ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 9 NO.6,JUNI, 2020

I—∖∕~> λ  Idirectoryof

OPEN ACCESS

IJOURNALS


Diterima:12-05-2020 Revisi:15-05-2020 Accepted: 18-05-2020

HUBUNGAN ANTARA BERAT BADAN LEBIH DENGAN PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR

PERIODE JULI – DESEMBER 2018

I Nyoman Hardana Sasmita Purthana1, Gde Somayana2 1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

2KSM Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

email: [email protected]

ABSTRAK

Obesitas dan berat badan lebih masih menjadi faktor risiko dari berbagai jenis penyakit seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, osteoartritis, dan penyakit refluks gastroesofageal (GERD). Penelitian ini dilakukan untuk mencari hubungan antara berat badan lebih dengan penyakit refluks gastroesofageal. Sebanyak 70 orang pasien Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar tahun 2018 diikutkan dalam penelitian ini. Sampel diukur berat badannya dalam kilogram, dan tinggi badannya dalam meter, kemudian dicari Indeks Massa Tubuhnya (IMT) dengan cara membagi berat badan dengan tinggi badan kuadrat. Sampel juga diwawancarai menggunakan kuesioner GERD-Quest (GERD-Q). Selanjutnya data dikumpulkan, diolah, dan dianalisis menggunakan uji Chi-Square dengan aplikasi Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 21. 44 (62,9%) dari 70 sampel merupakan orang dengan IMT berat badan lebih dan 26 (37,1%) dengan IMT bukan berat badan lebih. 9 (12,9%) orang ditemukan memperoleh skor GERD-Q >8, yang terdiri dari 4 (44,44%) orang kategori berat badan lebih dan 5 (55,56%) orang bukan kategori berat badan lebih. Data tersebut dijadikan tabel 2x2 yang kemudian dilakukan uji Chi-Square. Diperoleh hasil beda proporsi sebesar 0,04 (p=0,45) dan rasio prevalen (PR) sebesar 0,34 dengan interval kepercayaan (IK) sebesar 0,22-2,51. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara IMT kategori berat badan lebih dengan GERD.

Kata Kunci: IMT, berat badan lebih, GERD.

ABSTRACT

Obesity and overweight are still being the risk factor of many diseases, such as diabetes mellitus, coronary heart disease, osteoarthritis, and gastroesophageal reflux disease (GERD). The purpose of this research was to identify the relationship between overweight and GERD. 70 patients in Internal Medicine Polyclinic of Sanglah General Hospital in 2018 were involved in this research. The samples’ body weight was measured in kilogram unit, and the body height was measured in meter unit, after that the data was calculated in order to obtain the body mass index (BMI) by dividing the body weight with squared body height. The samples were also interviewed by GERD-Quest (GERD-Q) questionnaire. The data then processed and analyzed using Chi-Square test with Statistical Package for Social Science (SPSS) 21st version software application. 44 (62.9%) from 70 total samples were overweight and 26 people (37.1%) were not overweight. We found 9 people (12.9%) whose GERD-Q score >8, those were 4 (44.44%) overweight people and 5 (55.56%) non-overweight people. The data was modified then into 2x2 cross tabulation and analyzed by Chi-Square test. We obtained proportional deviation score result 0.04 (p=0.45) and prevalence ratio (PR) 0.34 with confidence interval 0.22-2.51. From the result of this research, we conclude that there is no significant association between overweight and GERD.

Keywords: BMI, overweight, GERD.

PENDAHULUAN

Meningkatnya tren konsumsi makanan rendah gizi dan tinggi lemak jenuh di masyarakat serta diperburuk dengan kurangnya aktivitas fisik, angka prevalensi berat badan lebih dan obesitas di dunia menjadi meningkat dalam tiga dekade terakhir. Data dari Global Burden of Disease Study tahun 2013 menunjukkan prevalensi berat badan lebih dan obesitas (IMT ≥25 kg/m2) pada laki-laki di dunia telah meningkat dari 28,8% di tahun 1980 menjadi 36,9% di tahun 2013.1 Tidak kalah pula pada perempuan yang juga mengalami peningkatan dari 29,8% menjadi 38,0%. Hal serupa juga ditemukan di Indonesia. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan angka prevalensi berat badan lebih pada penduduk umur dewasa (>18 tahun) telah mencapai angka 13,3%. Sedangkan obesitas ternyata memiliki angka prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan berat badan lebih, yakni 15,4%.2 Berat badan lebih dan obesitas merupakan masalah dunia yang tidak dapat dianggap enteng karena dapat menjadi faktor risiko berbagai penyakit.

Salah satu risiko penyakit yang dapat ditimbulkan dari berat badan lebih adalah penyakit refluks gastroesofageal.3 Penyakit yang juga disebut sebagai Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) memiliki dampak komplikasi terhadap taraf kehidupan masyarakat luas. Sayangnya belum banyak laporan yang tersedia mengenai penyakit GERD di Indonesia. Salah satu laporan data yang dihimpun di Amerika Serikat menunjukkan prevalensi gejala-gejala penyakit GERD yang tidak sedikit. Satu dari lima orang dewasa di Amerika Serikat mengalami gejala refluks esofageal (heartburn) dan/atau regurgitasi asam lambung setidaknya sekali dalam seminggu, dan 40% dari mereka mengalami gejala ini paling sedikit sekali dalam sebulan. Peningkatan angka prevalensi ini diduga kuat berasal dari gaya hidup masyarakat dan faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan risiko seseorang menderita penyakit GERD. Dan salah satu faktor risiko yang sering dikaitkan dengan penyakit ini adalah tingginya indeks massa tubuh atau berat badan yang berlebih.4

Salah satu teori yang menjelaskan hubungan antara berat badan berlebih dengan penyakit GERD yakni penurunan fungsi sfingter esofagus bawah (lower esophageal sphincter/LES). Berat badan yang berlebih akan menimbulkan beberapa kondisi, seperti peningkatan tekanan intraabdomen, pengosongan lambung yang tidak seimbang, penurunan tekanan dari LES, serta peningkatan frekuensi dari transient lower esophageal spinchter relaxation (TLESR). Keseluruhan faktor tersebut nantinya akan menyebabkan penurunan fungsi LES yang berlanjut menjadi ketidakseimbangan

antara pertahanan esofagus dengan reflukstat lambung. Ketidakseimbangan ini yang nantinya berujung menjadi penyakit GERD.5

Masalah gizi berlebih adalah masalah laten yang akan menimbulkan berbagai komplikasi apabila tidak ditangani. Dengan tingginya angka prevalensi berat badan lebih di Indonesia disertai dengan adanya hubungan sebab akibat dengan penyakit GERD, dikhawatirkan angka prevalensi GERD akan semakin meningkat dan sulit diatasi apabila faktor-faktor risiko seperti berat badan berlebih tidak dikendalikan. Dengan melakukan identifikasi dan kendali terhadap suatu faktor risiko, diharapkan tingkat keberhasilan penanganan suatu penyakit akan menjadi lebih efektif, baik secara preventif maupun kuratif. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk menelusuri hubungan antara berat badan berlebih dengan penyakit refluks gastroesofageal.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan studi analitik komparatif dengan desain potong lintang yang dilaksanakan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar dari tanggal 1 Juli 2018 hingga 31 Desember 2018. Subyek penelitian merupakan orangorang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yang harus dipenuhi subyek penelitian berupa: subyek penelitian memiliki IMT ≥23kg/m2, usia subyek penelitian ≥18 tahun, serta subyek penelitian bersedia mengisi informed consent dan mengikuti keseluruhan prosedur penelitian. Sedangkan kriteria eksklusi yang ditetapkan berupa: subyek penelitian tidak dapat melakukan pengukuran tinggi dan berat badan, subyek penelitian yang sedang hamil, serta subyek penelitian yang telah melakukan operasi bariatrik.

Penelitian ini menggunakan simpang baku kesalahan tipe I dan II masing-masing 5% dan 20%, serta jumlah minimal sampel yang diperlukan dalam penelitian ini dihitung melalui rumus. Berdasarkan perhitungan, diperlukan sampel minimal sejumlah 39 sampel. Penelitian ini menggunakan 70 sampel sebagai subyek penelitian.

Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh melalui hasil wawancara dan pengukuran berat badan dan tinggi badan. Wawancara yang dilakukan berupa pengisian identitas subyek penelitian dan kuesioner GERD-Quest (GERD-Q) untuk menentukan diagnosis subyek penelitian menderita GERD atau tidak. Melalui hasil pengukuran tinggi dan berat badan, dilakukan penghitungan indeks massa tubuh (IMT) untuk menentukan status gizi dari subyek penelitian. Keseluruhan data kemudian akan dianalisis

menggunakan perangkat lunak Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 21.

Penelitian ini telah mendapat ijin dan kelaikan etik atau ethical clearance dari Unit Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar nomor: 2037/UN14.2.2.VII.14/LP/2018 tertanggal 20 September 2018. Penelitian ini juga telah mendapat ijin dari RSUP Sanglah Denpasar untuk melakukan penelitian di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar dengan nomor: LB.02.01/XIV.2.2.1/33283/2018 tertanggal 5 Oktober 2018.

HASIL

Umur, berat badan, tinggi badan, dan indeks massa tubuh merupakan data kuantitatif yang disajikan dalam bentuk rerata ± simpang baku (SB), sedangkan jenis kelamin, kategori IMT, dan hasil GERD-Q merupakan data kualitatif yang disajikan dalam bentuk frekuensi (persentase).

Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 70 sampel yang diteliti (37 orang dengan berat badan lebih/ overweight, dan 33 orang non- overweight), 9 orang ditemukan mendapat hasil GERD-Q positif (4 orang pada sampel overweight, dan 5 orang pada sampel nonoverweight). Hasil analisis komparatif kategorik menunjukkan selisih proporsi yang rendah (0,04) dengan hasil siginifikansi yang tidak bermakna secara statistik.

Penelitian ini menggunakan uji hipotesis Fisher dikarenakan jumlah sampel pada tabel 2x2 tidak memenuhi kriteria Chi-Square. Dari hasil analisis yang disajikan pada Tabel 2, diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar 0,45 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara IMT overweight dengan GERD. Selisih proporsi penderita GERD antara orang overweight dan non-overweight sebesar 0,04; lebih kecil dengan perbedaan proporsi minimal yang dianggap bermakna dalam penelitian ini (0,3). Dengan demikian, secara klinis tidak terdapat hubungan antara antara IMT overweight dengan GERD.

Rasio Prevalens atau Prevalence Ratio (PR) merupakan perbandingan proporsi untuk mengetahui kekuatan suatu variabel untuk menjadi suatu faktor risiko pada penelitian dengan desain potong lintang. Perbandingan kemungkinan kategori atas (overweight) dibandingkan dengan kategori bawah (non-overweight) untuk mengalami kolom kiri (GERD) adalah sebesar 0,74 dengan interval kepercayaan (IK) 95% sebesar 0,22-2,51. Artinya, orang dengan IMT overweight mempunyai kemungkinan 0,74x untuk mengalai GERD dibandingkan dengan orang yang memiliki IMT nonoverweight. Dikarenakan PR < 1, maka overweight bukan merupakan faktor risiko dari GERD.

Tabel 1. Karakteristik Data Sampel

Karakteristik

Nilai

GERD (n=9) (12,9%)

Tidak GERD (n=61) (88,6%)

Total (n=70)

Jenis Kelamin

4 (44,44)

Laki-laki, f (%)

33

(54,1)

37

(52,9)

Perempuan, f (%)

5 (55,56)

28

(45,9)

33

(47,1)

Umur (tahun) (rerata ± SB)

39,44 (19,8)

43,46

(13,17)

42,94 (14,07)

Berat badan (kg) (rerata ± SB)

66,89 (19,08)

68,43 (14,3)

68,24 (14,84)

Tinggi badan (m) (rerata ± SB)

1,63 (0,07)

1,63 (0,08)

1,63 (0,08)

Indeks Massa

Tubuh (kg/m2) (rerata ± SB)

24,90 (5,81)

25,52 (4,35)

25,44 (4,52)

Kategori Indeks

Massa Tubuh

Overweight, f (%)

5 (55,56)

39 (63,93)

44

(62,9)

Tidak Overweight, f (%)

4 (44,44)

22 (36,06)

26

(37,1)

Hasil GERD-Q

9 (12,9)

GERD, f (%)

Tidak GERD, f (%)

61

(87,1)

PEMBAHASAN

Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/ GERD) merupakan penyakit kronis dengan progresivitas yang lambat. Sulit untuk menentukan apakah seseorang mengalami GERD atau tidak hanya dengan melalui studi cross-sectional semata. Penelitian ini memiliki kelemahan dalam jumlah dan waktu penelitian yang terbatas, sehingga dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan antara hipotesis penelitian dengan hasil yang diperoleh. Diperlukan evaluasi/ diagnosis berkala

berdasarkan tanda dan gejala, atau dengan alat ukur/ metode yang lebih adekuat. Di Indonesia, kuesioner GERD-Q telah diakui dan divalidasi sebagai alat bantu diagnosis GERD pada fasilitas layanan primer. Akan tetapi, diagnosis GERD akan lebih akurat apabila diagnosis disertai dengan evaluasi tanda-tanda alarm dan tes Proton Pump Inhibitor (PPI).6 Dalam penelitian ini, evaluasi tanda-tanda alarm dan tes PPI tidak dilakukan. Penggunaan GERD-Q sebagai alat ukur diagnosis GERD masih dipercaya cukup akurat setidaknya untuk mendeteksi adanya gejala-gejala spesifik GERD seperti heartburn dan/atau regurgitasi.

Tabel 2. Deskripsi Subyek Berdasarkan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Lengan Atas dan Lingkar Pinggang

Hasil GERD-Q

Nilai p

GERD (%)

Tidak

GERD (%)

IMT

Overweight

5 (11,4)

39 (88,6)

0,45

Tidak

Overweight

4 (15,4)

22 (84,6)

Total

9 (12,9)

61 (87,1)

Diagnosis GERD dalam penelitian yang lain memiliki berbagai variasi. Kouklakis dkk menggunakan pengukuran manometri sfingter esophagus bawah dan pH-metri esophagus yang direkam selama tiga jam postprandial. Sedangkan Lelosutan dkk menggunakan endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA) dan melihat tanda adanya esofagitis. Hal ini menjadi faktor perancu dalam menentukan seseorang terdiagnosis GERD atau tidak berdasarkan gejala-gejala klasik dari GERD atau melalui adanya komplikasi dari kejadian refluks esofagus yang berulang.7,8

Overweight dan obesitas merupakan faktor risiko yang sangat banyak dikaitkan para peneliti dalam membahas penyakit GERD. Namun pembahasan overweight dalam masing-masing penelitian memiliki karakterisitik yang bervariasi. Sebagian besar penelitian yang ada menggunakan IMT sebagai tolok ukur penentu seseorang merupakan orang obes atau tidak, sedangkan sebagian lainnya menggunakan lingkar perut (waist circumference). IMT merupakan alat ukur yang menggunakan tinggi badan dan berat badan sebagai penentu status gizi seseorang, sehingga IMT mudah dan murah untuk diukur. Akan tetapi IMT belum bisa membedakan berat badan seseorang antara massa jaringan lemak (fat mass) dengan massa jaringan otot (muscle mass), sehingga IMT tidak bisa menentukan

secara spesifik bahwa seseorang adalah obes atau tidak.9

Penelitian ini membagi peserta penelitian menjadi dua kelompok, yakni kelompok overweight dan kelompok tidak overweight (IMT normal dan underweight). Penelitian ini tidak menggunakan kategori obes sebagai variabel pembeda dikarenakan selisih angka IMT antara kategori overweight dengan obes di Asia Pasifik berbeda dengan klasifikasi IMT yang digunakan di Eropa dan Amerika. Penelitian ini menggunakan tolok ukur IMT dari WHO untuk populasi orang dewasa di Asia Pasifik dengan nilai cutoff overweight sebesar 23,00 kg/m2. Sayangnya penelitian yang membahas hubungan dan/atau korelasi obesitas dengan kejadian GERD di Asia masih terbatas. Dibandingkan dengan penelitian serupa di negara-negara non-Asia Pasifik, populasi penelitian yang dilibatkan merupakan ras Kaukasoid dengan nilai cutoff overweight sebesar 25,00 kg/m2. Perbedaan ras dan nilai cut-off IMT pada penelitian ini diduga menjadi salah satu penyebab hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang lainnya.

GERD memiliki faktor risiko yang cukup beragam. Penelitian ini hanya menilai ada tidaknya gejala klasik dari GERD pada orang yang memiliki IMT overweight, sedangkan faktor-faktor risiko GERD lain seperti penggunaan obat-obatan, makanan, hormonal, dan struktural saluran cerna yang diduga menjadi variabel perancu penelitian tidak dilakukan kontrol.6 Selain faktor-faktor risiko, faktor-faktor lain yang masih diduga memiliki pengaruh terhadap kejadian GERD seperti pekerjaan, aktivitas fisik, tingkat stres, riwayat penyakit, dan pola makan tidak diidentifikasi pada setiap subyek penelitian. Namun penelitian ini telah mengeksklusi peserta penelitian yang sedang dalam masa hamil dan peserta yang telah melakukan operasi bariatrik, dengan tujuan untuk memastikan bahwa subyek penelitian yang terlibat merupakan orang dengan IMT overweight yang murni dari status gizi subyek itu sendiri.

Populasi target pada penelitian ini mengambil komunitas di RSUP Sanglah Denpasar, baik pasien rumah sakit yang sedang menjalani proses pengobatan maupun orang sehat yang sedang berada di wilayah rumah sakit. Penelitian ini tidak membedakan antara orang yang sedang sakit (orang yang sedang menerima perawatan di rumah sakit) dengan orang yang tidak sakit, sehingga kemungkinan subyek penelitian mengalami kejadian refluks akibat penyakit komorbid lain masih menjadi bias. Namun dapat dipastikan bahwa subyek penelitian ini melibatkan orang-orang ras Asia Melayu Mongoloid dengan melihat identitas dan asal tempat tinggal masing-masing subyek penelitian yang berasal dari provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat.

SIMPULAN

Dari hasil uji beda proporsi, penelitian ini menarik simpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara IMT berat badan lebih dengan penyakit refluks gastroesofageal, baik secara statistik maupun secara klinis. Temuan ini diduga dikarenakan penggunaan jumlah sampel yang belum cukup banyak serta dibatasi oleh waktu penelitian yang cukup singkat. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui dampak jangka panjang dari berat badan lebih serta faktor-faktor risiko GERD lainnya terhadap progresivitas penyakit dengan lebih rinci.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Ng M, dkk. Global, regional, and  national

prevalence of overweight and obesity in children and adults during 1980-2013: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2013. Lancet; 2014; 384(9945): 766–781.

  • 2.    Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta:    Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI; 2013.h. 223-225.

  • 3.    Vakil N, van Zanten SV, Kahrilas P, Dent J, Jones R, the Global Consensus Group. The Montreal definition and classification of gastroesophageal reflux disease: a global evidence-based consensus. Am J Gastroenterol; 2006; 101:1900-1920.

  • 4.   Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Revisi

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesophageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia; 2013.

  • 5.   Hampel H, Abraham NS, El-Serag HB. MetaAnalysis:    Obesity and the Risk for

Gastroesophageal Reflux Disease and Its Complications. Annals of Internal Medicine; 2005; 143(3): 199-211.

  • 6.   Saputera MD, Budianto W. Diagnosis dan

Tatalaksana Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. CDK-252; 2017; 44(5): 329-332.

  • 7.   Kouklakis G, Moschos J, Kountouras J,

Mpouponaris A, Molyvas E, Minopoulos G. Relationship     between     Obesity     and

Gastroesophageal Reflux Disease as Recorded by 3-Hour Esophageal pH Monitoring. Romanian Journal of Gastroenterology; 2005; 14(2): 117

121.

  • 8.    Lelosutan SAR, Manan C, Busjra M Nur MS. The Role of Gastric Acidity and Lower Esophageal Sphincter Tone on Esophagitis among Dyspeptic Patients. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digestive Endoscopy; 2001; 2(3): 6-11.

  • 9.    WHO Expert Consultation. Appropriate bodymass index for Asian populations and its implications for policy and intervention strategies. The Lancet; 2004; 363: 157-163.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2020.V9.i6.P07

34