yang tepat.

Kata kunci : perkembangan psikososial anak, peran keluarga, pertemanan

PSYCHOSOCIAL DEVELOPMENT OF THE CHILDREN

ABSTRACT

Family have an important role as a basic of emotional and social development. Friendships also influence the psychosocial development of the children. Psychosocial development of children will be improved with changes in their knowledge and understanding of the needs and regulations. Understand the psychosocial development of the children will help the parents and teachers educate their childrens / students and optimize the process of development in a proper way.

Keyword : psychosocial development of the children, role of the family, friendship

PENDAHULUAN

Perkembangan adalah perubahan yang teratur, sistematis, dan terorganisir yang mempunyai tujuan tertentu. Perkembangan memiliki beberapa ciri, yaitu : berkesinambungan, kumulatif, bergerak ke arah yang lebih kompleks dan holistik. Perkembangan psikososial berarti perkembangan sosial seorang individu ditinjau dari sudut pandang psikologi.1 Perkembangan masa anak-anak merupakan hal yang menarik untuk dipelajari. Hubungan antara anak dan keluarga, teman sebaya dan sekolah mempengaruhi perkembangan psikososial seorang anak.1,2,3 Perkembangan sosial seorang anak meningkat ditandai dengan adanya perubahan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang kebutuhan dan peraturan-peraturan yang berlaku.1,3

Sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana perkembangan psikososial dari seorang anak terutama di zaman seperti sekarang. Dengan mempelajari perkembangan psikososial anak, kita dapat membimbing dan membantu mengoptimalkan proses perkembangan yang akan dialami sang anak dengan cara yang tepat. Pengetahuan tentang perkembangan psikososial akan membantu para orang tua dan guru dalam menghadapi tantangan saat membesarkan dan mendidik anak-anak/siswa.1,3,4

TEORI PSIKOSOSIAL ANAK

Banyak teori mengenai perkembangan psikososial, yang paling banyak dianut adalah teori psikosisal dari Erik Erikson. Teori psikososial dari Erik Erikson meliputi delapan tahap yang saling berurutan sepanjang hidup. Hasil dari tiap tahap tergantung dari hasil tahapan sebelumnya, dan resolusi yang sukses dari tiap krisis ego adalah penting bagi individu untuk dapat tumbuh secara optimal. Ego harus mengembangkan kesanggupan

yang berbeda untuk mengatasi tiap tuntutan penyesuaian dari masyarakat.2,3 Berikut adalah delapan tahapan perkembangan psikososial menurut Erik Erikson :

  • 1.    Tahap I : Trust versus Mistrust (0-1 tahun)

Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan kehangatan, jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan anaknya, sang anak akan mengembangkan kemampuan untuk dapat mempercayai dan mengembangkan asa (hope). Jika krisis ego ini tidak pernah terselesaikan, individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percaya dengan orang lain sepanjang hidupnya, selalu meyakinkan dirinya bahwa orang lain berusaha mengambil keuntungan dari dirinya.1,2,4 2. Tahap II: Autonomy versus Shame and Doubt (l-3 tahun)

Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas tubuhnya. Orang tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya untuk mengontrol keinginan atau impuls-impulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang kasar. Mereka melatih kehendak mereka, tepatnya otonomi. Harapan idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi, inilah resolusi yang diharapkan.1,2,4 3. Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun)

Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat sang anak takut mengambil inisiatif atau membuat keputusan karena takut berbuat salah. Anak memiliki rasa percaya diri yang rendah dan tidak mau mengembangkan harapan-harapan ketika ia dewasa. Bila anak berhasil melewati masa ini dengan baik, maka keterampilan ego yang diperoleh adalah memiliki tujuan dalam hidupnya.1,2,4

  • 4.    Tahap IV: Industry versus Inferiority (6-12 tahun)

Pada saat ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan dari menyelesaikan tugas khususnya tugas-tugas akademik. Penyelesaian yang sukses pada tahapan ini akan menciptakan anak yang dapat memecahkan masalah dan bangga akan prestasi yang diperoleh. Ketrampilan ego yang diperoleh adalah kompetensi. Di sisi lain, anak yang tidak mampu untuk menemukan solusi positif dan tidak mampu mencapai apa yang diraih teman-teman sebaya akan merasa inferior. 1,2,4

  • 5.    Tahap V : Identity versus Role Confusion (12-18 tahun)

Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang dewasa sehingga tampak adanya kontraindikasi bahwa di lain pihak ia dianggap dewasa tetapi di sisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa stansarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber perlindungan dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok atau teman sebaya tinggi. 1,2,4

  • 6.    Tahap VI : Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda)

Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi dengan orang lain secara lebih mendalam. Ketidakmampuan untuk membentuk ikatan sosial yang kuat akan menciptakan rasa kesepian. Bila individu berhasil mengatasi krisis ini, maka keterampilan ego yang diperoleh adalah cinta. 1,2,4

  • 7.    Tahap VII : Generativity versus Stagnation (masa dewasa menengah)

Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai balasan dari apa yang telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan sesuatu yang dapat memastikan kelangsungan generasi penerus di masa depan. Ketidakmampuan untuk memiliki pandangan generatif akan menciptakan perasaan bahwa hidup ini tidak

berharga dan membosankan. Bila individu berhasil mengatasi krisis pada masa ini maka

ketrampilan ego yang dimiliki adalah perhatian. 1,2,4

  • 8.    Tahap VIII : Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir)

Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu dan melihat makna, ketentraman dan integritas. Refleksi ke masa lalu itu terasa menyenangkan dan pencarian saat ini adalah untuk mengintegrasikan tujuan hidup yang telah dikejar selama bertahun-tahun. Kegagalan dalam melewati tahapan ini akan menyebabkan munculnya rasa putus asa. 1,2,4

PERAN KELUARGA DALAM PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ANAK

Hubungan dengan orang tua atau pengasuhnya merupakan dasar bagi perkembangan emosional dan sosial anak. Sejumlah ahli memercayai bahwa kasih sayang orang tua atau pengasuh selama beberapa tahun pertama kehidupan merupakan kunci utama perkembangan sosial anak, meningkatkan kemungkinan anak memiliki kompetensi secara sosial dan penyesuaian diri yang baik pada tahun prasekolah dan setelahnya. 1,6 Pola Asuh Orang Tua

Salah satu aspek penting dalam hubungan orang tua dan anak adalah pola asuh. Pola asuh bertujuan untuk mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya, memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangan dan mendorong peningkatan kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakini.1,6 Ada 3 bentuk pola asuh orang tua: 1. Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri bersifat kaku, tegas, suka menghukum dan kurang

kasih sayang. Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh terhadap nilai-nilai dan

peraturan mereka. Dalam memberikan peraturan itu tidak ada usaha untuk menjelaskan kepada anak mengapa ia harus patuh pada peraturan itu. Anak dari orang tua yang otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar yang rendah dibandingkan dengan anak-anak lain. Anak cenderung agresif, impulsive, pemurung dan kurang mampu konsentrasi. 1,6

  • 2.    Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi mereka juga bersikap responsif. Orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara anak dan orang tua. Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka dewasa. Orang tua yang demokratis memperlakukan anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangan anak dan dapat memperhatikan serta mempertimbangkan keinginan anak. Pola asuh yang ideal atau pola asuh yang baik adalah pola asuh demokratis dimana anak mempunyai hak untuk mengetahui mengapa peraturan-peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Dampak perkembangan psikologi anak dengan pola asuh demokratis yaitu rasa harga diri yang tinggi, memiliki moral yang standar, kematangan psikologisosial, kemandirian dan mampu bergaul dengan teman sebayanya. 1,6 3. Pola asuh permisif

Pola asuh yang permisif, anak dituntut sedikit sekali tanggung jawab tetapi mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk

mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya. Dalam pola

asuh ini diasosiasikan dengan kurangnya kemampuan pengendalian diri anak karena orang tua yang cenderung membiarkan anak mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan dan akibatnya anak selalu mengharap semua keinginannya dituruti. Dalam pola asuh permisif, bimbingan terhadap anak kurang dan semua keputusan lebih banyak dibuat oleh anak daripada orang tuanya. Dalam pola asuh ini, sikap acceptance orang tua tinggi namun tingkat kontrolnya rendah. Dampak perkembangan terhadap psikologi anak yaitu kurang percaya diri, pengendalian diri buruk, rasa harga diri yang rendah.1,6 Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh anak :

  • -    Usia orang tua. Rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau tua mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial. 1,6

  • -    Keterlibatan orang tua. Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentingnya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Di dalam rumah tangga, ayah dapat melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja sama dengan ibu dalam melakuan perawatan anak seperi menggantikan popok ketika anak mengompol atau mengajaknya bermain bersama sebagai salah satu upaya dalam melakukan interaksi. 1,6

  • -    Pendidikan orang tua juga berpengaruh penting dalam pengasuhan. 6

  • -    Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak. Orang tua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap menjalankan pengasuhan dan lebih relaks. 1,6

  • -    Stres orang tua. Stres yang dialami orang tua akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam menjalankan peran pengasuhannya. 1,6

  • -    Hubungan suami istri. Hubungan yang kurang harmonis antara suami istri akan

berdampak pada kemampuan dalam menjalankan perannya sebagai orang tua dan merawat serta mengasuh anak dengan penuh rasa bahagia. 1,6

Perkembangan Moral Anak

Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungan dan orang tuanya. Melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain, anak belajar memahami tentang perilaku yang buruk yang tidak boleh dikerjakan.1,6 Berikut beberapa sikap orang tua sehubungan dengan perkembangan moral anak :

  • -    Konsistensi dalam mendidik anak. Kedua orang tua harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau memperbolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orang tua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain. 1

  • -    Sikap orang tua dalam keluarga. Secara tidak langsung sikap orang tua terhadap anak dapat mempengaruhi perkembangan moral anak yaitu melalui proses peniruan. Sikap orang tua yang keras cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak. Adapun sikap acuh tak acuh atau sikap masa bodoh cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang memperdulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orang tua yaitu sikap kasih saying, keterbukaan, musyawarah dan konsisten. 1

  • -    Penghayatan dan pengalaman agama yang dianut. Orang tua merupakan teladan bagi anak, termasuk dalam mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang menciptakan iklim yang religious (agamais) dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik. 1

- Sikap orang tua dalam menerapkan norma. Orang tua yang tidak menghendaki

anaknya berbohong atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong. 1

Perkembangan moral dapat berlangsung melalui beberapa cara yaitu pendidikan langsung, identifikasi dan proses coba-coba. Perkembangan moral dengan cara pendidikan langsung yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah atau yang baik dan buruk oleh orang tua, guru atau orang dewasa lainnya. Hal yang terpenting dalam pendidikan moral adalah keteladanan dari orang tua, guru atau orang dewasa lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral. Perkembangan moral dengan cara identifikasi yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi panutannya. Perkembangan moral dengan proses coba-coba yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.1,6

PERAN PERTEMANAN DALAM PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ANAK

Berikut adalah fase pertemanan dalam perkembangan psikososial anak :

  • 1.    Fase Pertama (Teman untuk Bermain)

Fase ini terjadi pada usia anak antara 5 sampai 7 tahun. Bagi mereka, teman adalah seseorang yang mempunyai mainan yang menarik dan tempat tinggalnya dekat di sekitar mereka dan mereka mempunyai ketertarikkan yang sama. Kepribadian dari teman tersebut tidak menjadi masalah, yang terpenting bagi mereka adalah kegiatan dan mainan apa yang mereka miliki. Persahabatan mereka akan secepat mungkin terputus dan terbina kembali begitu saja.1,7

  • 2.    Fase Kedua (Teman untuk Bersama)

Pada fase ini, selain arti teman untuk bermain, pertemanan juga didasari kepercayaan satu sama lain, terjadi pada usia anak antara 8 sampai 10 tahun. Dalam usia ini, arti teman sudah melangkah ke perasaan saling percaya, saling membutuhkan dan saling mengunjungi. Dalam fase ini, seorang anak untuk mendapatkan teman tidak segampang anak pada fase pertama, karena mereka harus ada kemauan berteman dari kedua belah pihak. Mereka tidak akan mau berteman lagi setelah diantara mereka timbul masalah. 1,7,8

  • 3.    Fase Ketiga

Fase ketiga adalah persahabatan yang penuh dengan saling pengertian. Fase ini terjadi pada usia anak 11 sampai 15 tahun, bagi mereka arti teman tidak hanya sekedar untuk bermain saja, di sini seorang teman harus juga bisa berfungsi sebagai tempat berbagi pikiran, perasaan dan pengertian. Pada fase ini, persahabatan menjadi sangat pribadi karena pada umumnya mereka sedang mengalami masa puber dengan permasalahan psikologis, biasanya sahabatnya lebih tahu dibandingkan orang tua mereka sendiri. Persahabatan tersebut biasanya terputus karena salah seorang dari mereka pindah rumah atau melanjutkan sekolah di kota lain. 1,7

Berikut beberapa faktor penting yang mempengaruhi hubungan pertemanan anak :

  • 1.    Cara orang tua mendidik dan membina anak. Orang tua yang mendidik anak dengan cara bertahap dalam menjelaskan sesuatu hal dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, biasanya anak-anak mereka memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan mereka akan mudah dalam mengembangkan hubungan sosialnya.6

  • 2.    Urutan kelahiran. Biasanya anak yang paling muda lebih populer dan terbiasa dengan negoisasi daripada saudara-saudaranya. 8

  • 3.    Gender. Anak laki-laki dan perempuan akan mengalami hal yang berbeda untuk

kejadian yang sama. Seperti anak laki-laki diperbolehkan untuk memanjat pohon, tetapi anak perempuan tidak diperbolehkan, atau bila anak perempuan menangis akan lebih ditolerir daripada anak laki-laki yang menangis.1

  • 4.    Kecakapan dan keterampilan mengambil peran. Biasanya anak-anak yang memiliki kecakapan dan keterampilan dalam mengambil apa pun posisi peran, dapat berkembang menjadi lebih baik, dan biasanya memiliki intelegensi/kecerdasan yang baik. Dengan hal tersebut, mereka lebih mudah menempatkan dirinya atau beradaptasi di lingkungan yang asing. 6

  • 5.    Nama. Ternyata di lingkungan anak-anak, nama dapat membawa pengaruh dalam kehidupan sosialnya. Nama yang dapat diasosiasikan dengan sesuatu hal, dapat membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan sosial psikologi anak, karena anak-anak masih sangat kongkrit dalam menyatakan sesuatu hal. Akibatnya anak tersebut merasa rendah diri dan tersudut apabila anak-anak yang lain mencemooh karena namanya dapat diasosiasikan dengan sesuatu hal. 1

  • 6.    Daya tarik. Anak-anak yang memiliki daya tarik tersendiri, biasanya selalu populer daripada anak yang kurang memiliki daya tarik. Anak yang memiliki daya tarik, biasanya mereka sering diberi masukkan positif dari sekitarnya sehingga tumbuh rasa percaya diri yang lebih tinggi.7,8

Di dalam lingkungan sekolah dasar, biasanya ada anak yang populer dan tidak populer, baik anak tersebut lebih menonjol karena kepintaranya atau pun karena hal yang lainnya. Mereka mendapat perhatian lebih, seperti selalu diundang dan hadir di pesta ulang tahun temannya sedangkan yang tidak populer tidak pernah diundang. Anak-anak yang menyandang bintang sosiometris, yaitu mereka yang paling banyak disebut sisi positifnya dari pada sisi negatifnya. Biasanya mereka disenangi dan diakui

oleh teman-temannya. Anak-anak yang terisolir, biasanya mereka tidak disebut sisi

positifnya dan juga tidak disebut sisi negatifnya. Anak terisolir tersebut seperti tidak terlihat oleh teman-temannya. Anak-anak yang terasingkan, biasanya mereka oleh anak-anak yang lain diasingkan dan tidak diakui sebagai teman. Anak-anak yang terisolir lebih mudah diakui dari pada anak-anak yang terasingkan, namun lama kelamaan anak-anak yang terasingkan akan diakui juga.

Anak-anak yang terasingkan memiliki resiko adaptasi lebih besar dalam usia menjelang dewasa. Jika anak-anak ini lemah dalam menghadapi ejekkan-ejekkan atau godaan dari anak-anak lainnya, maka hal tersebut dapat membentuk perilaku dan proses belajarnya akan terganggu.1,3,7 Anak yang terasingkan bereaksi dengan cara :

  • 1.    Menarik diri

Biasanya mereka menarik diri dari kontak dengan anak-anak lain. Mereka sebetulnya ingin bermain dengan anak-anak lainnya tetapi mereka diacuhkan dan diabaikan keberadaannya, malahan diejek-ejek, maka dari itu mereka selalu menghindar dari anak-anak lainnya. Di rumah biasanya mereka juga pendiam dan selama mungkin tinggal di kamarnya dengan membaca komik atau mendengarkan musik, kepada orang tuanya mereka beralasan tidak suka main di luar.1,8

  • 2.    Perilaku anti sosial

Biasanya mereka sulit untuk diatur padahal anak-anak lainnya tidak suka dengan perilakunya, misalnya pada saat anak-anak yang lain bermain bola kemudian datang anak yang terasingkan, tetapi tidak untuk ikut bermain dengan anak-anak lainnya. Anak tersebut datang hanya sekedar untuk mengganggu saja dengan mengambil bolanya dan apabila ikut bermain bola pun anak itu akan tampil dengan kasar sehingga membuat anak-anak lainnya berhenti bermain. Anak yang terasing itu akan marah-marah hingga

akhirnya anak-anak yang lain terpaksa mengalah dan bermain bola kembali dengan

aturan-aturan yang dikehendaki oleh anak yang terasing tadi. 1,8

Bimbingan konseling merupakan salah satu sumbangan psikologi perkembangan dalam pendidikan merupakan penuntun bagi seseorang yang memiliki tekanan psikis. Dalam penerapannya, bimbingan konseling ini menjadi salah satu penyalur solusi bagi siswa yang mempunyai masalah yang mungkin mengganggu kegiatan belajarnya.1

RINGKASAN

Perkembangan psikologi manusia dipengaruhi salah satunya oleh interaksi sosial. Keluarga sangat berperan penting dalam perkembangan psikososial anak. Hubungan dengan orang tua atau pengasuhnya merupakan dasar bagi perkembangan emosional dan sosial anak. Salah satu aspek penting dalam hubungan orang tua dan anak adalah pola asuh. Perkembangan moral seorang anak juga dipengaruhi oleh lingkungan. Pertemanan mempunyai arti penting dalam perkembangan sosial anak-anak. Jika anak tidak dapat beradaptasi dengan baik dengan lingkungannya, anak akan membentuk perilaku yang bermasalah dan proses belajarnya akan terganggu. Bimbingan konseling merupakan salah satu penuntun bagi seseorang yang memiliki tekanan psikis.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Jahja, Yudrik. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Kencana Media Group; 2011.

  • 2.    Crain, William. Teori Perkembangan, Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Pustaka Pelajar; 2007.

  • 3.    L, Zulkifli. Psikologi Perkembangan. Bandung : Remaja Karya CV; 2008.

  • 4.    Byod, Denise. Lifespan Development. Berlin : Pearson Education, Inc.; 2006.

  • 5.    Berk, Laura. Child Development. Berlin : Pearson Education, Inc.; 2003.

  • 6.    Duvall, Evelyn. Marriage and Family Development. New York : J.B. Lippincott Company; 2003.

  • 7.    Hetherington, E. Child Psychology, A Comtemporary Viewpoint. New York: McGraw-Hill, Inc.; 2006.

  • 8.    Papalia, Diane. Human Developmen. New York : McGraw-Hill Inc.; 2003.

14