JMU              ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 12 NO.4,APRIL, 2023


Jurnal medika udayana        j          I—∖∕^⅛ A I DIRECTORY OF

∕                  ∕ ∖ OPEN ACCESS

∕        I_√O∕-VJ JOURNALS

Diterima: 2023-01-15 Revisi: 2023-02-30 Accepted: 25-04-2023

UJI HAYATI LARVA NYAMUK Aedes aegypti TERHADAP LARVASIDA TEMEPHOS 1% (ABATE 1 SG) DENGAN BERBAGAI KONSENTRASI DI KELURAHAN SESETAN DENPASAR SELATAN

Irene Amelia1, I Made Sudarmaja2, Ni Luh Ariwati2

1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali 2Departemen/Bagian Ilmu Parasitologi Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

Email: [email protected]

ABSTRAK

Larvasida temephos 1% (Abate 1 SG) merupakan jenis larvasida yang sudah lama digunakan untuk mengontrol nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit dengue. Penggunaan dalam waktu yang lama dan dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan terjadinya resistensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas dari berbagai konsentrasi temephos 1% (Abate 1 SG) dan mengetahui status resistensi larva Aedes aegypti terhadap temephos 1% (Abate 1 SG) di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan. Penelitian ini berupa penelitian eksperimental murni dengan uji hanya setelah mendapatkan perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Larva Aedes aegypti instar III akhir/IV awal hasil rearing dari larva yang didapatkan di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan diuji dengan konsentrasi temephos 0,003 mg/l; 0,006 mg/l; 0,012 mg/l; 0,024 mg/l; dan 0,05 mg/l. Jumlah kematian larva dihitung setelah 24 jam dan dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali. Analisis data dilakukan dengan uji Kruskal Wallis dan Mann Whitney dan didapatkan nilai p<0,05 pada Kruskal Wallis yang berarti terdapat perbedaan rerata kematian larva Aedes aegypti terhadap variasi konsentrasi temephos. Menurut uji dengan dosis diagnosis WHO (0,012 mg/l), larva Aedes aegypti di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan masih sensitif terhadap temephos dengan kematian 100%. Lethal Concentration (LC) 50 dan 99 didapatkan pada konsentrasi 0,003 mg/l dan 0,011 mg/l. Dapat disimpulkan bahwa larva Aedes aegypti di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan tidak resisten dengan temephos 1% (Abate 1 SG), sehingga larvasida tersebut masih efektif untuk digunakan.

Kata kunci : Temephos, Larva Aedes aegypti, resistensi

ABSTRACT

Temephos 1% (Abate 1 SG) larvicide has long been used to control Aedes aegypti mosquito as dengue vectors. The use of larvicide for a long time and in excessive amounts can cause resistance. The aims of this research are to determine the effectiveness of various concentrations of temephos 1% (Abate 1 SG) and to determine the resistance status of Aedes aegypti larvae in Sesetan Village South Denpasar. This study was experimental post test only with control group design. Aedes aegypti larvae instar III / IV rearing results from larvae obtained in Sesetan Village South Denpasar were tested with temephos concentrations of 0.003 mg/l; 0.006 mg/l; 0.012 mg/l; 0.024 mg/l; and 0.05 mg/l. The number of deaths was counted after 24 hours and was repeated 5 times. Data analysis was performed using the Kruskal Wallis and Mann Whitney tests and obtained p value < 0.05 for Kruskal Wallis, which means that there is a difference in mortality of Aedes aegypti larvae. According to WHO’s diagnosis dose (0.012 mg/l), Aedes aegypti larvae in Sesetan Village South Denpasar is still sensitive to temephos with 100% mortality. Lethal Concentration (LC) 50 and 99 is 0.003 mg/l and 0.011 mg/l. It can be concluded that Aedes aegypti larvae in Sesetan Village South Denpasar are not resistant to temephos 1% (Abate 1 SG) larvicide, so that the larvicide is still effective for use.

Keywords : Temephos, Aedes segypti larvae, resistance

PENDAHULUAN

Dengue adalah salah satu penyakit infeksi yang

disebabkan oleh virus RNA famili Flaviviridae dan

penyebarannya dilakukan oleh nyamuk Aedes sp., salah satunya nyamuk Aedes aegypti.12 Gejala yang biasa terjadi meliputi demam ringan, nyeri otot dan sendi, timbulnya ruam merah pada kulit serta sakit kepala. Di seluruh dunia terjadi

390 juta kasus dengue per tahun, dengan tingkat kematian mencapai 2,5%.13

Dengue adalah infeksi virus yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, transmisi dengue telah meningkat dan menjadi perhatian utama masyarakat internasional.14 Permasalahan penyakit akibat virus dengue telah menjadi permasalahan kesehatan serius bagi masyarakat Indonesia selama 47 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 hingga 2015 terjadi peningkatan penyebaran virus dengue yang cukup signifikan dimulai dari dua provinsi dan dua kota pada tahun 1968 hingga 34 provinsi dan 436 kota pada tahun 2015. Jumlah kasus yang terjadi juga melonjak tinggi, dimulai dari 58 kasus di tahun 1968 hingga 126.675 kasus terjadi di tahun 2015.6

Sampai saat ini, belum ada obat yang efektif untuk membunuh virus dengue, vaksin untuk pencegahan juga masih dalam taraf uji coba, sehingga pencegahan utama yang digunakan saat ini adalah pengendalian terhadap vektornya (nyamuk Aedes aegypti). Usaha preventif yang dilakukan masyarakat pada umumnya adalah dengan pemberantasan secara kimiawi, salah satunya menggunakan larvasida. Larvasida yang biasa digunakan masyarakat adalah Temephos atau dengan nama dagang Abate 1 SG. Pemberian larvasida ini dilakukan dengan tujuan untuk membunuh larva sehingga tidak berkembang menjadi nyamuk dewasa sebagai vektor virus dengue. Temephos sudah digunakan di Indonesia sejak tahun 1976 dan pada tahun 1980 ditetapkan menjadi bagian dari program pemberantasan nyamuk Aedes aegypti, yaitu program abatisasi nasional. Program ini dilakukan dengan membagikan Abate 1 SG kepada masyarakat.10

Penggunaan larvasida ini harus dilakukan dengan hati-hati karena larva mempunyai kemampuan untuk resisten terhadap larvasida. Penggunaan dalam waktu yang lama dan dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan terjadinya resistensi. Apabila terjadi resistensi, maka pengendalian penyakit dengue akan lebih sulit dilakukan. Oleh karena itu, perlu selalu dilakukan monitoring resistensi larva, mengingat di Indonesia temephos sudah digunakan selama kurang lebih 40 tahun. Di Indonesia sudah terjadi beberapa kasus resistensi larva Aedes aegypti terhadap temephos, seperti terjadi di Palembang dan beberapa wilayah Bandung, juga di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogjakarta.16

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat sebuah penelitian di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan. Wilayah Denpasar Selatan dipilih karena menurut data dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar tahun 2018, kejadian demam berdarah dengue di Denpasar Selatan menduduki prevalensi tertinggi kedua setelah Denpasar Barat pada periode Januari sampai Desember 2018, yaitu sejumlah 34 kasus. Di wilayah Denpasar Selatan sendiri terdapat empat puskesmas, yaitu Puskesmas I, II, III, dan IV Denpasar Selatan. Puskesmas I Denpasar Selatan mencatat angka kejadian tertinggi, yaitu 27 kasus. Puskesmas I Denpasar Selatan mewilayahi Kelurahan Sesetan, Kelurahan Panjer,

dan Desa Sidakarya.1 Kelurahan Sesetan dipilih karena selalu ada kejadian dengue di kelurahan ini selama periode tahun 2014-2017.11

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini berupa penelitian experimental post test only with control group design yang dilakukan di Kelurahan Sesetan dan Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana bulan Juni hingga September 2020 dan sudah mendapat izin kelayakan etik dari Komisi Etik Penelitian (KEP) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan nomor 392/UN 14.2.2.VII.14/LP/2020. Sampel yaitu larva nyamuk Aedes aegypti hasil rearing dari larva yang didapatkan di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan yang sudah memenuhi kriteria inklusi berupa larva nyamuk Aedes aegypti instar III akhir / IV awal yang memiliki pergerakan baik dan tidak pasif, sementara kriteria eksklusi yaitu larva nyamuk Aedes aegypti yang mati sebelum diberi perlakuan.

Sampel dibagi ke dalam 2 kelompok, yakni kelompok kontrol (tidak diberi perlakuan) dan kelompok perlakuan (diberi konsentrasi temephos yang berbeda), dimana konsentrasi yang diberikan yaitu 0,003 mg/l; 0,006 mg/l; 0,012 mg/l;c0,024 mg/l; dan 0,05 mg/l dengan 5 kali pengulangan. Setiap perlakuan dan pengulangan menggunakan larva nyamuk Aedes aegypti sebanyak 20 ekor. Larva dibiarkan berkontak dengan temephos selama 24 jam.

Menurut WHO, status resistensi larva Aedes aegypti diperoleh dengan uji pada konsentrasi 0,012 mg/l dengan persentase kematian larva sebagai berikut:15

  • 1.  98-100% : Larvasida bersifat efektif membunuh

larva.

  • 2.  <98%   : Larva masih bersifat toleran dan

diperlukan tes lebih lanjut untuk memverifikasi.

  • 3.  90-97% : Perlu dilakukan konfirmasi kehadiran gen

resisten pada populasi vektor, dengan cara melakukan tes bioassay tambahan pada populasi dan insektisida yang sama atau dengan melakukan pengujian molekuler untuk mekanisme resistensi yang diketahui. Jika pada setidaknya dua tes tambahan menunjukkan angka kematian dibawah 98%, maka resistensi dikonfirmasi.

  • 4.  <90% : Larva dikatakan resisten dan konfirmasi

resitensi dengan bioassay tidak perlu dilakukan.

Data dianalisis dengan uji Kruskal Wallis dan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Juga dilakukan perhitungan terhadap LC50 dan LC99 dengan menggunakan analisis probit pada SPSS.

HASIL

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, setelah larva kontak dengan larvasida temephos selama 24 jam, didapatkan rerata jumlah kematian larva nyamuk Aedes

aegypti dari 5 kali pengulangan seperti disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 1. Rerata jumlah kematian larva Aedes aegypti

Konsentasi (mg/l)

Rerata Jumlah Kematian

Larva

Jumlah Larva

Persentase Kematian Larva

0,003

11,8

20

59%

0,006

17,8

20

89%

0,012

20

20

100%

0,024

20

20

100%

0,05 Kontrol

20

20

100%

0

20

0%

Dari data tersebut, dilakukan uji statistik yang pertama yaitu uji normalitasxdata menggunakanxuji Kolmogorov-Smirnov dengan nilai p < 0,05 yang berarti data tidak terdistribusi normal. Selanjutnya data diuji dengan ujixKruskal Wallis danxdilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.

Tabel 2. Hasil uji beda dari berbagai konsentrasi temephos terhadap kematian larva Aedes aegypti

Uji

Konsentrasi Kruskal     Uji Mann-Whitney

(mg/l)        Wallis                (p)

(p)

0,003 (A)

0,006 (B)

0,012 (C)

0,024 (D)

0,001

AB 0,009

AC 0,005

AD 0,005

AE 0,005

AF 0,005

BF 0,005

CD 1,000

CE 1,000

CF 0,003

DE 1,000

0,05 (E) Kontrol (F)

BC 0,005

BD 0,005

BE 0,005

DF 0,003

EF 0,003

Berdasarkan tabel 2, setelah dilakukan uji Kruskal Wallis didapatkan nilai p < 0,05 yang berarti terdapat perbedaan signifikan antar data di tiap kelompok. Setelah dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney, didapatkan kelompok kontrol (tidak diberi perlakuan) terhadap semua kelompok perlakuan (konsentrasi 0,003 mg/l; 0,006 mg/l; 0,012 mg/l; 0,024 mg/l; 0,05 mg/l), menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p < 0,05. Konsentrasi 0,003 mg/l terhadap konsentrasi 0,006 mg/l; 0,012 mg/l; 0,024 mg/l; 0,05 mg/l kemudian konsentrasi 0,006 mg/l terhadap konsentrasi 0,012 mg/l; 0,024 mg/l; 0,05 mg/l atau sebaliknya juga menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p < 0,05. Sementara itu, konsentrasi 0,012 mg/l terhadap konsentrasi 0,024 mg/l; 0,05 mg/l dan konsentrasi 0,024 mg/l terhadap konsentrasi 0,05 mg/l atau sebaliknya menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan dengan nilai p > 0,05.

Selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap LC50 dan LC99 menggunakan analisis probit pada SPSS dan didapatkan hasil seperti tabel berikut.

Tabel 3. Nilai LC50 dan LC99 temephos 1% (Abate 1 SG) terhadap larva nyamuk Aedes aegypti

Kematian Larva Aedes aegypti

Estimate

Batas

Bawah

Batas Atas

LC50

0,003

0,001

0,005

LC99

0,011

0,008

0,022

Dari tabel 3, hasil analisis probit dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan konsentrasi temephos yangxdapatxmembunuh 50% larva nyamukxAedes aegypti di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan yaitu 0,003 mg/l dengan batas bawah 0,001 mg/l dan batas atas 0,005 mg/l. Sementara itu, konsentrasi temephos yang dapat membunuh 99% larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan yaitu 0,011 mg/l dengan batas bawah 0,008 mg/l dan batas atas 0,022 mg/l. Grafik hasil uji probit dapat dilihat pada gambar berikut.

GRAFIK ANALISIS PROBIT

8.00

"5 6.00

f 4.00

® 2.00

2 0.00

0.000        0.005        0.010        0.015

Concentration

Gambar 1. Grafik analisis probit konsentrasi temephos terhadap kematian larva nyamuk Aedes aegypti

PEMBAHASAN

Pada konsentrasi larutan 0,003 mg/l didapatkan rata-rata kematian larva sebesar 59%, yang berarti konsentrasi ini efektif untuk membunuh 59% larva. Dari uji Mann-whitney didapatkanxnilai p < 0,05xterhadap kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang lain, yang artinya pemberian konsentrasi 0,003 mg/l menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol (tanpa perlakuan) dan konsentrasi yang lain (0,006 mg/l, 0,012 mg/l, 0,024 mg/l, 0,05 mg/l).

Pada konsentrasi larutan 0,006 mg/l didapatkan rata-rata kematian larva sebesar 89%, yang berarti konsentrasi ini efektif untuk membunuh 89% larva. Dari ujixMann-whitney didapatkanxnilai p < 0,05 terhadapxkelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang lain, yang juga berarti terdapat 45

perbedaan signifikan antara pemberian konsentrasi 0,006 mg/l dengan kelompok kontrol (tanpa perlakuan) dan konsentrasi yang lain (0,003 mg/l, 0,012 mg/l, 0,024 mg/l, 0,05 mg/l).

Pada konsentrasi larutan 0,012xmg/l, 0,024 mg/l, dan 0,05 mg/l didapatkan rata-rata kematian yang sama yaitu sebesar 100%, dan disimpulkan bahwa ketiga konsentrasi ini masing-masing efektif untuk membunuh larva nyamuk Aedes aegypti. Dari ujixMann-whitney didapatkan nilaixp < 0,05 terhadap kelompok kontrol, konsentrasi 0,003xmg/l, danx0,006 mg/l yang berarti terdapat perbedaan signifikan antara pemberian konsentrasi diantara kelompok-kelompok tersebut. Sementara diantara ketiga konsentrasi larutan tersebut (0,012xmg/l, 0,024xmg/l, 0,05xmg/l), dari uji Mann-whitney didapatkan nilai p > 0,05, yang berarti pemberian konsentrasinya tidak berbeda signifikan antar kelompok yang 1 dan yang lain. Sehingga pemberian konsentrasi 0,012 mg/l saja sudah cukup untuk mencapai kematian sebesar 100%.

Berdasarkan hasil analisis probit didapatkan nilai LC50 sebesar 0,003 mg/l (0,001-0,005 mg/l) dan nilai LC99 sebesar 0,011 mg/l (0,008-0,022 mg/l), yang berarti konsentrasi yang dapat membunuh 50% dan 99% larva yaitu 0,003 mg/l dan 0,011 mg/l. Nilai LC50 dan LC99 ini berada di bawah dosis diagnostik WHO, yaitu 0,012 mg/l. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh di Wilayah Perimeter dan Buffer Pelabuhan Tanjung Emas Kota Semarang yang menunjukkan nilai LC50 pada angka 0,038 mg/l (0,019-0,054 mg/l) dan LC99 pada angka 0,396 mg/l (0,223-1,644 mg/l).4 Nilai LC50 dan LC99 di daerah tersebut sudah melebihi dosis diagnostik WHO, sehingga temephos sudah tidak efektif untuk digunakan disana.15

Dari hasil penelitian didapatkan pada dosis diagnostik WHO (0,012 mg/l) persentase kematian larva Aedesxaegypti di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan sebesar 100% atau semua larva mati. Maka dapat dikatakan bahwa larva Aedes aegypti di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan belum mengalami resistensi terhadap temephos 1% (Abate 1 SG) sehingga temephos masih efektif untuk digunakan sebagai larvasida.15 Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kelurahan Baros, Sriwedari, dan Nangeleng Kota Sukabumi yang menunjukkan bahwa larvasida temephos 1% (Abate 1 SG) dapat membunuh larva dengan persentase 100%.3 Penelitian lain yang dilakukan di Kota Padang juga menunjukkan bahwa temephos 1% (Abate 1 SG) efektif membunuh larva Aedes aegypti dengan persentase kematian 100%.9 Penelitian di Kelurahan Mayang Mangurai Kota Jambi juga menunjukkan hasil serupa, yakni persentase kematian sebesar 100% pada larva Aedes aegypti terhadap perlakuan temephos dengan dosis diagnostik 0,012 mg/l.2 Selain itu, penelitian yang dilakukan di Kota Lhokseumawe Provinsi Banda Aceh juga menunjukkan bahwa larvasida temephos 1% (Abate 1 SG) efektif membunuh larva Aedes aegypti namun dengan persentase yang berbeda yaitu sebesar 99%.5

Resistensi merupakan kemampuan suatu vektor untuk bertahan hidup dari suatu dosis insektisida yang seharusnya dapat membunuh spesies vektor tersebut dalam keadaan normal. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap berkembangnya resistensi, yaitu faktor operasional, biologi-ekologi, dan faktor genetik. Faktor biologi-ekologi dan faktor genetik merupakan faktor yang berada di luar pengendalian program karena merupakan sifat asli serangga, dimana faktor biologi-ekologi meliputi jumlah generasi nyamuk per tahun, perilaku nyamuk, mobilitas, dan migrasi, sementara faktor genetik meliputi jumlah, frekuensi, dan dominasi dari alel resisten. Faktor operasional adalah faktor yang dapat dikendalikan, dimana meliputi jangka waktu dan dosis penggunaan insektisida, cara aplikasi dan bentuk formulasi, serta jenis dan sifat insektisida yang digunakan.4

Salah satu penyebab resistensi dalam faktor operasional adalah penggunaan insektisida yang sejenis secara berulang-ulang dan terus menerus dalam jangka waktu yang lama dan frekuensi tinggi serta penggunaan dosis yang tidak tepat, yang berarti sangat erat kaitannya dengan perilaku masyarakat dalam pengaplikasiannya. Pada larva yang sudah memiliki sifat resisten terhadap larvasida, diduga terjadi kelebihan produksi enzim esterase, dan enzim-enzim lainnya yang berfungsi untuk memetabolisme larvasida tersebut.4

Dalam penelitian ini peneliti berasumsi bahwa faktor operasional yang berkaitan dengan perilaku masyarakat dapat mempengaruhi tidak adanya resistensi larva terhadap temephos di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan. Asumsi ini diperoleh berdasarkan informasi masyarakat terkait penggunaan larvasida temephos di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan. Menurut informasi masyarakat setempat, penggunaan larvasida temephos belum terlalu intensif, pembagian temephos dalam bentuk Abate 1 SG oleh puskesmas baru dilakukan apabila ditemukan kasus demam berdarah atau karena permintaan masyarakat sendiri. Pengaplikasian serbuk temephos 1 % (Abate 1 SG) juga dilakukan sendiri oleh masyarakat, sehingga belum ada pengawasan lebih lanjut oleh petugas kesehatan terkait penggunaannya. Kemungkinan sebagian masyarakat yang mendapat temephos 1% (Abate 1 SG) dari petugas kesehatan tidak menggunakannya pada tempat-tempat penampungan air di rumah. Selain itu, menurut informasi dari masyarakat di Kelurahan Sesetan, dalam penggunaan temephos 1% (Abate 1 SG) ini, dosis yang digunakan masih sesuai dengan anjuran pemerintah dalam program abatisasi nasional, yakni 10 gram Abate untuk 100 liter air. Bahkan sebagian masyarakat menggunakan temephos dengan dosis yang lebih rendah karena takut terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan pada kesehatan, seperti alergi. Penggunaan temephos 1% (Abate 1 SG) sangat tergantung dari pengetahuan dan perilaku masyarakat mengenai cara pengaplikasian yang benar. Apabila pengetahuan masyarakat kurang baik, maka pengaplikasian larvasida juga dilakukan dengan dosis dan frekuensi yang tidak sesuai, dan dapat

berakibat pada timbulnya resistensi. Pernyataan ini didukung oleh pernyataan Lima, dkk. 2011 bahwa munculnya larva Aedes aegypti yang resisten dipicu oleh pajanan larvasida dalam waktu yang lama, sehingga larva mampu mengembangkan sistem kekebalan terhadap larvasida yang sering digunakan.7

Selain itu, asumsi peneliti terkait perilaku masyarakat ini juga disimpulkan dari informasi masyarakat setempat bahwa masyarakat menggunakan cara-cara lain untuk mencegah berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti, seperti melalui program 3M plus. Cara-cara yang dilakukan masyarakat adalah dengan menguras tempat-tempat penampungan air yang kemungkinan menjadi tempatxperkembangbiakanxnyamuk Aedes aegypti, menutupxtempat-tempatx penampungan air, mendaur ulang barang-barang bekas yang sudah tidak digunakan, memperbaiki saluran air, membersihkan lingkungan, dan memasang kelambu atau kasa pada jendela dan ventilasi. Dengan adanya cara-cara tersebut, populasi nyamuk Aedes aegypti semakin berkurang dan penggunaan temephos juga semakin jarang dilakukan. Hal ini sesuai dengan penelitian di Kelurahan Andalas, yang menyatakan bahwa perilaku 3M dapat mengurangi jumlah nyamuk Aedes aegypti dan menurunkan risiko terkena demam berdarah dengue.8

Namun, asumsi peneliti ini harus dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut terkait pengetahuan masyarakat terhadap pengaplikasian larvasida temephos dan juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor penyebab tidak adanya resistensi larva Aedes aegypti terhadap temephos 1% (Abate 1 SG) di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan.

Adapun kelemahan dari penelitian ini adalah peneliti tidak melihat secara langsung penggunaan temephos 1% (Abate 1 SG) di masyarakat, dan informasi yang ada hanya didasarkan dari hasil wawancara terhadap masyarakat yang ada, sehingga tidak dapat dipastikan frekuensi dan dosis penggunaan larvasida tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Pada penelitian ini dapat ditarik kesimpulan, yaitu konsentrasi temephos 0,003 mg/l membunuh larva Aedes aegypti di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan dengan persentase 59%; konsentrasi temephosx0,006 mg/l membunuh larva Aedesxaegypti di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan dengan persentase 89%; konsentrasi temephos 0,012 mg/l, 0,024 mg/l, dan 0,05 mg/l membunuh larva Aedes aegypti di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan dengan persentase 100%, dan kelompok-kelompok konsentrasi tersebut memiliki pengaruh yang sama; konsentrasi temephos yang dapat membunuh 50% larva yaitu 0,003 mg/l (0,001-0,005 mg/l), sementara konsentrasi temephos yang dapat membunuh 99% larva yaitu 0,011 mg/l (0,008-0,022 mg/l); dan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan tidak resisten dengan temephos 1%

(Abate 1 SG), sehingga larvasida tersebut masih efektif untuk digunakan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disarankan untuk melaksanakan penelitian lanjutan untuk mengetahui penyebab tidak adanya resistensi di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan. Selain itu, perlu rutin dilakukan monitoring terhadap resistensi larva, bukan hanya terhadap temephos, namun juga terhadap larvasida jenis yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Bali: Dinas Kesehatan Kota Denpasar. 2018:87-93.

  • 2.    Fenisenda A, Rahman A. Uji Resistensi Larva Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Abate (Temephos) 1% di Kelurahan Mayang Mangurai Kota Jambi pada Tahun 2016. Jambi Medical Journal. 2016;4(2):101-105.

  • 3.    Fuadzy H, dkk. Kerentanan Larva Aedes aegypti terhadap Temefos di Tiga Kelurahan Endemis Demam Berdarah Dengue Kota Sukabumi. Bul. Penelit. Kesehat. 2015;43(1):41-46.

  • 4.    Handayani N, dkk. Status Resistensi Larva Aedes Aegypti terhadap Temephos Di Wilayah Perimeter dan Buffer Pelabuhan Tanjung Emas Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2016;4(1):159-166.

  • 5.    Ipa M, dkk. Status Kerentanan Larva Aedes aegypti terhadap Temefos (Organofosfat) di Tiga Kabupaten/Kota    Provinsi    Aceh.    Aspirator.

2017;9(2):77-84.

  • 6.  Kementerian  Kesehatan RI. InfoDATIN.  Jakarta:

Kementerian Kesehatan RI. 2016:2-9.

  • 7.  Lima E, dkk. Insecticide resistance in Aedes aegypti

populations from Ceara, Brazil. Parasit Vector. 2011;4(5):1–12.

  • 8.    Priesley F, dkk. Hubungan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Menutup, Menguras dan Mendaur Ulang Plus (PSN M Plus) terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Andalas. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018;7(1):124-130.

  • 9.    Putra K, dkk. Status Kerentanan Aedes aegypti Vektor Demam Berdarah Dengue di Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2017;6(1):20-25.

  • 10.    Ridha M, Nisa K. Larva Aedes aegypti Sudah Toleran terhadap Temepos di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. 2011;3(2):93-111.

  • 11.    Rosida I. Gambaran Keadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti Ditinjau dari Tempat Perindukan di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan Tahun 2018 [skripsi]. Denpasar: Politeknik Kesehatan, Jurusan Kesehatan Lingkungan; 2018.

  • 12.    Supartha IW. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes Aegypti (Linn.) dan Ae. albopictus (Skuse)(Diptera: Culicidae). Makalah

disampaikan dalam Seminar DiesUnud2008 di Gedung Widya Sabha Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar pada tanggal 5 September 2008.

  • 13.    WHO. Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. 2nd ed. Geneva: World Health Organization; 2009:3-5.

  • 14.    WHO. Dengue and Severe Dengue. Geneva: World Health Organization; 2014.

  • 15.    WHO. Monitoring and Managing Insecticide Resistance in Aedes Mosquito Populations. Geneva: World Health Organization; 2016.

  • 16.    Widiarti, dkk. Peta Resistensi Vektor Demam Berdarah Dengue Ae. aegypti terhadap Insektisida Kelompok Organofosfat, Karbamat dan Pyretroid di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bul. Penelit. Kesehat. 2011;39(4): 176-189.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2023.V12.i4.P08

48