PENATALAKSANAAN NYERI AKUT PADA PASIEN DENGAN

PATIENT-CONTROLLED ANALGESIA

Siska Permanasari Sinardja1, IGN Mahaalit Aribawa2 1)Fakultas KedokteranUniversitas Udayana 2)Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Nyeri akut maupun kronis masing-masing memiliki tantangan tersendiri oleh karena pasien-pasien ini seringkali tergantung pada opioid dan memiliki banyak faktor-faktor psikososial. Tidak satupun metode kontrol nyeri lebih superior dari pada yang lainnya. Akan tetapi, salah satu metode untuk memperoleh kontrol secara cepat terhadap nyeri akut adalah dengan menggunakan patient-controlled analgesia (PCA). PCA umumnya diasumsikan sebagai pemberian opioid intravena,on-demand, intermitten di bawah kontrol pasien. Terdapat beberapa keuntungan dan kerugian dari pemakaian PCA untuk penatalaksanaan nyeri akut maupun kronik. Maka dari itu wajib mempertimbangkan jalur pemberian, jenis opioid, dosis regimen awal serta dosis penyesuaian, dan penatalaksanaan efek samping.

Kata kunci: nyeri akut, patient-controlled analgesia

MANAGEMENT OF ACUTE PAIN IN PATIENT WITH PATIENT-CONTROLLED ANALGESIA

ABSTRACT

Acute and chronic pain each has its own challenges because these patients are often dependent on opioids and have many psychosocial factors. None of these methods of pain control are superior than others. However, one method to gain control quickly to acute pain is to use a patient-controlled analgesia (PCA). PCA is generally assumed that intravenous opioid administration, on-demand, intermittent under the control of patients. There are some advantages and disadvantages of using PCA for acute or chronic pain management. Therefore shall consider pathways, opioid type, dose and dosage regimen initial adjustment, and management of side effects.

Keywords:acute pain, patient-controlled analgesia

PENDAHULUAN

Nyeri merupakan bagian dari pengalaman makhluk hidup sehari-hari dan hampir selalu merupakan manifestasi dari suatu proses patologis.1 Nyeri adalah salah satu alasan paling umum bagi pasien untuk mencari bantuan medis dan merupakan salah satu keluhan yang paling umum di Amerika Serikat. Sembilan dari 10 orang Amerika berusia 18 tahun atau lebih, menderita nyeri minimal sekali sebulan, dan 42% merasakannya setiap hari. Akibatnya, dokter dan praktisi lain membutuhkan pendidikan untuk membantu dalam mengembangkan kemampuan yang dibutuhkan 2 untuk mengevaluasi dan mengelola pasien dengan nyeri.2

Nyeri mempunyai sifat yang sangat unik karena di satu sisi nyeri akan menimbulkan penderitaan bagi yang merasakan, tetapi di sisi lain nyeri juga dapat menunjukkan manfaatnya.1,2 Nyeri disebut bermanfaat karena merupakan indikator kerusakan jaringan yang dapat timbul tanpa ada penyebab yang diketahui. Derajat disabilitas dalam hubungannya dengan pengalaman nyeri dapat bervariasi, juga terdapat variasi individual pada respon terhadap metode anti nyeri.1,2 Pemahaman tentang mekanisme dan fisiologi nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh pasien. Bila pengelolaan nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, lambat laun nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik.Pengobatan yang direncanakan untuk menanggulangi nyeri haruslah diarahkan pada proses penyakit yang 3 mendasari guna pengendalian respon nyeri tersebut.3

Nyeri akut maupun kronis masing-masing memiliki tantangan tersendiri oleh karena pasien-pasien ini seringkali tergantung pada opioid dan memiliki banyak faktor-faktor psikososial. Tidak satupun metode kontrol nyeri lebih superior dari pada yang lainnya. Akan tetapi, salah satu metode untuk memperoleh kontrol secara cepat terhadap nyeri akut pada pasien adalah dengan menggunakan patient-controlled

analgesia(PCA).4 Berbagai studi telah menelaah secara spesifik hubungan antara kondisi bebas nyeri dengan faktor psikologis pada pasien dengan PCA pascabedah. Secara umum, ansietas tampaknya merupakan variabel psikologis penting yang berpengaruh pada penggunaan PCA. Ansietas pra operasi berkorelasi dengan intensitas nyeri pasca operasi, jumlah kebutuhan PCA oleh pasien (seringkali tidak berhasil, saat interval jeda), derajat ketidakpuasan dengan PCA dan kualitas analgesia yang rendah dari data laporan pasien sendiri.1,2,3

Perkembangan pengetahuan mengenai mekanisme nyeri telah membawa kita pada perbaikan penatalaksanaan klinis terhadap nyeri. Di masa mendatang diharapkan penatalaksanaan nyeri dapat langsung menuju sasaran sesuai proses patofisiologi yang mengakibatkan gejala nyeri yang spesifik.1,2

DEFINISI PCA

PCA umumnya diasumsikan sebagai pemberian opioid intravena, on-demand, intermitten di bawah kontrol pasien (dengan atau tanpa bantuan infus kontinyu). Teknik ini didasarkan pada penggunaan pompa infus yang canggih yang dikendalikan mikroprosesor yang memberikan opioid dengan dosis terprogram ketika pasien menekan tombol permintaan.5,6,7 Penting untuk dicatat bahwa PCA adalah konseptual kerangka kerja untuk administrasi analgesik. Konsep yang lebih luas dari PCA tidak dibatasi untuk satu kelas analgetik saja atau rute tunggal atau satu cara administrasi. Setiap analgesik yang diberikan melalui rute apapun (oral, subkutan, epidural, kateter saraf perifer, atau transdermal) dapat dianggap sebagai PCA jika diberikan segera atas 7

permintaan pasien dan cukup secara kuantitas.7

METODE ADMINISTRASI PCA DAN VARIASI DOSIS

PCA memiliki beberapa metode administrasi. Dua yang paling umum digunakan adalah demand dosing (dosis tetap yang diberikan sesuai permintaan secara intermitten) dan infus kontinyu yang ditambahkan demand dosing (didukung dengan infus kontinyu ditambahkan dengan dosis sesuai permintaan pasien). Hampir semua perangkat PCA modern menawarkan kedua metode ini.4,6,7

Untuk semua mode PCA, ada beberapa variabel dasar : initial loading dose (dosis awal), demand dose (dosis permintaan), lockout interval, dukungan infus kontinyu, dan batas 1 jam dan 4 jam. Initial loading dose memungkinkan titrasi dari obat ketika diaktivasi oleh programmer (bukan pasien). Initial loading dosedapat digunakan oleh perawat di PACU (postanesthesia care unit) untuk mentitrasi opioid hingga mencapai minimum effective analgesic concentration atau MEAC(Gambar 1)atau oleh perawat pasca operasi untuk memberikan dosis “breakthrough”. Demand dose (atau kadang disebut dosis PCA atau dosis incremental ) merupakan jumlah analgetik yang diberikan kepada pasien pada aktivasi demand button (tombol permintaan).7,8 Untuk mencegah overdosis akibat permintaan yang berkelanjutan, semua alat PCA menggunakan lockout interval atau delay, yang merupakan jarak waktu dimana mesin tidak akan mengeluarkan obat sesuai demand dose (bahkan jika pasien memencet tombol permintaan) setelah permintaan yang sukses sebelumnya. Infus kontinyu pendukung merupakan infuse dengan kecepatan konstan yang terus diberikan dengan tidak menghiraukan pasien menekan tombol permintaan atau tidak. Beberapa 7 alat mengijinkan penekanan dengan batas 1 jam dan atau 4 jam.7

KEUNTUNGAN DAN KEKURANGAN PENGGUNAAN PCA

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, nyeri merupakan gejala paling sering dialami oleh pasien-pasien dewasa yang dirawat di rumah sakit. Nyeri akut maupun kronis

masing-masing memiliki tantangan tersendiri oleh karena pasien-pasien ini seringkali tergantung pada opioid dan memiliki banyak faktor-faktor psikososial. Tidak satupun metode kontrol nyeri lebih superior dari pada yang lainnya. Akan tetapi, salah satu metode untuk memperoleh kontrol secara cepat terhadap nyeri akut dan dengan nyeri kronis adalah dengan menggunakan patient-controlled analgesia (PCA).4,6,7

Opioid merupakan pilar utama manajemen farmakologis nyeri kanker sedang sampai berat. Mereka sebaiknya mulai dengan PCA untuk kontrol dan titrasi nyeri secara cepat. Hidromorfon (dilaudid) merupakan pilihan PCA yang lebih baik dibandingkan morfin, khususnya pada pasien dengan gagal ginjal akut. Rasio dosis ekuianalgesik dari morfin oral ke hidromorfon sekitar 30:1,5. Total dosis oral morfin 280 mg ekuivalen dengan 14 mg hidromorfon IV.6

Keuntungan PCA adalah setiap pasien memiliki variabilitas respon terhadap opioid, sehingga dengan menggunakan PCA dosis dan titrasi dari obat lebih terindividualisasi, sistem kontrol umpan balik negatif, dan menambah sistem keselamatan untuk menghindari depresi pernafasan. Kemudian saat pasien tersedasi akibat pemberian opioid, pasien tidak akan mampu menekan tombol untuk menerima dosis opioid yang lebih banyak lagi. Keuntungan yang lain adalah tingkat kepuasan pasien yang lebih tinggi dalam mengontrol nyeri dan efektifitas analgesia yang lebih baik dibandingkan menggunakan sistem analgesia yang konvensional(Gambar 2).6,7

Kekurangan PCAadalah tidak semua pasien dapat mengerti instruksi yang perlu diketahui untuk mempertahankan keamanan dan efektifitas penggunaan mesin-mesin PCA, potensi terjadinya kesalahan dosis opioid dimana hal ini berhubungan dengan faktor alat, petugas medis yang meresepkan atau memprogram, serta biaya yang lebih tinggi. 6,7

Walaupun opioid merupakan obat yang paling sering digunakan pada PCA, mereka tidaklah satu-satunya obat yang digunakan. NSAIDs, opioid agonis-antagonis, dan mixed analgesik seperti tramadol, dengan maupun tanpa magnesium, telah

digunakan dengan sukses. Ketamin juga telah digunakan untuk PCA. Ketamin digunakan bersama-bersama dengan berbagai obat-obat analgesik lainnya secara intravena, epidural, dan pada saat infiltrasi luka melalui sistem patient controlled delivery.4,5,6,7

JALUR PEMBERIAN PCA

Ada lima jalur pemberian PCA, yaitu secara oral, intravena, epidural, inhalasi, dan transkutan. Bentuk yang paling umum pasien kontrol analgesia, adalah mengatur sendiri pemberian obat penghilang rasa sakit secara oral. Misalnya, jika sakit kepala tidak berkurang dengan dosis kecil analgesik oral, dosis ulangan yang lebih besar dapat dikonsumsi. Rasa sakit adalah kombinasi dari kerusakan jaringan dan keadaan emosi, yang berada dalam kontrol berarti mengurangi komponen emosional rasa sakit.6.7.8

Seorang pasien yang dikendalikan analgesia pompa infus, dikonfigurasi untuk pemberian intravena morfin untuk analgesia pascaoperasi. Di rumah sakit, sebuah PCA mengacu pada pompa infus yang dikendalikan secara elektronik yang memberikan sejumlah intravena analgesik (biasanya opioid) yang ditetapkan oleh pasien sendiri. Dapat digunakan untuk kedua pasien nyeri baik akut maupun kronis. Hal ini biasanya digunakan untuk manajemen nyeri pasca operasi, dan untuk pasien stadium akhir kanker. 6.7.8

Narkotika adalah analgesik yang paling umum diberikan melalui PCA. Hal ini penting bagi perawat untuk memonitor pasien untuk dua jam pertama sampai dua puluh 7 empat jam untuk memastikan mereka menggunakan perangkat dengan benar.7

Pasien Control Epidural Analgesia (PCEA) adalah istilah yang terkait menjelaskan administrasi pasien yang dikontrol obat analgesik dalam ruang epidural, dengan cara bolus intermiten atau pompa infus. Ini dapat digunakan pada pasien kanker atau untuk mengelola rasa sakit pasca operasi. 6.7.8

Pada tahun 1968, Robert Wexler dari Abbott Laboratories mengembangkan Analgizer, sebuah inhaler sekali pakai yang memungkinkan pemberian sendiri uap methoxyflurane untuk analgesia. Karena kesederhanaan Analgizer dan karakteristik farmakologi dari methoxyflurane, mudah bagi pasien untuk mengelola obat sendiri dan cepat mencapai tingkat analgesik yang dapat dipelihara dan disesuaikan seperlunya selama periode waktu yang berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa jam.5,6

Pemberian 15 mililiter methoxyflurane akan memberikan efek biasanya berlangsung selama dua sampai tiga jam, selama waktu penggunaan akan menimbulkan efek menghilangkan rasa sakit; perangkat bisa diisi ulang jika perlu. Analgizer dinyatakan aman, efektif dan sederhana untuk mengelola nyeri pada pasien obstetrik saat melahirkan, serta untuk pasien dengan patah tulang dan dislokasi sendi, dan untuk penggantian dressing pada pasien luka bakar.6,7,8

Ketika digunakan untuk analgesia pada persalinan, analgizer memungkinkan parturien untuk menjalani persalian normal dan tanpa efek samping pada bayi hal ini terbukti dari tidak adanya perubahan nilai APGAR. Semua tanda-tanda vital tetap normal pada pasien kebidanan, bayi, dan pasien luka-luka. Analgizer secara luas digunakan untuk analgesia dan sedasi sampai awal 1970-an. Inhaler Analgizer telah diperkenalkan penggunaannya pada tahun 1974, namun penggunaan methoxyflurane sebagai obat penenang dan analgesia di Australia dan Selandia Baru dalam bentuk yang Penthrox inhaler.6,7

Sistem pemberian transkutan, termasuk sistem iontophoretic, telah tersedia.

Metoda ini adalah populer untuk pemebrian opioid seperti fentanyl, atau anestesi lokal

seperti lidokain. Iontocaine adalah salah satu contoh sistem tersebut.6,7,8

OPIOID PILIHAN

Semua opioid umum telah dapat digunakan dengan baik untuk PCA - IV (Tabel 1), dan morfin yang paling banyak dipelajari. Apapun opioid dipilih, untuk PCA - IV, pengetahuan farmakologi adalah prasyarat untuk pengaturan variabel dosis perangkat PCA.7 Opioid parenteral memiliki tiga sifat dalam berikatan dengan reseptor µ opiate : agonis murni, agonis-antagonis, dan agonis parsial (Tabel 2).6

Sifat agonis murni adalah andalan dalam manajemen nyeri akut karena memberikan ikatan penuh terhadap reseptor µ, dan tidak ada batas maksimal analgesia (titrasi opioid lebih lanjut akan memberikan efek pengurangan rasa nyeri yang lebih baik). Namun, terdapat "batas maksimal klinis" yang menimbulkan efek samping seperti sedasi, depresi pernapasan, dan sering membatasi penambahan dosis sebelum mencapai analgesia yang adekuat. µ agonis sama-sama efektif pada dosis equianalgesic (misalnya, 10 mg morfin = 2 mg hidromorfon = 100 mg meperidin).7,8

Demikian halnya, tidak ada perbedaan dalam efek samping yang diimbulkan, meskipun seorang pasien mungkin mengalami mual dan muntah atau pruritus dengan satu obat tetapi tidak dengan obat yang lain. Semua agonis µ mengurangi aktivitas mendorong dan koordinasi usus, yang berkontribusi terhadap munculnya ileus pasca operasi. Dalam dosis PCA – IV konvensional, morfin, meperidin, dan fentanil memiliki efek yang sama pada saluran empedu dan sfingter Oddi.9

Opioid agonis-antagonis mengaktivasi reseptor ĸ dan antagonis terhadap reseptor µ. Meskipun mereka dipasarkan dengan memiliki efek batas maksimal terhadap depresi pernafasan, sehingga memberikan margin keselamatan yang lebih besar, efek

ini muncul hanya pada dosis sangat besar jika dibandingkan secara relatif terhadap agonis µ. Yang terpenting, agonis-antagonis memiliki batas maksimal efek analgetik, sehingga golongan ini kurang memberikan sifat analgesia jika dibandingkan dengan golongan agonis µ.7,8 Jadi, meskipun penggunaan antagonis-agonis untuk IV-PCA untuk operasi ginekologik dianggap berhasil, golongan ini jarang digunakan dalam praktik klinis dan kurang memberikan analgesia yang memadai untuk nyeri sedang – berat. Selanjutnya, agonis-antagonis dapat memicu respon withdrawal akut pada pasien yang sudah menerima agonis μ. Akibat aktivasi reseptor σ, golongan ini sering menimbulkan efek samping psikomimetik yang mengganggu. Golongan ini tidak umum digunakan untuk PCA – IV.4,6,8

Morfin tetap merupakan gold standar untuk PCA - IV, paling banyak dipelajari dan paling sering digunakan sebagai regimen PCA - IV di Amerika Serikat.Penting untuk dicatat bahwa morfin memiliki metabolit aktif, morphine-6-glukuronide (M6G), yang juga memberikan efek analgesia, sedasi, dan depresi pernapasan. Morfin tereliminasi terutama oleh glucuronidasi, dimana metabolit aktif ini eliminasinya bergantung terutama pada ekskresi ginjal.5,6 Depresi nafas yang dalam dan berkepanjangan dengan onset yang lambat telah dilaporkan terjadi pada pasien dengan gagal ginjal yang menerima morfin parenteral. Beberapa penulis menyarankan menghindari morfin untuk PCA-IV (dan menghindari pengulangan dosis kumulatif morfin parenteral) pada pasien dengan serum kreatinin > 2,0 mg/dL.6,7,8

Hidromorfon adalah alternatif yang baik untuk pasien dengan morfin-intoleran atau mereka yang mengalami kegagalan fungsi ginjal, karena metabolismenya terutama dalam hati dan diekskresikan sebagai metabolit glukuronat yang tidak aktif. Karena kira-kira enam kali lebih kuat dari morfin, demand dose 0,2 mg dianggap equianalgesic untuk 1,0 mg morfin. Karena hidromorfon lebih kuat daripada morfin dan umumnya

digunakan dalam PCA dengan konsentrasi 0,5 mg / mL atau 1 mg / mL, sangat cocok

untuk pasien dengan opioid-toleran.6,7,8

Fentanil dianggap 80-100 kali lebih kuat daripada morfin jika diberikan sebagai dosis tunggal atau jika diberikan dalam periode singkat. Namun, karena durasinya pendek, terutama pada fase awal administrasi (karena farmakokinetik redistribusi), penelitian double blind PCA - IV menyarankan 25-30 µg fentanyl equianalgesic untuk 1 mg morfin sebagai demand dose PCA – IV.5,6 Karena sifatnya yang lipofilik fentanil memiliki onset lebih cepat daripada morfin, mungkin hal ini yang menjadikannya lebih cocok untuk PCA - IV. Fentanil telah dapat digunakan dengan baik untuk PCA – IV. Hal ini merupakan alternatif yang sangat baik untuk pasien dengan morfin-intoleran dan cocok untuk pasien dengan gagal ginjal karena eliminasinya tidak bergantung pada ekskresi ginjal.8,9

Meskipun meperidin merupakan opioid reseptor µ agonis kedua yang paling sering diresepkan untuk PCA - IV, penggunaan rutin untuk PCA - IV sangat tidak dianjurkan. Meperidin memiliki metabolit yang bersifat neurotoksik, normeperidine, yang tidak memiliki efek analgetik dan sebagian besar eliminasinya bergantung pada ekskresi ginjal.7,8 Akumulasi normeperidine menyebabkan eksitasi SSP, menyebabkan sejumlah reaksi toksik mulai dari cemas dan tremor hingga kejang grand mal. Kejang yang tidak disaksikan dan disertai dengan hilangnya refleks saluran napas dapat mengakibatkan cedera otak berat yang permanen atau kematian akibat anoxia.8,9 Penulis merekomendasikan 10 mg / kg meperidine per hari (dosis relatif kecil) sebagai dosis maksimum yang aman untuk PCA – IV dan tidak digunakan lebih dari 3 hari. Meperidin mutlak dikontraindikasikan untuk PCA - IV pada pasien dengan disfungsi ginjal, gangguan kejang, dan yang sedang mendapat pengobatan monoamine oksidase inhibitor karena berpotensi untuk menyebabkan sindrom hiperpireksia maligna yang

mematikan.5,6 Karena alasan ini, Agency for Healthcare Policy and Research Acute Pain Guideline merekomendasikan meperidine digunakan untuk jangka pendek dan dipantau dengan cermat dan untuk pasien yang telah menunjukkan intoleransi untuk semua agonis µ lainnya. Meperidin memiliki potensi 1/10 morfin dan demand dose 10 mg equianalgesic untuk 1 mg morfin.6,7,8

Penggunaan sufentanil, alfentanil, dan remifentanil untuk PCA - IV telah dilaporkan, dengan sufentanil paling banyak dipelajari. Dengan sufentanil, dosis permintaan awal (initial demand dose) 4-6 µg tampaknya paling tepat. Berbeda dengan opioid longer-acting yang dibahas di atas, dukungan infuse kontinyu mungkin diperlukan untuk mempertahankan analgesia dengan sufentanil. Owen et al tidak bisa mengidentifikasi suatu dosis optimal dan kecepatan pemberian alfentanil, sehingga disimpulkan bahwa ini bukan obat yang tepat untuk PCA - IV. Karena durasinya yang sangat singkat, remifentanil mungkin hanya sesuai untuk penggunaan PCA – IV dengan durasi singkat, pada nyeri berat episodik seperti nyeri persalinan.8,9,10

Tramadol digunakan secara luas untuk PCA - IV di beberapa negara Eropa. Tramadol merupakan analgetik yang bekerja secara sentral dengan mekanisme kerja analgetik opioid dan non-opioid. Tramadol beriaktan dengan reseptor µ sekitar 6000-kali lebih lemah jika dibandingkan dengan morfin dan memiliki afinitas yang lemah untuk reseptor ĸ dan σ.4,7 Metabolit tramadol, Mono-O-desmethyl (M1), memiliki afinitas yang lebih besar untuk reseptor opiat dan dianggap memberikan kontribusi terhadap efek analgetiknya. Tramadol juga menghambat uptake sentral norepinefrin dan serotonin. Dengan demikian, antinosisepsi tramadol dimediasi oleh kedua mekanisme, opioid dan non-opioid (penghambatan uptake monoamin), yang berinteraksi secara sinergis untuk mengurangi nyeri.7,8,9

Keamanan dan keefektifan penggunaan tramadol untuk PCA - IV telah didokumentasikan dalam uji klinis. Tramadol memiliki potensi 1/6 - 1/10 dibandingkan morfin, ketika intensitas dan durasi dipertimbangkan. Demand dose tramadol 10 mg equianalgesic terhadap 1 mg morfin. Walaupun tidak ada perbedaan pada kualitas sedasi, analgesia, dan kepuasan pasien, dua uji klinis menyimpulkan bahwa menggunakan tramadol untuk PCA - IV setelah operasi perut bagian bawah dan rekonstruksi payudara dikaitkan dengan kejadian mual dan muntah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan morfin. Jika tramadol PCA- IV dibandingkan dengan morfin setelah torakotomi diketahui bahwa insiden mual dan muntah di kedua kelompok jarang dijumpai.5,6

DOSIS REGIMEN AWAL DAN DOSIS PENYESUAIAN PCA

Tidak ada satu rancangan dosis yang lebih baik dibandingkan dengan yang lain dalam PCA – IV. Komponen kunci dari terapi PCA yang efektif adalah titrasi untuk mencapai analgesia awal. Salah satu yang harus selalu menjadi pertimbangan adalah pendekatan terapi multimodal untuk mengoptimalkan analgesia dan mengurangi kebutuhan opioid, sehingga mengurangi efek samping dan depresi nafas.7,8

PENATALAKSANAAN EFEK SAMPING PENGGUNAAN PCA

Efek samping penggunaan PCA IV sama dengan efek samping pada penggunaan opioid melalui berbagai jalur. Efek samping yang dimaksud berupa mual muntah, gatal-gatal sedasi dan depress nafas ( jarang terjadi) dan bingung.6,7

Mual muntah post operasi (PONV) adalah yang paling banyak terjadi dan merupakan efek samping yang paling tidak diinginkan pada penggunaan PCA IV. Penatalaksanaan efek samping penggunaan PCA ini bisa melalui penambahan antiemetic langsung pada PCA IV, dan hal ini telah diteliti sebelumnya. Anestesi dan

analgesia telah mengemukakan consensus guidelines untuk penatalaksanaan PONV. Dalam consensus tersebut dijelaskan faktor risiko terjadinya PONV adalah wanita, riwayat mual muntah sebelumnya atau riwayat PONV sebelumnya, tidak merokok, dan penggunaan opioid post operasi. Dikatakan bahwa prosedur pembedahan khusus, penggunaan obat-obatan anestesia, nyeri, cemas dan dehidrasi juga akan meningkatkan risiko terjadinya PONV.7,8 Penggunaan obat antiemetik dosis tunggal yang bekerja pada satu reseptor akan mengurangi insiden PONV sekitar 30%. Penggunaan kombinasi antiemetik yang bekerja pada reseptor yang berbeda akan mengurangi PONV lebih tinggi lagi. Penggunaan kombinasi antiemetik, yang paling sering antagonis serotonin dengan antagonis dopamine atau dengan kortikosteroid (deksametason) telah diteliti sebelumnya.9,10

Kombinasi ondancetron dan droperidol akan mencapai setidaknya 90% dari respon rate yang berarti tidak terjadi mual muntah. Efektifitas yang sama juga dicapai dengan dengan kombinasi antagonis serotonin dengan droperidol atau deksametason. Jadi, consensus guidelines telah merekomendasikan profilaksis obat tunggal untuk pasien dengan risiko ringan sampai sedang ( jika ada 1-2 faktor risiko) dan profilkasis kombinasi untuk pasien dengan risiko sedang sampai berat ( 3-4 faktor risiko).6,7 Untuk pasien dengan risiko sangat tinggi terjadinya PONV, consensus guidelines merekomendasikan kombinasi dua antiemetik disertai dengan penggunaan total intravena propofol atau regional anesthesia9.

Beberapa penelitian telah mengamati efektifitas antiemetic sebagai profilaksis pada penggunaan PCA IV. Efektifitas antiemetik dengan penambahan lansung droperidol pada campuran morfin PCA menunjukkan bahwa campuran tersebut dapat mengurangi insiden mual muntah dan akan menurunkan dosis obat antiemetik yang dibutuhkan. Dosis droperidol 0,017-0,17 mg per 1 mg morfin; 0,5-11 mg per hari

dikatakan sangat efektif untuk mencegah mual muntah. Dikatakan bahwa optimal dose

dari droperidol adalah 15-100 mcg ( 0,015-0,1 mg) per 1 mg morfin.5,8

Ondancetron tidak memberikan banyak keuntungan dibandingkan droperidol sebagai antiemetik yang ditambahkan pada PCA IV, selain harganya yang lebih mahal dari droperidol.7,8,9Transdermal scopolamine yang diberikan pada pasien wanita post pembedahan ginekologi intraabdominal yang menggunakan PCA IV menunjukkan penurunan insiden mual muntah setelah 2 jam penggunaan scopolamine. Promethazine yang diberikan baik preoperative maupun post operatif dengan dosis 0,1 mg/kg BB menunjukkan penurunan insiden PONV sebanyak 50% pada wanita yang menjalani total abdominal histerektomi yang menggunakan PCA IV.8,9

Penggunaan propofol dosis sub hipnotik dengan infus kontinyu dikatakan dapat mengurangi PONV pada pasien wanita yang mendapatkan PCA fentanyl setelah pembedahan ginekologi mayor atau pembedahan orthopedic.3 Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa secara signifikan propofol dosis 15 dan 20 mcg/kgBB/menit menunjukkan tidak terjadi PONV dibandingkan dengan placebo. Tetapi hal yang berbeda ditunjukkan pada penggunaan propofol secara langsung pada PCA morfin ( 5 mg propofol per 1 mg morfin) tidak mengurangi insiden morfin.6,7

Penggunaan antagonis morfin dalam mencegah efek samping penggunaan PCA iv merupakan pendekatan baru. Penelitian yang dilakukan oleh Gan dkk, merandom 60 wanita yang menjalani total abdominal histerektomi kemudian diberikan PCA morfin dengan penambahan naloxon 0,25mcg/kg/jam ( dosis kecil) dan nalokson 1 mcg/kg/jam ( dosis besar) infuse kontinyu. Dosis nalokson cukup efektif secara signifikan mengurangi insiden mual muntah dan gatal. Tidak terjadi peningkatan konsumsi morfin dengan nalokson dosis besar, disamping itu pula penggunaan morfin secara kumulatif dalam 24 jam berkurang pada kelompok wanita yang mendapat

nalokson dosis kecil. Jadi kesimpulannya, dosis kecil antagonis opioid sangat efektif dalam mengurangi PONV dan pruritus karena efek samping PCA iv tanpa mempengaruhi konsumsi opioid dan kualitas analgesia.3,5

Meskipun pruritus merupakan efek samping yang sering dijumpai pada penggunaan PCA iv, namun tidak ada satu penelitianpun yang menunjukkan efikasi obat antipruritus dalam mengatasi gatal-gatal karena penggunaan PCA. Terapi yang secara empiris sangat efektif untuk mengatasi pruritus karena penggunaan PCA adalah diphenhidramine 12,5-25 mg iv, hydroxyzine 50 mg im, dan alizapride 50 mg iv, tidak ada satupun dari obat ini yang mampu secara maksimal menghilangkan pruritus dan masing masing (terutama dipenhidramine) memiliki efek sedasi yang cukup tinggi.5,7

Tidak ada bukti yang menunjukkan perbedaan efek sedasi oleh opioid pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal. Tetapi pada beberapa pasien terdapat perbedaan besarnya atau kualitas sedasi setelah penggunaan opioid. Pasien dengan perubahan fungsi ginjal menunjukkan akumulasi dari hasil metabolit aktif morfin.5,7,8

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN PCA

Masing-masing karakteristik seperti umur, jenis kelamin, dan berat badan sering dianggap faktor penting yang mempengaruhi setiap terapi farmakologis. Umurmempengaruhi dosis opioid sedangkan gender dan berat badan tidak.8.9

Burnset almenegaskan pengaruh usia pada kebutuhan IV-PCA8. Seratus pasien yang menjalani pembedahan perut bagian atas diterima IV-PCA diprogram untuk memberikan dosis morfin incremental 0,02 mg / kg, dengan interval penguncian 2 menit (tanpa infuse kontinu). Konsumsi Morfin menurun dengan usia baik laki-laki dan perempuan, dosis tipikal morfin adalah 75 mg pada usia 20-30 tahun dibandingkan dengan 30 mg pada saat 60-70 tahun. Macintyre dan Jarvis menemukan kemiripan prediksi terbaik untuk kebutuhan morfin PCA – IV adalah pada 24 jam pertama setelah

operasi ( jumlah setelah pemberian dosis awal) adalah umur pasien.8 Pada 24 jam pertama didapatkan data bahwa diperkirakan diperlukan morfin rata-rata 100 mg – umur (tahun) untuk pasien dengan umur lebih dari atau sama dengan 20 tahun. Walaupun secara signifikan lebih sedikit diperlukan opiate pada pasien yang lebih tua, Aurbrun et almenunjukkan pemberian loading titrasi morfin sama antara pasien yang lebih tua dan lebih muda.8

Selain itu Burnset almenemukan tidak ada korelasi antara berat badan pasien (40-100 kg) dengan kebutuhan morfin8. Penggunaan morfin perjam menunjukkan bahwa kebutuhan meningkat pada pukul 9 AM dan 8 PM.7,9,11Burns et al menemukan bahwa pada laki-laki diperlukan dosis lebih besar dibandingkan dengan wanita8. Tetapi pada penelitian yang lain gagal menemukan perbedaan ini.

Toleransi opiat dan nyeri kronis meningkatkan kebutuhan akan morfin melalui PCA - IV. Tetapi pemberian secara regional analgesia dan terapi adjuvant mengurangi kebutuhan ini. Perhatian lebih harus diberikan pada pasien post operasi dengan pemakaian opiate secara kronis, kemungkinan diperlukan penambahan kebutuhan analgesia. Pada pasien post operasi dengan nyeri kronis secara umum akan memberikan skor nyeri yang lebih tinggi dibandingkan yang yang bukan nyeri kronis.8

Rasa takut dan bingung pada pasien akan meningkatkan kebutuhan akan obat anti nyeri pada PCA. Pasien yang memperoleh intervensi dari keluarga, dan orang yang berpengaruh pada hidupnya akan memperolah nilai nyeri yang lebih rendah. Selain itu faktor dari pelayanan dan perhatan dari tenaga medis juga mempengaruhi nilai nyeri dari pasien.8,9

RINGKASAN

Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan kondisi aktual atau potensional terjadinya kerusakan jaringan Nyeri merupakan bagian dari pengalaman makhluk hidup sehari-hari dan hampir selalu merupakan manifestasi dari suatu proses patologis. Nyeri mempunyai sifat yang sangat unik karena di satu sisi nyeri akan menimbulkan penderitaan bagi yang merasakan, tetapi di sisi lain nyeri juga dapat menunjukkan manfaatnya. Nyeri akut maupun kronis masing-masing memiliki tantangan tersendiri oleh karena pasien-pasien ini seringkali tergantung pada opioid dan memiliki banyak faktor-faktor psikososial. Tidak satupun metode kontrol nyeri lebih superior dari pada yang lainnya. Akan tetapi, salah satu metode untuk memperoleh kontrol secara cepat terhadap nyeri akut pada pasien dengan nyeri kronis adalah dengan menggunakan patient-controlled analgesia (PCA).

Patient-Controlled Analgesia (PCA) umumnya diasumsikan sebagai pemberian opioid intravena,on-demand, intermitten di bawah kontrol pasien. Terdapat beberapa keuntungan dan kerugian dari pemakaiaan PCA untuk penatalaksanaan nyeri akut maupun kronik. Maka dari itu wajib mempertimbangkan jalur pemberian, jenis opioid, dosis regimen awal serta dosis penyesuaian, dan penatalaksanaan efek samping.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Chandra S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia, Jakarta, 2009.

  • 2.    Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi, 2nd ed. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.

  • 3.    Mangku G, Senapathi TGA. Dalam: Wiryana IM, Sudjana IBG, Sinardja K, Budiartha IG, eds. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks, 2010.

  • 4.    Morgan GE. Pain Management.Dalam: Clinical Anesthesiology 3rded. Stanford: Appleton and Lange, 2002, 274-316.

  • 5.    American Society of Anesthesiologists, In: Practice Guidelines for Chronic Pain Management. An Updated Report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Chronic Pain Management and the American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine.Lippincott Williams & Wilkins, 2010;112:810-33.

  • 6.    Brian M, Winnie N, Rodney H, Josh G, Jeff S. The Rate and Costs Attributable to Intravenous Patient-Controlled Analgesia Errors. Hosp Pharm. 2009;44:312-324.

  • 7.    Igor K. Patient-controlled Analgesia Analgesimetry and Its Problems. Anesth Analg 2009;108:1945–9.

  • 8.    Madeira I et al. Morphine Patient Controlled Analgesia for Postoperative Analgesia in Patients Who Have Transplanted Cadaver Donor Kidneys.Oporto Hospital Centre. 2008:125-130.

  • 9.    Cheung CW et al. An audit of postoperative intravenous patient-controlled analgesia with morphine: Evolution over the last decade. European Journal of Pain 2009;13:464 –471.

  • 10.    Hudcova J, McNicol ED, Quah CS, Lau J, Carr DB. Patient controlled opioid analgesia versus conventional opioid analgesia for postoperative pain. The Cochrane Collaboration 2012; 6: 1-11.

  • 11.    Jaggar S.I., Holdcroft A., Principle of Pain Evaluation, In: Holdcroft A., Jaggar S.I., eds. Core Topic in Pain, Cambridge University Press, New York, 2005, 81-84.

18