ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 10 NO.12,DESEMBER, 2021


Diterima: 2020-12-15 Revisi: 2021-12-22 Accepted: 31-12-2021

ANALISIS GAMBARAN RADIOLOGIS PADA PASIEN HIV/AIDS DENGAN

TOKSOPLASMOSIS SEREBRI PASCA PEMBERIAN TERAPI EMPIRIS DI RSUP SANGLAH
BALI

Vanessa Juventia Hadiwijono1, Elysanti Dwi Martadiani2, Srie Laksminingsih2, Firman Parulian Sitanggang2

Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

  • 1.    Program Studi Sarjana Kedokteran dan Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

  • 2.    Departemen Radiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Penulis korespondensi: Elysanti Dwi Martadiani

Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana e-mail: elysantidm@unud.ac.id

ABSTRAK

Bali termasuk tiga provinsi dengan rata-rata kasus AIDS tertinggi. Pasien AIDS tidak bisa lepas dari infeksi oportunistik di bagian saraf salah satunya toksoplasmosis serebri. Terapi utama dari toksoplasmosis serebri adalah pirimetamin dan sulfadoxin. Tingginya tingkat kecacatan neurologis dan kematian pada pasien membuat peneliti ingin melihat melihat karakteristik lesi sebelum pemberian terapi dan hubungan pemberian terapi pirimetamin dan sulfadoxin terhadap luas lesi melalui gambaran radiologis di RSUP Sanglah. Metode penelitian ini adalah studi analitik- observasional dengan menggunakan data sekunder Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui karakteristik gambaran radiologis CT-Scan dan analisis multivariat Paired Sample T-Test digunakan untuk mengetahui hubungan antara pemberian terapi dengan hasil pemeriksaan CT-Scan serebri berdasarkan luas lesi. Gambaran radiologis lesi sebelum pemberian terapi menunjukkan lokasi lesi berada di thalamus (30%), parietal (20%), temporoparietal (20%), thalamus kanan dan parietal kanan (10%), basal ganglia (10%), dan frontal (10%). Jenis lesi yakni lesi multipel (70%) dan lesi tunggal (30%). Gambaran penyerta yang ada yakni edema (80%), midline shift (70%), dan hidrosefalus (10%). Hasil uji beda luas lesi terhadap pemberian pirimethamin dan sulfadoxin menunjukkan nilai p=0,073 dimana p > 0,05 dan nilai t hitung (t hitung=2,030) < nilai t tabel (t tabel=2,262). Tren lesi berada di thalamus, berjenis multipel, dan disertai edema. Tidak terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan antara luas lesi dengan pemberian pirimethamin dan sulfadoxin di RSUP Sanglah Denpasar.

Kata kunci : Toksoplasmosis serebri, Gambaran radiologi, Luas lesi, Karakteristik lesi Pirimetamin, Sulfadoxin

ABSTRACT

Bali is the top three provinces with the highest case of AIDS in Indonesia. Patients with AIDS are related with opportunistic infections especially toxoplasmosis cerebri. Main treatment of toxoplasmosis cerebri is pirimethamin and sulfadoxin. High rate of neurologic deficit and mortality have made researcher wants to search more the efficacy of pirimethamin and sulfadoxin through radiological imaging. This research is finding the radiological imaging of patient with toxoplasmosis cerebri and HIV before the treatment and the relation of the radiological imaging after the treatment in Sanglah General Hospital Denpasar. Method of this research is analytic observational study with using secondary data. Descriptive analytic is used to understand the characteristic of radiological imaging and multivariate analytic such as paired sample T-Test is used to understand the relation of the given therapy based on the lesion’s area in CT-Scan. Characteristics of the lesion are located at thalamus (30%), parietal (20%), temporoparietal (20%), right thalamus and right parietal (10%), basal ganglia (10%), and frontal (10%); types of lesion are multiple (70%) and single (30%); imaging companions are oedema (80%), midline shift (70%), and hydrocephalus (10%). Mean difference of lesion area after the treatment pirimethamin and sulfadoxin shows p value of 0.073 which is greater than 0.005 and t value is 2.030 greater that its t table which is 2.262. Trend of the lesion is in thalamus, multiple, and companied with oedema. There is no significant difference between the lesion areas with the therapy of pirimethamin dan sulfadoxin in Sanglah General Hospital Denpasar.

Keywords : Toxoplasmosis cerebri, Radiological Imaging, Lesion Area, Pirimethamin, Sulfadoxin

PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV menyebabkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) dimana sistem kekebalan tubuh manusia menjadi lemah. https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2021.V10.i12.P18

Pengidap HIV seringkali terserang infeksi oportunistik akibat sistem kekebalan tubuh yang lemah.1

UNAIDS melaporkan bahwa terdapat 36,7 juta penduduk dunia hidup dengan HIV/AIDS. Hingga tahun 2016, satu juta penduduk dunia telah meninggal akibat penyakit yang 105

ANALISIS GAMBARAN RADIOLOGIS PADA PASIEN HIV/AIDS DENGAN TOKSOPLASMOSIS SEREBRI.,, Vanessa Juventia Hadiwijono1, Elysanti Dwi Martadiani2, Srie Laksminingsih2, Firman Parulian Sitanggang2

berhubungan dengan HIV.2 Asia Tenggara juga menduduki posisi kedua setelah Afrika dengan kasus HIV terbanyak yakni sebesar 2.500.000 hingga 8.500.000 jiwa.3 Sejak pertama kali ditemukan kasus HIV di RSUP Sanglah pada tahun 1983, kasus HIV di Indonesia terus bermunculan. Angka kejadian dari HIV khususnya di Balipun cukup tinggi yakni sejumlah 9.637 kasus infeksi HIV terjadi di Bali dari tahun 1987 hingga 2014. Bali termasuk tiga provinsi dengan rata-rata kasus AIDS tertinggi.4

Beberapa infeksi oportunistik dapat menggunakan pemeriksaan radiologis sebagai pemeriksaan penunjang serta melihat respon terapi salah satunya adalah toksoplasmosis serebri. Toksoplasmosis serebri adalah infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii. Infeksi ini sering muncul pada pasien HIV tahap 4 dengan CD4 kurang dari 200 sel/ μl.5 Gambaran radiologis berperan sangat penting untuk membantu dokter dalam menegakkan diagnosis dan melihat respon terapi. Toksoplasmosis serebri merupakan salah satu penyakit yang cukup sering menginfeksi pasien HIV di bagian saraf. Gambaran khas dari neurotoksoplasmosis adalah berupa target eksentrik (eccentric target sign). Target eksentrik dideskripsikan sebagai bulatan-bulatan lesi hipodens yang berbentuk cincin, bilateral, dan multipel. Lesi ini memiliki tiga zona yakni daerah paling dalam yang lebih gelap (lebih eksentrik daripada sentral) yang dikelilingi oleh daerah hipointens dengan pinggiran hiperintens.6 Pada tahun 2018, penelitian lain menemukan yang dilakukan di Sanglah ditemukan bahwa 43 kasus pasien toksoplasmosis serebri dengan HIV di RSUP Sanglah.

Tahap pengobatan secara empiris dilakukan setelah gambaran radiologis kepala dari pasien menujukkan adanya multipel lesi berbentuk cincin dan dilanjutkkan dengan tahap perawatan. Terapi pengobatan secara empiris dilakukan dengan pemberian sulphadiazine 1000-1500 mg (berat badan lebih dari sama dengan 60kg) secara oral 4 x sehari, pyrimethamine 200mg secara oral pada awalnya. Namun, sulphadiazine sendiri tidak tersedia di Indonesia dan digantikan dengan sulfadoxine.7 Berdasarkan hal tersebutlah, peneliti ingin mengetahui respon terapi melalui luas lesi pada pasien toksoplasmosis serebri dengan HIV dari gambaran radiologis di RSUP Sanglah serta karakteristik lesi tersebut.

BAHAN DAN METODE

Dalam penelitian ini metode yang dipergunakan adalah studi analitik- observasional dengan menggunakan data sekunder pada bulan Maret 2020 di RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini sudah mendapatkan surat Kelaikan Etik Nomor: 12/UN14.2.2.VII.14/LP/2020 tertanggal 2 Januari 2020 dan surat izin untuk melakukan penelitian di RSUP Sanglah dengan Nomor: LB.02.01/XIV.2.2.1/4222/2020 tertanggal 3 Januari 2020.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa rekam medis pasien toksoplasmosis serebri dengan HIV baik rawat jalan maupun rawat inap di RSUP Sanglah Denpasar dari Januari 2017-Desember 2019 dan sudah menjalankan CT-Scan serebri sebelum dan sesudah pemberian terapi pirimetamin dan sulfadoxin. Pasien dengan penyakit lain yang merupakan diagnosis banding yaitu limfoma sistem saraf pusat, tuberkuloma sistem saraf pusat, kriptokokus system saraf pusat, abses bakteri, https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2021.V10.i12.P18

neurosifilis, neurosistiserkosis, stroke kardioemboli, serta keganasan dan bermestatasis pada serebri, dan ibu hamil akan dieksklusikan. Besar sampel ditentukan dengan menggunakan teknik total sampling dari seluruh peserta yang memenuhi kriteria inklusi di luar kriteria eksklusi. Hal ini disebabkan karena jumlah pasien yang memnuhi kriteria inklusi cukup sedikit.

Beberapa variabel dari hasil pemeriksaan CT-Scan serebri akan digunakan untuk penelitian ini. Dalam mencari hubungan pemberian terapi, peneliti akan membandingkan luas lesi. Namun, untuk karakteristik lesi sebelum pemberian terapi akan terbagi menjadi jumlah lesi yang terdiri dari lesi tunggal dan lesi multipel, gambaran penyerta lesi yang terdiri dari edema serebri, midline shift, dan hidrosefalus.

Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer memakai program Statistical Package for the Social Science versi 20. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui karakteristik umum subjek berupa proporsi jenis kelamin, umur, jumlah CD4, serta gambaran variabel penelitian, yaitu gambaran radiologis CT-Scan. Analisis multivariat Paired T-Test digunakan untuk mengetahui hubungan antara pemberian terapi empiris antitoksoplasma dengan hasil pemeriksaan CT-Scan serebri berdasarkan ukuran lesi dan mengetahui nilai korelasi nilai dari ukuran lesi dengan nilai p siginifikan adalah kurang dari 0,005.

HASIL

Hasil penelitian terdiri atas karakteristik lesi serta pengaruh pemberian terapi terhadap luas lesi. Total sampel yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah 10 sampel dari 35 sampel.

Domain karakteristik lesi pada Tabel 1 terdiri atas lokasi, jumlah, dan gambar penyerta lesi. Lokasi terbanyak berada di thalamus (30%) kemudian parietal (20%), temporoparietal (20%), thalamus kanan dan parietal kanan (10%), basal ganglia (10%), dan frontal (10%). Lesi multipel (70%) 40% lebih banyak terjadi dibandingkan lesi tunggal (30%). Gambaran penyerta edema terjadi pada 80% dari sampel, midline shift pada 70% dari sampel, dan hidrosefalus hanya pada 10% dari sampel. Edema adalah gambaran penyerta terbanyak pada sampel.

Tabel 1. Hasil distribusi responden

frekuensi karakteristik lesi

Karakteristik   Frekuensi

Persentase(%)

Lokasi lesi

1

10,0

Frontal

1

10,0

Parietal

2

20,0

Temporoparietal

2

20,0

Thalamus Thalamus

3

30,0

Kanan     dan

Parietal Kanan

1

10,0

Jumlah lesi

Lesi Tunggal

3

30,0

Lesi Multipel

7

70,0

Gambar Penyerta Edema

Ya

8

80,0

Tidak

2

20,0

Gambar Penyerta Midline Shift

Ya

7

70,0

Tidak

3

30,0

Gambar Penyerta Hidrosefalus

Ya

1

10,0

Tidak

9

90,0

Sumber: Data sekunder 2017-2019

Luas lesi sebelum dan sesudah pemberian pirimethamine dan sulfadoxin diuji menggunakan paired sample T-test dikarenakan dari hasil uji normalitas pada Tabel 2 didapatkan bahwa data sebelum (p=0,000052) dan sesudah (p=0,017980) terdistribusi normal (p < 0,05). Berdasarkan data yang terkumpul dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan rerata dari luas lesi sebelum dan sesudah pemberian pirimethamine dan sulfadoxin. Hal ini bisa dilihat dari rata rata hasil sebelum (847,7106) lebih besar dibandingkan dengan hasil sesudah (58,3698), Namun, data yang ditabulasi pada Tabel 3 secara statistik tidak signifikan apabila diinterpretasikan dengan pasien lain di luar dari RSUP Sanglah Bali. Hal ini didukung dari nilai p=0,073 dimana p > 0,05 dan nilai t hitung (t hitung=2,030) kurang dari nilai t tabel (t tabel=2,262). Maka dari itu, H0 diterima dan Ha ditolak yakni tidak terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan antara luas lesi sebelum dan sesudah pemberian pirimethamin dan sulfadoxin di RSUP Sanglah.

Tabel 2. Hasil uji normalitas data luas lesi

Variabel

Nilai α

Signifikansi

Hasil

Luas Lesi Sebelum Terapi

0,05

0,000052

Normal

Luas Lesi Sesudah Terapi

0,05

0,017980

Normal

Tabel 3. Hasil uji beda luas lesi sebelum dan sesudah pemberian pirimethamin dan sulfadoxin dengan paired sample t-test.

Rerata±SB Luas Lesi (mm)

Sig.

(2tailed)

Sebelum

Sesudah

847,71±1217,62

58,37±73,03  2,030

0,073

PEMBAHASAN

Melihat hasil distribusi frekuensi, dapat kita lihat bahwa tren lesi berada di thalamus dengan berjenis multipel dan disertai dengan edema. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana lokasi lesi berada di daerah kortikal, thalamus, dan basal ganglia.6 Mengetahui tren gambaran lesi ini dapat membantu radiolog untuk menegakkan diagnosis karena sering kali gambaran tidak berciri khas. Selain itu, pasien sering kali terlambat dideteksi dan diberikan penanganan yang kurang tepat. Distribusi lokasi lesi membantu dokter menegakkan diagnosis dengan melihat dampak neurologis yang muncul sehingga mengurangi kecacatan neurologis dan kematian pasien.8

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata yang signifikan antara luas lesi sebelum dan sesudah pemberian pirimetamin dan sulfadoxin secara statistik di RSUP Sanglah. Akan tetapi, apabila dilihat secara kuantitatif terdapat perbedaan dari luas lesi pasca pemberian terapi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan luas lesi namun tidak cukup signifikan untuk diterapkan di masyarakat luas. Perbedaan rata-rata dipengaruhi oleh jumlah populasi serta jumlah nilai data yang berkaitan dengan hambatan penelitian ini.9

Sejauh ini belum ada penelitian terbaru yang memang membahas secara khusus korelasi luas lesi sebelum dan sesudah pemberian pirimethamin dan sulfadoxin. Penelitian terakhir yang membahas mengenai hasil radiologi pasca pemberian terapi pirimetamin dan sulfadoxin dilakukan pada tahun 1993 dan menunjukkan bahwa 70-90% dari pasien yang diberikan terapi menunjukkan perbaikan secara radiologis. Terdapat penelitian lain yang mengomparasi hasil radiologis pasca pemberian pirimethamin dan sulfadoxin dengan pemberian pirimethamin dan clindamycin. Penelitian menunjukkan hasil radiologis relatif sama menyerupai antara kedua terapi tersebut (Risk Ratio=0,92). Namun, salah satu kendala dari penelitian ini jumlah sampel yang sedikit sehingga bisa saja menurunkan signifikansi dari penelitian.10

Hambatan dari penelitian ini adalah jumlah sampel dari penelitian ini yang sangat sedikit. Dari 35 sampel yang dianalisis hanya 10 sampel yang memenuhi kriteria. Hal ini disebabkan karena banyak dari pasien tidak memiliki data gambaran radiologi setelah pemberian pengobatan. Dokter hanya cenderung menilai perbaikan dari gejala pasien tanpa melakukan pengambilan gambaran radiologi kembali yang cenderung lebih mahal. Maka dari itu, jumlah sampel tidak dapat merepresentasikan secara luas di masyarakat.

Vanessa Juventia Hadiwijono1, Elysanti Dwi Martadiani2, Srie Laksminingsih2, Firman Parulian Sitanggang2

Selain itu, jumlah nilai data memiliki jangkauan yang sangat luas akibat adanya satu data luas lesi yang bernilai ekstrim. Luas lesi sulit untuk ditentukan karena berbatasan tidak tegas dengan edema yang mengakibatkan adanya data outlier pada luas lesi sebelum pemberian terapi pada Gambar 1. Data outlier membuat analisis bias karena tidak mencerminkan data sebenarnya. Peneliti tidak dapat mengecualikan data outlier mengingat jumlah sampel yang sedikit.

Gambar 1. Hasil boxplot dari data luas lesi. sebelum pemberian terapi. Gambar ini menunjukkan adanya data outlier yang ditandai oleh simbol bintang.

SIMPULAN

Melalui penelitian ini kita mendapatkan gambaran radiologis lesi sebelum pemberian regimen terapi pirimetamin dan sulfadoxin serta hubungan pemberian terapi pirimethamin dan sulfadoxin terhadap luas lesi di RSUP Sanglah. Gambaran radiologis lesi terbanyak sebelum pemberian terapi menunjukkan lokasi lesi berada di thalamus (30%), berjenis lesi multipel (70%) dengan gambaran penyerta edema (80%). Penelitian ini juga mendapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan antara luas lesi sebelum dan sesudah pemberian pirimethamin dan sulfadoxin di RSUP Sanglah (p=0,073 ; p>0,05).

Peneliti mendapatkan bahwa sering kali pasien dengan toksoplasmosis serebri datang dalam kondisi yang buruk, hal ini disebabkan karena terlambatnya deteksi awal dan pemberian penanganan yang tepat. Distribusi lokasi lesi dapat membantu dokter untuk menegakkan diagnosis dengan melihat dampak neurologis apa yang muncul apabila lesi berada di thalamus. Deteksi awal yang cepat membantu untuk mengurangi kecacatan neurologis dan kematian pasien. Selain itu, penelitian ini membuka peluang baru bagi peneliti lain yang ingin menguji efikasi radiologi dari pemberian terapi pirimetamin dan sulfadoxin di skala yang lebih besar. Pirimetamin dan sulfadoxin merupkaan regimen utama dalam penanganan toksoplasmosis serebri. Peninjauan ulang terhadap regimen ini perlu dilakukan

mengingat penelitian terakhir dilakukan pada tahun 1993 agar pasien dapat mendapatkan penanganan yang tepat.

SARAN

Saran untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan dalam skala yang lebih besar di beberapa lokasi agar sampel yang didapatkan akan lebih banyak. Selain itu, penelitian selanjutnya bisa dilakukan prospektif agar dipastikan bahwa data gambaran radiologis setelah pemberian terapi bisa didapatkan. Keterlibatan hubungan immunoglobulin G (Ig G) toksoplasmosis dengan luas lesi juga bisa dipertimbangkan untuk penelitian selanjutnya sebagai bentuk kebaruan penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    German Advisory Committee Blood (Arbeitskreis Blut). Human Immunodeficiency Virus (HIV). Transfusion    Medicine     and    Hemotherapy.

2016;43(3):203–222. http://doi.org/10.1159/000445852

  • 2.    Global HIV & AIDS Statistics-2020 fact sheet [internet]. Unaids.org. 2017 [Diakses pada: 17 April 2018].                Tersedia                pada:

http://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/U NAIDS_FactSheet_en.pdf

  • 3.    World Health Organization. Number of People (All Ages) Living with HIV Estimates by WHO Region. Global Health Observatory Data Repository. 2017. Tersedia                                       pada:

http://apps.who.int/gho/data/view.main.22100WHO?

  • 4.    Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi dan analisis HIV AIDS. Info datin. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

2014.                   Tersedia                   di:

http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/i nfodatin/Infodatin%20AIDS.pdf

  • 5.    Barkovich AJ, Miller SP, Bartha A, Newton N,

Hamrick SE, Mukherjee P, Glenn OA, Xu D, Partridge JC, Ferriero DM, Vigneron DB. MR imaging, MR spectroscopy, and diffusion tensor imaging of sequential studies in neonates with encephalopathy.

AJNR Am J Neuroradiol. 2006 Mar;27(3):533-47.

PMID: 16551990.

  • 6.    Kumar, G., Mahadevan, A., Guruprasad, A. S., Kovoor, J. M., Satishchandra, P., Nath, A., Shankar, S. K. Eccentric target sign in cerebral toxoplasmosis: Neuropathological correlate to the imaging feature. Journal of magnetic resonance imaging. 2010;31(6):1469–1472. doi:10.1002/jmri.22192.

  • 7.    Basavaraju, A. (2016). Toxoplasmosis in HIV infection:   An overview. Tropical   parasitology.

2016;6(2): 129-135. doi:10.4103/2229-5070.190817

  • 8.    Ramachandran, R., Radhan, P., Anand, R., Subramanian, I., Santosham, R., & Sai, V. CNS toxoplasmosis in an immunocompetent individual. Radiology case reports.   2015:   9(1),   e00031.

ANALISIS GAMBARAN RADIOLOGIS PADA PASIEN HIV/AIDS DENGAN TOKSOPLASMOSIS SEREBRI.,,

doi:10.2484/rcr.v9i1.908

  • 9.    Marshall C, Rossman G. Designing qualitative research. 6th ed. United States of America: SAGE Publicayions;2015: 217-230.

  • 10.    Hernandez, A., Thota, P., Pellegrino, D., Pasupuleti, V., Benites-Zapata, V., Deshpande, A., Penalva de Oliveira, A. and Vidal, J. A systematic review and meta-analysis of the relative efficacy and safety of treatment regimens for HIV-associated cerebral toxoplasmosis: is trimethoprim-sulfamethoxazole a real option?. HIV Medicine. 2016;18(2):115-124.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2021.V10.i12.P18

109