ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 11 NO.3,MARET, 2022


DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


Diterima: 2021-04-29 Revisi: 2021-08-15 Accepted: 2022-06-21

PROFIL DERMATOFITOSIS DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RSUP SANGLAH DENPASAR PERIODE 2017 -2018

Kadek Ena SSPS, NLP Ratih Vibriyanti Karna1)*

1)* Departemen Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah /Fakultas Kedokteran Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Dermatofitosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofita menyerang jaringan yang mengandung keratin, seperti stratum korneum pada epidermis kulit, rambut dan kuku. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan karakteristik pasien dan spesies penyebab dermatofitosis di Divisi Mikologi Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar tahun 2017-2018. Penelitian deskriptif retrospektif ini mengambil sampel secara konsekutif dengan mengevaluasi rekam medis untuk mendapatkan karakteristik dermatofitosis berdasarkan jumlah kasus baru, diagnosis, umur, dan jenis kelamin, dan hasil pemeriksaan kultur. Kasus dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar dari tahun 2017 hingga 2018, yaitu sebesar 9,5 % dan 7,9 % seiring dengan menurunnya angka kunjungan ke poliklinik. Diagnosis terbanyak adalah tinea unguium (45,3%) diikuti oleh tinea kruris (25,7%) dengan dermatofita penyebab yang paling sering diisolasi pada kultur adalah Trichophyton rubrum (34,8%) dan Trichophyton mentagrophytes (20,2%). Laki-laki (59%) dan kelompok umur 45-64 tahun (35,8%) lebih sering menderita dermatofitosis.

Kata kunci: dermatofitosis, tinea, dermatofita, deskriptif retrospektif

ABSTRACT

Dermatophytosis is skin infection caused by dermatophytes colonization in keratinized tissue, such as stratum corneum of epidermis, nails and hair. The aims of study are to evaluate the characteristic of patients and species causing dermatophytosis in Mycology division Outpatient Clinic Sanglah General Hospital Bali in 2017 and 2018 periods. This descriptive retrospective study done by taking consecutive sampling in order to evaluate dermatophytosis characteristic according to diagnosis, age, sex, and organisms isolate from culture examination. Dermatophytosis new cases decreasing from 9,5% in 2017 to 7,9% in 2018. The most common diagnosis are tinea unguium (45,3%) and tinea cruris (25,7%) with Trichophyton rubrum (34,8%) and Trichophyton mentagrophytes (20,2%) species mostly isolated from culture examination. Male (59%) and 45-64 years old age group (35,8%) are the most common groups diagnose with dermatophytosis.

Keywords: Dermatophytosis, tinea, descriptive retrospective study

PENDAHULUAN

Dermatofitosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofita yang menyerang jaringan yang mengandung keratin (zat tanduk) seperti stratum korneum pada epidermis kulit, rambut dan kuku. Jamur dermatofita merupakan famili arthrodermataceae dengan lebih dari 40 spesies yang dibagi dalam tiga genus : Epidermophyton, Microsporum, dan Trichophyton.1,2,3

Dermatofitosis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan lokasinya, yaitu: tinea kapitis, tinea barbae, tinea kruris, tinea pedis et manum, tinea korporis, dan tinea unguium. Tinea kapitis merupakan infeksi jamur menular pada kepala yang menyerang batang rambut dan merupakan penyebab kerontokan rambut yang sering dijumpai pada anak-anak. Tinea barbae yang merupakan dermatofitosis yang terjadi pada dagu dan jenggot.4,5 Tinea kruris sering ditemukan pada daerah lipat paha, genitalia,

daerah pubis, perineum dan perianal.6,7 Tinea pedis atau ringworm of the foot adalah infeksi dermatofita yang sering terjadi pada sela jari dan telapak kaki.8 Infeksi jamur dermatofita yang menyerang kulit telapak tangan, punggung tangan dan jari tangan disebut tinea manum.1,3 Tinea unguium atau dermatophytic onychomycosis, ringworm of the nail merupakan infeksi jamur dermatofita pada kuku dengan etiologi tersering T. mentagrophytes dan T. rubrum.1 Sedangkan, Tinea korporis yaitu dermatofitosis pada tempat lain yang tidak termasuk bentuk 5 tinea yang telah disebutkan.9

Penyakit Infeksi kulit oleh jamur dapat ditemukan hampir di seluruh daerah di Indonesia karena iklim tropis dengan tingkat kelembaban tinggi, serta keadaan geogafis memberikan suasana ideal untuk pertumbuhan jamur.10,11 Gambaran klinis dermatofitosis sangat beranekaragam yang sering kali menyerupai gambaran penyakit kulit yang lain.

Hal ini sering menimbulkan kekeliruan diagnosis, tatalaksana dan hasil akhir penderita dengan dermatofitosis.

Infeksi jamur superfisial dapat ditemukan di seluruh dunia dengan kejadian tinea kapitis lebih sering terjadi di negara-negara berkembang, sedangkan tinea pedis lebih banyak ditemukan di negara maju. Laki-laki lima kali lebih sering mengalami infeksi dermatofita daripada wanita. Tinea korporis lebih sering dialami oleh orang dewasa, sedangkan tinea kapitis sering terjadi pada anak-anak. Kondisi sosial ekonomi yang rendah berhubungan kuat dengan tingginya prevalensi infeksi kulit, termasuk infeksi oleh dermatofita.8,12

Diagnosis dermatofitosis ditegakkan secara klinis, dan ditunjang oleh beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan dengan lampu Wood pada spesies tertentu. Pemeriksaan kultur bertujuan untuk mengidentifikasi spesies jamur, sedangkan pemeriksaan dengan kalium hidroksida (KOH) 10-20% bertujuan untuk menemukan dermatofit yang memiliki septa dan percabangan hifa.13

Penelitian ini mengevaluasi secara retrospektif kejadian dermatofitosis di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2017 dan 2018 untuk mendapatkan gambaran karakteristik pasien dan spesies penyebab dermatofitosis.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif. Populasi mencakup semua kasus yang tercatat menderita penyakit kulit di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2017 sampai Desember tahun 2018. Pengambilan sampel diperoleh dengan cara “consecutive sampling”, yakni dipilih seluruh rekam medis elektronik pasien baru yang didiagnosis dengan dermatofitosis. Variabel penelitian terdiri dari jumlah kasus baru, diagnosis, umur, dan jenis kelamin, dan hasil pemeriksaan kultur. Penelitian dilakukan di Divisi Mikologi Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2018 sampai dengan Februari 2019. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini berupa data catatan rekam medik elektronik pasien.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1 menunjukkan hasil yang berbeda-beda setiap tahunnya. Pada tahun 2017 didapatkan kasus dermatofitosis sebanyak 9,5% dari 950 kasus baru, sedangkan pada tahun 2018 didapatkan sebanyak 7,9% dari 734 kasus baru di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar.

Berdasarkan Tabel 4, distribusi diagnosis kasus baru dermatofitosis di Divisi Mikologi Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar tahun 2017 sampai dengan 2018, menunjukkan bahwa diagnosis terbanyak adalah tinea unguium (45,3%) dan tinea kruris (25,7%).

Pemeriksaan kultur dilakukan pada kasus dermatofitosis yang sulit ditegakkan secara klinis. Pada penelitian ini pemeriksaan kultur dikerjakan pada 89 kasus dari 148 kasus dermatofitosis baru yang tercatat dari tahun 2017 dan 2018, seperti terlihat pada tabel 5. Spesies dermatofita Trichophyton rubrum (T.rubrum) dan Trichophyton mentagrophytes (T.mentagrophytes) merupakan organisme yang paling banyak terisolasi pada pemeriksaan kultur.

Tabel 1. Proporsi jumlah kasus baru dermatofitosis terhadap kasus baru di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode 2017–2018

Kasus Baru

Tahun

2017

2018

Jumlah (%)

Poliklinik Kulit &

950

734

1684

Kelamin Dermatofitosis

90

58

148 (8,8%)

(9,5%)

(7,9%)

Tabel 2. Distribusi jenis kelamin pada kasus dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode 2017-2018

No

Jenis Kelamin

Jumlah

1

Laki-laki

87 (59%)

2

Perempuan

61 (41%)

Total

148 (100%)

Tabel 3. Distribusi umur pada kasus dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode 2017-2018

No

Umur (Tahun)

Jumlah

1

<1

0 (0%)

2

1-4

11 (7,5%)

3

5-18

19 (12,8%)

4

19-24

24 (16,2%)

5

25-44

38 (25,7%)

6

45-64

53 (35,8%)

7

>65

3 (2%)

Total

148 (100%)

Tabel 4. Distribusi diagnosis kasus baru dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode 2017–2018

No

Kasus    2017

2018     Total

1

Tinea     40

27        67 (45,3%)

unguium  (44,4%)

(46,6%)

2

Tinea     27

11        38 (25,7%)

kruris      (30%)

(18,9%)

3

Tinea      14

9         23 (15,5%)

korporis    (15,6%)

(15,5%)

4

Tinea      7 (7,8%)

kapitis

5 (8,6%)  12 (8,1%)

5

Tinea      1 (1,1%)

pedis

3 (5,2%)  4 (2,7%)

6

Tinea      1 (1,1%)

barbae

3 (5,2%)  4 (2,7%)

total        90

58       148 (100%

(100%)

(100%)

Tabel 5. Hasil kutur pada dermatofitosis di Poliklinik Kulit

dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode 2017-2018

No

Spesies

Jumlah

1

T. rubrum

31 (34,8%)

2

T. mentagrofit

18 (20,2%)

3

Aspergilus

14 (15,7%)

4

M.canis

9 (10,2%)

5

T.tonsuran

7 (7,9%)

6

Penicilium

3 (3,4%)

7

Mucor sp

3 (3,4%)

8

Rhizopas

2 (2,2%)

9

E.flucosum

1 (1,1%)

10

M.gypsum

1 (1,1%)

jumlah

89 (100%)

PEMBAHASAN

Jumlah kasus baru dermatofitosis dibandingkan dengan keseluruhan kasus baru di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar mengalami penurunan dari tahun 2017 sebanyak 90 kasus (9,5%) dan 58 kasus (7,9%) pada tahun 2018. Hal ini dapat disebabkan oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mencegah penyakit kulit dengan menjaga kebersihan dan menghindari faktor-faktor predisposisi. Penurunan kasus dermatofitosis tersebut juga seiring dengan jumlah total kunjungan ke poliklinik, sebagai dampak dari kebijakan pelayanan kesehatan pemerintah (BPJS) yang mengharuskan pelayanan kesehatan berjenjang

dari puskesmas ke rumah sakit rujukan, serta RSUP Sanglah Denpasar merupakan rumah sakit rujukan tersier.

Laki-laki lebih sering menderita dermatofitosis pada penelitian ini, yaitu sebanyak 59% kasus. Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu yang menyimpulkan kasus dermatofitosis lebih sering terjadi pada laki-laki lebih dibandingkan dengan perempuan.10 Jumlah kasus dermatofitosis pada penelitian ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dengan kasus terbanyak (49,24%) terjadi pada rentang umur 45-64 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang mendapatkan angka kejadian dermatofitosis meningkat seiring bertambahnya usia, dengan puncak terjadi pada kelompok usia dewasa tua.11,14,15

Kasus baru dermatofitosis terbanyak di Divisi Mikologi Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar sepanjang tahun 2017 dan 2018 adalah tinea unguium sebanyak 45,3%, diikuti tinea kruris sebanyak 25,7%. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, yang mengumpulkan data dari 10 Rumah Sakit Pendidikan di Indonesia yang mendapatkan prevalensi tinea unguium sebesar 5%.9,10 Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan geografis maupun karakteristik subjek penelitian, baik demografi maupun perilaku. Disamping itu faktor predisposisi lainnya seperti genetik, iklim panas, lembab, higienitas dan sanitasi yang buruk, berjalan tanpa menggunakan alas kaki, imunodefisiensi, diabetes melitus.3,4,9

Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes merupakan spesies dermatofita terbanyak yang terisolir pada pemeriksaan kultur kasus dermatofitosis di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2017 dan 2018, yaitu masing-masing sebesar 34,8% dan 20,2% dari semua kasus. Hasil ini selaras dengan hasil penelitian sebelumnya, yang mendapatkan T.rubrum dan T.mentagrophytes sebagai spesies dominan penyebab dermatofitosis, yaitu sebesar 46.87% dan 36.46%.4 Hasil kultur tersebut juga sesuai dengan gambaran kasus dermatofitosis terbanyak pada penelitian ini, yaitu Tinea unguium yang 80-90% kasus tersebut di Indonesia memang diakibatkan oleh T.rubrum dan T.mentagrophytes.4

Aspergilus merupakan jamur non dermatofita yang mulai sering didapatkan sebagai penyebab tinea capitis, tinea pedis dan tinea unguium terutama pada pasien dengan imunodefisiensi. Peranan Aspergilus sebagai penyebab dermatofitosis atau hanya sebagai kontaminan masih menjadi perdebatan hingga saat ini, sehingga investigasi lanjutan diperlukan untuk mengkonfirmasi.16 Upaya untuk mengontrol kontaminan dalam pemeriksaan kultur dapat dilakukan dengan: pengambilan sampel dengan teknik aseptik yang baik, penggunaan alat yang steril, melakukan pemetaan pola kuman secara berkala dan pembersihan pada lingkungan tempat pengambilan sampel. 17

Microsporum canis merupakan jamur pathogen aseksual dari filum acomycota yang merupakan salah satu dermatofita tersering penyebab tinea capitis dan tinea corporis.18 Trichopyton tonsuran merupakan jamur

Arthrodermataceae yang sering ditemukan pada tinea capitis, dan pada beberapa kasus dapat juga ditemukan pada tinea corporis dan tinea pedis.19 Penicilium dapat ditemukan pada tinea capitis, namun organisme ini jarang berperan sebagai pathogen dan pada hasil kultur sering diduga sebagai kontaminan.20 Sedangkan Mucor sp dan Rhizopus sp dikategorikan sebagai mikosis yang opportunistic penyebab mucormycosis. Epidermophyton floccosum merupakan dermatofita antrophophilic yang menyebabkan tinea pedis, tinea cruris dan tinea corporis. 21 M gypsum merupakan dermatofita keratinophilic yang sering menyebabkan tinea capitis, tinea corporis , dan pada beberapa kasus ditemukan pada tinea pedis dan tinea unguium. 21

Simpulan

Penelitian retrospektif kasus dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar tahun 2017 dan 2018 mendapatkan kejadian dermatofitosis yang cenderung menurun dengan jenis terbanyak ialah tinea unguium dan spesies paling dominan yang terisolasi pada kultur adalah T.rubrum dan T.mentagrophytes. Dermatofitosis lebih banyak ditemukan pada kelompok umur 45-64 tahun dan jenis kelamin laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Dabas Y, Xess I, Singh G, Pandey M, Meena S. Molecular Identification And Antifungal Susceptibility Patterns Of Clinical Dermatophytes Following Clsi And Eucast Guidelines. Journal Of Fungi. 2017;3:17.

  • 2.    Sahoo Ak, Mahajan R. Management Of Tinea Corporis, Tinea Cruris And Tinea Pedis:  A

Comprehensive Review. Indian Dermatology Online Journal. 2016;7(2):77.

  • 3.    García-Romero Mt, Arenas R. New Insights Into Genes Immunity And The Occurrence Of Dermatophytosis. Journal      Of     Investigative     Dermatology.

2015;135(3):655-657.

  • 4.    Schieke Sm, Gargt Amit. Superficial Fungal Infection. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th Ed. Usa: Mcgraw-Hill. 2012. P.2292-3.

  • 5.    Kenneth, Aa, Leboit,Pe, Wintroub,Bu. Onychomycosis: Diagnosis, Treatment, And Prevention Strategies. Seminars In Cutaneous Medicine And Surgery 2016;35(3s):47-62.

  • 6.    Zane Lt, Chanda S, Coronado D, Rosso Jd. Antifungal Agents For Onychomycosis: New Treatment Strategies To Improve Safety. Dermatology Online Journal.

2016;22(3):1. 9

  • 7.    Lipner Sr,  Scher  Rk. Prognostic Factors In

Onychomycosis Treatment. J.Infect Dis Ther. 2015;3:1.

  • 8.    Tabara K, Szewcyzk Ae, Bienias W, Wojclechowska A, Pastuszka M, Oszukowska M, Et Al. Amorolfine Vs. Ciclopirox-Lacquer For The Treatment Of Onychomycosis.     Postepy     Derm     Alergol.

2015;32(1):40-45.

  • 9.    Ika, Candra D, Fadilly A. Prevalensi, Agen Penyebab, Dan Analisis Faktor Risiko Infeksi Tinea Unguium Pada Peternak Babi Di Kecamatan Tanah Siang, Provinsi Kalimantan Tengah. Jurnal Epidemiologi Dan Penyakit Bersumber Binatang. Vol. 5, No. 3. 2015. 155 – 161.

  • 10.    Karyadini, Hw, Rahayu, Masfiyah. Profil Mikroorganisme Penyebab Dermatofitosis Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.2016. Media Farmasi Indonesia Vol 13 No 2.1393-1400.

  • 11.    Viter, Herry E.J, Grace, Mk. Profil Dermatofitosis Di Poliklinik Kulit Dan Kelamin Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari - Desember 2012. 2015. Jurnal E-Clinic (Ecl), Volume 3, Nomor 2.731-4.

  • 12.    Marie, H. P. & Rosalie, S. 2015. Dermatophytosis, Trend In Epidemiology And Diagnostic Aprroach. Curr Fungal Infect Rep 9:164–179.

  • 13.    Gupta, S., Agrawal, P. & Rajawat, R. 2014. Prevalence Of Dermatophytic Infection And Determining Sensitivity Of Diagnostic Procedures. International Journal Pharmacy And Pharmaceutical Sciences 3.

  • 14.    Doddamani, Harshan & Kanta 2012. Isolation, Identification And Prevelance Of Dermatophytes In Tertairy Care Hospital In Gulbarga District. People’s Journal Of Scientific Research, Vol 1keisham C, Sarkar R, Khurana N, Ghosh N, Garg Vk, Manoj Rk. Black Dot Tinea Capitis Caused By Trichophyton Rubrum In An Adult Female Presenting With Cicatricial Alopecia. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2015; 81: 224-32.

  • 15.    Hayette Mp, Sacheli R. Dermatophytosis Trends In Epidemiology And Diagnostic Approach. Current Fungal Infection Reports. 2015;9(3):164-179.

  • 16.    Bitew A. Dermatophytosis:    Prevalence of

Dermatophytes and Non-Dermatophyte Fungi from Patients Attending Arsho Advanced Medical Laboratory, Addis Ababa, Ethiopia. Dermatology Research and Practice.2018:1-6

  • 17.    Ryan J. Understanding and Managing Cell Culture Contamination. Corning Incorporated Life Sciences Acton.2018: 1-19

  • 18.    Kokollari F, Aferdita D, Blytan Y, Ismajli F, Lulaj KH. Tinea Corporis, Caused by Microsporum Canis – A Case Report From Kosovo. Med Arch. 2015;69(5): 345-346

  • 19.    Rouzaud C, Hay R,Chosidow O, Dupin N, Puel A, Lortholary O, Lanternier F. Severe Dermatophytosis and Acquired or Innate Immunodeficiency: A Review. J Fungi. 2016;2(1)

  • 20.    Nweze E, Eke E. Dermatophytes and Dermatophytosis in the Eastern and Southern Parts of Africa. Medical Mycology.2018;56(1): 13-28

  • 21.    Elmegeed AS, Ouf SA, Moussa TA, Elthlawi SMR. Dermatophytes and other associated fungi in patients attending to some hospitals in Egypt. Braz J Microbiol.2015;46(3):799-805

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2022.V11.i06.P18

101