ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 11 NO.2,PEBRUARI, 2022

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



Diterima: 2021-01-13 Revisi: 2021-04-11 Accepted: 2022-02-16

PREVALENSI MIGREN DAN KOMORBIDITAS DEPRESI PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

Putu Bagus Bramanthana Tirtha, I Made Oka Adnyana, Ida Bagus Kusuma Putra, Anak Agung Ayu Putri Laksmidewi

1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Departemen Neurologi RSUP Sanglah

ABSTRAK

Pendahuluan: Salah satu penyebab utama disabilitas di seluruh dunia adalah depresi, dan komorbiditas depresi pada pasien migren dapat memperburuk prognosis pasien. Dengan mempelajari komorbiditas tersebut, kualitas penatalaksanaan pasien dapat ditingkatkan. Selain itu, data mengenai komorbiditas migren dan depresi pada mahasiswa di Bali masih sedikit. Metode: Ini adalah penelitian deskriptif analitik jenis potong lintang Populasi sampel adalah mahasiswa praklinik Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter (PSSKPD) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang berumur 18 sampai 22 tahun. Total sampel adalah 100 orang. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan prevalensi migren dan depresi pada populasi sampel, serta apakah ada hubungan antara prevalensi migren dan prevalensi depresi. Penelitian ini menggunakan kuesioner yang akan mempertanyakan status nyeri kepala, status depresi, dan status variabel-variabel perancu (jenis kelamin, masa menstruasi, pola makan dan minum, dan status sosial ekonomi) responden. Hasil dan Pembahasan: Prevalensi migren adalah 7%, dan prevalensi depresi adalah 4%. Pada orang-orang yang mengalami migren, 42,9% mengalami depresi. Pada orang-orang yang tidak mengalami migren, 1,1% mengalami depresi. Dari Fisher’s Exact Test, didapatkan 2-sided P value 0,001. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara prevalensi migren dan prevalensi depresi.

Kata kunci: Migren, depresi, komorbiditas, prevalensi, mahasiswa

ABSTRACT

Introduction: Depression is one of the world’s major causes of disability, and the comorbidity of depression with migraine can worsen the patient's prognosis. By studying this comorbidity, the treatment quality can be improved. In addition, data regarding comorbidity of migraine and depression among students in Bali are still limited. Method: This is a descriptive analytic cross-sectional research. The sample population are pre-clinical students of the Undergraduate Program of Medicine and Medical Profession, Faculty of Medicine, Udayana University, aged 18 to 22 years. The total sample is 100 people. The purpose of this research is to describe the prevalence of migraine and depression in the sample population, and to understand whether there is a relationship between the prevalence of migraine and the prevalence of depression. This study used a questionnaire containing questions about headache status, depression status, and confounding variables status (gender, menstrual period, eating and drinking patterns, and socioeconomic status). Result and discussion: Migraine prevalence is 7%, and depression prevalence is 4%. 42.9% of the people who have migraine also have depression. 1.1% of the people who did not have migraine have depression. A 2-sided P value of 0.001 is derived from Fischer’s Exact Test. Conclusion: There is a relationship between migraine prevalence and depression prevalence.

Keywords: Migraine, depression, comorbidity, prevalence, student

PENDAHULUAN                                    nyeri kepala di seluruh dunia adalah 47%, dan pada wanita

komplikasi ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan Nyeri kepala adalah komplikasi neurologis yang   pada pria. 96% populasi dunia pernah mengalami nyeri

sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Prevalensi    kepala setidaknya sekali.1 Nyeri kepala   dapat

mempengaruhi kehidupan masyarakat. Nyeri kepala mengakibatkan turunnya kualitas hidup dan waktu produktif.2 Pada anak-anak dan remaja, nyeri kepala menurunkan kualitas hidup, menyebabkan kehadiran sekolah menurun, sulit konsentrasi dan partisipasi aktivitas-aktivitas sosial rendah.3

Pengaruh nyeri kepala tersebut diperparah oleh adanya komorbiditas dengan kelainan-kelainan lain. Migren memiliki komorbiditas dengan penyakit kardiovaskular, gangguan jiwa dan kelainan neurologis lain. Salah satu komorbiditas tersebut adalah dengan depresi. Komorbiditas depresi pada migren membuat prognosis pasien menjadi lebih buruk, dengan terjadinya peningkatan durasi episode nyeri kepala, intensitas nyeri kepala, dan gejala-gejala psikologis dialami pasien.4,5

Terdapat beberapa alasan kenapa hubungan antara nyeri kepala dan depresi itu penting untuk dipelajari. Pertama, depresi adalah salah satu penyebab disabilitas yang paling utama di seluruh dunia. Migren dapat mengakibatkan efek yang besar kepada penderitanya, dan komorbiditas dengan kondisi psikiatri seperti depresi dapat mengakibatkan migren tersebut menjadi kronis. Selain itu, dengan mempelajari komorbiditas tersebut, kualitas penatalaksanaan pasien yang mengidap kondisi tersebut seharusnya menjadi lebih baik.4

Mengingat kurangnya data mengenai komorbiditas tersebut pada mahasiswa di Bali, penulis memutuskan untuk melakukan penelitian mengenai komorbiditas tersebut pada mahasiswa praklinik Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter (PSSKPD) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik jenis potong lintang pada mahasiswa praklinik PSSKPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi migren dan depresi, serta mengetahui apakah terdapat hubungan antara prevalensi migren dengan prevalensi depresi pada populasi sampel. Kegiatan-kegiatan penulis pada penelitian ini meliputi penyusunan kerangka yang sesuai dengan tema, penyebaran kuesioner untuk mengumpulkan data, pengolahan data, analisis data, dan pembuatan laporan hasil penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2020 sampai bulan Desember 2020. Instrumen penelitian ini adalah formulir informed consent serta formulir kuesioner yang digunakan untuk mengetahui apakah subjek mengalami migren dan/atau depresi.

Metode pemilihan sampel yang penulis gunakan adalah convenience sampling. Perhitungan jumlah sampel minimum akan dilakukan menggunakan rumus jumlah sampel penelitian potong lintang untuk data deskriptif kategori. Nilai proporsi penyakit yang penulis gunakan adalah 0,24.6 Nilai derajat kesalahan yang digunakan https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2021.V11.i2.P9

adalah 0,1. Jumlah sampel minimum yang didapatkan untuk penyakit migren adalah 70.

Kriteria inklusi penelitian ini yaitu: 1) Calon responden merupakan mahasiswa praklinik PSSKPD di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, tepatnya mahasiswa yang berumur 18 sampai 22 tahun, 2) Calon responden telah mengisi biodata dan tanda tangan pada formulir Informed Consent, 3) Calon responden tidak mengalami nyeri kepala apapun atau mengalami nyeri kepala migren, 4) Calon responden tidak mengalami depresi atau mengalami depresi.

Kriteria eksklusi penelitian ini yaitu calon responden mengalami nyeri kepala bukan migren. Calon responden dianggap mengalami nyeri kepala bukan migren apabila responden menjawab bahwa ia pernah mengalami nyeri kepala dalam tiga bulan terakhir, namun tidak memenuhi semua kriteria pada definisi penderita migren.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah prevalensi depresi dan tidak depresi pada mahasiswa. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah prevalensi migren dan tidak migren pada mahasiswa. Variabel perancu dalam penelitian ini adalah jenis kelamin responden, masa menstruasi responden, pola makan dan minum responden, dan status sosial ekonomi responden.

Migren adalah salah satu jenis nyeri kepala primer. Penulis tidak akan membedakan migren dengan aura dengan migren tanpa aura. Penulis mengacu kepada kriteria diagnostik yang telah ditetapkan pada International Classification of Headache Disorders 3rd Edition (ICHD-3), yaitu: 1) Setidaknya ada lima serangan nyeri kepala yang memenuhi kriteria 2-5, 2) Durasi serangan nyeri kepala yaitu empat sampai tujuh puluh dua jam, 3) Serangan nyeri kepala tersebut memenuhi setidaknya dua dari empat ciri-ciri berikut: kualitas berdenyut-denyut, lokasi unilateral, intensitas nyeri menengah atau berat, dan menjadi makin parah saat melakukan aktivitas fisik, 4) Saat terjadi serangan nyeri kepala, pasien mengalami setidaknya salah satu dari dua hal berikut: rasa mual dan/atau muntah-muntah, fonofobia dan fotofobia, 5) Tidak ada klasifikasi ICHD-3 lain yang lebih tepat untuk mendiagnosis nyeri kepala pasien. Apabila jawaban responden memenuhi semua kriteria tersebut, maka responden akan dianggap mengalami migren.7

Depresi adalah gangguan mental yang gejala-gejalanya dapat berupa suasana hati muram, pikiran pesimis, cepat marah, perasaan putus asa, kelelahan, sulit konsentrasi, sulit tidur, perubahan berat badan drastis, dan lain-lain. Penulis mengacu pada Beck’s Depression Inventory-II dalam pembuatan kuesioner. Pada analisis data untuk tes hipotesis, penulis tidak akan membedakan antara depresi ringan, sedang, dan berat. Skor di atas 20 dianggap sebagai depresi, sementara skor 20 dan di bawah 20 dianggap sebagai tidak depresi.8

Jenis kelamin adalah karakteristik biologis yang membedakan manusia menjadi dua kategori, yaitu pria dan wanita. Pada form Informed Consent, responden akan 49

diminta untuk mengisi jenis kelamin sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Tanda Mahasiswa.

Untuk variabel masa menstruasi responden, akan terdapat pertanyaan pada kuesioner mengenai masa menstruasi responden, yang jawabannya berupa “ya” atau “tidak”. Responden dianggap akan atau sedang mengalami menstruasi apabila menjawab “ya”. Wanita yang sedang mengalami menstruasi atau akan mengalami menstruasi dalam kurun waktu satu minggu berisiko lebih tinggi untuk mengalami serangan migren serta gejala-gejala psikologis mirip depresi.9

Untuk variabel pola makan dan minum responden. Akan terdapat pertanyaan pada kuesioner mengenai hal tersebut, yang jawabannya berupa “ya” atau “tidak”. Responden dianggap telah mengonsumsi makanan atau minuman yang dapat memicu migren apabila menjawab “ya”. Makanan bergaram, makanan yang mengandung tyramine, makanan yang mengandung aspartam dan makanan yang mengandung monosodium glutamat dapat memicu migren. Minuman beralkohol dan minuman yang mengandung kafein dapat juga memicu migren.9

Status sosial ekonomi responden mengacu kepada tingkat jumlah pendapatan rata-rata semua anggota keluarga responden dalam satu bulan. Terdapat 2 golongan status sosial ekonomi responden, yaitu: 1) Golongan pendapatan tinggi, dengan pendapatan rata-rata di atas

2.500.000,00 per bulan, 2) Golongan pendapatan rendah, dengan pendapatan rata-rata di bawah Rp. 2.500.000,00 per bulan.

Penulis membuat kuesioner dalam bentuk digital menggunakan Google Forms. Penulis akan membagikan tautan untuk kuesioner tersebut melalui aplikasi mobile messenger Line ke grup besar tiap angkatan mahasiswa PSSKPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang masih dalam tahap preklinik.

Penulis menggunakan perangkat lunak SPSS untuk analisis data. Penulis akan menggunakan tes chisquare for independence untuk menguji hipotesis. Untuk menghilangkan pengaruh banyak variabel perancu sekaligus, penulis akan menggunakan tes multiple logistic regression.

HASIL

Pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan dari tanggal 20 Juli 2020 sampai 30 September 2020. Penulis menerima sebanyak 207 responden, dan 107 responden memenuhi kriteria eksklusi, sehingga jumlah sampel penelitian ini adalah 100 responden. Rata-rata usia responden adalah 20,44 tahun, dengan nilai terkecil 18 tahun, nilai terbesar 22 tahun, dan standar deviasi 0,857 tahun.

Tabel 1Karakteristik sampel penelitian

Variabel

Frekuensi (n=100)

Persentase (%)

Usia (Rerata ± SB) Jenis Kelamin

20 ± 0,86

100%

Laki-laki

35

35%

Perempuan

Menstruasi (n=65)

65

65%

Akan atau sedang mengalami menstruasi

24

36,9%

Tidak akan atau sedang mengalami menstruasi

Pola Makan dan Minum

41

63,1%

Konsumsi pemicu migren

77

77%

Tidak konsumsi pemicu migren

Status Sosial Ekonomi

23

23%

Rendah

13

13%

Tinggi

Migren

87

87%

Migren

7

7%

Tidak nyeri kepala

Depresi

93

93%

Depresi

4

4%

Tidak depresi

96

96%

Pada studi ini, terdapat 7 orang (7%) yang mengalami migren, dan 4 orang (4%) yang mengalami depresi. Dari 7 orang yang mengalami migren, 3 orang mengalami depresi (42,9%). Dari 93 orang yang tidak https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2021.V11.i2.P9

mengalami migren, hanya 1 orang yang mengalami depresi (1,1%). Dari 7 orang yang mengalami migren, 3 orang adalah pria (42,8%), dan 4 orang adalah wanita (57,2%).

Dari 4 orang yang mengalami migren, semuanya adalah wanita (100%).

Tabel 2 Tabulasi silang prevalensi migren dan depresi

Migren

Total

Ya

Tidak

Depresi

3 (42,9%)

1 (1,1%)

4 (4%)

Tidak Depresi

4 (57,1%)

92 (98,9%)

96 (96%)

Total

7 (100%)

93 (100%)

100 (100%)

Fishers Exact Test 2-Sided P Value         0,001

Setelah dilakukan tes Chi-Square (P value 0,000), penulis memutuskan untuk menggunakan tes alternatif, yaitu Fisher’s Exact Test, karena terdapat dua sel tabel dengan expected count kurang dari lima. Penulis menemukan bahwa terdapat hubungan antara prevalensi migren dengan prevalensi depresi (2-sided P value 0,001).

Hasil tes multiple logistic regression pada variabel-variabel perancu menunjukkan bahwa jenis kelamin (P value 0,779), menstruasi (P value 0,843), pola makan dan minum (P value 1,996), dan status sosial ekonomi (P value 1,182) tidak mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap variabel terikat, yaitu migren.

PEMBAHASAN

Penelitian ini menemukan bahwa prevalensi migren pada mahasiswa PSSKPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang berumur 18-22 tahun adalah 7%. Prevalensi ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil sebuah penelitian pada mahasiswa PSSKPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Angkatan 2015 dan 2016 yang menemukan prevalensi migren sebesar 14,2%.10 Sebuah penelitian pada mahasiswa kedokteran di Universitas Soochow menemukan prevalensi migren yang mendekati hasil yang ditemukan penulis, yaitu 7,91%.11 Sebuah penelitian pada mahasiswa kedokteran di Universitas Kuwait menemukan prevalensi migren sebesar 27,9%,12 dan penelitian lain pada mahasiswa Universitas Cumhuriyet menemukan prevalensi migren sebesar 10,6%.13

Perbedaan hasil prevalensi migren yang penulis dapatkan dibandingkan dengan penelitian-penelitian tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, terdapat perbedaan metode pengambilan sampel dan jumlah sampel yang dipergunakan. Hal-hal ini dapat mempengaruhi validitas internal dari penelitian kami, dan hal tersebut akan sekaligus mempengaruhi hasil yang penulis dapatkan. Kedua, terdapat perbedaan karakteristik populasi sampel. Kemunculan migren dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko, dan keberadaan faktor-faktor tersebut akan berbeda pada satu populasi dibandingkan dengan populasi lain.

Penelitian ini juga menemukan bahwa prevalensi depresi pada mahasiswa penderita migren lebih tinggi https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2021.V11.i2.P9

dibandingkan dengan pada mahasiswa tanpa nyeri kepala, dan terdapat suatu hubungan antara prevalensi migren dengan depresi. Hal ini selaras dengan hasil yang ditemukan oleh studi-studi pada populasi lain.14,15 Walaupun keterkaitan antara dua penyakit ini sudah diteliti banyak studi, mekanisme dibalik komorbiditas ini masih belum diketahui secara pasti. Teori-teori yang telah dikemukakan mengenai mekanisme ini meliputi perkembangan struktur otak abnormal, aktivitas otak abnormal, basis genetik yang sama, ketidakseimbangan neurotransmiter, efek hormon seks, faktor-faktor lingkungan yang sama, dan stres. Banyak studi juga menemukan bahwa komorbiditas ini bersifat dua arah.16

Pasien migren dengan depresi memiliki jalur perkembangan fusiform gyrus dan thalamus yang berbeda dibandingkan dengan mereka yang mengalami migren atau depresi saja. Migren yang komorbid dengan depresi dapat mempengaruhi perkembangan medial prefrontal cortex (mPFC) kiri, dan kelainan pada struktur otak tersebut dapat mengarah ke gejala-gejala depresi atau gejala-gejala migren.17 Aktivitas intrinsik mPFC kiri lebih tinggi pada pasien depresi dan pasien migren, dan hal ini dapat mengakibatkan penurunan supresi aktivitas default mode network (DMN), yang dikaitkan dengan gejala-gejala depresi.18 Penurunan supresi aktivitas DMN akan meningkatkan konektivitas fungsional DMN dengan daerah-daerah otak yang dikaitkan dengan kemunculan nyeri saat episode migren, seperti insula, postcentral gyrus kiri, dan thalamus.19

Terdapat sejumlah penelitian yang menemukan bahwa kemunculan migren dan depresi dipengaruhi oleh gen-gen yang sama. Perkiraan tingkat heritabilitas migren dan depresi adalah sekitar 50%. Daerah-daerah gen yang dijadikan kandidat untuk intervensi klinis meliputi Dopamine D2 Receptor Ncol Alleles, Serotonin transporter gene-linked polymorphic region, dan lain-lain.16

Ketidakseimbangan neurotransmiter serotonin (5-HT) dipercayai memiliki suatu peran pada mekanisme kemunculan depresi dan migren. Hal ini dikarenakan kedua penyakit tersebut merespons terhadap obat-obat yang mempengaruhi pengiriman 5-HT, seperti antidepresan trisiklik dan selective 5-HT reuptake inhibitor (SSRI). Salah satu teori mekanisme kemunculan depresi yang sudah populer adalah hipotesis neurotransmiter

monoamine. Teori ini mempercayai bahwa penurunan konsentrasi neurotransmiter monoamine seperti 5-HT adalah dasar biologis depresi. Banyak penelitian yang menemukan bahwa pasien migren memiliki kadar 5-HT yang rendah. Namun, sebuah penelitian yang menggunakan positron emission tomography menemukan bahwa jumlah reseptor 5HT1A di otak menurun secara signifikan saat depresi, dan pada pasien migren ditemukan peningkatan jumlah reseptor tersebut. Selain itu, ditemukan bahwa efek obat jenis SSRI pada pasien migren tidak lebih baik dibandingkan placebo.16

Beberapa studi menemukan bahwa wanita memiliki tingkat insidensi migren dan depresi yang lebih tinggi daripada pria, dan hal tersebut diperkirakan disebabkan oleh perbedaan ekspresi hormon seks. Penurunan kadar estrogen dapat mengakibatkan penurunan aktivitas sistem energi 5-HT dan peningkatan aktivitas sistem simpatis, yang dapat mengarah ke kemunculan migren komorbid dengan kelainan suasana hati.16 Terdapat sebuah teori bahwa gejala-gejala migren bisa membaik setelah menopause, namun hal ini belum terbukti. Banyak wanita yang mengalami perburukan gejala migren atau bahkan baru mengalami migren setelah menopause. Terapi estrogen replacement juga bisa memperparah gejala-gejala migren.20 Progesteron bisa meningkatkan kadar serotonin di ruang sinaptik dengan menurunkan ekspresi gen monoamine oxidase, sehingga kadar enzim monoamine oxidase menurun dan degradasi serotonin menurun. Hal ini akan menurunkan intensitas gejala depresi dan migren. Sebuah studi pada tikus jantan menunjukkan bahwa testosteron dapat menurunkan kerentanan terjadinya cortical spreading depression, yang diperkirakan mengakibatkan migren. Testosteron juga meningkatkan efek serotonin.16

Sebuah studi longitudinal prospektif menemukan bahwa stres kronis dapat mengakibatkan depresi mayor dan semua jenis nyeri kronis. Interaksi antara depresi dan migren bisa dijelaskan sebagai interaksi antar sumber stres yang saling memperparah. Stres bisa mengarah ke meningkatnya jumlah serangan migren, dan migren bisa menjadi sumber stres, sehingga terbentuk suatu siklus.21 Depresi mengakibatkan ketidakseimbangan hemostasis, sehingga depresi juga bisa menjadi sumber stres.22

Keterbatasan-keterbatasan pada penelitian ini meliputi jumlah sampel yang relatif kecil, metode pemilihan sampel convenience sampling yang memungkinkan volunteer bias, dan metode pengambilan data lewat kuesioner online yang dapat menurunkan response rate kuesioner di populasi sampel.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) Prevalensi migren pada mahasiswa praklinik PSSKPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah 7%, 2) Prevalensi depresi pada mahasiswa praklinik PSSKPD Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana adalah 4%, 3) Terdapat hubungan antara prevalensi migren dan prevalensi depresi.

Di masa depan, dapat dikembangkan penelitian-penelitian mengenai hubungan antara migren dan depresi yang lebih bagus, dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan kerangka penelitian yang memilih sampel secara sistematis. Salah satu aspek dari hubungan ini yang penting untuk diteliti adalah mekanismenya, dan masih banyak hal yang belum diketahui mengenai hal tersebut, sehingga penulis menyarankan bahwa penelitian-penelitian di masa depan difokuskan pada hal tersebut. Dapat juga diteliti determinan-determinan migren dan depresi khusus pada populasi mahasiswa kedokteran, mengingat sedikitnya literatur mengenai komorbiditas ini pada populasi mahasiswa kedokteran.

  • 1.    Ucapan Terima Kasih

Penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), dr. I. B. Kusuma Putra, Sp.S(K), dan Dr. dr. A. A. Ayu Putri Laksmidewi, Sp.S(K) atas bimbingannya dalam proses pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.     Zarshenas MM, Petramfar P, Firoozabadi A, Moein

MR, Mohagheghzadeh A. Types of headache and those remedies in traditional persian medicine. Pharmacogn      Rev.      2013;7(13):17-26.

doi:10.4103/0973-7847.112835

  • 2.     Manandhar K, Risal A, Linde M, Steiner TJ. The

burden of headache disorders in Nepal: estimates from a population-based survey. J Headache Pain. 2015;17(1):1-10. doi:10.1186/s10194-016-0594-0

  • 3.     Wöber-Bingöl Ç, Wöber C, Uluduz D, et al. The

global burden of headache in children and adolescents – developing a questionnaire and methodology for a global study. J Headache Pain. 2014;15(1):1-9. doi:10.1186/1129-2377-15-86

  • 4.     Antonaci F, Nappi G, Galli F, Manzoni GC,

Calabresi P, Costa A. Migraine and psychiatric comorbidity: A review of clinical findings. J Headache      Pain.      2011;12(2):115-125.

doi:10.1007/s10194-010-0282-4

  • 5.    Wei CB, Jia JP, Wang F, Zhou AH, Zuo XM, Chu

CB. Overlap between headache, depression, and anxiety in general neurological clinics: A crosssectional study. Chin Med J (Engl). 2016;129(12):1394-1399.      doi:10.4103/0366-

6999.183410

  • 6.     Adnyana IMO. Prevalensi, Karakteristik Dan

Beberapa Faktor Yang Berkaitan Dengan Nyeri Kepala Migren Pada Mahasiswa Stikes Bali. Neurona. 2012;29(3).

  • 7.      International Headache Society. The International

Classification of Headache Disorders, 3rd edition. Cephalalgia.                   2018;38(1):1-211.

doi:10.1177/0333102417738202

  • 8.     Society of Occupational Medicine. Beck

Depression Inventory. Oxford Univ  Press.

2016;66:174-175. doi:10.1093/occmed/kqv087

  • 9.      National Health Service. Migraine - Causes.

https://www.nhs.uk/conditions/migraine/causes/. Published 2019. Accessed December 4, 2019.

  • 10.    Wijaya MAP, Meidiary AAA, Putra IBK.

Karakteristik Migren Tanpa Aura Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Angkatan 2015 Dan 2016 Di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.    Callosum    Neurol.

2019;2(2):60-64. doi:10.29342/cnj.v2i2.40

  • 11.    Gu X, Xie YJ. Migraine attacks among medical

students in Soochow university, southeast China: A cross-sectional study. J Pain Res. 2018;11:771-781. doi:10.2147/JPR.S156227

  • 12.    Al-Hashel JY, Ahmed SF, Alroughani R, Goadsby

PJ. Migraine among medical students in Kuwait University. J Headache Pain. 2014;15(1):1-6.

doi:10.1186/1129-2377-15-26

  • 13.    Semiz M, Şentürk IA, Balaban H, Yaǧiz AK,

Kavakçi Ö. Prevalence of migraine and co-morbid psychiatric disorders among students of Cumhuriyet University. J Headache  Pain.

2013;14(1):1-6. doi:10.1186/1129-2377-14-34

  • 14.    El-Metwally A, Toivola P, AlAhmary K, et al. The

Epidemiology of Migraine Headache in Arab Countries: A Systematic Review. Nakhostin Ansari N, ed. Sci World  J.  2020;2020:4790254.

doi:10.1155/2020/4790254

  • 15.    Dindo LN, Recober A, Haddad R, Calarge CA.

Comorbidity of Migraine, Major Depressive Disorder, and Generalized Anxiety Disorder in Adolescents and Young Adults. Int J Behav Med. 2017;24(4):528-534.    doi:10.1007/s12529-016-

9620-5

Zhang Q, Shao A, Jiang Z, Tsai H, Liu W. The exploration of mechanisms of comorbidity between migraine and depression. J Cell Mol Med. 2019;23(7):4505-4513. doi:10.1111/jcmm.14390

Ma M, Zhang J, Chen N, Guo J, Zhang Y, He L. Exploration of intrinsic brain activity in migraine with and without comorbid depression. J Headache Pain. 2018;19(1):48. doi:10.1186/s10194-018-0876-9

Bartova L, Meyer BM, Diers K, et al. Reduced default mode network suppression during a working memory task in remitted major depression. J Psychiatr Res. 2015;64:9-18. doi:10.1016/j.jpsychires.2015.02.025

Edes AE, Kozak LR, Magyar M, et al. Spontaneous migraine attack causes alterations in default mode network connectivity: a resting-state fMRI case report. BMC Res Notes. 2017;10(1):165. doi:10.1186/s13104-017-2484-1

Carturan P, Scorcine C, Fragoso YD. Migraine in the post-menopausal period is associated with higher levels of mood disorders, disability, and more menopausal symptoms . Arq Neuro-Psiquiatria . 2016;74:999-1002.

Swanson SA, Zeng Y, Weeks M, Colman I. The contribution of stress to the comorbidity of migraine and major depression: results from a prospective cohort study. BMJ Open. 2013;3(3):e002057. doi:10.1136/bmjopen-2012-002057

Baksa D, Gonda X, Juhasz G. Why are migraineurs more depressed? A review of the factors contributing to the comorbidity of migraine and depression. Neuropsychopharmacol Hung. 2017;19(1):37-44.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28467957.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2021.V11.i2.P9

53