ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 9 NO.4,APRIL, 2020

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



Diterima:02-03-2020 Revisi:7-03-2020 Accepted: 13-03-2020

PROFIL KASUS PENDERITA PROLAPSUS UTERI DI POLIKLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUP SANGLAH DENPASAR PERIODE APRIL 2015 – MARET 2016

Anak Agung Istri Ayu Detritha Sarasmartha Putri1, I Nyoman Gede Budiana2 1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana 2Departemen Obstetri dan Gynekologi RSUP Sanglah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Koresponding Author : Anak Agung Istri Ayu Detritha Sarasmartha Putri detrithamartha@gmail.com

ABSTRAK

Prolapsus organ pelvis adalah suatu kondisi jatuh atau tergelincirnya organ-organ pelvis dari posisi anatomi yang normal berupa penonjolan ke vagina bahkan sampai keluar vagina akibat disfungsi dari otot-otot dasar pelvis, fasia, dan ligamentum endopelvis. Organ pelvis yang dapat mengalami prolapsus diantaranya adalah uterus (prolapsus uteri = PU). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif potong lintang retrospektif dengan pengambilan data sekunder berupa rekam medis pasien di RSUP Sanglah periode April 2015 sampai Maret 2016 untuk melihat gambaran karakteristik penderita PU dengan metode total sampling yang menghasilkan 26 sampel. Analisis data menggunakan SPSS.Kasus prolapsus uteri berdasarkan data rekam medis di RSUP Sanglah periode April 2015 sampai Maret 2016 (26 kasus) didapatkan sebagian besar kasus ditemukan pada usia 61-80 tahun sebanyak 13 orang (50%), menurut jumlah paritas >3 sebanyak 20 orang (76,9%), menurut pekerjaan sebanyak 15 orang (57,7%) sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT), lalu dari status menopause diketahui 22 orang (84,6%) sudah mengalami menopause. Berdasarkan derajat prolapsus uteri, sebagian besar adalah stadium III sebanyak 14 orang (53,8%). Berdasarkan terapi, sebanyak 20 orang (76,9%) memilih tindakan operatif.

Kata Kunci : Prolapsus uteri, paritas, status menopause, terapi.

ABSTRACT

Pelvic organ prolapse is a condition which pelvic organ have falled or slipped from normal anatomical position in the form of protrusion into the vagina even got out of the vagina due to dysfunction of the pelvic floor muscles, fascia and ligaments Endopelvic. Pelvic organ that may experience prolapse includes the uterus (uterine prolapse = PU). Descriptive method with retrospective cross-sectional design is used in this study using secondary data such as medical records of patients in Sanglah Hospital in the period April 2015 until March 2016 to see the picture of the characteristics of patients with PU. With the total sampling method that produces 26 samples. Data was analyzed descriptively using SPSS.Based on medical records of uterine prolapse patients at Sanglah Hospital in the period April 2015 to March 2016 (26 cases), the majority of cases discovered at the age of 61-80 years as many as 13 people (50%), according to the number of parity> 3 as many as 20 people (76.9% ), according to the work of as many as 15 people (57.7%) as a Housewife (IRT), and menopausal status known 22 people (84.6%) had experienced menopause. Based on the degree of uterine prolapse, most were in stage III as many as 14 people (53.8%). Based therapy, as many as 20 people (76.9%) choose operative action.

Keywords : Uterine prolapse, age,parity, menopausal status, therapy.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum                                           7

doi:10.24843.MU.2020.V9.i4.P02

PENDAHULUAN

Sehat merupakan keadanan yang tidak hanya bebas dari penyakit dan kelemahan, namun lebih pada suatu keadaan sempurna baik fisik, mental, maupun sosial menurut World Health Organization (WHO). Kesehatan reproduksi pada wanita merupakan salah satu komponen kesehatan secara umum, dimana angka kematian ibu yang masih tinggi sekitar 358.000 kasus, dan 99% diantaranya terjadi di negara berkembang dan 67% dari data tersebut termasuk di Indonesia.1 Kemajuan secara obstetrik telah menurunkan angka mortalitas ibu dan bayi sehingga fokus perhatian bergeser kearah mengurangi angka morbiditas. Trauma dasar pelvis selama kehamilan dan persalinan tetap menjadi masalah yang umum karena dapat menyebabkan beberapa gangguan pada pelvis salah satunya adalah prolapsus organ pelvis (POP).1,2

Prolaps berasal dari kata latin “prolapsus” yang artinya jatuh atau tergelincir dari tempat asalnya, jadi POP merupakan suatu kondisi jatuh atau tergelincirnya organ-organ pelvis dari posisi anatomi yang normal berupa penonjolan ke vagina bahkan sampai keluar vagina akibat disfungsi dari otot-otot dasar pelvis, fasia, dan ligamentum endopelvis.3,4 Organ pelvis yang dapat mengalami prolapsus diantaranya adalah uterus (prolapsus uteri = PU).5

Prolapsus menimpa jutaan wanita di seluruh dunia6,7, tetapi jarang dilaporkan dan kurang terdiagnosis karena kebanyakan penderita yang tidak mencari pelayanan kesehatan lebih awal sampai gejala menjadi berat dan berdampak pada kehidupan sosial mereka.8 Proses bagi seorang wanita untuk terkena PU berlangsung perlahan-lahan dan memerlukan waktu yang lama. Keluhan yang dirasakan penderita umumnya bersifat asimtomatik sampai ringan yang tidak membutuhkan pengobatan tetapi dapat menjadi progresif tergantung dari berat ringannya penurunan visera pelvis yang terjadi.8,9

Faktor risiko seorang wanita terkena PU dapat bermacam-macam, salah satunya adalah usia tua. Usia harapan hidup orang Indonesia semakin    meningkat    seiring    dengan

meningkatnya taraf hidup dan  pelayanan

kesehatan, kendali tersebut membawa dampak terhadap peningkatan jumlah populasi lanjut usia sehingga dikhawatirkan kasus PU juga akan semakin bertambah. Untuk alasan itulah diperlukan upaya-upaya guna mencegah terjadinya PU pada kelompok-kelompok berisiko dan meminimalisasi dampak yang https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2020.V9.i4.P02

terjadi akibat PU. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memprediksi atau deteksi dini faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya PU dengan melihat gambaran karakteristik PU di RSUP Sanglah Denpasar, sehingga kedepannya penelitian ini berguna untuk memberikan informasi tentang PU dan dapat membantu pengembangan upaya promosi yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat serta meningkatkan pelayanan kesehatan pada tahap awal PU dan dengan demikian pencegahan primer dan sekunder PU dapat dilakukan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif potong lintang dengan pengambilan data sekunder berupa rekam medis pasien di RSUP Sanglah periode April 2015 sampai Maret 2016 untuk melihat gambaran karakteristik penderita PU. Sampel diambil dengan teknik total sampling yang dilakukan di poliklinik obstetrik dan ginekologi RSUP Sanglah Denpasar. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah, dianalisis, dan ditampilkan dalam bentuk deskriptif.

HASIL

Hasil penelusuran data digital pada komputer didapatkan jumlah kasus ginekologi periode April 2015 sampai dengan Maret 2016 sebesar 18.355 kasus. Dari sejumlah kasus ginekologi tersebut, yang terdiagnosis dengan prolapsus uteri ditemukan sebanyak 247 kasus (1,35%). Penelusuran lebih lanjut pada 247 kasus tersebut dalam arsip rekam medis sentral ditemukan sampel dengan data pasien yang sama karena pasien datang lebih dari satu kali serta terdapat arsip yang hilang dengan total 221 kasus. Hasil akhir sampel yang dapat dilakukan analisis sebanyak 26 kasus. Sampel dikelompokkan dan dianalisis berdasarkan karakteristik usia, jumlah paritas, pekerjaan, status menopause, derajat prolapsus uteri, dan terapi.

Tabel 1. Karakteristik Kasus Prolapsus Uteri Menurut Usia

Usia            Jumlah         %

<40 tahun           27,7

41-60 tahun          1142,3

61 – 80 tahun       1350

Berdasarkan Tabel 1. diatas dapat diketahui bahwa sebanyak 11 orang (42,3%) dengan prolapsus uteri berada pada kelompok usia 41-60 tahun, sedangkan kasus dengan usia < 40 tahun hanya 2 orang (7,7%), sebagian besar kasus prolapsus uteri (50%) berusia 61 – 80

tahun. Tabel 2. Karakteristik Kasus Prolapsus Uteri Menurut Paritas

Jumlah Paritas

Jumlah

%

1

1

3,8

2

5

19,2

>3

20

76,9

Tabel 2. diatas menunjukkan bahwa sebagian besar kasus dalam penelitian ini memiliki jumlah paritas > 3 yaitu sebanyak 20 orang (76,9%). Hanya 5 orang (19,2%) kasus yang memiliki jumlah paritas 2 dan 1 kasus (3,8%) memiliki paritas 1.

Tabel 3. Karakteristik Kasus Prolapsus Uteri Menurut Pekerjaan

Pekerjaan

Jumlah

%

Ibu    Rumah

15

57,7

Tangga

PNS

2

7,7

Wiraswasta

4

15,4

Lainnya

5

19,2

Berdasarkan Tabel 3    diatas

menunjukkan bahwa kasus dalam penelitian ini yang bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) sebanyak 15 orang (57,7%), sedangkan yang bekerja sebagai PNS sebanyak 2 orang (7,7%), sebagai wiraswasta sebanyak 4 orang (15,4%) dan sisanya bekerja pada sektor lain yaitu sebanyak 5 orang (19,2%).

Tabel 4. Karakteristik Kasus Prolapsus Uteri Menurut Status Menopause

Status              Jumlah        %

Menopause

Ya                  22         84,6

Tidak                 4           15,4

Sebagian besar kasus yaitu 22 orang (84,6%) berada dalam status menopause, dan 4 orang (15,4%) tidak dalam status menopause seperti yang tergambar dalam Tabel.4.

Tabel 5. Karakteristik Menurut Derajat Penyakit

Derajat

Prolapsus Uteri

Jumlah

%

Stadium I

3

11,5

Stadium II

5

19,2

Stadium III

14

53,8

Stadium IV

4

15,4

Berdasarkan Tabel 5. diatas dapat diketahui bahwa kasus yang berada dalam stadium I sebanyak 3 orang (11,5%), kasus yang

berada dalam stadium II sebanyak 5 orang (19,2%), kasus yang berada dalam stadium III sebanyak 14 orang (53,8%), dan kasus yang berada dalam stadium IV sebanyak 4 orang (15,4%).

Tabel 6. Karakteristik Kasus Prolapsus Uteri Menurut Terapi

Terapi             Jumlah        %

Konservatif             6           23,1

Operatif              20          76,9

Berdasarkan Tabel 6. diatas dapat diketahui bahwa kasus yang mendapatkan terapi konservatif sebanyak 6 orang (23,1%) sedangkan kasus yang mendapatkan terapi operatif sebanyak 20 orang (76,9%).

DISKUSI

Menurut hasil penelitian Khailullah di RSUDZA Banda Aceh, menyebutkan bahwa prolapsus uteri menduduki angka kasus terbanyak keenam di bagian ginekologi, yaitu sebanyak 3,28% jika dibandingkan dengan kasus – kasus paling sering ditemukan lainnya. Dari 71 kasus tersebut sebagian besar (57,74%) penderita berusia antara 60-80 tahun. Sedangkan yang paling sedikit berusia <40 tahun.10 Usia >40 tahun akan berisiko tinggi mengalami prolapsus uteri dibandingkan usia ≤ 40 tahun, karena penurunan hormon esterogen yang terjadi pada usia > 40 tahun, maka meningkatkan kelelahan ligamen-ligamen      panggul      sehingga

meningkatkan risiko stres inkontinensis dan prolapsus uteri.11

Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan ibu termasuk yang meninggal.12 Hasil penelitian Suryaningdya menunjukkan bahwa wanita yang memiliki paritas lebih dari tiga memiliki kejadian prolapsus uteri yang lebih tinggi, yakni sebanyak 17 kasus (81%) dibandingkan dengan ibu yang memiliki paritas kurang dari atau sama dengan 3 anak, yakni 4 kasus (19%).13 Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Baradero yaitu pada wanita dengan paritas tinggi (>3) lebih sering ditemukan kejadian prolapsus uteri dibandingkan dengan paritas rendah (≤3).14 Semakin tinggi paritas akan menyebabkan kelemahan otot dasar panggul sehingga terjadi penurunan organ panggul.    Selain itu,

kurangnya informasi diterima dari tenaga kesehatan, menyebabkan masyarakat semakin tabu untuk membahas   masalah gangguan

reproduksi. Hal tersebut membuat tenaga kesehatan harus bekerja lebih keras untuk melakukan penyuluhan tentang pemakaian alat kontrasepsi. Hal ini dimaksudkan agar pasangan

usia subur terhindar dari paritas tinggi yang dapat memicu terjadinya prolapsus uteri.12

Frekuensi prolapsus uteri di Indonesia hanya 1,5% dan lebih sering dijumpai pada wanita yang telah melahirkan, wanita tua dan wanita dengan pekerjaan yang melakukan aktivitas yang berat. Aktivitas yang berat pada wanita, akan menyebabkan peningkatan tekanan intraabdominal, yang dimana semakin diperberat oleh faktor hormonal pada usia lanjut.11

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Khailullah, dkk10 menjukkan bahwa sebagian besar sampel kasus yang mengalami prolapsus uteri dalam penelitiannya telah mengalami menopause (90,14%).10 Menopause mememicu perubahan metabolisme hormon, salah satunya hormon estrogen, yang ditambah dengan atropi atau melemahnya otot-otot dasar panggul sehingga menimbulkan efek jangka panjang berupa prolapsus uteri.11 Dalam hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa sebagian besar kasus prolapsus uteri sudah mengalami menopause (84,6%).

Hasil penelitian Pratiwi menunjukkan bahwa dari jumlah total pasien (85 orang) yang datang dalam rentang waktu penelitian, pasien yang mengalami POP adalah 81,2% dengan rincian POP derajat I 3,5%, POP derajat II 21,2%, POP derajat 3 50,6% dan POP derajat IV 5,9%. Berdasarkan kelompok umur, jumlah pasien yang mengalami POP terbanyak adalah berumur diatas 60 tahun, sebanyak 41 orang.15 Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan di RSUP Sanglah dan penelitian Pratiwi dan Putra pasien yang mengalami POP derajat III. Hal ini dikarenakan keadaan prolapsus pada derajat I biasanya tidak disadari penderita, sedangkan pada derajat II ujung uterus telah berada di orifisum vagina akibat uterus yang sudah turun jauh kedalam vagina. Pada derajat III hampir semua pasien akan datang ke rumah sakit untuk memperoleh terapi karena sebagian besar uterus sudah keluar dari vagina. Prolapsus uteri dapat menimbulkan nyeri pada stadium yang berat, sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari.12

Dari hasil penelitian ini didapatkan mayoritas sebanyak 20 orang (76,9%) mendapatkan terapi operatif. Hal ini dikarenakan waktu pemulihan operasi yang lebih pendek. Untuk terapi operatif dari hasil 20 orang seluruhnya dilakukan operasi histerektomi transvagina. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan PU derajat III dan IV. Perbaikan PU dengan histerektomi 8 kali lebih tinggi pada wanita derajat II atau lebih.16 Sebanyak enam kasus (23,1%) dengan PU memilih melakukan terapi konservatif (non bedah). Diantara enam kasus yang memilih terapi konservatif, 5 orang https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2020.V9.i4.P02

memilih dengan pesarium, dua diantaranya atas kehendak pasien sendiri sebab pasien menolak melakukan tindakan operatif dan pesarium dinilai lebih tidak invasif, sedangkan tiga orang lainnya dipertimbangkan dengan menggunakan pesarium karena pasien berusia tua yaitu diatas 65 tahun. Sekitar 75-77% ahli ginekologi menggunakan pesarium sebagai pilihan lini pertama pada prolapsus uteri. Pemasangan pesarium dapat dilakukan tanpa memandang stadium prolapsus uteri sehingga memungkinkan dikerjakan pada sebagian besar wanita dengan prolapsus uteri.17 Kemudian, satu orang diterapi dengan senam Kegel dimana senam ini sangat memberikan manfaat pada kasus prolapsus uteri ringan, terutama yang terjadi dalam kurun waktu enam bulan setelah persalinan. Senam ini bertujuan untuk menguatkan otot-otot dasar panggul dan yang berperan dalam proses miksi.18

SIMPULAN

Dari hasil penelitian di RSUP Sanglah Denpasar pada periode April 2015 sampai Maret 2016 diketahui bahwa kasus prolapsus uteri terbanyak yakni: 50 % kasus berusia antara 61 – 80 tahun. 76,9% kasus dengan jumlah paritas > 3, 57,7% kasus sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT), 84,6% kasus berada pada status menopause, 53,8% kasus dengan prolapsus uteri derajat III, dan 76,9% kasus terapi memilih operatif.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    World Health Organization. Trends in maternal mortality: 1999 to 2008. Geneva: World Health Organization press. 2010

  • 2.    Trikouras P, Dafopoulos A, Vrachnis N, et al. Uterine prolapse in pregnancy: risk factors, complications and management. J Matern Fetal Neonatal Med. 2014; 1-6

  • 3.    Mochamad A, Ali B, Prajitno PR. Ilmu kandungan Edisi Ketiga, Cetakan Pertama. Jakarta:  PT Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo. 2011.

  • 4.    Shrestha B, Onta S, Choulagai B, Poudyal A, Pahari DP, Uprety A, Petzold M, Krettek A. Women’s experiences and health careseeking practices in relation to uterine prolapse in a hill district of Nepal. BMC Woman’s Health. 2014; 14(20):1-9

  • 5.    Mishra MK, Adhikari TP. Uterine prolapse in Madhesh: gender, reproductive rights and development. I-manager’s Journal of Noursing. 2011; 1(3): 25 - 36

  • 6.    Altman D, Väyrynen T, Engh EM, Axelsen S, Falconer C. Anterior colporrhaphy versus transvaginal mesh for pelvic-organ prolapse.

The New England Journal for Medicine. 2011; 364(19):1826-36

  • 7.    Pal L. Pelvic organ prolapse and relationship with skeletal integrity. Future Medicine Ltd. 2009; 5(3): 2325-333

  • 8.    Marchese K. Improving evidance-based practice: use of the POP-Q system for the assesment of pelvic organ prolapse. Urology Nursing. 2009; 29(4):216-224.

  • 9.    Purwara BH, Armawan E, Sasotya RMS, Achmad ED. Faktor risiko penderita prolapsus organ panggul terhadap hiatus genetalis, panjang total vagina, dan perineal body. MKB. 2014; 46(1):57-60.

  • 10.    Khalillulah SA, Masnawati, Saputra RW, Hayati M. Prolapsus uteri pada rumah skit umum DR. Zainoel Abidin Banda Aceh, Indonesia selama 2007 sampai 2010. 2011

  • 11.    Wiknjosastro H,    Saifuddin AB,

Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2009; 911, 432-436, 4376

  • 12.    Lismarni, Fetrisia W. Hubungan Paritas, Umur, dan Jenis Persalinan dengan Kejadian Prolapsus Uteri di Rumah Sakit ACHMAD

Mochtar Bukittinggi Tahun 2013. Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittingi. 2013; 4(1): 50-58

  • 13.    Suryaningdyah D. Hubungan Paritas dengan Kejadian Proaps Uteri di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Surakarta. 2008.

  • 14.    Baradero M, Dayrit MW, Siswadi T. Seri Asuhan Keperawatan: Klien Gangguan Sistem Reproduksi dan Seksualitas. Jakarta: EGC. 2015

  • 15.    Pratiwi M, Yoga K, Putra IGM. Pelvic organ prolapse. E-Jurnal Medika Udayana. 2013; 2(4):709-736.

  • 16.    Doshani A, Teo RE, Mayne CJ, Tincello DG. Uterine prolapse. BMJ: British Medical Journal. 2007; 335:819-823.

  • 17.    Baiq CH. Faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian Prolapsus Uteri di RSUP Dr. Kariadi Semarang. 2015

  • 18.    Filho ALS, da Fonsecal AMRM, Camillatoii E, Cangussuii RO. Analysis of the resources for rehabilitation on pelvic floor muscles in women with prolapse and urinary incontinence. Fisioter Pesqui. 2013; 20(1): 90-9

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2020.V9.i4.P02

11