DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN STRESS PASKA TRAUMA PADA PENDERITA PELECEHAN SEKSUAL

Ni Made Apriliani Saniti

Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah

Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Kejadian luar biasa dalam kehidupan dapat dialami oleh seseorang mulai sejak dalam kandungan sampai akhir hayatnya. Semakin berat peristiwa yang dialami oleh seseorang, semakin besar peluang orang tersebut mengalami gangguan stres pasca trauma yang dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorders (PTSD). Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dapat menimbulkan stress atau trauma psikis pada orang yang mengalaminya. Untuk itu sangat penting mengetahui bagaimana timbulnya PTSD pada seseorang yang pernah mengalami kekerasan seksual, dan hal-hal yang mungkin berkaitan dengan timbulnya PTSD, serta pilihan terapi yang mungkin efektif untuk menangani PTSD.

Kata kunci: stress, paska trauma, pelecehan seksual

DIAGNOSIS AND MANAGEMENT POST TRAUMATIC STRESS DISORDER IN SEXUAL ABUSE

ABSTRACT

Traumatic experiences may happen anytime in our life. The more terrible the situation, the bigger chance for a person to have post traumatic psychological problem, that is the Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Sexual abuse is a kind of traumatic event that caused psychological trauma/stress for the victim. In order to be able to manage patient with PTSD, physician should comprehend properties regarding PTSD, including proper treatment and management.

Keyword: stress, post traumatic event, sexual abuse

PENDAHULUAN

Kejadian luar biasa dalam kehidupaan dapat dialami oleh seseorang mulai sejak dalam kandungan sampai akhir hayatnya. Peristiwa dalam hidup dapat disebabkan alam dan peristiwa atau permasalahan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri. Semakin berat peristiwa yang dialami oleh seseorang, semakin besar peluang orang tersebut mengalami gangguan stres pasca trauma yang dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorders (PTSD).

Kejadian trauma terutama kekerasan seksual di masyarakat semakin lama semakin bertambah, dari data komnas perempuan sejak tahun 2008-2010, di Indonesia telah terjadi 91.311 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, dimana kekerasan seksual yang terbanyak berupa perkosaan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, pelecehan seksual, penyiksaan seksual dan eksploitasi seksual. Begitu juga kekerasan seksual terhadap anak, terjadi 250 kasus kekerasan seksual terhadap anak dimana kasus tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dapat menimbulkan stress atau trauma psikis pada orang yang mengalaminya. Gejala PTSD sering timbul pada anak-anak yang pernah mengalami kekerasan seksual, bahkan dikatakan bahwa kekerasan seksual merupakan penyebab tersering timbulnya PTSD. Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas tentang PTSD, bagaimana timbulnya PTSD setelah mengalami kekerasan seksual, bagaimana diagnosis ditegakkan serta penangan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD

POST TRAUMATIC STRESS DISORDERS (PTSD)

Post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan suatu kondisi atau keadaan yang terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya.1 PTSD dianggap sebagai salah satu bagian dari gangguan kecemasan (anxiety disorder).2 Orang yang mengalami PTSD merespon peristiwa traumatik yang dialami dengan ketakutan dan keputusasaan, mereka akan terus mengenang peristiwa itu dan selalu mencoba menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan kembali akan peristiwa tersebut.1

Stressor atau faktor primer yang menyebabkan timbulnya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat berupa bencana alam seperti banjir, gunung meletus, tsunami dan lainnya, ada pula yang berasal dari ulah manusia misalnya perang, kebakaran, kekerasan fisik ataupun kekerasan seksual.1 Timbulnya PTSD tidak hanya disebabkan oleh adanya stressor, ada beberapa faktor yang terjadi sebelum dan sesudah trauma berperan dalam munculnya gangguan ini.1

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TIMBULNYA PTSD

Faktor Resiko

Beberapa faktor resiko terjadinya PTSD dilihat dari aspek trauma, pengalaman saat trauma, karakteristik masing-masing individu dan faktor post-trauma.3

  •    Aspek trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang dialami, peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak korban meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama kekerasan seksual.

  •    Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa kurang mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan, serta adanya gejala disosiatif saat kejadian.

  •    Karakteristik individu yang memiliki resiko PTSD, ada riwayat menderita gangguan psikiatri dan saraf, trauma terutama saat anak-anak, adanya penyangkalan terhadap trauma yang dialami dan reaksi stres akut.

  •    Faktor pasca trauma, berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau penolakan atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan 3 sekitar.

Faktor Psikodinamik

Suatu hipotesa menyatakan kejadian trauma dapat membangkitkan ingatan tentang pengalaman sebelumnya yang menimbulkan suatu konflik psikologis. Kebangkitan trauma waktu anak-anak menimbulkan regresi dan menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti penyangkalan dan reaksi formasi.1

Faktor Kognitif-Prilaku

Model kognitif dari PTSD menyatakan orang-orang yang tidak mampu merasionalisasi trauma dengan cepat mengalami gangguan PTSD. 1 Mereka terus merasakan stres dan mencoba untuk menghindari apa yang dialami dengan teknik penghindaran. Orang-orang tersebut menekan ingatan tentang trauma yang dialami ke alam bawah sadar, yang mana lama-kelamaan semakin menumpuk, jika terjadi trauma lagi hal itu dapat menimbulkan bangkitan ingatan trauma sebelumnya. Model prilaku dari PTSD menekankan dua fase berkembangnya PTSD yaitu trauma (stimulus) yaitu yang menghasilkan respon ketakutan

melalui kondisi klasik yang dipasangkan dengan stimulus yang dikondisikan (fisik ataupun mental yang mengingatkan akan trauma yang dialami), yang kedua adalah melalui instrument, stimulus dikondisikan yang menimbulkan reaksi ketakutan tidak tergantung stimulus aslinya yang tidak dikondisikan, orang tersebut akan menunjukan gambaran menghindari stimulus yang dikondisikan ataupun yang tidak.

Beberapa orang mendapat keuntungan dari dunia luar setelah adanya trauma, misalnya uang kompensasi dan meningkatnya rasa simpati, keuntungan ini akan menguatkan gangguan PTSD dan gangguan ini menjadi persisten.1

  •    Faktor neurobiologi

Peran faktor neurobiologi dalam PTSD berkaitan dengan ingatan dan kondisi ketakutan.8 Hipokampus dan beberapa bagian dari lobus temporalis dipercaya berperan dalam mengingat kejadian yang disadari, misalnya ingatan tentang kejadian trauma yang dialami. Amygdala diyakini berperan dalam suatu ingatan yang tidak disadari, misalnya aspek autonom yang merupakan respon dari rasa takut. Amygdala menerima informasi tentang rangsangan luar dan selanjutnya digunakan sebagai penanda, hal tersebut kemudian merangsang respon emosi termasuk ‘fight, flight atau freezing’ dan dalam perubahan stress hormone.8

Hubungan antara hipokampus, amygdala, serta kortek prefrontal medial membentuk respon akhir rasa takut. Lesi hipokampus dihubungkan dengan respon ketakutan yang kuat, sedangkan dalam beberapa study menunjukan volume 8

hipokampus yang kecil dihubungkan dengan adanya PTSD.8

Kalangan klinisi memiliki data bahwa terjadi hiperaktifasi noradrenergic, sistem opioid endogen dan juga axis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA axis), serta

adanya peningkatan aktivitas dan respon dari sistem saraf autonom yang ditandai

dengan peningkatan nadi dan tekanan darah serta adanya pola tidur yang abnormal

(fragmentasi tidur, dan peningkatan latency tidur).1

KEKERASAN SEKSUAL DAN PTSD

Hal-hal atau tidakan di masyarakat yang termasuk ke dalam kekerasan seksual di masyarakat sangat sulit dinilai, tidak ada nilai baku tentang tindakan kekerasan seksual itu sendiri di masyarakat luas.4 Karena itu, para klinisi dan peneliti mulai membuat konsensus prilaku apa saja yang termasuk tindakan kekerasan seksual. Beberapa kriteria dalam definisi kekerasan seksual, diantaranya tipe kontak seksual yang dialami (tidak ada kontak, percobaan, sentuhan ataupun penetrasi), derajat kekerasan (tidak diinginkan atau pemaksaan). Beberapa definisi kekerasan hanya fokus pada tipe kontak yang dialami seperti disentuh dengan paksa ataupun penetrasi dan mengekslusi bila tindakan tersebut tidak ada kontak langsung seperti pada kasus eksibisionis. Sebagian peneliti juga menggunakan definisi pengalaman seksual yang tidak diinginkan untuk definisi kekerasan seksual, ada yang menyatakan kekerasan seksual adalah suatu tindakan seksual yang dapat menimbulkan bahaya. Pada anak-anak (di bawah 13 tahun) definisi kekerasan seksual adalah suatu pengalaman seksual yang tidak diinginkan dimana umur pelaku 5 tahun lebih tua daripada umur korban.4

Dalam satu penelitian yang dilakukan oleh Kaplow et al, menunjukan mekanisme timbulnya gejala PTSD pada anak-anak yang mengalami kekerasan seksual, dengan melihat beberapa hal yang mungkin merupakan prediktor timbulnya PTSD (skema. 1).5 Terdapat tiga cara langsung timbulnya gejala PTSD dari reaksi disclosure yakni menghindar,

kecemasan dan disosiatif. Sedangkan cara tidak langsungnya berasal dari pretrauma dan variabel trauma ada empat yakni, umur, jenis kelamin, faktor stres lainnya dan juga umur saat terjadinya trauma. Secara spesifik dijelaskan, kecemasan atau arousal merupakan mediator diantara faktor stres dan PTSD dan umur saat terjadi kekerasan. Menghindar merupakan mediator antara umur dan PTSD dan antara jenis kelamin dan PTSD. Sedangkan adanya disosiatif tidak hanya merupakan prediktor timbulnya PTSD secara langsung, tapi juga dapat secara tidak langsung yang mempengaruhi atau memperberat gejala kecemasan. Adanya reaksi disosiatif, kemungkinan dapat menghambat pengekspresian emosi dan kognisi yang berhubungan dengan trauma yang dialami secara terbuka, hal ini akan memperburuk gejala PTSD. Studi ini juga menunjukan bahwa tingkat pengekspresian emosi pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki, sedangkan pada anak-anak cenderung akan menghindari keterbukaan karena kurangnya kemampuan atau kapasitas mereka untuk berbicara ataupun menunjukan emosi yang mereka rasakan, sehingga anak akan memendam sendiri perasaannya, yang berdampak gejala PTSD yang timbul semakin berat (Skema 1) .6

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

Secara garis besar ada beberapa gambaran klinis yang ada pada penderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yaitu merasakan kembali mengalami peristiwa (reexperience), baik dalam mimpi atau bayangan yang muncul secara tiba-tiba (flashback) ataupun merasakan perasaan bahwa peristiwa tersebut akan terulang kembali.6 Hal tersebut biasanya dipicu oleh sesuatu yang berhubungan dengan trauma yang dialami yang mengingatkan akan trauma yang dialami, misalnya anak-anak yang mendapat penyiksaan, bila bertemu dengan orang yang mirip dengan penyiksanya, anak tersebut akan merasa ketakutan.6

Gambaran klinis yang kedua adalah avoidance dan numbing. Hal ini tergambar dari sikap penderita PTSD, dimana mereka cenderung menghindari merasakan, memikirkan atau mengingat kembali peristiwa trauma yang dialami, mereka dapat mengalami amnesia psikogenik. Penderita PTSD cenderung kehilangan minat untuk melakukan aktivitas sehari-hari.6

Keluhan lainnya adalah meningkatnya kewaspadaan (hyperarousal), dimana hal ini menimbulkan kesulitan untuk tidur, sangat sensitif, mudah marah, dan sulit berkonsentrasi.6

DIAGNOSIS PTSD

Terdapat beberapa kriteria diagnosis untuk Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) didasarkan pada DSM-IV-TR.1,2 Selain terbukti penderita mengalami kejadian traumatik, juga terdapat gejala-gejala seperti gejala reexperience, avoidance dan hyperarousal yang dialami lebih dari satu bulan, bila gejala tersebut muncul kurang dari satu bulan termasuk dalam gangguan reaksi stres akut. PTSD dikelompokan menjadi akut, bila gejala muncul kurang dari 3 bulan setelah kejadian, kronis jika gejala PTSD yang muncul lebih dari 3 bulan pasca trauma, dan juga onset PTSD lambat yakni gejala muncul setelah 6 bulan pasca trauma. Gangguan ini menyebabkan penderita mengalami kegagalan dalam fungsi sosial, pekerjaan maupun fungsi lain dalam kehidupannya (Tabel 1).1,2

PENANGANAN PTSD

Terdapat dua pilihan terapi yang dapat diberikan kepada penderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), yakni terapi psikologi dan pharmakologi. Beberapa terapi psikologi untuk PTSD diantaranya trauma-focused cognitive-behavioural therapy (TFCBT) dan eye movement desensitization and reprocessing (EMDR), manajemen stres, dan terapi lainnya

termasuk terapi suportif, terapi psikodinamik dan hipnoterapi.7 Sedangkan secara pharmakologi, obat yang dapat diberikan untuk penderita PTSD antara lain golongan selective serontonin reuptake inhibitor (SSRIs), golongan tricyclics dan monoamine oxidase inhibitors (MAOIs).8

Terapi Psikologi

Menurut The National Institute for Health and Clinical Excelence (NICE) lini pertama dalam penanganan PTSD adalah trauma-focused cognitive-behavioural therapy (TFCBT) atau eye movement desensitization and reprocessing (EMDR).9

  •    Trauma-Focused Cognitive-Behavioural Therapy (TFCBT)

Trauma-Focused Cognitive-Behavioural Therapy (TFCBT) ini mencakup pendidikan tentang PTSD, pemantauan gejala-gejala PTSD, manajemen kecemasan, pemaparan terhadap rangsangan yang mengakibatkan kecemasan dalam suasana yang mendukung dan manajemen kemarahan.9 Pendekatan kognitif-pilaku terutama terapi pemaparan (exposure therapy) efektif untuk PTSD karena kekerasan seksual.4 Terapi pemaparan ini diantaranya, konfrontasi ketakutan namun situasinya tidak membahayakan yang berkaitan dengan trauma yang dialami misalnya, saat tidur tidak menggunakan penerangan, atau pergi ke tempat ramai. Terapi ini memfasilitasi proses emosional dengan menolong pasien untuk bereaksi dengan sedikit rasa takut terhadap memori atau ingatan tentang peristiwa yang dialami. Terapi ini dapat dikombinasikan dengan cognitive-exposure therapy dan stress-inoculation therapy (penataan kembali kognisi, pelatihan kemampuan coping, dan manajemen stres). Menurut Foa et al kombinasi terapi pemaparan berkepanjangan dan stress inoculation therapy

tersebut efektif untuk mengurangi gejala-gejala PTSD pada korban pemerkosaan. Penelitian selanjutnya menyatakan terapi-terapi tersebut tidak efektif bila tidak dikombinasikan. Resick et al membandingkan pemaparan berkepanjangan dengan cognitive processing therapy (mengkombimasikan pemaparan dalam bentuk menulis dan membaca tentang trauma dan terapi kognitif) untuk meminimalkan perhatian. Penelitian ini menunjukan kedua terapi tersebut efektif mengurangi gejala PTSD dibandingkan kelompok kontrol.4

  •    Eye Movement Desensitisation and Reprocessing (EMDR)

Eye Movement Desensitisation and Reprocessing (EMDR) adalah terapi yang menggunakan gerakan bola mata bolak-balik secara volunter untuk mengurangi kecemasan yang berhubungan dengan pikiran yang mengganggu pasien PTSD.6 Terapi ini difokuskan pada gambaran trauma serta pikiran dan respon afektif negatif yang ditimbulkan oleh trauma. Tujuan terapi ini agar seseorang dapat berpikir dan bersikap lebih positif terhadap trauma yang dialami.10 EMDR menggunakan stimulasi bilateral berupa gerakan mata saccadic atau rangsangan bolak balik mata lainnya, dilakukan saat keadaan terpapar (fokus terhadap ingatan, emosi dan kognitif yang mengganggu).10 Tidak diketahui secara pasti komponen gerakan saccadic mata yang bagaimana dari terapi yang mempunyai nilai lebih dalam terapi.4

Terdapat delapan fase dalam terapi ini, yaitu :

  • -    Fase I assessment, dalam fase ini terapis sudah mendapatkan cerita lengkap mengenai peristiwa yang dialami oleh pasien, pada fase ini digambarkan rencana terapi yang sudah disesuaikan dengan pasien.10

  • -    Fase II persiapan, pasien mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan terapi, metode terapi dijelaskan, terapi ini disesuaikan dengan masing-masing individu sesuai dengan pendidikan dan kondisi psikologisnya, dalam fase ini disepakati stimulasi bilateral yang digunakan.

  • -    Fase III penilaian target memori, selama fase ini pasien mengidentifikasi ingatan, kognisi, dan emosi yang akan dirubah. Terapi normalnya fokus terhadap bayangan yang menunjukan ingatan buruk pasien.

  • -    Fase IV desensitisasi, pasien diminta menanamkan dalam pikirannya tentang gambaran atau bayangan trauma bersamaan dengan kognisi negatifnya. Stimulasi bilateral dimulai sampai semua ingatannya saling terhubung, stimulasi biasanya diberikan melalui gerakan cepat mata pasien yang mengikuti gerakan jari terapis. Gerakan jari dari terapis ada 30 gerakan namun hal ini disesuaikan dengan kondisi pasien. Proses ini dapat diulang sampai proses terapi selesai ataupun sampai pasien sudah tidak merasakan emosi dan respon fisik yang negatif terhadap bayangan traumanya.

  • -    Fase V Instalasi, pikiran positif ditanamkan dengan proses stimulasi yang sama dengan sebelumnya.

  • -    Fase VI body scan, pasien diminta untuk berkonsentrasi dan mengidentifikasi perasaannya. Jika pasien merasakan perasaan negatif, stimulasi bilateral diulang kembali, namun jika positif stimulasi tersebut digunakan untuk menguatkan perasaannya.

  • -    Fase VII closure, terapis memuji pasien atas usaha yang dilakukan dan pencapaiannya serta dukungan dan semangat pasien. Penterapi juga memberikan pelatihan peregangan dengan tahanan.

  • -    Fase VIII debriefing the experience, pasien diwawancarai dan dijelaskan mengenai efek yang mungkin akan dialami pasien nantinya setelah terapi selesai.10

Pharmakologi

Selain dalam pengobatan untuk pasien Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), intervensi secara pharmakologi dipercaya dapat mencegah terjadinya gangguan ini, hal tersebut dilihat dari tiga randomized controlled trials (RCTs) yang dipublikasikan.8 Berdasarkan level kortisol, pemberian hydrocortisone secara intravena pada korban yang mengalami syok septic di intensif care salah satu rumah sakit di Swiss, menunjukan bahwa dengan pemberian hydrocortisone dapat menurunkan gejala PTSD, namun belum ada penelitian tentang pemberian obat ini pada populasi umum. Study yang kedua tentang pemberian propanolol, hal ini berdasarkan hipotesa adanya gelombang adrenergic pada awal setelah terjadi peristiwa traumatik. Pitman et al berhipotesa bahwa pemberian propanolol 6 jam 8

setelah trauma berhasil mencegah timbulnya gejala PTSD.8

Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) menggunakan obat-obatan untuk terapi PTSD adalah pilihan ke dua, merupakan terapi alternatif setelah terapi psikologis.8 NICE merekomendasikan terapi pharmakologi diberikan apabila Trauma-Focused Cognitive-Behavioural Therapy (TFCBT) tidak efektif, kontraindikasi terhadap pasien ataupun karena menolak terapi psikologi. Pilihan golongan obat yang dianggap bisa dipakai untuk pasien PTSD adalah:

  •    Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)

Jenis obat pertama dari golongan SSRIs adalah paroxetine. Penelitian double blind RCTs tentang paroxetine yang pernah dipublikasikan, menunjukan efek positif dibandingkan plasebo, namun paroxetine tidak direkomendasikan oleh NICE sebagai terapi pilihan pertama untuk PTSD. Efek samping dari obat ini adalah mual, 8 mulut kering, asthenia dan ejakulasi abnormal.8

Obat kedua adalah sertraline, obat ini dianggap efektif untuk PTSD di Inggris, namun hanya efektif untuk wanita, sedangkan untuk pria tidak. Efek samping dari obat ini dibandingkan plasebo, sertraline secara signifikan meningkatkan insomnia, diare dan mual serta penurunan nafsu makan.8

  •    Tricyclics dan Monoamine Oxidase inhibitors. Pemberian tricyclics dan golongan MAOIs seperti amitriptyline, imipramine, dan phenelzine, memberikan efek positif, namun efektifitas obat-obat tersebut belum diketahui secara pasti di populasi umum.

PENCEGAHAN PTSD

Beberapa penelitian menyatakan bahwa pemberian intervensi secepat mungkin setelah seseorang mengalami trauma dapat mencegah atau mengurangi resiko Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).6 Dua pendekatan yang dipertimbangkan adalah intervensi yang melibatkan setiap orang, dan intervensi yang ditargetkan untuk orang yang menunjukan gejala PTSD. Intervensi yang digunakan adalah intervensi psikologi single session, jenis yang sering digunakan adalah mewawancarai (debriefing) orang tersebut tentang peristiwa

yang dialami, namun dari meta-analysis menunjukan tidak ada bukti positif tentang efektifitas intervensi ini. Beberapa studi menyatakan bahwa intervensi ini cukup berbahaya bagi beberapa orang. Studi yang terbaru tentang pemberian emotional debriefing menunjukan hasil lebih buruk daripada yang tidak disertai komponen emosi, tapi difokuskan ke edukasi dan fakta-fakta, pada orang yang mengalami hyperarousal.6

Pemberian hydrocortisone pada penderita syok septik di intensif care salah satu rumah sakit di negara Swiss, dapat menurunkan resiko PTSD dalam pemantauan selama 31 bulan dibandingkan plasebo.6,8 Pemberian propanolol 6 jam setelah trauma berhasil 8 mencegah timbulnya gejala PTSD.8

RINGKASAN

Post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan suatu kondisi atau keadaan yang terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya. Timbulnya PTSD tidak hanya disebabkan adanya stressor namun melibatkan faktor lainnya yang terjadi sebelum dan sesudah trauma.

Mekanisme timbulnya gejala PTSD pada anak-anak yang mengalami kekerasan seksual, melalui tiga cara langsung dari reaksi disclosure yakni menghindar, rasa cemas dan disosiatif. Sedangkan cara tidak langsungnya berasal dari pretrauma dan variabel trauma, ada empat yakni umur, jenis kelamin, faktor stres lainnya dan umur saat terjadinya trauma. Gambaran klinis yang ada pada penderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yaitu merasakan kembali mengalami peristiwa (reexperience), avoidance dan numbing serta hyperarousal. Kriteria diagnosis untuk PTSD didasarkan pada DSM-IV-TR.

Dua pilihan terapi yang dapat diberikan kepada penderita PTSD, yakni terapi psikologi dan pharmakologi. Lini pertama dalam penanganan PTSD adalah trauma-focused cognitive-behavioural therapy (TFCBT) atau eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). Beberapa pilihan golongan obat yang dianggap bisa dipakai untuk penderita PTSD Selective serotonin reuptake inhibitors, Tricyclics dan Monoamine Oxidase inhibitors. Intervensi secara psikologi maupun pharmakologi secepat mungkin, setelah seseorang mengalami trauma dapat mencegah atau mengurangi resiko timbulnya PTSD

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Sadock BJ, Sadock VA. Post traumatic stress disorder and acute stress disorders. Synopsis of psychiatry. 10th ED. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins. 2007. p. 612-21.

  • 2.    Benedek DM, Ursano RJ. Posttraumatic stress disorder : from Phenomenology to clinical Practice. Spring 2009, Vol VII, No 2.

  • 3.    Adshead G, Ferris S. Treatment Of Victims of Trauma. Advances in Psychiatric Treatment.2007;13:358-368.

  • 4.    Leserman J. Sexual Abuse History: Prevalence, Health effects, Mediator, and Psychological Treatment. Psychosomatic Medicine. 2005; 67: 906-915.

  • 5.    Kaplow JB, et al. Pathways to PTSD, Part II: Sexually Abused Children. Am J Psychiatry.2005;162: 1305-1310.

  • 6.    Bison JI. In-Depth Review Post Traumatic Stress Disorder. Occupational Medicine.2007;57:399-403.

  • 7.    Bisson JI, et al. Psychological Treatments for Cronic Post Traumatic Stress Disorder. British Journal of Psychiatry. 2007;190: 97-104

  • 8.    Bisson JI. Pharmacological Treatment of Post Traumatic Stress Disorder. Advances in Psyciatric Treatment. 2007;13:119-126.

  • 9.    Lab et al. Treating Post Traumatic Stress Disorder in the ‘Real World’.Psychiatric Bulletin.2008;32:8-12.

  • 10.    Coetzee RH, Regel S. Eye Movement Desensitisation and Reprocessing: an update. Advances in Psychiatric Treatment.2005;11:347-354

Skema 1: faktor prediktor PTSD6

Table 1. Oiacnostic: Criteria, for PTSD (DSM-IV-TR)

  • A.    The person has been exposed to a traumatis evert in which both of the following were present;

  • 1    The person experienced, witnessed, αr was confronted with an event or events that involved actual ar threatened death or serious injury, or a threat to the physical integrity of self or others.

  • 2    The person's response involved intense fear, helplessness, or horror.

Note: In children, this may be expressed instead by d sorgaπized or agitated behavior.

  • B.    The traumatic event is persistently reexperienced in one (or more) of the following ways:

  • 1    Recurrent and intrusive distressing recollections of the event, including images, thoughts, or perceptions

Note: In young children, repetitive play may occur in which themes or aspects of the trauma are expressed

  • 2    Recurrent distressing dreams of the event

Noto: In children, there may be frightening dreams without recognizable content.

  • 3    Acting or feeling as if the traumatic event were recurring (includes a sense of reliving the experience, illusions, hallucinations, and dissociative flashback episodes, including those that occur on awakening or when intoxicated)

Note: In young children, trauma-specific reenactment may occur.

  • 4    Intense psychological distress at exposure to internal or external cues that symbolize or resemble an aspect of the traumatic event

  • 5    Physiologic! reactivity on exposure to internal or external cues that symbolize or resemble an aspect of the traumatic event

  • C.    Persistent avoidance of stimuli associated with the trauma and numbing of general responsiveness (not present before the trauma), as indicated by three (or more) of the following;

  • 1    Efforts to avoid thoughts, feelings, or conversations associated with the trauma

  • 2    Efforts to avoid activities, places, or people that arouse recollections of Lhu trauma

  • 3    Inability to recall an important aspect of the trauma

  • 4    Markedly diminished interest or participation in significant activities

  • 5    Feeling of detachment or estrangement from others

  • 6    Restricted range of affect (e.g. unable to have Iov ng feelings)

  • 7    Sense of a Iorestiortcncd future (c.g., does not expect to have a career, marriage, children, or a normal life span)

  • D.    Persistent symptoms of increased arousal mot present before the trauma), as indicated by two (or more) of the following:

__1. Difficulty falling or staying asleep_________________________________________________________________________________________________________

  • 2 . IrriiabiMty or outbursts of anger___________________________________________________________________________________________________________

  • 3    Difficulty concentrating

  • 4    Hypervigilanse

  • 5    Exaggerated startle response

  • E.    Duration of disturbance (symptoms in Criteria B, C, and D} is more than I month

  • F.    The disturbance causes clinically significant distress or impairment in social, occupational, or other important areas of functioning.

Specify ιf^ Acute—If duration of symptoms is ≤3 months; Chronic—If duration of symptoms is -=-3 months

Specify if- With delayed onset—if onset of symptoms is a: least 6 months after the stressor; with delayed onset—if onset of symptoms is at least 6 months after the stressor

RvprinIecJ. with permission, from American Payctaatric Aaaojalicii Diaytioalic arid Slalialictl Manual of Martial Ciajrdera. ,1tτ ail. Iexl revision. Waa ιing.on. DC Aiicricar Fsychiatnc Asscciatior, 1094.

Tabel 1. Kriteria diagnosis PTSD1,2

17