LOW-MOLECULAR WEIGHT HEPARIN (LMWH) AS A PROPHYLAXISOF DEEP VEIN THROMBOSIS (DVT) IN TRAUMATIC PATIENTS
on
LOW-MOLECULAR WEIGHT HEPARIN (LMWH) SEBAGAI PROFILAKSIS DEEP VEIN THROMBOSIS(DVT)
PADA PASIEN TRAUMA
Dian Megasafitri1, Wiargitha2, Sri Maliawan3
-
1 Mahasiswa Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
-
2 Sub Bagian Bedah Trauma Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
-
3 Sub Bagian Bedah Saraf Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
ABSTRAK
Deep Vein Thrombosis (DVT)adalahterbentuknya bekuan darah (trombus) pada salah satu vena dalam yang menyalurkan darah kembali ke jantung.Cedera traumatik merupakan salah satu faktor risiko penting untuk terbentuknya DVT. Pembentukan trombus melibatkan tiga faktor penting meliputi aliran darah, komponen darah, dan pembuluh darah yang dikenal sebagai Virchow’s Triad. Temuan klasik nyeri pada betis pada saat kaki dorsifleksi (Homans sign) merupakan tanda yang spesifik tetapi tidak sensitif dan terjadi pada setengah pasien dengan DVT.Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam pendekatan pasien dengan kecurigaan mengalami DVT. Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis DVT. Walaupun pilihan modalitas ada banyak, bukti klinis level 1 sekarang ini mendukung penggunaan terapi farmakologis dengan antikoagulan Low-Molecular Weight Heparin (LMWH) sebagai agen profilaksis DVT primer. Berbagai jenis LMWH memiliki perbedaan indikasi yang diterima oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai profilaksis DVT berdasarkan berbagai bukti klinis yang mendukung. Enoxaparin diindikasikan paling luas sebagai profilaksis dan terapi DVT. Tinzaparin diindikasikan sebagai terapi tetapi tidak sebagai profilaksis DVT pada beberapa kelompok pasien. Dalteparin diindikasikan sebagai profilaksis namun tidak sebagai terapi DVT.
Kata kunci:DVT, LMWH, Enoxaparin
LOW-MOLECULAR WEIGHT HEPARIN (LMWH) AS A PROPHYLAXISOF DEEP VEIN THROMBOSIS (DVT) IN TRAUMATIC PATIENTS
ABSTRAK
Deep Vein Thrombosis (DVT) is the formation of a blood clot (thrombus) in a vein in which to channel blood back to the heart. Traumatic injury is one of the important risk factors for DVT formation. Thrombus formation involves three important factors include the blood flow, blood components, and blood vessels, known as Virchow's Triad. Classical findings of pain in the calf of foot at dorsiflexion position (Homans sign) is a sign of a specific but not sensitive and occurs in half of patients with DVT. A thorough history and physical examination is very important in the approach to patients with suspicion of having DVT. Radiological examination is an important examination in diagnosing DVT. Although there are many choices modality, the level 1 clinical evidence now supports the use of pharmacologic therapy with anticoagulants Low-Molecular Weight Heparin (LMWH) for primary DVT prophylaxis agent. Different types of LMWH have different indications approved by the Food and Drug Administration (FDA) as DVT prophylaxis based on the varieties of clinical evidence. Enoxaparin is the most widely indicated as a prophylaxis and treatment for DVT. Tinzaparin is indicated as a therapy, but not as a DVT prophylaxis in some groups of patients. Dalteparin is indicated as a prophylaxis, but not as a DVT therapy.
Keywords: DVT, LMWH, Enoxaparin
PENDAHULUAN
Deep Vein Thrombosis (DVT)adalahterbentuknya bekuan darah (trombus) pada salah satu vena dalam yang menyalurkan darah kembali ke jantung. Manifestasi klinis dari DVT sering tidak spesifik atau tidak nampak sama sekali, sehingga tidak mendapatkan terapi secara adekuat. DVT yang tidak dicegah atau diterapi dengan baik dapat menyebabkan trombusterlepas dan ikut aliran darah, kemudian menyumbat arteri yang menyuplai paru-paru. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya Pulmonary Emboli (PE) yang berpotensi mengancam nyawa penderita.1
Cedera traumatik merupakan salah satu faktor risiko penting untuk terbentuknya DVT. Tanpa thromboprophylaxis, rata-rata insiden DVT melebihi 50%. Walaupun DVT sendiri tidak mengancam nyawa, PE yang dihasilkan nantinya dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas. PE diperkirakan menjadi penyebab kematian ketiga pada pasien trauma yang bertahan lebih dari 1 hari setelah masuk rumah sakit. Pasien trauma memiliki risiko tinggi mengalami DVT akibat faktur ekstremitas bawah atau pelvis, cedera medula spinalis, cedera kepala, dilakukan intervensi pembedahan, pemasangan femoral central venous catheter dan imobilisasi lama.2
Modalitas yang ada sebagai thromboprophylaxis pada pasien trauma dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu terapi farmakologis dengan antikoagulan, alat kompresi mekanik, dan Inferior Vena Cava Filter (IVCF). Walaupun pilihan modalitas ada banyak, bukti klinis level 1 sekarang ini mendukung penggunaan terapi farmakologis dengan antikoagulan Low-Molecular Weight Heparin (LMWH) sebagai agen profilaksis DVT primer. Modalitas yang lain seperti alat kompresi mekanik dan IVCF tidak
dipergunakan sebagai tromboprophylaxis primer, namun dapat membantu pada saat 2
pemberian LMWH termasuk dalam kontraindikasi.2
EPIDEMIOLOGI
DVT diperkirakan dialami oleh 900.000 orang di Amerika Serikat setiap tahun dan menyebabkan ratusan ribu orang dirawat di rumah sakit serta sekitar 300.000 orang meninggal dunia. Sekitar 2/3 memperlihatkan manifestasi sebagai DVT dan 1/3 sebagai PE dengan atau tanpa DVT sebelumnya.3Pada pasien trauma, insiden DVT antara 1020% dan PE sekitar 2-3%.4
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Beberapa penelitian sudah mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinyaDVT pada pasien yang mengalami trauma (Tabel 1). Faktor-faktor risiko ini umumnya bersifat kumulatif dan pasien biasanya memiliki lebih dari satu faktor risiko.4Sebuah sistem penilaian Risk Assesment Profile (RAP) dikembangkan oleh Greenfiled dan rekan-rekannya (Tabel 2). Penelitian yang dilakukan oleh Gearhart dan rekan-rekannya mendukung sistem penilaian tersebut, dimana pasien dengan RAP≥ 3
5 memiliki resiko 3 kali lipat mengalami DVT daripada pasien dengan RAP < 5.3
PATOFISIOLOGI
Pembentukan trombus melibatkan tiga faktor penting meliputi aliran darah, komponen darah, dan pembuluh darah yang dikenal sebagai Virchow’s Triad. Trauma mayor sering mempengaruhi salah satu atau ketiga faktor ini yaitu hiperkoagulabilitas, cedera endotel dan stasis vena. Pasien trauma dengan ketiga faktor tersebutsangat berisiko
untuk mengalami DVT.Cedera langsung pada pembuluh darah dapat menyebabkan kerusakan tunika intima yang memicu trombosis sedangkan istirahat di tempat tidur dalam waktu yang cukup lama, imobilisasi, hipoperfusi dan paralisis yang lama dapat memicu terjadinya stasis vena.3 Cedera tunika intima vena nampaknya menjadi penyebab utama terbentuknya DVT. Respon alami tubuh terhadap trauma vena adalah mengurangi pendarahan dari pembuluh darah yang rusak. Paparan protein-protein pada endotelium yang rusak memulai aktivasi dan proses adesi dari trombosit dan akhirnya memicu pembentukan trombin dan trombosis berikutnya (Gambar 1).Hiperkoagulabilitas merupakan fenomena yang diketahui terjadi sesudah trauma. Seyfer dan rekan-rekannya memperlihatkan bahwa kadar Antithrombin-III (AT III) menurun dengan cepat dalam beberapa jam sesudah terjadi trauma berat, yang mengindikasikan suatu keadaan hiperkoagulabilitas.4
MANIFESTASI KLINIS
DVT secara klasik menimbulkan nyeri dan edema pada ekstremitas. Gejala-gejala ini dapat muncul ataupun tidak, unilateral atau bilateral, ringan atau berat bergantung pada trombus yang terbentuk. Trombus yang tidak menyebabkan obstruksi aliran vena sering asimptomatik. Edema merupakan gejala paling spesifik dari DVT. Trombus yang terdapat pada iliac bifurcation, vena pelvis, vena kava menimbulkan edema kaki yang biasanya bilateral.5Temuan klasik nyeri pada betis pada saat kaki dorsifleksi (Homans sign) merupakan tanda yang spesifik tetapi tidak sensitif dan terjadi pada setengah pasien dengan DVT. 5
DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam pendekatan pasien dengan kecurigaan mengalami DVT. Keluhan utama DVT biasanya adalah kaki bengkak dan nyeri. Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda klasik seperti edema kaki unilateral, eritema, hangat, nyeri, pembuluh darah superfisial teraba, dan Homans sign positif tidak selalu ditemukan. Pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan D-dimer dan penurunan Antithrombin (AT). Peningkatan D-dimer merupakan indikator adanya trombosis aktif. Pemeriksaan laboratorium lain umumnya tidak terlalu bermakna untuk mendiagnosis adanya DVT, tetapi membantu menentukan faktor resiko.6
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis DVT. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah venografi atau flebografi, ultrasonografi (USG) Doppler (duplex scanning), USG kompresi, Venous Impedance Plethysmography (IPG) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Venografi atau flebografi merupakan pemeriksaan standar untuk mendiagnosis DVT baik pada betis, paha maupun ileofemoral. MRI umumnya digunakan untuk mendiagnosis DVT pada perempuan hamil atau DVT pada daerah pelvis, iliaka dan vena kava dimana Duplex scanning pada ekstremitas bawahmenunjukkan hasil negatif.6
PROFILAKSISDENGANLOW-MOLECULAR WEIGHT HEPARIN (LMWH)
Berbagai penelitian sudah membuktikan efikasi berbagai modalitas profilaksis DVT pada pasien trauma dan menyusun sebuah algoritma seperti pada Gambar 2. Pilihan modalitas profilaksis DVT diklasifikasikan menjadi 3 yaitu terapi farmakologis dengan antikoagulan, alat kompresi mekanik dan IVCF.3
Struktur
LMWH merupakan glikosaminoglikan yang terdiri atas rantai-rantai residu selang-seling dari D-glycosamine dan glycuronic atau iduronic acid. 9 Berbagai jenis LMWH dapat dibentuk melalui proses degradasi yang berbeda-beda meliputi enoxaparin (eliminasi chemical β), tinzaparin (eliminasi enzymatic β), dalteparin (nitrous acid depolymerization), dan ardeparin (oxidative cleavage).8
Mekanisme Kerja
Efek antikoagulan UFH dan LMWH melalui aktivasi AT. Susunan pentasakarida terdistribusi secara acak sepanjang molekul UFH dan LMWH den berinteraksi dengan AT endogen. LMWH mengandung susunan pentasakarida lebih sedikit daripada UFH. Pentasakarida berikatan AT memicu perubahan konformasi di dalam molekul AT dan mempercepat interaksinya dengan thrombin dan Factor-Xa. Perbedaan utama antara UFH dan LMWH adalah pada mekanisme inhibisi terhadap Factor-Xa dan thrombin. Kebanyakan rantai UFH mengandung paling sedikit 18 sakarida dan membentuk kompleks ternary dengan AT dan thrombin. Berbeda dengan UFH, kompleks LMWH dan AT mengikat Factor-Xa dan mengkatalisis inaktivasinya. Jadi, LMWH memperlihatkan aktivitas lebih tinggi terhadap Factor-Xa daripada Factor-IIa, dimana UFH menginaktivasi keduanya. Selain itu, UFH dan LMWH memicu pelepasan penghambat Tissue Factor dari endotelium yang cedera, meningkatkan efek inhibisinya pada Factor-Xa dan Factor-VIIa dan juga berkontribusi terhadap aktivitas antikoagulan endogen.9
LMWH diberikan secara subkutan satu atau dua kali sehari. LMWH menghasilkan efek antikoagulan yang lebih dapat diprediksi daripada UFH dan memiliki waktu paruh lebih panjang serta bioavailabilitas lebih baik, dihubungkan dengan penurunan
ikatannya pada protein plasma, endotelium, dan makrofag. Eliminasinya bergantung pada dosis. Dalam hal ini tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium, kecuali pada pasien yang mengalami insufisiensi ginjal dan memiliki berat badan terlalu tinggi atau rendah. Selain itu, LMWH berikatan pada trombosit lebih sedikit dibandingkan UFH dan memiliki afinitas lebih lemah pada sel endotel dan von Willebrand factor. Oleh karena itu, LMWH kurang berpengaruh pada trombosit dan sel endotel sehingga pendarahan yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan dengan UFH. Walaupun pasien yang diterapi dengan LMWH tidak memerlukan pengawasan, aktivitas Antifactor-Xa plasma seharusnya diperiksa pada pasien-pasien tertentu (usia tua, hamil, obesitas, dan dengan penyakit ginjal berat). Aktivitas Antifactor-Xa biasanya diperiksa menggunakan chromogenic assay yang tersedia secara komersial. 9
Indikasi dan Kontraindikasi
LMWH mulai diberikan pada saat hemostasis primer terjadi. Pada pasien trauma LMWH diberikan dalam waktu 36 jam sesudah terjadi trauma. Kontraindikasi langsung pemberian LMWH meliputi: (1) Perdarahan intrakranial, (2) Perdarahan tidak terkontrol yang masih berlangsung, (3) Cedera medula spinalis inkomplit yang dihubungkan dengan hematoma spinal. 10Berbagai jenis LMWH memiliki perbedaan indikasi yang diterima oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai profilaksis DVT berdasarkan berbagai bukti klinis yang mendukung. Tabel 3 memperlihatkan bahwa, enoxaparin diindikasikan paling luas sebagai profilaksis dan terapi DVT. Tinzaparin diindikasikan sebagai terapi tetapi tidak sebagai profilaksis DVT pada beberapa kelompok pasien. Dalteparin diindikasikan sebagai profilaksis namun tidak sebagai terapi DVT.11
Enoxaparin merupakan jenis LMWH yang menjadi pilihan terapi farmakologis untuk profilaksis DVT pada pasien dengan trauma mayor. Keamanan dan efikasi enoxaparin bergantung pada kondisi klinis pasien. Gagal ginjal, obesitas, penggunaan vasopresor dan perubahan volume distribusi (perubahan berat badan lebih dari 10 kg sesudah pemberian) merupakan faktor predisposisi pasien mengalami perubahan farmakokinetik. Pada populasi ini disarankanmelakukan evaluasi terhadap kadar Antifactor-Xa. Levine dan rekan-rekannya melaporkan insiden trombosis 6,3% pada saat kadar Antifactor-Xa lebih dari 0,1 IU/mL dan 18,8% pada saat levelnya ≤ 0,05 IU/mL. Hasil penelitian ini dipergunakan sebagai dasar pemberian profilaksis untuk mencegah DVT yaitu kadar Antifactor-Xaantara 0,1-0,3 IU/mL. Kadar Antifactor-Xa biasanya diperiksa 4 jam sesudah pemberian enoxaparin dosis ketiga. Hass dan rekan-rekannya melakukan penelitian mengenai farmakokinetikenoxaparin 30 mg secara subkutan dua kali sehari pada pasien trauma multipel menemukan bahwa hanya 9,5% pasien mengalami kenaikkan kadar Antifactor-Xa lebih dari 0,1 IU/mL sesudah 12 jam pemberian terapi. Hasil ini mengindikasikan bahwa dosis enoxaparin terstandarisasi tidak memperlihatkan efikasi yang baik untuk mencegah DVT pada semua pasien trauma multipel.4
Penggunaan dalteparinsebagai profilaksis DVT pada pasien trauma mengalami peningkatan. Sebuah pusat penelitian mengevaluasi pemberian dalteparin 5.000 IU subkutan seharipada 743 pasien dengan risiko tinggi melaporkan bahwa rata-rata DVT proksimal dan PE non-fatal berturut-turut 3,9% dan 0,8%. Data awal pada cedera medula spinalis memperlihatkan bahwa pemberian dalteparin 5.000 IU subkutan sehari dan enoxaparin 30 mg subkutan dua kali sehari sama-sama memberikan proteksi dari DVT dan risiko pendarahan. 4
Komplikasi
Komplikasi perdarahan dari pemberian LMWH sebagai profilaksis DVT bervariasi dari penurunan kadar hemoglobin sementara sampai perdarahan yang memerlukan intervensi (angiografi dan pembedahan). LMWH dikatakan meningkatkan insiden perdarahan mayor pada saat digunakan sebagai profilaksis DVT. Hal ini didukung oleh penelitian Geerts dan rekan-rekannya yang melakukan observasi pada pasien yang mendapatkan UFH mengalami episode perdarahan lebih sedikit dibandingkan LMWH (berturut-turut 0,6% vs 2,9%) namun tidak signifikan. Perdarahan diperkirakan mayor pada saat hemoglobin turun 2 g/dL atau lebih, atau transfusi lebih dari 2 unit packed red blood cell (PRC). 2
LMWH dan UFH secara langsung dibandingkan pada tiga publikasi. Green dan rekan-rekannya menemukan insiden perdarahan non-fatal dari pemberian LMWH dan UFH berturut-turut 0% dan 9,5%. Mereka juga melaporkan 2 pasien (9%) meninggal karena PE masif pada kelompok UFH. Keseluruhan insiden (perdarahan atau trombosis) adalah 0% pada kelompok LMWH dan 34% pada kelompok UFH. Geerts dan rekan-rekannya menemukan rata-rata perdarahan dari LMWH dan UFH berturut-turut 2,9% dan 0,6%. Mereka tidak menemukan adanya perdarahan fatal. Pada penelitian Spinal Cord Injury Thromboprophylaxis Investigators, rata-rata perdarahan untuk pemberian LMWH dan UFH berturut-turut 2,6% dan 5,3%. Dengan menggunakan analisis regresi, mereka mengidentifikasi umur lebih dari 50 tahun, kadar hemoglobin rendah dan pemberian profilaksis antikoagulan jangka pendek merupakan faktor prediksi mengalami perdarahan mayor. Tabel 5 memperlihatkan perbedaan komplikasi perdarahan dari pemberian LMWH pada beberapa kelompok penelitian.2
Protamine sulphate secara efektif melawan efek antikoagulan dari UFH, namun hanya memiliki efek parsial pada LMWH. Diperkirakan 60% (utamanya aktivitas antifactor Xa) dari efek LMWH dinetralisis oleh protamine sulphate. Pemberian infus protamine sulphate seharusnya tidak melebihi dosis maksimum yaitu 50 mg. Pemberian dosis ulangan protamine sulphate seharusnya dipertimbangkan pada saat perdarahan berlanjut dan tidak bergantung pada hasil antifactor Xa plasma atau kadar aPTT yang memanjang. 9 Fresh Frozen Plasma (FFP) dan/atau rekombinan Factor VIIa efektif melawan efek antikoagulan LMWH dan seharusnya diberikan pada pasien yang tidak stabil dengan perdarahan berat atau perdarahan pasca operasi.9
Heparin Induced Thrombocytopenia (HIT) merupakan agregasi trombosit yang dimediasi imun sampai terjadi trombositopenia yang memiliki asosiasi kuat dengan terbentuknya trombosis arterial dan vena. HIT secara khas terjadi antara hari 4 dan 14 dari terapi heparin. Berpotensi menimbulkan kejadian fatal, jika tidak terdeteksi dini, meliputi tromboemboli, PE dan perdarahan. 2Diagnosis HIT terdiri dari klinis 2
(trombositopenia) dan deteksi serum (antibodi HIT).2
RINGKASAN
Deep Vein Thrombosis (DVT)adalahterbentuknya bekuan darah (trombus) pada salah satu vena dalam yang menyalurkan darah kembali ke jantung.Cedera traumatik merupakan salah satu faktor risiko penting untuk terbentuknya DVT. Tanpa thromboprophylaxis, rata-rata insiden DVT melebihi 50%. Pembentukan trombus melibatkan tiga faktor penting meliputi aliran darah, komponen darah, dan pembuluh darah yang dikenal sebagai Virchow’s Triad. Trauma mayor sering mempengaruhi salah satu atau ketiga faktor ini yaitu hiperkoagulabilitas, cedera endotel dan stasis vena. DVT
secara klasik menimbulkan nyeri dan edema pada ekstremitas. Gejala-gejala ini dapat muncul ataupun tidak, unilateral atau bilateral, ringan atau berat bergantung pada trombus yang terbentuk. Trombus yang tidak menyebabkan obstruksi aliran vena sering asimptomatik. Temuan klasik nyeri pada betis pada saat kaki dorsifleksi (Homans sign) merupakan tanda yang spesifik tetapi tidak sensitif dan terjadi pada setengah pasien dengan DVT.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam pendekatan pasien dengan kecurigaan mengalami DVT. Pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan D-dimer dan penurunan Antithrombin (AT). Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis DVT. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah venografi atau flebografi, ultrasonografi (USG) Doppler (duplex scanning), USG kompresi, Venous Impedance Plethysmography (IPG) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Walaupun pilihan modalitas ada banyak, bukti klinis level 1 sekarang ini mendukung penggunaan terapi farmakologis dengan antikoagulan Low-Molecular Weight Heparin (LMWH) sebagai agen profilaksis DVT primer. Modalitas yang lain seperti alat kompresi mekanik dan IVCF tidak dipergunakan sebagai tromboprophylaxis primer, namun dapat membantu pada saat pemberian LMWH termasuk dalam kontraindikasi. LMWH merupakan glikosaminoglikan yang terdiri atas rantai-rantai residu selang-seling dari D-glycosamine dan glycuronic atau iduronic acid.
Efek antikoagulan UFH dan LMWH melalui aktivasi AT. LMWH memperlihatkan aktivitas lebih tinggi terhadap Factor-Xa daripada Factor-IIa. LMWH diberikan secara subkutan satu atau dua kali sehari. Eliminasinya bergantung pada dosis. Dalam hal ini tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium, kecuali pada pasien
yang mengalami insufisiensi ginjal dan memiliki berat badan terlalu tinggi atau rendah. LMWH mulai diberikan pada saat hemostasis primer terjadi. Pada pasien trauma LMWH diberikan dalam waktu 36 jam sesudah terjadi trauma. Kontraindikasi langsung pemberian LMWH meliputi: (1) Perdarahan intrakranial, (2) Perdarahan tidak terkontrol yang masih berlangsung, (3) Cedera medula spinalis inkomplit yang dihubungkan dengan hematoma spinal.
Berbagai jenis LMWH memiliki perbedaan indikasi yang diterima oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai profilaksis DVT berdasarkan berbagai bukti klinis yang mendukung. Enoxaparin diindikasikan paling luas sebagai profilaksis dan terapi DVT. Tinzaparin diindikasikan sebagai terapi tetapi tidak sebagai profilaksis DVT pada beberapa kelompok pasien. Dalteparin diindikasikan sebagai profilaksis namun tidak sebagai terapi DVT.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Patel KK. Deep Venous Thrombosis.
http://emedicine.medscape.com/article/1911303-overview#showall. Access 1 Juli 2011.
-
2. Datta I, Ball CG, Rudmik L, Hameed SM, and Kortbeek JB. Complications related to deep venous thrombosis prophylaxis in trauma: a systematic review of the literature. Journal of Trauma Management. 2010;4(1):1–11.
-
3. Toker S, Hak DJ, and Morgan SJ. Deep Vein Thrombosis Prophylaxis in Trauma Patients. Hindawi Publishing Corporation Thrombosis. 2011;10:1–11.
-
4. McMillian WD and Rogers FB. Deep vein thrombosis and pulmonary embolism. In: Rabinovici R, Frankel HL, and Kirton O (eds). Trauma, Critical Care and Surgical Emergencies. 1st. London: Informa Healthcare; 2010.p. 264 - 274.
-
5. Patel KK. Deep Venous Thrombosis.
http://emedicine.medscape.com/article/1911303-clinical#showall. Access 1 Juli 2011.
-
6. Sukrisman L. Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M and Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.p. 792 - 794.
-
7. Hirdh J, Warkentin TE, Shaughnessy SG, Anand SS, and Halperin JL et al. Heparin and Low-Molecular-Weight Heparin Mechanisms of Action, Pharmacokinetics,Dosing, Monitoring, Efficacy, and Safety. Chest. 2001;119:64S – 94S.
-
8. Fareed B. and Walenga JM. Why differentiate low molecular weight heparins for venous thromboembolism?. Thrombosis Journal. 2007;5(8):1 – 3.
-
9. Tsiara S, Pappas K, Boutsis D, dan Laffan M. New Oral Anticoagulants: Should They Replace Heparins and Warfarin?. Hellenic J Cardiol. 2011;52 :52–67.
-
10. Geerts WH. Prevention of Venous Thromboembolism in High-Risk Patients. American Society of Hematologi. 2006;462–466
-
11. Fareed J, Adiguzel C. and Thethi I. Differentiation of Parenteral Anticoagulans In The Prevention and Treatment of Venous Throboemboli. Thrombosis Journal.2007;5(8):1– 3.
Tabel 1. Faktor-faktor risiko terjadinya Deep Vein Thrombosis (DVT).
(Dikutip dari McMillian WD and Rogers FB, 2010)
RiskFactor |
Odds ratio («% CIJ |
Ventllilor Days > 3 |
10.62(9.32-12.11} |
Venons injury |
7.93(5.83-10.78) |
Major Surglcil Procedure |
432(3.91-4.77) |
Spinil Coni Injury with Pirilrsls |
3.39(1414.77) |
LowerEJitfemItyFnctUfe |
3.16(185-3.51) |
Pelvic Fracture |
2.93(101-4.27) |
Heid Injury IAlSUl |
159 ∣131-19O) |
AgeUO |
129(107-155) |
Shock on Admission (BP < 90 mml⅛∣ |
1.95(1.62-134) |
AIS: AbbfiYiited Injitry Sole; BR blood pressure Source: ReffSl - fπeed permission;
Tabel 2. Faktor risiko individual dan nilai untuk menentukan Risk Assestment Profile (AP). (Dikutip dari Toker S, et al, 2011)
Underlying condition |
Points |
Obesity |
2 |
λ IaJigruarvcy |
2 |
Abnormal coagulation |
2 |
History of UfinombocmtsoIlSTn |
3 |
Iatrogenic factors | |
Femoral venous line | |
Transfusion > -I units |
2 |
Operation _> 2 hours |
2 |
Nfajor VCTioias repair |
3 |
Injury-related factors | |
Chesl AlS > 2 |
2 |
Abdomen AIS > 2 |
2 |
Head Λ1S >■ 2 | |
Spirul fractures |
3 |
Clascow co ma score < 8 |
3 |
Severe lower extremity fracture |
4 |
Ptlvic fracture |
4 |
Spinal cord injury |
4 |
Age (years) | |
⅛4O. <60 |
2 |
⅛6O, <75 |
3 |
⅛,75 |
4 |
Tabel 3. Indikasi pemberian LMWH parenteral yang diterima oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai profilaksis dan terapi DVT.
(Dikutip dari Fareed J et al, 2011)
Indication |
Enoxaparin |
Dalteparin |
Tinzaparin |
Prophylaxis | |||
Hip replacement surgery |
Yes |
Yes |
No |
Knee replacement surgery |
Yes |
No |
No |
Hip fracture surgery |
No |
No |
No |
Abdominal surgery |
Yes |
Yes |
No |
Acutely ill medical patients |
Yes |
Yes |
No |
Treatment |
Yes |
No |
Yes |
- Inpatient DVT with/without PE -Outpatient DVT without PE |
- Inpatient DVT with/without PE | ||
Secondary |
No |
Yes |
No |
prophylaxis/extended
treatment in cancer patients
DVT, deep-vein thrombosis; PE, pulmonary embolism.
Tabel 5. Ringkasan komplikasi perdarahan dalam berbagai penelitian LMWH pada pasien trauma. (Datta et al, 2010)
Study |
Design |
Type of LMWH |
No. Patients |
NonFatal Bleeding |
Fatal Bleeding |
Geerts etal. 1996[10] |
Randomized UH 5,000 U SC BID vs. LMWH 30 mg SC BID Multi-system trauma & ISS ≥ 9 |
Enoxaparin |
171 |
5 (2,9%) |
0 |
Knudson et al. 1996[20] |
Randomized LMWH 30 mg SC BID vs. SCD or AVI bilaterally Multi-system trauma & AIS≥ 3 with ISS > 10 |
Enoxaparin |
120 |
6 (5%) |
0 |
Ginzburg et al. 2003[19] |
Randomized LMWH 30 mg BID vs. IPC bilaterally Multi-system trauma & ISS ≥ 9 |
Enoxaparin |
218 |
13 (6%) |
0 |
Multi-system Trauma Bleeding Risk |
24/509 (4,7%) |
0% | |||
Green et al. 1990[17] |
Randomized UH 5,000 U SC TID vs. LMWH 3500 U SC QD Spinal cord trauma & complete motor paralysis |
Logiparin |
20 |
0 |
0 |
Spinal Cord Injury Thromboprophyl axis Investigators |
Randomized UH 5,000 U SC TID + IPC vs. LMWH 30 mg SC BID Spinal cord trauma |
Enoxaparin |
230 |
6 (2,6%) |
0 |
2003[18]
Kurtoglu et al. 2004[13] |
Randomized Enoxaparin LMWH 40 mg QD vs. IPC bilaterally Head and Spinal Trauma |
60 |
2 (3,3%) |
0 |
Spinal Cord Trauma Bleeding Risk |
8/310 |
2,6% |
0% | |
Combined Total Bleeding Risk |
32/819 |
3,9% |
0% |
ISS, Injury Severity Score; SCD, Sequential Compression Device; IPC, Intermittent Pneumatic
Compression
Tabel 6. Ringkasan insiden HIT dalam berbagai penelitian LMWH pada pasien trauma. (Datta et al, 2010)
Study |
Design |
Type of LMWH |
No. Patients |
No. Cases oif HIT |
Geerts etal. |
Randomized |
Enoxaparin |
171 |
2 |
1996[10] |
UH 5,000 U SC BID vs. LMWH 30 mg SC BID Multi-system trauma & ISS ≥ 9 | |||
Haentjens et |
Randomized |
Nadroparin |
283 |
2 |
al. 1996[31] |
Fixed LMWH dose vs. Dose Adjusted LMWH Orthopedic Trauma | |||
Schwarcz et |
Retrospective |
Enoxaparin |
234 |
1 |
al. 2001[32] |
LMWH 30 mg SC BID Multi-system trauma | |||
Lubenow et al. |
Prospective cohort |
Certoparin |
460 |
0 |
2007[30] |
LMWH 3000 U OD Multi-system trauma & orthopedic surgery | |||
TOTAL |
5/1148 (0,4%) |
HIT, Heparin Induced Thrombocytopenia
Gambar 1. Mekanisme koagulasi dan tempat kerja berbagai obat antikoagulan. LMWH = Low-Molecular Weight Heparin; DTI = Direct Thrombin Inhibitor.
(Dikutip dari McMillian WD and Rogers FB, 2010).
2
2
ion
RAF *core Underlying condition Obesity Malignancy
History of thromboembolism 2
Inturv related factors
Chest AIS >2
Abdomen AlS ≥ 2
Head ΛIS > 2 Spinal fractures
Enouporinr 30 mg tq bad or dalteparin 5000IU
Pelwac fracture Spinai cord injury
Femoral line
Operation > 2 hours
Major renew repair
Nv prophylactic Ihcraptn- required InaHiragccarb mobilization
Gambar 2. Algoritma profilaksis DVT (Dikutip dari Toker S, et al, 2011)
19
Discussion and feedback