DEPRESI DAN CEMAS PADA PASIEN DENGAN SINDROM KORONER AKUT

Kadek Dwi Krisnayanti

Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Depresi dan cemas merupakan dua kondisi yang banyak terjadi pada pasien dengan sindrom koroner akut, dimana keduanya dapat memberikan dampak kardiovaskuler yang buruk. Meskipun prevalensinya cukup tinggi, sebagian besar kasus masih belum tertangani dengan baik. Mekanisme yang mendasari hubungan depresi dan cemas terhadap timbulnya dampak kardiovaskuler yang buruk kemungkinan berkaitan dengan pengaruhnya terhadap proses inflamasi, pelepasan katekolamin, variabilitas denyut jantung, fungsi endotel, serta terhadap perilaku menjaga kesehatan pasien. Untungnya, terapi standar yang tersedia saat ini tergolong aman, efektif serta dapat ditolerir dengan baik oleh sebagian besar pasien.

Kata Kunci: sindrom koroner akut, depresi, cemas

DEPRESSION AND ANXIETY IN PATIENT WITH

ACUTE CORONARY SYNDROME

ABSTRACT

Depression and anxiety are two conditions that common happened in patient with acute coronary syndrome which can cause negative cardiovascular outcomes. Although the prevalencies of these two conditions are slightly high, most of them had not been treated well. The mechanisms that underly the association between depression and anxiety with the negative cardiovascular outcome are possibly correlates with their effect on inflammatory process, cathecolamine release, heart rate variability, endothelial function and also their effect on health promoting behavior. Fortunately, the standard therapies that available for these conditions are safe, effective, and can be tolerated well in most patients.

Key words: acute coronary syndrome, depression, anxiety

PENDAHULUAN

Depresi dan cemas sering terjadi pada pasien dengan sindrom koroner akut maupun penyakit kardiovaskuler lainnya. Meskipun prevalensinya cukup tinggi, kedua kondisi psikiatrik ini sering tidak disadari oleh petugas kesehatan dan tidak mendapatkan penanganan selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Hal ini tentu dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.1

Baik depresi maupun cemas dihubungkan dengan timbulnya dampak kardiovaskuler yang buruk bagi penderita serangan jantung akut.1,2 Depresi telah lama diketahui sebagai salah satu faktor risiko mayor terjadinya penyakit jantung. Cemas berhubungan dengan meningkatnya risiko infark miokard baik non fatal maupun fatal (berakhir dengan kematian).2

Untungnya masih tersedia terapi yang efektif bagi kedua gangguan ini, dan evaluasi yang sistematis terhadap gejala-gejala psikiatri pada penderita penyakit jantung berpotensi untuk memperbaiki outcome penderita.1

Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang sindrom koroner akut, prevalensi dan dampak medis dari depresi dan cemas pada penderita sindrom koroner akut. Penulis juga akan membahas mekanisme yang memungkinkan depresi dan cemas dapat memperburuk prognosis penderita penyakit jantung dan akan menjelaskan pertimbangan terapi pada kelompok ini.

SINDROM KORONER AKUT

Sindrom koroner akut merupakan salah satu spektrum penyakit jantung koroner yang terdiri dari angina tak stabil dan infark miokard yang merupakan kondisi klinis yang berat dan mengancam nyawa. Kedua kondisi ini menggambarkan adanya iskemia mendadak pada miokard akibat hilangnya aliran darah ke otot jantung, sehingga

menyebabkan berhentinya suplai oksigen bagi sel-sel jantung.3 Sindrom koroner akut. menunjukkan suatu spektrum klinis yang luas dari derajat keparahan suatu iskemia miokard, mulai dari angina tak stabil yang didefinisikan sebagai iskemia yang tidak sampai menimbulkan jejas pada miokard, hingga infark miokard yang berarti adanya iskemia yang berakibat pada kematian sel-sel jantung.1

Setiap tahunnya, terdapat lebih dari satu juta penduduk Amerika menderita sindrom koroner akut.4 Secara umum faktor risiko terjadinya penyakit jantung, termasuk sindrom koroner akut dapat dibedakan menjadi faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.1,4,5

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi: (1) jenis kelamin laki-laki; (2) umur lebih dari 45 tahun pada laki-laki, dan lebih dari 55 tahun pada perempuan; (3) adanya riwayat keluarga dengan penyakit jantung. Adapun faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain: hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, gaya hidup yang pasif, dan merokok.1,4,5 Disamping faktor risiko diatas, faktor psikologis khususnya depresi dan cemas dianggap memegang peranan penting dalam terjadinya penyakit jantung. Beberapa studi bahkan telah memasukkan depresi sebagai salah satu faktor risiko klasik terjadinya penyakit jantung.1,2

Penyebab utama terjadinya sindrom koroner akut adalah adanya ruptur plak aterosklerotik. Predisposisi terjadinya ruptur plak aterosklerotik ini lebih banyak ditentukan oleh komponen instrinsik plak, dibandingkan dengan derajat penonjolan plak kearah lumen pembuluh darah koroner.1,3,5

Plak aterosklerotik yang rentan mengalami ruptur, memiliki beberapa karakteristik, yaitu: (1) mengandung banyak lipid core (yang berisi debris nekrotik yang sangat inflamatif); (2) mengandung banyak sel radang (seperti makrofag); (3)

mengandung sedikit fibroblast; dan (4) memiliki fibrous cap yang relatif tipis, yang

memisahkan komponen plak dengan darah.1,5

Rupturnya plak aterosklerotik selanjutnya diikuti oleh serangkaian proses inflamasi yang melibatkan aktivasi platelet yang mengakibatkan terbentuknya trombus. Adanya trombus pada permukaan plak, mengakibatkan penyempitan hingga sumbatan lumen arteri koroner. Trombus tersebut juga dapat terlepas dan beredar didalam sirkulasi lalu menjadi emboli di pembuluh darah kecil.1,5

Jika trombosis arteri koroner yang terjadi cukup signifikan, maka aliran darah ke daerah yang terletak disebelah distal dari tempat sumbatan akan berkurang atau tersumbat, sehingga terjadi iskemia miokard. Disamping itu iskemia miokard juga terjadi akibat embolisasi pembuluh darah kecil (mikrovaskulatur) oleh debris kaya platelet.1

Sindrom koroner akut biasanya ditandai dengan nyeri angina yang memiliki karakteristik khas, yakni: berlangsung lebih dari 20 menit, berupa rasa berat atau tertekan atau sensasi seperti terbakar pada dada sebelah kiri yang dapat menjalar ke sisi medial lengan kiri, ke leher hingga rahang, serta punggung. Lama serangan, derajat rasa nyeri yang timbul serta adanya gejala autonom seperti: berkeringat dingin, pucat, mual dan sesak nafas menunjukkan derajat iskemia yang terjadi.3

Pasien-pasien yang diduga mengalami sindrom koroner akut harus dievaluasi dengan elektroardiogram (EKG) 12-lead.1,3 Gambaran EKG akan menunjukkan adanya iskemia miokard berupa: perubahan pada segmen ST, inversi gelombang T, serta Bundle Branch Block (BBB). Tidak jarang EKG memberikan gambaran yang normal terutama pada serangan pertama, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan EKG serial untuk memantau setiap perubahan/perkembangan suatu iskemia miokard.3

Depresi maupun elevasi segmen ST menunjukkan adanya iskemia miokard yang

berat. Kematian sel-sel otot jantung (infark miokard) dapat diketahui dari adanya

kenaikan enzim jantung, terutama troponin yang merupakan penanda utama adanya kematian sel-sel otot jantung.3 Disamping bermanfaat untuk mendiagnosis infark miokard, pemeriksaan serum troponin juga berguna untuk memprediksi risiko berulangnya suatu infark miokard, demikian pula risiko kematian akibat kondisi ini.

Secara umum, kenaikan serum troponin dalam konteks sindrom koroner akut menandai populasi pasien yang memerlukan penatalaksanaan klinis yang lebih agresif.1

Penatalaksanaan akut suatu sindrom koroner akut meliputi: pemberian oksigen,

aspirin, beta-adrenergic blocking agent, high dose lipid lowering agent, antikoagulan

seperti heparin, demikian pula nitrogliserin, dan atau morfin sulfat untuk gejala-gejala

yang tidak kunjung membaik. Obat anti trombotik yang lebih agresif seperti clopidogrel

dan atau platelet glycoprotein antagonist juga digunakan secara luas pada penyakit

ini.


1,3


Tujuan pengobatan akut adalah untuk mengeradikasi gejala, menormalkan temuan EKG, dan mencegah komplikasi. Disamping mendapatkan terapi medikamentosa, pasien (khususnya mereka yang menderita infark miokard dengan BBB dan elevasi segmen ST pada EKG) merupakan kandidat utama untuk menjalani terapi reperfusi. Tindakan yang paling sering dikerjakan adalah kateterisasi jantung darurat dengan angiografi coroner untuk mengidentifikasi area stenosis didalam lumen sistem arteri coroner. Selanjutnya dilakukan dilatasi menggunakan baloon angioplasty, disertai pemasangan coronary stent. Jika tidak tersedia fasilitas kateterisasi, reperfusi bisa juga dilakukan dengan menggunakan agen fibrinolitik meskipun tingkat keberhasilannya lebih rendah dibandingkan angioplasty dan stenting.1,3

Setelah fase akut terlewati, maka penatalaksanaan dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan untuk mengurangi risiko komplikasi dan rekurensi di masa mendatang. Terapi pemeliharaan ini meliputi pemberian terapi farmakologi seperti: beta blocker, ACE-inhibitor, cholesterol lowering agent, agen anti platelet (aspirin, clopidogrel). Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko juga sangat penting.1,3

DEPRESI DAN CEMAS PADA PASIEN SINDROM KORONER AKUT

Sekitar 15-27% pasien dengan penyakit jantung (termasuk di dalamnya pasien dengan sindrom koroner akut) menderita sindrom depresi mayor.1,6,7 Jumlah tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi umum yang hanya sekitar 4%-5%.1 Sebagian besar pasien mengalami gejala subsindromal,7 sehingga sering tidak dikenali oleh petugas kesehatan dan tidak mendapatkan penanganan yang baik.1

Depresi dapat timbul sebagai reaksi sementara terhadap adanya penyakit jantung, namun tidak jarang juga bersifat kronis dan rekuren.1 Sertraline Antidepressant Heart Attack Randomized Trial (SADHART) (2009) menemukan bahwa diantara pasien yang menderita sindrom koroner akut yang datang ke rumah sakit dengan gejala depresi mayor, 94% telah mengalami depresi lebih dari satu bulan, 61% telah mengalami depresi lebih dari enam bulan dan lebih dari separuh pernah mengalami episode depresi mayor sebelumnya.1,6,7

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa depresi merupakan salah satu faktor risko independen untuk muncul dan berkembangnya suatu penyakit jantung koroner. Pasien dengan sindrom depresi mayor memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami serangan infark miokard baik yang bersifat fatal maupun tidak fatal, serta mengalami kematian mendadak dibandingkan dengan pasien yang tidak menderita depresi. Sebuah studi meta-analisis (2007) terhadap 28 studi longitudinal yang

melibatkan hampir 80.000 pasien menyimpulkan bahwa mood depresi secara signifikan meningkatkan risiko timbulnya beragam penyakit kardiovaskuler, dan pasien yang secara klinis telah terdiagnosis menderita gangguan depresi mayor memiliki risiko yang paling besar untuk mengalami penyakit kardiovaskuler.7

Pada pasien dengan riwayat penyakit jantung, depresi juga merupakan salah satu faktor risiko independen (selain merokok, hipertensi, hiperlipidemia dan diabetes) morbiditas dan mortalitas.2,6,7 Depresi meningkatkan risiko terjadinya infark miokard 8 yang tidak fatal sebanyak 4 kali lipat, pasca terjadinya suatu episode angina tak stabil.8

Sebuah studi meta-analisis (2008) dilakukan terhadap 20 studi prospektif yang melibatkan pasien-pasien dengan riwayat infark miokard, pasien pasca operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG), pasca prosedur Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty, maupun pasien dengan penyakit jantung koroner yang stabil. Studi ini menyimpulkan bahwa pasien yang menunjukkan gejala depresi dua kali lebih rentan untuk mengalami kematian dalam 2 tahun masa follow-up. Bahkan pada pasien yang telah menjalani operasi CABG, adanya gejala depresi dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya graft atherosclerosis dan berkurangnya diameter 7

minimum lumen saphenous vein graft dalam 4-5 tahun masa follow-up.7

Prevalensi gangguan cemas pada populasi dengan penyakit jantung cukup tinggi, yakni antara 28% sampai 44% pada kelompok usia yang lebih muda. Pada kelompok usia yang lebih tua, prevalensi gangguan cemas diperkirakan antara 14% sampai 24%.9 Pasien dengan penyakit jantung koroner yang stabil memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum, dengan prevalensi antara 16% sampai 42%.1

Sebuah studi prospektif terhadap penderita penyakit jantung koroner menemukan adanya peningkatan risiko terjadinya serangan infark miokard baik yang bersifat tidak fatal maupun yang berujung dengan kematian pada kelompok ini. Peningkatan risiko tersebut terjadi seiring dengan meningkatnya derajat kecemasan 2 penderita.

Baik depresi maupun gangguan cemas yang terjadi pasca sindrom koroner akut sering tidak disadari dan tidak mendapatkan penanganan dari petugas kesehatan di lini pertama unit-unit pelayanan jantung. Hal ini dapat menurunkan kualitas hidup penderita, mengingat buruknya dampak kedua kondisi tersebut terhadap outcome kardiovaskuler penderita.1

MEKANISME YANG MENDASARI HUBUNGAN ANTARA DEPRESI DAN

CEMAS DENGAN ISKEMIA MIOKARD

Berdasarkan sejumlah bukti penelitian, terdapat dua mekanisme berperan dalam hubungan antara depresi dan cemas dengan kejadian iskemia miokard yaitu: mekanisme fisiologis dan mekanisme behavioral.1

Mekanisme Fisiologis

  • a. Aktivitas dan Agregasi Platelet

Aktivitas dan agregasi platelet merupakan komponen utama dalam patogenesis aterotrombosis yang melatar belakangi terjadinya suatu iskemia miokard akut.1,5,6 Pada penderita depresi terjadi peningkatan akitivitas dan agregasi platelet.1,6,7 Penderita penyakit jantung koroner yang menunjukkan gejala depresi, juga mengalami peningkatan aktivitas platelet. Hal ini dibuktikan dari lebih tingginya kadar plasma platelet factor IV dan thromboglobulin-β (yang merupakan penanda

aktivitas platelet) kelompok ini jika dibandingkan dengan penderita tanpa gejala depresi serta kelompok kontrol.6

Lebih tingginya aktivitas dan agregasi platelet pada penderita penyakit jantung koroner yang juga mengalami depresi, kemungkinan berkaitan dengan adanya disfungsi serotonergik akibat depresi.7 Sejumlah bukti penelitian menunjukkan bahwa penderita depresi (dengan atau tanpa riwayat penyakit jantung): (1) memiliki level serotonin yang tidak normal baik didalam whole blood maupun platelet; (2) mengalami peningkatan densitas reseptor serotonin pada platelet; (3) memiliki level platelet serotonin transporter yang rendah, serta mengalami peningkatan sensitivitas agregasi platelet sebagai respon terhadap serotonin.1,7

Serotonin merupakan substansi penting yang mempengaruhi fungsi platelet.7,10 Ikatan serotonin pada reseptor 5-hydroxytrypthamine-2 (5HT-2) di permukaan platelet, mengakibatkan rekrutmen platelet dalam jumlah yang lebih besar dan aktivasi kaskade koagulasi. Hal ini mengakibatkan peningkatan agregasi platelet yang menyebabkan pembentukan klot. Didalam lumen arteri koroner yang normal, pembentukan trombus dan iskemia dicegah oleh adanya stimulasi serotonin terhadap sel endotel pembuluh darah untuk melepaskan Nitric Oxide (NO) yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah disekitar area terbentuknya klot. Pada arteri yang mengalami aterosklerosis, telah terjadi kerusakan endotel, sehingga pada saat mendapatkan stimulasi serotonin, terjadi kegagalan pelepasan NO. Sebagai respon terhadap stimulasi serotonin justru terjadi vasokonstriksi pembuluh darah, yang akan semakin memperberat iskemia miokard.10

Penderita gangguan cemas mengalami peningkatan aktivitas saraf simpatis dan level katekolamin plasma.2,9 Katekolamin juga memiliki kemampuan untuk

merangsang aktivitas platelet melalui stimulasi terhadap reseptor α-2 di permukaan platelet.9 Hal ini kemungkinan mendasari hubungan antara gangguan cemas dengan peningkatan aktivitas platelet.2,9 Gangguan cemas juga dihubungkan dengan adanya abnormalitas aktivitas serotonergik, seperti halnya depresi.2 Penderita gangguan cemas spesifik memiliki abnormalitas level serotonin dalam darah, platelet serotonin transporter, dan level kalsium intraselular platelet sebagai respon terhadap stimulasi (peningkatan sensitivitas terhadap faktor prokoagulan).1 b. Inflamasi

Inflamasi tampakanya memegang peranan kunci dalam patogenesis iskemia akut.1 Sitokin proinflamasi seperti TNF-α, dan IL-1 secara aktif terlibat dalam patogenesis aterosklerosis. Peningkatan penanda radang, khususnya C-Reactive Protein (CRP) secara independen berkaitan dengan mortalitas yang menyertai sindrom koroner akut. Depresi juga dikaitkan dengan peningkatan penanda radang seperti: IL-1, Il-6, dan TNF-α, dimana keadaan pro inflamatorik pada depresi dapat memicu timbulnya iskemia miokard. Sebuah studi pada orang dewasa sehat menemukan bahwa peningkatan derajat cemas dikaitkan dengan abnormalitas penanda radang, meskipun telah dilakukan pengendalian faktor-faktor lainnya. Gangguan cemas menyeluruh dihubungkan dengan peningkatan level CRP pada pasien dengan penyakit jantung.1,6

  • c. Variabilitas Denyut Jantung

Penurunan variabilitas denyut jantung pada penderita pasca infark miokard secara konsisten dihubungkan dengan risiko mortalitas, karena berkaitan dengan peningkatan risiko aritmia. Beberapa studi menemukan bahwa depresi berhubungan dengan penurunan variabilitas denyut jantung. Jika dikaitkan dengan dengan risiko

relatif untuk terjadinya aritmia pada penderita pasca infark miokard, secara substansial depresi dapat meningkatkan risiko aritmia pada populasi yang rentan ini. Gangguan cemas berhubungan dengan peningkatan aktivitas saraf simpatis, penurunan variabilitas denyut jantung, reaktivitas baroreseptor dan kegagalan kontrol vagal. Penurunan variabilitas denyut jantung akan memberikan dampak kardiovaskuler yang buruk bagi pasien dengan riwayat penyakit jantung, karena tingginya risiko mortalitas akibat aritmia ventrikel dan kematian jantung mendadak.2 d. Peningkatan Katekolamin

Tingginya level katekolamin plasma dapat meningkatkan progresivitas untuk terjadinya hipertensi dan aterosklerosis serta menyebabkan jejas pada sel endotel pembuluh darah. Aktivasi simpato-adrenal akan meningkatan level katekolamin sehingga berdampak pada timbulnya vasokonstriksi pembuluh darah, peningkatan denyut jantung dan aktivasi platelet yang merugikan stabilitas kardiovaskuler.1,6 Penderita depresi mengalami aktivasi jalur hipotalamus-ptuitary-adrenal axis dan jalur simpato-adrenal secara berlebihan.6,7 Hampir sama dengan depresi, gangguan cemas akut maupun kronis juga menyebabkan hiperaktivitas sistem saraf simpatis dan disregulasi autonom.1

  • e. Disfungsi Endotel

Endotel adalah lapisan aktif yang menjadi batas antara komponen darah dengan pembuluh darah dan merupakan pengatur utama homeostasis pembuluh darah.1,10 Disfungsi endotel pada penderita penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas. Depresi berhubungan dengan fungsi endothel yang abnormal, Disfungsi endotel juga dilaporkan terjadi pada penderita yang mengalami gangguan cemas, terutama orang tua.1,2

Mekanisme Behavioral

Depresi berhubungan dengan buruknya pencegahan sekunder pada pasien yang pernah mengalami iskemia akut.7 Penderita pasca infark miokard yang juga mengalami depresi, memiliki kepatuhan yang lebih rendah untuk: (1) menjalankan pola diet rendah lemak; (2) untuk berolahraga; (3) untuk berhenti merokok, serta (4) untuk mengurangi stress dalam hidupnya, padahal poin-poin tersebut penting untuk dilaksanakan dalam rangka mencegah kekambuhan dan komplikasi pasca serangan. 1

PENGOBATAN DEPRESI DAN CEMAS

Antidepresan

Secara umum tricyclic antidepressant (misalnya: amitriptyline dan nortriptyline) sebaiknya dihindari penggunaannya pada pasien dengan penyakit jantung, karena efek kardiotoksik yang ditimbulkannya berupa: hipotensi ortostatik, takhikardia akibat efek antikolinergik, pemanjangan cardiac interval (kompleks QRS dan interval QT) dan adanya sifat pro aritmik.1,12

Selective Serotonine Reuptake Inhibitor (SSRI) dianggap lebih aman dan efektif bagi pasien dengan penyakit jantung karena SSRI jarang menimbulkan efek samping yang merugikan sebagaimana halnya tricyclic antidepressant. Mekanisme potensial SSRI dalam menurunkan risiko serangan jantung melibatkan perannya dalam penurunan aktivitas platelet. Pengobatan pasien depresi dengan SSRI dapat menurunkan penanda hiperaktivitas platelet.1,6,11

Sertraline dan Citalopram merupakan antidepresan lini pertama bagi pasien dengan penyakit jantung koroner.13 The Canadian Cardiac Randomized Evaluation of Antidepressant and Psychotherapy Eficacy (CREATE) (2007) placebo controlled trial terhadap 284 pasien rawat jalan dengan penyakit jantung koroner dan depresi

menemukan bahwa citalopram secara signifikan lebih efektif dibandingkan plasebo. Citalopram dapat ditoleransi dengan baik, dan tidak memiliki efek samping yang merugikan. Penelitian berikutinya yaitu multicenter (SADHART) randomized controlled trial terhadap 269 pasien pasca sindrom koroner akut disertai gangguan depresi mayor menemukan bahwa sertraline tergolong aman, dapat ditoleransi dengan baik, dan ampuh bagi pasien yang memulai pengobatan kira-kira 1 bulan pasca terjadinya sindrom koroner akut. Lebih lanjut post hoc analysis of the Enhancing Recovery in Coronary Heart Disease Patients (ENRICHED) trial menemukan bahwa pasien yang mendapat pengobatan SSRI mengalami 40% penurunan risiko mortalitas akibat penyakit jantung dan infark yang berulang dalam 29 bulan follow-up, dibandingkan pasien yang tdak diterapi dengan SSRI.1,12

Benzodiasepine

Benzodiazepine bermanfaat dalam mengurangi rasa cemas yang akut dan efektif dalam pengobatan beberapa gangguan cemas (misalnya: gangguan panik). Obat ini efektif dan baik digunakan pada pasien yang baru saja mengalami iskemia miokard dengan gejala cemas yang meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, dan masalah fisiologis lainnya. Obat ini memiliki beberapa efek fisiologis yang menguntungkan meliputi: penurunan level katekolamin secara akut dan mengurangi resistensi pembuluh darah koroner.1

Benzodiasepine memiliki beberapa kelemahan, yaitu: (1) meningkatkan risiko jatuh, karena memiliki efek samping sedasi; (2) menyebabkan depresi pernapasan pada penggunaan dalam dosis yang tinggi; (3) mengakibatkan ketergantungan fisik pada penggunaan jangka panjang; serta (4) tidak dapat mengobati gejala depresi. Terlepas dari adanya sejumlah kelemahan, agen anxiolytic ini secara substansial efektif bagi

penderita penyakit jantung iskemia yang juga menderita gangguan cemas. Sementara bagi penderita depresi dan gangguan cemas formal, antidepresan juga sering menjadi pilihan terapi.1

Psikoterapi

Psikoterapi efektif bagi pasien dengan penyakit jantung yang juga mengalami depresi atau cemas, meskipun terapi ini kurang efektif dalam memperbaiki outcome medis pasien jika dibandingkan dengan pemberian antidepresan.1 Kesulitan terbesar dalam mengembangkan terapi ini terletak pada rendahnya bukti-bukti penelitian terkait bentuk-bentuk terapi yang sesuai, terutama didaerah yang jauh dari pusat-pusat pendidikan/akademik.1,6,12

Latihan dan Rehabilitasi Jantung

Latihan adalah antidepresan yang efektif dan berhubungan dengan penurunan derajat kecemasan, serta memiliki beberapa manfaat kardiovaskuler. Penelitian tentang latihan (30 menit berjalan/lari kecil secara kontinyu untuk mencapai denyut jantung target, 3 kali perminggu selama 16 minggu) pada penderita depresi, menunjukkan bahwa latihan yang teratur sama efektifnya dengan sertraline untuk mengobati depresi. Follow-up atas penelitian pertama, enam bulan setelah akhir studi, menemukan perbaikan gejala depresi pada pasien dalam kelompok latihan yang bertahan lebih lama jika dibandingkan dengan kelompok yang memperoleh terapi antidepresan saja.1

Penerapan latihan dan rehabilitasi jantung bagi penderita penyakit jantung merupakan sebuah tantangan, terutama bila disertai dengan adanya gejala depresi atau cemas. Telah dibahas sebelumnya bahwa penderita penyakit jantung yang juga mengalami depresi lebih rendah kepatuhannya untuk melakukan latihan dibandingkan pasien serupa yang tidak mengalami depresi. Pasien-pasien semacam ini juga lebih

rendah kepatuhannya untuk menjalani rehabilitasi jantung secara teratur. Rasa cemas

juga mengurangi tingkat partisipasi terhadap program ini.1

DAMPAK PENGOBATAN TERHADAP KONDISI PSIKIATRIK PASIEN

Pasien dengan penyakit jantung, terutama dengan riwayat iskemia, mungkin mendapat beberapa jenis obat untuk mencegah rekurensi dan komplikasi pasca serangan. Beberapa obat yang rutin diberikan, seperti: aspirin, clopidogrel, warfarin, ACEinhibitor, dan nitrat tidak berhubungan dengan efek psikiatrik.1

Pengobatan hiperkolesterolemia dengan statin diduga dapat menyebabkan timbulnya gejala depresi bahkan perilaku bunuh diri. Namun sejumlah penelitian menolak dugaan ini karena pada kenyataannya penggunaan statin dalam jangka panjang justru berhubungan dengan perbaikan kondisi psikososial penderita. Pemberian beta blocker juga sempat meimbulkan polemik, karena diduga meningkatkan depresi dan rasa lelah. Sebuah studi meta-analisis menyimpulkan bahwa penggunaan beta blocker tidak meningkatkan gejala depresi namun sedikit meningkatkan risiko kelelahan dan disfungsi seksual.6 Disisi lain, β-blocker khususnya propranolol diketahui bermanfaat dalam pengobatan cemas dan agresi.1

RINGKASAN

Depresi dan cemas sering terjadi pada penderita sindrom koroner akut maupun penyakit kardiovaskuler lainnya. Keduanya dihubungkan dengan timbulnya dampak kardiovaskuler yang buruk bagi penderita penyakit jantung khususnya penyakit jantung koroner. Mekanisme yang mendasari hubungan antara depresi dan cemas dengan outcome kardiovaskuler yang buruk dijelaskan melalui 2 mekanisme utama yakni mekanisme fisiologis dan behavioral. Deteksi dini terhadap gejala-gejala depresi maupun cemas pada penderita. Penatalaksanaan secara cepat dan tepat akan dapat mengurangi risiko morbiditas maupun mortalitas akibat dua kondisi ini.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Jeff CH, Christopher MC, James LJ. The relationship between depression, anxiety, and cardiovascular outcomes in patients with acute coronary syndromes. Neuropsychiatric Disease and Treatment. 2010; 6: 123-36.

  • 2.    Woldecherkos A, Yinong YX, Charles MB. Anxiety worsen prognosis in patient with coronary artery disease. Journal of American College of Cardiology. 2007; 49: 2021-7.

  • 3.    David EN. Acute coronary syndrome. In: David EN, Neil RG, editors. Cardiology. 1st ed. London: Elseiver; 2005. p. 44-5.

  • 4.    Veronique LR, Alan SG, Donald ML, Robert JA, Jarret DB, Todd MB, dkk. Heart disease and stroke statistic-2011 update: A report from the american heart asscociation. Circulation. 2011; 123: 18-209.

  • 5.    Frederick JS, Ramzi SC. The blood vessels. In: Vinay K, Ramzi SC, Stanley LR, editors. Basic Clinical Pathology.7th ed. New York: Elseiver; 2003. p. 328-34.

  • 6.    Leo P, George T, Jianping Z, Marc P, Kathleen F, Wei J. Depression and heart disease: what do we know, and where are we headed?. Cleveland Clinical Journal of Medicine. 2009; 76: 59-70.

  • 7.    Yelizaveta S, Sermsak L, Jose RM. The impact of depression in heart disease. Curr Psychiatry Rep. 2010; 12: 255-64.

  • 8.    Robert MC, Kenneth EF. Treatment – Resistant depression and mortality after acute coronary syndrome. Am J Psychiatric. 2009; 166: 410-17.

  • 9.    Urooj Z, Manuel PY, Daichi S, Gemma V, Matthew MB, William C, dkk. Anxiety is a better predictor of platelet reactivity in coronary artery disease patients than depression. European Heart Journal. 2010; 31: 1573-82.

  • 10.    Takuya W, Shinji K. Roles of serotonin in atherothrombosis and related disease. Traditional and Novel Risk Factors in Atherothrombosis [serial online] 2012 March-April [diakses 28 November 2012]; Diunduh dari: URL: http://www.intechopen.com.

  • 11.    Joost PM, Peter DJ, Titia AS, Jan GP, Johan O, Dirk JV, dkk. Prognostic association of depression following myocardial infarction with mortality amd cardiovascularevents: A meta-analysis. Psychosomatic Medicine. 2004; 66: 814-22.

  • 12.    Judith HL, Thomas B, James AB, Nancy S, Peter GK, Daniel BM, dkk. Depression and coronary heart disease. Circulation [serial online] 2008 October 21st [diakses 29 November 2012]; Diunduh dari: URL: http://circ.ahajournals.org.

17