RISIKO POLISITEMIA PADA NEONATUS DENGAN PENUNDAAN PENJEPITAN TALI PUSAT

I Gusti Agung Ayu Sri Wulandari Pramana1, Ketut Putera Kemara2, I Wayan 3

Megadhana3

1Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2,3Bagian/SMF Obstetri dan Ginaekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah

ABSTRAK

Waktu penjepitan tali pusat sampai saat ini masih merupakan suatu isu yang kontroversial di dunia kedokteran. Sampai saat ini, waktu yang tepat untuk melakukan penjepitan tali pusat di berbagai belahan bumi di dunia masih sangat beragam. Terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian utama terkait dengan penundaan penjepitan tali pusat, salah satunya adalah peningkatan volume darah akibat adanya peningkatan jumlah eritrosit yang menyebabkan terjadinya polisitemia neonatus yang nantinya dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Polisitemia pada neonatus adalah suatu keadaan dimana nilai hematokrit darah vena lebih dari 65% (0,65) atau jumlah hemoglobin lebih dari 22gr/Dl. Walaupun demikian, sampai saat ini data-data dari berbagai penelitian dan studi analisis terbaru menyebutkan bahwa polisitemia yang terjadi pada neonatus dengan penundaan penjepitan tali pusat adalah polisitemia ringan yang dapat membaik setelah 48 sampai 72 jam setelah bayi lahir.

Kata Kunci : Polisitemia, Penundaan Penjepitan Tali Pusat

POLYCYTHEMIA RISK IN NEONATES WITH DELAYED CORD CLAMPING

ABSTRACT

Delayed Cord Clamping is still a controversial issue in the world of medicine. Until recently, the perfect times to do a Delayed Cord Clamping in various parts of the Earth in the world are still very diverse. There are a few things that became a major concern associated with Delayed Cord Clamping, one of which is the increase in blood volume due to an increase in the number of erythrocytes which led to occurrence of neonatal polycythemia which later can lead to various complications. Polycythemia in neonates is a situation where the value of venous blood hematokrit over 65% (0.65) or the amount of hemoglobin more than 22gr/Dl. However, to date the data from a variety of the latest research and analysis of the studies mention that the polycythemia that occurs in neonates with umbilical cord pinching the flush delay was mild polycythemia that can improve after 48 to 72 hours after the baby is born.

Keywords : Polycythemia, Delayed Cord Clamping

PENDAHULUAN

Waktu penjepitan tali pusat sampai saat ini masih merupakan suatu isu yang kontroversial di dunia kedokteran. Sampai saat ini, waktu yang tepat untuk melakukan penjepitan tali pusat di berbagai belahan bumi di dunia masih sangat beragam, yang mana secara garis besar waktu yang tepat untuk melakukan penjepitan tali pusat dibagi menjadi dua, antara lain penjepitan tali pusat yang terlalu cepat yaitu kurang dari 60 detik setelah bayi lahir dan penundaan penjepitan tali pusat yaitu lebih dari 60 detik setelah bayi lahir atau setelah pulsasi pada tali pusat hilang.1 Pendekatan dalam hal penjepitan tali pusat yang masih diterapkan di dunia kedoteran khususnya kedokteran obstetrik di belahan bumi barat adalah penjepitan tali pusat yang terlalu cepat yang mana tali pusat diikat dan dipotong 10 sampai 15 detik segera setelah bayi lahir.2 Namun cara tersebut tampaknya mulai diperbincangkan saat ini berhubungan dengan berbagai macam kerugian yang ditimbulkan, salah satunya adalah anemia.3 Berbagai penelitian terbaru membuktikan penundaan penjepitan tali pusat memberikan efek yang lebih baik untuk bayi.1,2,3 Namun perlu diketahui bahwa ada beberapa risiko yang dapat terjadi dengan adanya penundaan tersebut. Salah satu risiko yang mungkin terjadi adalah polisitemia pada bayi yang baru lahir (neonatus) yang nantinya dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang selanjutnya akan dibahas lebih dalam pada bab pembahasan.4,5

Etiopatofisiologi Polisitemia Neonatus

Polisitemia pada neonatus adalah suatu keadaan dimana nilai hematokrit darah vena lebih dari 65% (0,65) atau jumlah hemoglobin lebih dari 22gr/dL.5 Patofisiologi terjadinya polisitemia pada neonatus biasanya didasarkan pada beberapa faktor (multifaktorial).3,5

Sebagian besar neonatus dengan polisitemia dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, antara lain:5

  • •   Aktif polisitemia : polisitemia akibat adanya penigkatan eritropoesis

  • •   Pasif polisitemia : polisitemia karena adanya transfusi eritrosit

Berikut ini adalah table beberapa contoh penyebab terjadinya polisitemia neonatus:5

Kondisi neonatus yang mengalami polisitemia

Penyebab

Peningkatan eritropoesis

  •    insufisiensi plasenta akibat pre-eklamsia

  •    maternal chronic hypertension

  •    placental abruption kronik atau rekuren

  •    maternal cyanotic congenital heart disease

  •    Postdate pregnancy

  •    Maternal smoking dan peminum alcohol

  •    Abnormlitas status endokrin, misalnya maternal dibetes dengan kadar gula tdarah tidak terkontrol

  •    Kelainan genetik, misalnya trisomi 13, trisomi 18, trisomi 21, dan Beckwith-Wiedemann

Syndrome

Adanya transfusi eritrosit

  •    Placental-fetal transfusion -akibat penundaan penjepitan tali pusat

  •    Perinatal asphyxia

  •    Penggunaan oksitosin pada ibu

  •    Twin-to-twin      transfusion

syndrome

Pada neonatus dengan penundaan penjepitan tali pusat, polisitemia terjadi akibat adanya placental-fetal transfusion yang menyebabkan peningkatan volume darah yang mengalir dari plasenta ke tubuh bayi.5 Saat terjadi penundaan penjepitan tali pusat setelah bayi lahir, volume darah bayi meningkat sampai 30%.5 Transfusi yang terjadi dari plasenta ke tubuh bayi dipengaruhi juga oleh adanya gravitasi dan posisi ibu saat melahirkan bayi, yang mana bila posisi bayi lebih kebawah 15 hingga 20 cm dari jalan lahir dengan tali pusat yang masih intak (belum diikat dan dipotong) dapat meningkatkan aliran darah dari plasenta ke tubuh bayi.5 Selain itu, aliran darah dari plasenta ke tubuh bayi juga dapat meningkat dengan cepat pada neonatus dengan keadaan perinatal asphyxia.5

Polisitemia dan hiperviskositas

Polisitemia memegang peranan penting dalam hal viskositas (kekentalan) darah dan mikrosirkulasi. Hiperviskositas adalah suatu keadaan dimana viskositas darah lebih dari 14,6 centipoise bila diukur dengan menggunakan viscometer pada kecepatan hitung 11,5/detik. Peningkatan viskositas darah dapat terjadi akibat peningkatan plasma protein, trombosit, leukosit, serta factor-faktor endothelial lainnya. Namun hiperviskositas yang terjadi pada polisitemia neonatus akibat penundaan penjepitan tali pusar ini disebabkan karena adanya jumlah eritrosit yang berlebihan yang beredar dalam sirkulsi. Sedangkan plasma protein pada neonatus biasanya selalu dalam nilai normal sehingga penyebab hiperviskositas darah bukan karena peningkaan plasma. Polisitemia dan hiperviskositas berhubungan erat dengan penurunan aliran darah ke otak, jantung, paru-paru, serta organ pencernaan. Walaupun aliran darah ginjal tidak terganggu secara langsung, namun terjadi pengurangn aliran plasma ginjal dan penurunan glomerular filtration rate (GFR). Aliran darah ke paru-paru yang berkurang akibat hiperviskositas dapat menyebabkan terjadinya hipoksia sistemik. Perubahan pada aliran darah juga berpengaruh pada penghantaran substansi-substansi penting seperti glukosa yang diperlukan oleh organ-organ seluruh tubuh yang bergantung pada aliran plasma. Peningkatan kekentalan darah menyebabkan penyampaian substansi-substansi tersebut menjadi terhambat sehingga akan berdampak buruk bagi organ-organ yang memerlukan.5

Manifestasi klinis

Sebagian besar neonatus yang mengalami polisitemia tidak menimbulkan adanya gejala (asimtomatis). 8 Namun pada bayi-bayi yang menunjukkan gejala klinis, gejala dari

polisitemia akan mulai tampak 1 sampai 2 jam setelah kelahiran saat nilai hematokrit telah melewati nilai tertingginya dan terjadi pergeseran nilai normal cairan setelah bayi lahir.5 Gejala klinis yang muncul yang berhubungan degan polisitemia biasanya dideskripsikan dengan istilah “Hyperviscosity Syndrome” walaupun tetap harus diingat bahwa hanya 47% bayi dengan polisiemia menunjukkan adanya hiperviskositas dan hanya 24% bayi dengan hiperviskositas didiagnosis sebagai polisitemia.5 Pada bayi dengan batas hematokrit yng lebih tinggi, gejala klinis akan mulai tampak 1 hingga 2 hari setelah bayi lahir. Sedangkan pada bayi yang tidak menimbulkan gejala setelah 48 sampai 72 jam, maka bayi tersebut dapat digolongkan asimtomatik.5 Manifestasi klinis yang dapat timbul antara lain:5,7ruddy complexion, jitteriness, irritability, tremor, kesulitan makan, lethargy, apnea, sianosis, respiratori distress, dan kejang. Gejala neurologis tampak pada kurang lebih 60% pasien. Penyebab utama dari timbulnya gejala-gejala tersebut masih belum jelas, namun diduga gejala-gejala tersebut muncul akibat kurangnya aliran darah ke jaringan, terutama di otak, paru-paru, dan jantung. Gejala neurologis yang muncul juga diperkirakan berhubungan dengan adanya perubahan status metabolik pada bayi, seperti hipoglikemia dan hipokalemia. Hipoglikemia merupakan gejala yang sering ditemukan pada kasus perubahan status metabolik.6 Menurut data American Academy of Pediatrics, hipoglikemia dapat diobservasi pada 12% sampai 40% neonatus yang mengalami polisitemia, sedangkan hipokalemia dapat diobservasi pada 1% sampai 11% neonatus yang mengalami polisitemia.5,6 Terjadinya hipokalemia ini

diperkirakan berhubungan dengan adanya peningkatan konsentrasi gene-related peptide (CGRP). Patofisiologi peningkatan CGRP ini masih belum jelas, namun CGRP ini

memegang peranan penting pada proses adaptasi neonatus terhadap kehidupan

ekstrauterin.5

Selain itu, adanya polisitemia dan hiperviskositas dapat menyebabkan terjadinya Necrotizing Enterocolitis (NEC). Dari data-data yang sebelumnya ada, polisitemia teridentifikasi pada hampir seluruh neonatus dengan NEC. Walaupun perubahan perfusi jaringan diduga sebagai penyebab terjadinya mucosal gut injury pada bayi yang besangkutan, namun data-data terbaru menyebutkan penggunaan Partial Exchange Transfusion (PET) untuk menurunkan hematokrit jua merupakan salah satu faktor menyebabkan terjadinya NEC.5

Pada ginjal, polisitemia neonatus ditandai dengan adanya penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR), oligouria, hematuria, proteinuria, dan renal vein thrombosis. Adanya trombositopenia dapat tejadi pada sepertiga jumlah kasus neonatus dengan polisitemia, yang mana terjadinya hal tersebut didugakarena adanya konsumsi platelet berlebihan pada system mikrovaskular.5

Penegakan diagnosis polisitemia

Penegakan diagnosis pada polisitemia neonatus adalah melalui penilaian keadaan klinis bayi dan pemeriksaan hematokrit, dimana nilai hematokrit vena harus lebih dari sama dengan 65% (0,65). Beberapa studi menunjukkan adanya peningkatan viskositas darah yang lebih dari nilai tesebut. Namun beberapa studi lain menyebutkan bahwa bukti klinis tentang penggunaan nilai ambang hematokrit ini sebagai alat penegakan diagnosis polisitemia neonatus masih terbilang kurang. Walaupun demikian, sampai saat ini nilai hematokrit masih tetap digunakan sebagai penanda adanya hiperviskositas karena alat-

alat pengukuran viskositas darah secara direk (langsung) yang masih terbatas. Deteksi peningkatan hematokrit pada darah tali pusat lebih dari atau sama dengan 55% (0,55) dapat membantu memprediksi risiko polisitemia neonatus pada 2 jam pertama setelah kelahiran. Namun hal tersebut tidak dapat dipakai sebagai acuan karena kurangnya data yang menunjukkan terapi pada neonatus dengan peningkatan hematokrit yang asimtomastis dapat mengubah outcome pada bayi tersebut.

Kemungkinan adanya polisitemia harus dipertimbangan pada bayi yang menunjukkan adanya hiperviskositas darah. Deteksi nilai hematokrit yang tinggi pada satu jam pertama setelah kelahiran dapat digunakan sebagai penuntun untuk melakukan follow up pada beberapa jam berikutnya untuk mengidentifikasi adanya peningkatan hematokrit yang lebih jauh lagi dengan pergeseran nilai postnatal fluid. Pengambilan sampel darah harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati karena berpengaruh pada interpretasi hasil tes. Darah yang berasal dar kapiler memiliki hematokrit 5% sampai 15% lebih tinggi dari darah yang berasal dari vena. Selain itu, darah yang diambil dengan ujung stick terkadang dapat menunjukkan angka hematokrit yang lebih tinggi, sehingga harus dikonfirmasi ulang menggunakan free-flowing venous sample. Neonatus dengn polisitemia harus dievaluasi lebih lanjut untuk mengetahui penyebab-penyebab yang mungkin mendasari terjadinya polisitemia, seperti restriksi perkembangan bayi intrauterine, maternal diabetes, aau birth asphyxia. Adanya tumpang tindih antara manifestasi hiperviskositas dengan kondisi serupa lainnya, maka penyebab alternatif timbulnya gejala tersebut harus dieksklusi dengan benar. Neonatus yang mengalami polisitemia juga harus dimonitor lebih lanjut untuk melihat adanya kompliaksi

polisitemia seperti trombosis, NEC, hipoglikemia, hipokalemia, hiperbilirubinemia, dan trombositopenia.

Terapi Polisitemia

Terapi untuk polisitemia pada neonatus dapat dikelompokkan menurut level hematokrit vena dan ada atau tidaknya gejala klinis, anatar lain:5,7

  •    Terapi untuk neonatus yang asimtomatis

  • -    Level Hct 65%-75% :

Monitor sistem kardiorespirasi, level hematokrit, dan level glukosa salama 6-12 jam serta bservasi ada atau tidaknya gejala klinis yang muncul. Lanjutkan memonitor selama paling tidak 24 jam sampai level hematokrit menuru.

  • -    Level Hct>75% :

Pertimbangkan PET (Partial Exchange Transfusion).

  •    Terapi untuk neonatus yang simtomatis

  • -    Level Hct 60%-65% :

Pertimbangkan adanya underlying causes selain polisitemia dan hiperviskositas.

  • -    Level Hct >65% dengan gejala yang mengarah pada polisitemia dan hiperviskositas :

Observasi dengan pemberia cairan intravenauntuk memperbaiki hidrasi dan pertimbangakan PET. Apabila gejala klinis mengalami perburukan dapat dilakukan PET.

  •    PET (Partial Exchange Transfusion)

Penatalaksanaan polisitemia dengan PET sampai saat ini masih kontroversi karena kurangnya bukti yang memperlihatkan bahwa pengobatan agresif dengan PET dapat memperbaiki hasil jangka panjang. Untuk pelaksanaan PET, suatu prahitung volum darah (dihitung untuk mengurangi hematokrit sentral hingga 50% [0.50] sampai 55% [0.55]) digantikan dengan suatu volum yang ekuivalen dengan larutan garam normal, albumin 5%, cairan yang secara komersil tersedia dari fraksi protein plasma manusia atau dengan fresh frozen plasma. Karena biayanya yang lebih rendah, siap tersedia, dan ketiadaan risiko timbulnya infeksi terkait-transfusi, larutan garam normal secara umum diterima sebagai cairan pengganti pilihan untuk PET pada bayi-bayi dengan polisitemia. Dari banyak studi dan penelitian mengenai PET,tidak didapatkan adanya data perbaikan hasil akhir neuologis jangka panjang (indeks perkembangan mental, insiden lambatnya perkembangan, dan insiden diagnosis-diagnosis neurologis) setelah dilakukan PET pada bayi-bayi yang asimtomatis. Pasien-pasien dengan polisitemia dan menunjukkan tanda-tanda atau geala-gejala yang mungkin berhubungan dengan hiperviskositas sering kali diterapi dengan PET, walaupun praktisnya tidak

didukung oleh pembuktian kualitas-tinggi. Bantahan yang mendukung PET adalah didasarkan pada patofisiologi sindrom hiperviskositas karena kebanyakan gejala dianggap berhubungan dengan perfusi mikrosirkulatori berubah dan hipoksia jaringan (5, 7). Dengan menggati beberapa dari masa sel darah merah dalam sirkulasi dengan suatu cairan kristaloid, PET dipercaya mengurangi viskositas darah dan memperbaiki perfusi organ-akhir. Namun, tidak terdapat penelitian dengan studi klinik acak yang menunjukkan adanya keuntungan pengunaan PET dalam pengobatan polisitemia pada pasien yang simtomatis.

Studi terbaru mengenai polisitemia neonatus dan risiko komplikasinya pada penundaan penjepitan tali pusat

Banyak studi dan penelitian terbaru mengenai risiko terjadinya komplikasi karena polisitemia pada neonatus dengan penundaan penjepitan tali pusat untuk memperkuat bukti-bukti bahwa penundaan penjepitan tali pusat memiliki lebih banyak keuntungan bagi bayi dibandingkan dengan penjepitan tali pusat yang terlalu cepat. Hampir seluruh penelitian yang ada menyebutkan bahwa risiko-risiko yang mungkin terjadi pada neonatus dengan penundaan penjepitan tali pusat tidak terbukti dapat membahayakan bayi yang bersangkutan. Berikut adalah berbagai risiko yang mungkin terjadi dan penelitian yang berhubungan dengan kebenaran risiko tersebut:

Pada analisis data yang dilakukan oleh Eileen K. Hutton dan Eman S. Hassan pada Maret 2007, dari 8 percobaan dengan melibatkan 1009 neonatus tidak ditemukan adanya peningkatan risiko terjadinya neonatal jaundice dalam 24 sampai 48 jam pertama postnatal yang terkait dengan penundaan penjepitan tali pusat.9 Namun pada 7 buah studi yang dilakukan oleh Rabe H, Reynolds G, dan Diaz-Rosselo pada tahun 2007 yang melibatkan 297 neonatus, ditemukan adanya peningkatan konsentrasi bilirubin pada neonatus dengan penundaan penjepitan tali pusat. Tetapi dari semua bayi yang mengalami peningkatan bilirubin, hanya satu yang memerlukan terapi hiperbilirubinemia, sehingga data tersebut tidak dapat digunakan untuk penarikan kesimpulan bahwa peningkatan bilirubin tersebut membahayakan bayi.10 Begitu juga yang ditulis pada penelitian dengan sistem randomized controlled trial oleh Jose M. dan kawan-kawan tahun 2005, peningkatan hematokrit darah vena yang terjadi pada neonatus dengan penundaan penjepitan tali pusat masih tergolong fisiologis dan dari penelitian yang dilakukan tidak menunjukkan kemungkinan terjadinya risiko berbahaya seperti hiperbilirubinemia pada bayi.2 Hiperbilirubinemia yang terjadi pada kasus polisitemia neonatus ini berasal dari peningkatan sel darah merah di darah sehingga pemecahan sel darah merah pun meningkat, yang mana salah satu hasil pemecahan sel darah merah adalah bilirubin. Meningkatnya produksi bilirubin dalam darah menyebabkan manifestasi klinis berupa jaundice, yaitu kulit dan sklera mata menjadi berwarna kuning karena

mengandung pigmen warna kuning yang berasal dari metabolisme bilirubin. Pada kasus polisitemia dengan jaundice yang berat akan timbul efek jangka panjang pada kesehatan bayi yang bersangkutan.12-14

  •    Risiko pada sistem kardiorespirasi

Secara teori, adanya peningkatan viskositas darah yang menyebabkan terjadinya polisitemia dapat menjadi penghambat proses penghantaran oksigen ke paru-paru dan jantung sehingga kerja sistem kardiorespirasi pun menjadi terganggu. Terganggunya sistem respirasi ini dapat menyebabkan timbulnya respiratory distress pada neonatus, atau yang kadang disebut pulmonary syndrome of the new born. Sedangkan terhambatnya aliran darah menuju ke jantung dapat menyebabkan curah jantung menurun sehingga darah yang dialirkan ke seluruh tubuh maupun ke paru-paru menjadi tidak optimal.15 Pada penelitian yang sama yang dilakukan oleh Rabe H dan kawan-kawan pada tahun 2007, adanya respiratoy distress pada neonatus dengan penundaan penjepitan tali pusat tercatat hanya pada 2 studi (75 neonatus) dengan 1 studi (39 neonatus) tercatat mengalami severe respiratory distress sehingga data yang ada belum cukup signifikan untuk penarikan kesimpulan bahwa respiratory distress tergolong dalam komplikasi akibat penundaan penjepitan tali pusat.10 Demikian juga efek pada jantung, dari peneitian yang sama, tidak ditemukan adanya bukti-bukti klinis yang cukup untuk menarik kesimpulan.10

  •    Risiko pada sistem gastrointestinal

Komplikasi berbahaya lainnya yang dapat timbul pada sistem gastrointestinal akibat polisitemia adalah necrotizing enterocolitis (NEC). NEC adalah suatu keadaan dimana tejadi proses inflamasi dan invasi bakteri pada dinding usus. Dinding saluran pencernaan pada neonatus dapat dikatakan masih belum sempurna. Apabila terjadi polisitemia, aliran darah menuju sistem gastrointestinal menurun, sedangkan dinding saluran pencernaan pada neonatus masih belum sempurna dan sangat sensitif. Gangguan aliran darah ini dapat menyebabkan iskemik yang kemudian dapat memburuk menjadi nekrosis. Hal tersebut dapat berpengaruh pada proses pencernaan makanan, gangguan kolonisasi flora normal pencernaan, serta tanslokasi bakteri. Adanya invasi dari bakteri menyebabkan mediator-mediator radang teraktifasi sehingga terjadi enterocolitis (peradangan pada saluran pencernaan) yang selanjutnya menimbulkan gejala klinis apnoea, bradikardia, lethargy, serta temperature instability.16 Namun, sama halnya dengan risiko pada organ-

organ lain yang sudah dijelaskan sebelumnya, dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya data yang cukup untuk menarik kesimpulan bahwa penundaan penjepitan tali pusat dapat meningkatkan risiko tejadinya NEC.10

RINGKASAN

Waktu penjepitan tali pusat sampai saat ini masih merupakan suatu isu yang kontroversial di dunia kedokteran. Secara garis besar waktu yang tepat untuk melakukan penjepitan tali pusat dibagi menjadi dua, antara lain penjepitan tali pusat yang terlalu cepat yaitu kurang dari 60 detik setelah bayi lahir dan pengikatan dan penundaan pemotongan tali pusat yaitu lebih dari 60 detik setelah bayi lahir atau setelah pulsasi pada tali pusat hilang. Terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian utama terkait dengan penundaan penjepitan tali pusat, salah satunya adalah peningkatan volume darah akibat adanya peningkatan jumlah eritrosit yang menyebabkan terjadinya polisitemia neonatus. Terdapat berbagai perkiraan mengenai komplikasi berbahaya yang mungkin terjadi berkaitan dengan polisitemia neonatus ini. Walaupun demikian, sampai saat ini data-data dari berbagai penelitian dan studi analisis terbaru menyebutkan bahwa polisitemia yang terjadi pada neonatus dengan penundaan penjepitan tali pusat adalah polisitemia ringan yang dapat membaik setelah 48 sampai 72 jam setelah bayi lahir. Selain itu, dari berbagai sumber tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa keuntungan yang diperoleh dari penundaan penjepitan tali pusat sangat bermakna bagi bayi, salah satunya adalah mencegah terjadinya anemia pada satu tahun pertama kehidupan bayi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

McDonald SJ, Middleton P. Effect of timing of umbilical cord clamping of term infants on maternal and neonatal outcomes (Review). Wiley and sons, ltd. Australia. 2009.

Ceriani JM, et al. The Effect of Timing of Cord Clamping on Neonatal Venous Hematocrit Values and Clinical Outcome at Term: A Randomized, Controlled Trial. American Academy of Pediatrics. Illinois. 2006.

Mercer JS, Skovgaard RL. Neonatal Transitional Physiology: A New Paradigm. Aspen Publishers. 2002. Care of Umbilical Cord. World Health Organization.

Remon JI, Raghavan A, Maheshwari A. Polycythemia in the Newborn. American Academy of Pediatrics. Illinois. 2011

Lessaris KJ. Polycythemia of The Newborn. http://emedicine.medscape.com/article/976319-overview (last update October 2009).

Kanitkar M, Gupta A. Neonatal Polycythemia. MJAFI. 2004; p.196-7.

Hutton EK, Hassan ES. Late and Early Clamping of Umbilical Cord in Full-Term Neonates. American Medical Association. 2007; vol.279; No.11.

Rabe H, Reynolds G, Diaz-Rossello J. Early Versus Delayed Cord Clamping in Preterm Infants (Review). Wiley and Sons, Ltd. 2007.

Philip AGS. Delayed Cord Clamping in Preterm Infants. American Academy of Pediatrics. Illinois. 2006.

Maisels JM. Neonatal Jaundice. Department of Pediatrics, William Beaumont Hospital. Royal Oak, Mich. 2006; vol.27; no.12; p.443-53.

Hansen TWR. Neonatal Jaundice. http://emedicine.medscape.com/article/974786-overview (last update January 2011)

Cohen SM. Jaundice in Full-Term Newborn. http://findarticles.com/p/articles.mi_m0FSZ/is_3_32/ai_n17213842/ ( published 2006)

Intensive Care Nursery House Staff Manual. Respiratory Distress Syndrome. UCSF Medical Center. University of California. 2004.

Hsueh W et al. Neonatal Necrotizing Enterocolitis: Clinical Aspects, Experimental Models, and Pathogenesis. World Journal of Pediatrics. USA. 2007.