ANEMIA APLASTIK

1Ni Made Dharma Laksmi, 2Sianny Herawati, 2I Wayan Putu Sutirta Yasa 1Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Bagian Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang diantaranya ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan platelet tanpa adanya bentuk kerusakan sumsum tulang lainnya. Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di negara maju 3-6 kasus/ 1 juta penduduk/ tahun. Penyebab pasti seseorang menderita anemia aplastik juga belum dapat ditegakkan dengan pasti, namun terdapat beberapa sumber yang berpotensi sebagai faktor risiko. Prognosis atau perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk.

Kata kunci : Anemia Aplastik

APLASTIC ANEMIA

ABSTRACT

Aplastic Anemia describes a disorder of the clinical syndrome is marked by a deficiency of red blood cells, neutrophils, monocytes and platelets in the absence of other forms of bone marrow damage. Aplastic anemia is classified as a rare disease in developed countries the incidence of 3-6 cases / 1 million inhabitants / year. The exact cause of someone suffering from aplastic anemia also can not be established with certainty, but there are several sources of potential risk factors. Prognosis or course of the disease varies widely aplastic anemia, but without treatment generally gives a poor prognosis.

Keywords : Aplastic Anemia

PENDAHULUAN

Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang diantaranya ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan platelet tanpa adanya bentuk kerusakan sumsum lainnya. Dalam pemeriksaan sumsum dinyatakan hampir tidak ada hematopoetik sel perkusi dan digantikan oleh jaringan lemak. Kerusakan ini bisa disebabkan oleh zat kimia beracun, virus tertentu, atau bisa juga karena faktor keturunan. Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di negara maju 3-6 kasus/ 1 juta penduduk/ tahun.1,2

Manifestasi anemia aplastik juga sangat beragam dimulai dari kasus yang bersifat ringan hingga berat, dan juga sampai menimbulkan kematian. Oleh sebab itu, pada penulisan ini saya membahas dampak yang ditimbulkan anemia aplastik, memerlukan perhatian dari para tenaga kesehatan untuk memberikan suatu tindakan yang tepat dalam menangani masalah tersebut.

Pengertian Anemia Aplastik

Anemia aplastik merupakan hasil dari kegagalan produksi sel darah pada sumsum tulang belakang. Anemia aplastik juga merupakan anemia yang disertai oleh pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia. Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga sebagai anemia hipoplastik.2 Kelainan ini ditandai oleh sumsum hiposelular dan berbagai variasi tingkat anemia, granulositopenia, dan trombositopenia.1

Etiologi dan Patogenesis

Masih belum terdapat bukti yang sangat jelas mengapa seseorang dapat diduga secara potensial menderita keracunan sumsum tulang berat dan sering terdapat kasus cedera sumsum tulang yang tidak dapat disembuhkan.1 Oleh karena itu, penyebab pasti seseorang menderita anemia aplastik juga belum dapat ditegakkan dengan pasti.1-3 Namun terdapat beberapa sumber yang berpotensi sebagai faktor yang menimbulkan anemia aplastik. Anemia aplastik dapat diggolongkan menjadi tiga berdasarkan penyebabnya yaitu : anemia aplastik didapat (acquired aplastic anemia); familial (inherited); idiopathik (tidak diketahui).1 Sumber lainnya membagi penyebabnya menjadi primer (kongenital, idiopatik) dan sekunder (radiasi, obat, penyebab lain).2 Berikut ini merupakan penjelasan mengenai ketiga penyebab tersebut.

Anemia Aplastik Didapat (Acquired Aplastic Anemia)

Bahan Kimia. Berdasarkan pengamatan pada pekerja pabrik sekitar abad ke-20an, keracunan pada sumsum tulang, benzene juga sering digunakan sebagai bahan pelarut. Benzene merupakan bahan kimia yang paling berhubungan dengan anemia aplastik.1 Meskipun diketahui sebagai penyebab dan sering digunakan dalam bahan kimia pabrik, sebagai obat, pewarna pakaian, dan bahan yang mudah meledak. Selain penyebab keracunan sumsum tulang, benzene juga menyebabkan abnormalitas hematologi yang meliputi anemia hemolitik, hiperplasia sumsum, metaplasia mieloid, dan akut mielogenous leukemia. Benzene dapat meracuni tubuh dengan cara dihirup dan dengan cepat diserap oleh tubuh, namun terkadang benzene juga dapat meresap melalui membran mukosa dan kulit dengan intensitas yang kecil. Terdapat juga hubungan antara pengguanaan insektisida menggunakan benzene dengan anemia aplastik. Chlorinated hydrocarbons dan organophospat menambah banyaknya kasus anemia aplastik seperti yang dilaporkan 280

kasus dalam literatur. Selain itu DDT(chlorophenothane), lindane, dan chlordane juga sering digunakan dalam insektisida.1 Trinitrotolune (TNT), bahan peledak yang digunakan pada perang dunia pertama dan kedua juga terbukti sebagai salah satu faktor penyebab anemia aplastik fatal. Zat ini meracuni dengan cara dihirup dan diserap melalui kulit. Kasus serupa juga diamati pada pekerja pabrik mesia di Great Britain dari tahun 1940 sampai 1946.1

Obat. Beberapa jenis obat mempunyai asosiasi dengan anemia aplastik, baik itu mempunyai pengaruh yang kecil hingga pengaruh berat pada penyakit anemia aplastik. Hubungan yang jelas antara penggunaan obat tertentu dengan masalah kegagalan sumsum tulang masih dijumpai dalam kasus yang jarang. Hal ini disebabkan oleh dari beberapa interpretasi laporan kasus dirancukan dengan kombinasi dalam pemakaian obat. Kiranya, banyak agen dapat mempengaruhi fungsi sumsum tulang apabila menggunakan obat dalam dosis tinggi serta tingkat keracunan tidak mempengaruhi organ lain.3 Beberapa obat yang dikaitkan sebagai penyebab anemia aplastik yaitu obat dose dependent (sitostatika, preparat emas), dan obat dose independent (kloramfenikol, fenilbutason, antikonvulsan, 2 sulfonamid).2

Radiasi. Penyinaran yang bersifat kronis untuk radiasi dosis rendah atau radiasi lokal dikaitkan dengan meningkat namun lambat dalam perkembangan anemia aplastik dan akut leukemia. Pasien yang diberikan thorium dioxide melalui kontras intravena akan menderita sejumlah komplikasi seperti tumor hati, leukemia akut, dan anemia aplastik kronik. Penyinaran dengan radiasi dosis besar berasosiasi dengan perkembangan aplasia sumsum tulang dan sindrom pencernaan.1 Makromolekul besar, khususnya DNA, dapat dirusak oleh : (a) secara langsung oleh jumlah besar energi sinar yang dapat memutuskan ikatan kovalen

; atau (b) secara tidak langsung melalui interaksi dengan serangan tingkat tinggi dan

molekul kecil reaktif yang dihasilkan dari ionisasi atau radikal bebas yang terjadi pada larutan. Secara mitosis jaringan hematopoesis aktif sangat sensitif dengan hampir segala bentuk radiasi. Sel pada sumsum tulang kemungkinan sangat dipengaruhi oleh energi tingkat tinggi sinar γ, yang dimana dapat menembus rongga perut. Kedua, dengan menyerap partikel α dan β (tingkat energi β yang rendah membakar tetapi tidak menembus kulit). Pemaparan secara berulang mungkin dapat merusak sumsum tulang yang dapat menimbulkan anemia aplastik.3

Virus. Beberapa spesies virus dari famili yang berbeda dapat menginfeksi sumsum tulang manusia dan menyebabkan kerusakan. Beberapa virus seperti parvovirus, herpesvirus, flavivirus, retrovirus dikaitkan dengan potensi sebagai penyebab anemia aplastik.3

Penyebab lain. Rheumatoid arthritis tidak memiliki asosiasi yang biasa dengan anemia aplastik berat, namun sebuah studi epidemiologi di Prancis menyatakan bahwa anemia aplastik terjadi tujuh kali lipat pada pasien dengan rheumatoid arthritis. Terkadang anemia aplastik juga dijumpai pada pasien dengan penyakit sistemik lupus erythematosus. 1 Selain itu terdapat juga sejumlah laporan yang menyatakan kehamilan berkaitan dengan anemia aplastik, namun kedua hubungan ini masih belum jelas.3

Familial (Inherited) Anemia Aplastik

Beberapa faktor familial atau keturunan dapat menyebabkan anemia aplastik antara lain pansitopenia konstitusional Fanconi, defisiensi pancreas pada anak, dan gangguan herediter 2

pemasukan asam folat ke dalam sel.2

Patofisiologi

Pansitopenia dalam anemia aplastik menggambarkan kegagalan proses hematopoetik yang ditunjukkan dengan penurunan drastis jumlah sel primitif hematopoetik. Dua mekanisme dijelaskan pada kegagalan sumsum tulang. Mekanisme pertama adalah cedera hematopoetik langsung karena bahan kimia seperti benzene, obat, atau radiasi untuk proses proliferasi dan sel hematopoetik yang tidak bergerak. Mekanisme kedua, didukung oleh observasi klinik dan studi laboratorium, yaitu imun sebagai penekan sel sumsum tulang, sebagai contoh dari mekanisme ini yaitu kegagalan sumsum tulang setelah graft versus host disease, eosinophilic fascitis, dan hepatitis. Mekanisme idiopatik, asosiasi dengan kehamilan, dan beberapa kasus obat yang berasosiasi dengan anemia aplastik masih belum jelas tetapi dengan terperinci melibatkan proses imunologi. Sel sitotoksik T diperkirakan dapat bertindak sebagai faktor penghambat dalam sel hematopoetik dalam menyelesaikan produksi hematopoesis inhibiting cytokinesis seperti interferon γ dan tumor nekrosis faktor α. Efek dari imun sebagai media penghambat dalam hematopoesis mungkin dapat menjelaskan mengapa hampir sebagian besar pasien dengan anemia aplastik didapat memiliki respon terhadap terapi imunosupresif.4

Pasien dengan anemia aplastik biasanya tidak memiliki lebih dari 10% jumlah sel batang normal. Bagaimanapun, studi laboratorium menunjukkan bahwa sel stromal dari pasien anemia aplastik dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan dari sel induk hematopoetik dan dapat juga menghasilkan kuantitas faktor pertumbuhan hematopoetik dengan jumlah normal atau meningkat.4

Patofisiologi dari anemia aplastik, oleh karena itu disarankan dua pendekatan utama untuk pengobatannya : penggantian sel induk yang tidak sempurna dengan cara transplantasi sumsum tulang dan penekanan proses imunologi yang bersifat merusak.4

GEJALA DAN TANDA KLINIK ANEMIA APLASTIK

Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tersembunyi dan berbahaya, yang disertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur sehingga menimbulkan kepucatan, rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan disertai panas badan namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis atau infeksi lain yang ditimbulkan dari neutropenia.1 Selain itu pasien sering melaporkan terdapat memar (eccymoses), bintik merah (petechiae) yang biasanya muncul pada daerah superficial tertentu, pendarahan pada gusi dengan bengkak pada gigi, dan pendarahan pada hidung (epitaxis). Menstruasi berat atau menorrhagia sering terjadi pada perempuan usia subur. Pendarahan organ dalam jarang 2-3

dijumpai, tetapi pendarahan dapat bersifat fatal.2 3

Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi atau pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah platelet kurang dari 10.000/µl (10 Χ 109/liter) yang menandakan risiko yang lebih besar untuk pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin dapat dilihat pada anemia berat atau trombositopenia. Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu ditemukan pada anemia aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru terjadi atau diagnosis alternatif seperti leukemia atau limpoma.2

Kelainan Laboratorium

Penemuan pada Darah. Pasien dengan anemia aplastik memiliki tingkat pansitopenia yang beragam. Anemia diasosiasikan dengan indeks retikulosit yang rendah. Jumlah retikulosit biasanya kurang dari satu persen atau bahkan mungkin nol. Makrositosis mungkin dihasilkan dari tingkat eritropoietin yang tinggi, merangsang sedikit sisa sel eritroblas untuk berkembang dengan cepat, atau dari klon sel eritroid yang tidak normal. Jumlah total leukosit dinyatakan rendah, jumlah sel berbeda menyatakan sebuah tanda pengurangan dalam neutropil. Platelet juga mengalami pengurangan, tetapi fungsinya masih normal.1 Pada anemia ini juga dijumpai kadar Hb <7 g/dl. Penemuan lainnya yaitu besi serum normal atau meningkat, Total Iron Binding Capacity (TIBC) normal, HbF 2 meningkat.

Penemuan pada Sumsum Tulang. Sumsum tulang biasanya mempunyai tipikal mengandung spicule dengan ruang lemak kosong, dan sedikit sel hematopoetik. Limfosit, plasma sel, makrofag, dan sel induk mungkin mencolok, tetapi ini mungkin merupakan refleksi dari kekurangan sel lain dari pada meningkatnya elemen ini. Anemia aplastik berat sudah didefinisikan oleh International Aplastic Anemia Study Group sebagai sumsum tulang kurang dari 25 persen sel, atau kurang dari 50 persen sel dengan kurang dari 30 persen sel hematopoetik, dengan paling sedikit jumlah neutropil kurang dari 500/µl (0.5 Χ 109/liter), jumlah platelet kurang dari 20.000/µl (20 Χ 109/liter), dan anemia dengan indeks koreksi retikulosit kurang dari 1 persen. Pengembangan in vitro menunjukkan, kumpulan granulosit monosit atau Colony Forming Unit-Granulocyte/Macrophage (CFU-GM) dan eritroid atau Burst Forming Unit-Erythroid (BFU-E) dengan pengujian kadar logam menyatakan tanda pengurangan dalam sel primitif.1

Penemuan Radiologi. Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI) dapat digunakan untuk membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik. Ini dapat memberikan perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari pada teknik morpologi dan mungkin membedakan sindrom hipoplastik mielodiplastik dari anemia aplastik.

Penemuan pada Plasma dan Urin. Serum memiliki tingkat faktor pertumbuhan hemapoetik yang tinggi, yang meliputi erythropoietin, thrombopoietin, dan faktor myeloid colony stimulating. Serum besi juga memiiki nilai yang tinggi, dan jarak ruang Fe diperpanjang, dengan dikuranginya penggabungan dalam peredaran sel darah merah.1

Gambar 2. Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien anemia aplastik.3


Gambar 1. Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien normal.3


DIAGNOSIS LABORATORIUM

Tanda pasti yang menunjukkan seseorang menderita anemia aplastik adalah pansitopenia dan hiposelular sumsum tulang, serta dengan menyingkirkan adanya infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang.4 Anemia aplastik dapat digolongkan menjadi ringan, sedang, dan berat berdasarkan tingkat keparahan pansitopenia. Menurut International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study Group (IAASG) kriteria diagnosis anemia aplastik dapat digolongkan sebagai satu dari tiga sebagai berikut : (a) hemoglobin kurang dari 10 g/dl,

atau hematokrit kurang dari 30%; (b) trombosit kurang dari 50 Χ 109/L; dan (c) leukosit kurang dari 3.5 Χ 109/L, atau neutrofil kurang dari 1.5 Χ 109/L. Retikulosit < 30 X 109/L (<1%). Gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat) : (a) penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hemopoetik atau selularitas normal oleh hyperplasia eritroid fokal dengan deplesi segi granulosit dan megakarosit; dan (b) tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik. Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus dieksklusi.2

Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu ditentukan derajat penyakit anemia aplastik. Hal ini sangat penting dilakukan karena mengingat strategi terapi yang akan diberikan. Kriteria yang dipakai pada umumnya adalah kriteria Camitra et al. Tergolong anemia aplastik berat (severe aplastic anemia) bila memenuhi kriteria berikut : paling sedikit dua dari tiga : (a) granulosit < 0.5 Χ 109/L; (b) trombosit < 20 Χ 109/L ; (c) corrected retikulosit < 1%. Selularitas sumsum tulang < 25% atau selularitas < 50% dengan < 2

30% sel-sel hematopoetik.2

Tergolong anemia aplastik sangat berat bila neutrofil < 0.2 Χ 109/L. Anemia aplastik yang lebih ringan dari anemia aplastik berat disebut anemia aplastik tidak berat (nonserve 2

aplastic anemia).

Diagnosis Banding

Pansitopenia merupakan ciri-ciri yang sering muncul dari kebanyakan penyakit. Walaupun anamnesis, pemeriksaan fisik, dan studi laboratorium dasar sering dapat mengeksklusi anemia aplastik dari diagnosis, perbedaan merupakan hal yang lebih susah dalam penyakit hematologi tertentu, dan tes lanjutan sangat diperlukan.

Penyebab dari pansitopenia perlu dipertimbangkan dalam diagnosis banding yang meliputi Fanconi’s anemia, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PHN), myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis, aleukemic leukemia, agranulocytosis, dan pure red cell aplasia. Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai penyakit-penyakit tersebut.

Fanconi’s anemia. Ini merupakan bentuk kongenital dari anemia aplastik dimana merupakan kondisi autosomal resesif yang diturunkan sekitar 10% dari pasien dan terlihat pada masa anak-anak. Tanda-tandanya yaitu tubuh pendek, hiperpigmentasi pada kulit, mikrosefali, hipoplasia pada ibu jari atau jari lainnya, abnormalitas pada saluran urogenital, dan cacat mental. Fanconi’s anemia dipertegas dengan cara analisis sitogenetik pada limfosit darah tepi, yang dimana menunjukkan patahnya kromosom setelah dibiakkan menggunakan zat kimia yang meningkatkan penekanan kromosom (seperti diepoxybutane atau mitomycin C).4

Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. PNH adalah sebuah kerusakan yang didapat yang dikarakteristikan dengan anemia yang disebabkan oleh hemolisis intravaskular dan dimanifestasikan dengan hemoglobinuria yang bersifat sementara dan life-threatening venous thromboses. Suatu kekurangan CD59, antigen pada permukaan eritrosis yang menghambat lisis reaktif, sangat bertanggung jawab terhadap hemolisis. Kira-kira 10% sampai 30% pada pasien anemia aplastik mengalami PNH pada rangkaian klinis nantinya. Ini menunjukkan bahwa sangat mungkin bahwa mayoritas pasien dengan PHN dapat mengalami proses aplastik. Diagnosis PNH biasanya dibuat dengan menunjukkan pengurangan ekpresi dari sel antigen CD59 permukaan dengan cara aliran

sitometri, mengantikan tes skrining yang sebelumnya dipergunakan seperti tes hemolisis

sukrosa dan pemeriksaan urin untuk hemosiderin.4

Myelodiysplastic Sindrome. MDSs adalah sebuah kumpulan dari kerusakan sel batang hematopoetik klonal yang ditandai oleh diferensiasi dan maturasi abnormal sumsum tulang, dimana dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang dengan peripheral sitopenias, disfungsional elemen darah, dan memungkinkan perubahan leukemi. Sumsum tulang pada MDS memiliki tipe hiperselular atau normoselular, walaupun hiposelular biasanya juga ditemukan. Sangat penting membedakan hiposelular MDS dengan anemia aplastik karena diagnosis yang ditegakkan untuk penanganan dan prognosis.4

Idiopathic Myelofibrosis. Dua keistimewaan idiopathic myelofibrosis adalah hematopoesis ekstramedulari menyebabkan hepatosplenomegali pada kebanyakan pasien. Biopsi spesimen sumsum tulang menunjukkan berbagai tingkat retikulin atau fibrosis kolagen, dengan megakariosit yang mencolok.4

Aleukemic Leukemia. Aleukemic leukemia merupakan suatu kondisi yang jarang yang ditandai oleh tidak adanya sel blast pada darah tepi pasien leukemia, terjadi kurang dari 10% dari seluruh pasien leukemi dan penyakit ini biasanya terjadi pada remaja atau pada orang tua. Aspirasi sumsum tulang dan biopsy menunjukkan sel blast.4

Pure red cell aplasia. Kerusakan ini jarang terjadi dan hanya melibatkan produksi eritrosit yang ditandai oleh anemia berat, jumlah retikulosit kurang dari 1%, dan normoselular sumsum tulang kurang dari 0.5% eritroblast yang telah matang.4

Agranulocytosis. Agranulocytosis adalah kerusakan imun yang mempengaruhi produksi granulosit darah tetapi tidak pada platelet atau eritrosit.4

TERAPI

Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari 70% dengan perawatan suportif saja. Ini adalah darurat hematologi, dan perawatan harus diputuskan segera. Obat-obatan tertentu diberikan tergantung pada pilihan terapi dan apakah itu perawatan suportif saja, terapi imunosupresif, atau BMT. Rawat inap untuk pasien dengan anemia aplastik mungkin diperlukan selama periode infeksi dan untuk terapi yang spesifik, seperti globulin antithymocyte (ATG).5

Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4 yaitu terapi kausal, terapi suportif, dan terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang (terapi ini untuk merangsang pertumbuhan sumsum tulang), serta terapi definitif yang terdiri atas pemakaian anti-lymphocyte globuline, transplantasi sumsum tulang. Berikut ini saya akan bahas satu persatu tentang terapi tersebut.

Terapi Kausal

Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Hindarkan pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi sering hal ini sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya tidak dapat dikoreksi.2

Terapi suportif

Terapi ini diberikan untuk mengatasi akibat pansitopenia.

Mengatasi infeksi. Untuk mengatasi infeksi antara lain : menjaga higiene mulut, identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat. Sebelum ada hasil, biarkan pemberian antibiotika berspektrum luas yang dapat mengatasi kuman gram positif dan negatif. Biasanya dipakai derivat penicillin semisintetik (ampisilin) dan gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai sefalosporin generasi ketiga. Jika hasil biakan

sudah datang, sesuaikan hasil dengan tes sensitifitas antibiotika. Jika dalam 5-7hari panas tidak turun maka pikirkan pada infeksi jamur. Disarankan untuk memberikan ampotericin-2

B atau flukonasol parenteral.2

Transfusi granulosit konsentrat. Terapi ini diberikan pada sepsis berat kuman gram negatif, dengan nitropenia berat yang tidak memberikan respon pada antibiotika adekuat. Granulosit konsentrat sangat sulit dibuat dan masa efektifnya sangat pendek.

Usaha untuk mengatasi anemia. Berikan tranfusi packed red cell atau (PRC) jika hemoglobin <7 g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9%-10% tidak perlu sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoesis internal. Pada penderita yang akan dipersiapkan untuk transplantasi sumsusm tulang pemberian transfusi harus lebih berhati-hati.2,3

Usaha untuk mengatasi pendarahan. Berikan transfusi konsentrat trombosit jika terdapat pendaran major atau jika trombosit kurang dari 20.000/mm3. Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektifitas trombosit karena timbulnya antibodi anti-trombosit.

2

Kortikosteroid dapat mengurangi pendarahan kulit.2

Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang.

Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan sumsum

2 tulang, meskipun penelitian menunjukkan hasil yang tidak memuaskan.2

Anabolik steroid. Anabolik steroid dapat diberikan oksimetolon atau stanozol. Oksimetolon diberikan dalam dosis 2-3mg/kg BB/hari. Efek terapi tampak setelah 6-12 minggu. Awasi efek samping berupa firilisasi dan gangguan fungsi hati.

Kortikosteroid dosis rendah-menengah. Fungsi steroid dosis rendah belum jelas. Ada yang memberikan prednisone 60-100mg/hari, jika dalam 4 minggu tidak ada respon sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping yang serius.

Granulocyte Macrophage - Colony Stimulating Factor (GM-CSF) atau Granulocyte - Colony Stimulating Factor G-CSF. Terapi ini dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah netrofil, tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoetin juga dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah.2

Terapi definitif

Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka panjang. Terapi definitif untuk anemia apalstik terdiri dari 2 jenis pilihan yaitu : 1.) Terapi imunosupresif; 2.) Transplantasi sumsum tulang.

Terapi imunosupresif. Terapi imunosupresif merupakan lini pertama dalam pilihan terapi definitif pada pasien tua dan pasien muda yang tidak menemukan donor yang cocok.3 Terdiri dari (a) pemberian anti lymphocyte globulin : Anti lymphocyte globulin (ALG) atau anti tymphocyte globulin (ATG) dapat menekan proses imunologi. ALG mungkin juga bekerja melalui peningkatan pelepasan haemopoetic growth factor sekitar 40%-70% kasus memberi respon pada ALG, meskipun sebagian respon bersifat tidak komplit (ada defek kualitatif atau kuantitatif). Pemberian ALG merupakan pilihan utama untuk penderita anemia aplastik yang berumur diatas 40 tahun; (b) terapi imunosupresif lain : pemberian metilprednisolon dosis tinggi dengan atau siklosforin-A dilaporkan memberikan hasil pada beberapa kasus, tetapi masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut. Pernah juga dilaporkan keberhasilan pemberian siklofosfamid dosis tinggi.2,3

Transplantasi sumsum tulang. Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi definif yang memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan canggih, serta adanya kesulitan mencari donor yang kompatibel sehingga pilihan terapi ini sebagai pilihan pada kasus anemia aplastik berat. Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan untuk kasus yang berumur dibawah 40 tahun, diberikan siklosforin-A untuk mengatasi graft versus host disease (GvHD), transplantasi sumsum tulang memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60%-70% kasus, dengan kesembuhan komplit.2 Meningkatnya jumlah penderita yang tidak cocok dengan pendonor terjadi pada kasus transplantasi sumsum tulang pada pasien lebih muda dari 40 tahun yang tidak 3 mendapatkan donor yang cocok dari saudaranya.3

PROGNOSIS DAN PERJALANAN PENYAKIT

Prognosis atau perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk.5 Prognosis dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : (a) kasus berat dan progresif, rata-rata mati dalam 3 bulan (merupakan 10%-15% kasus); (b) penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan kambuh. Meninggal dalam 1 tahun, merupakan 50% kasus; dan (c) penderita yang 3 mengalami remisi sempurna atau parsial, hanya merupakan bagian kecil penderita.3

KESIMPULAN

Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang diantaranya ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan platelet tanpa adanya bentuk kerusakan sumsum lainnya. Dalam pemeriksaan sumsum dinyatakan hampir tidak ada

hematopoetik sel perkusi dan digantikan oleh jaringan lemak. Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tersembunyi dan berbahaya, yang disertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur sehingga menimbulkan kepucatan, rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan disertai panas badan namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis atau infeksi lain yang ditimbulkan dari neutropenia. Penemuan laboratorium juga dapat mempertegas diagnosis anemia aplastik antara lain penemuan pada darah (hapusan darah tepi dan darah lengkap), sumsum tulang, radiologi urin dan plasma darah. Tedapat beberapa terapi untuk mengatasi anemia aplastik. Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4 yaitu: terapi kausal; terapi suportif; terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang; serta terapi definitif.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Shadduck RK. Aplastic Anemia. In: Beuttler E, Coller BS, Lichtman M, Kipps TJ. Williams Hematology. 6th ed. USA: McGraw-Hill;2001. p. 504-523.

  • 2.    Bakta IM. Anemia Karena Kegagalan Sumsum Tulang. In: Hematologi Klinik Ringkas. Cetakan I. Jakarta: EGC;2006. p. 97-112.

  • 3.    Alkhouri N, Ericson SG. Aplastic Anemia:Review of Etiology and Treatment. [serial online]1999;70:46-52. Avaiable from: http://bloodjournal.hematologylibrary.org/cgi /reprint/103/11/46. Accessed July 07, 2008.

  • 4.    Young NS, Shimamura A. Acquired Bone Marrow Failure Syndromes. In: Handin RI, Lux SE, Stossel TP. Blood Principle and Practice of Hematology. 2nd ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins;2003. p. 55-59.

  • 5.    Bakhshi S. Aplastic Anemia. Avaiable from : http://emedicine.medscape.com /article/198759. Accessed July 07, 2008.

18