ISSN: 2597-8012

JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.7,JULI, 2019

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



PREDIKTOR IMMUNOLOGICAL FAILURE PADA POPULASI UMUM PASIEN HIV/AIDS DI KABUPATEN BADUNG, BALI: STUDI KOHORT RETROSPEKTIF

Regi Rinaldy Billjudika1, Anak Agung Sagung Sawitri2

1Program Studi Pendidikan Dokter, 2Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas dan Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali

Email: regisipayung@gmail.com

ABSTRAK

Immunological failure (IF) dalam kriteria imunologis kegagalan terapi HIV/AIDS dibutuhkan di negara berpenghasilan menegah ke bawah seperti Indonesia meskipun viral load merupakan standar untuk mengevaluasi kegagalan terapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian dan faktor prediktor IF pada populasi umum pasien HIV/AIDS di Kabupaten Badung, Bali. Data diekstrak dari data pasien CST RSUD Badung dengan model penelitian kohort retrospektif. Setelah satu tahun pengamatan 53 pasien (27,5%) dari 193 pasien HIV/AIDS mengalami IF. Empat dari 10 faktor yang signifikan dalam analisis adalah faktor pekerjaan (HR 2,42; IK 1,64-4,64), jarak tempat tinggal dari penyedia layanan kesehatan (HR 6,64; IK 2,04-21,60), nadir CD4 (5,73; IK 1,75-18,80), dan berat badan (HR 2,36; IK 1,24-4,50). Infeksi penyerta signifikan (HR 3,07; IK 1,28-7,34) jika faktor nadir CD4 dihilangkan dari analisis multivariat. Disimpulkan bahwa angka kejadian IF adalah sebesar 27,5 % dengan jarak tempat tinggal, pekerjaan, berat badan, nadir CD4 dan infeksi penyerta sebagai prediktor terjadinya IF pada populasi umum pasien HIV/AIDS di Kabupaten Badung, Bali.

Kata kunci : Immunological failure, prediktor, HIV/AIDS, kohort retrospektif

ABSTRACT

Immunological failure (IF) in immunological criteria for HIV/AIDS treatment is needed in the middlepoor income countries such as Indonesia although viral load is standard for evaluating therapy failure. The aim of this study was to determine the incidence and predictors of IF in the general population of HIV/AIDS patients in Badung, Bali. Data is extracted from the CST patient data in Badung Hospital with a retrospective cohort study models. Fifty-three patients (27.5%) of 193 total patients with HIV/AIDS experience IF after 1-year follow-up. Four of the 10 factors that are significant in analysis is the employment factor (HR 2.42; CI 1.644.64), residence distance to health care provider (HR 6.64; CI 2.04-21.60), nadir CD4 (HR 5.73; CI 1.75-18.80), and body weight (HR 2.36; CI 1.24-4.50). Co-infection is significant (HR 3.07; CI 1.28-7.34) if nadir CD4 factor is removed from the multivariate analysis. In conclusion, immunological failure incidence rate is 27.5% with employment factor, residence distance to health care provider, body weight, nadir CD4 and Co-infection as a predictor of the IF in the general population of patients with HIV / AIDS in Badung, Bali.

Keywords: Immunological failure, predictor, HIV/AIDS, retrospective cohor

PENDAHULUAN

Sampai saat ini HIV/AIDS masih merupakan masalah kesehatan global. Pada tahun 2013, terdapat sebanyak 35 juta orang di dunia mengidap HIV/AIDS dan 3,2 juta diantaranya merupakan anak-anak.1 Provinsi Bali

menduduki peringkat ke-3 di Indonesia dengan prevalensi 110 per 100.000 populasi dimana 67% adalah populasi umum. Angka kasus HIV/AIDS baru di Indonesia berjumlah 24.000 kasus pada tahun 2014 dan menurut

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



Unicef, Jakarta, Papua dan Bali menduduki peringkat teratas.2,3

Angka kasus tersebut dikhawatirkan meningkat mengingat belum ada terapi kuratif untuk HIV/AIDS, meskipun pemakaian terapi kombinasi antiretroviral (ART) cukup menjanjikan. Terbukti dengan penurunan jumlah infeksi oportunistik (IO), transmisi HIV, morbiditas, dan mortalitas di tingkat global.4 Kegagalan terapi masih dialami beberapa pasien sehingga memerlukan terapi lini kedua bahkan lini ketiga.5 Baku emas untuk menilai kegagalan terapi menggunakan viral load (VL), dimana jika terjadi kegagalan disebut viralogic failure (VF). Pemeriksaan ini jarang tersedia di negara berpenghasilan sedang dan rendah sehingga WHO mengeembangkan kriteria Imunologis dengan cara menghitung jumlah CD4 dimana immunological failure (IF) ditunjukkan dengan level CD4 yang menurun atau dibawah baseline atau level CD4 yang presisten dibawah 100 sel presisten dibawah 100 sel/mm3. Beberapa studi dan WHO tetap menyarankan tes imunologis yang diselingi viral load meskipun dengan adanya kriteria imunologis, karena jika terjadi immunological failure belum tentu seseorang mengalami virological failure. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya perubahan terapi ke lini selanjutnya yang tidak perlu.1,6 Kementerian Kesehatan Indonesia sendiri mengadopsi kriteria imunologis WHO dengan mendefinisikan 3 pola immunological failure yang dibagi menurut waktu minimal 6 bulan terapi sampai 12 bulan terapi.7

Immunological failure dapat disebabkan oleh berbagai faktor meskipun mekanismenya belum jelas.8 Berbagai studi telah dilakukan tentang faktor-faktor yang menyebabkan IF yang dapat digolongkan menjadi: (1) Sosiodemografi, seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, jarak tempat pelayanan kesehatan, pendidikan, status marital, dan tempat tinggal; (2) Klinis, seperti perubahan berat badan, berat badan, BMI, perilaku berisiko HIV/AIDS, stadium saat memulai ART, kombinasi obat ARV, antiretroviral naive, regimen ARV, Nadir CD4, co-infeksi, dan kadar hemoglobin; (3) Perilaku, seperti ketaatan terapi.9-16

Pengertian akan faktor-faktor ini belum dimengerti sepenuhnya .4 Studi-studi sebelumnya juga mempunyai beberapa kelemahan seperti studi yang terfokus pada pasien anak-anak, studi dengan hasil yang bertentangan10,12, studi-studi dengan sampel yang kecil, dan masih ada beberapa studi yang menggunakan desain penelitian cross-sectional dan case-control11,13. Melihat kelemahan studi-studi yang pernah dilakukan, maka penelitian ini diperlukan untuk melengkapi dan mengisi

kelemahan-kelemahan studi terdahulu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor prediktor immunological failure pada populasi umum pasien HIV/AIDS di kabupaten Badung, Bali. Tujuan lain adalah mengetahui insiden immunological failure dan faktor prediktor yang memiliki kontribusi paling besar dalam kejadian immunological failure di kabupaten Badung.

METODE DAN BAHAN

Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif. Sampel penelitian ini adalah semua pasien Care Support and Treatment (CST) periode 2005-2015 diluar populasi kunci seperti pekerja seks (PS), injecting drug user (IDU), dan penyuka sesama jenis. Definisi imunological failure pada penelitian ini menggunakan definisi 3 pola IF dari Kementrian Kesehatan Indonesia. Pola 1 adalah pola dimana jumlah CD4 presisten dibawah 100 sel/mm3 selama minimal 6 bulan terapi. Pola 2 adalah pola dimana setelah 12 bulan terapi jumlah CD4 kembali atau lebih rendah daripada saat awal terapi ARV, dan pola 3 adalah pola dimana jumlah CD4 hanya 50% dari jumlah CD4 tertinggi yang pernah dicapai saat selama terapi ARV. Merujuk definisi IF, maka kriteria eksklusi adalah semua pasien HIV/AIDS yang menjalani terapi ARV< 6 bulan, mengalami kematian sebelum 6 bulan terapi, dan yang tidak punya data kadar CD4 sebelum terapi. Variabel bebas pada penelitian ini adalah faktor-faktor prediktor immunological failure yang dapat didapatkan dari rekam medis yaitu: (1) Umur, (2) Berat badan, (3) Tingkat Pendidikan, (4) Nadir CD4, (5) Co-infeksi, (6) Perilaku berisiko HIV/AIDS, (7) Jenis kelamin, (8) Pekerjaan, (9) Status marital, (10) Jarak tempat pelayanan kesehatan.

Data dikumpulkan melalui penelusuran data rekam medis pasien CST yang menggunakan form ekstraksi data dari data di RSUD Badung. Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap pertama dimana seluruh variabel dalam penelitian ini akan dianalisis secara univariat untuk melihat distribusi frekuensinya masing-masing. Variabel IF juga akan dihitung insidennya dan disajikan dalam persen (%). Tahap selanjutnya adalah dilakukan analisa bivariat untuk mencari hubungan masing-masing prediktor terhadap kejadian IF dengan menggunakan regresi cox. Hasil analisis bivariat yang dengan p<0,25 akan dilanjutkan dengan analisis multivariat untuk mencari prediktor yang berkontribusi secara independen terhadap IF dan survival analisis juga akan dilakukan pada penelitian ini. Etika penelitian didapatkan dari komisi etik RSUP Sanglah / Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Ijin pelaksanaan penelitian juga

DOAJ


dimintakan dari Direktur RSUD Badung. Penelitian dilaksanakan setelah perizinan lokasi maupun etika diterima oleh peneliti.

HASIL

Melalui pengambilan data, terdapat 350 orang pasien HIV/AIDS di RSUD Badung, dimana 157 orang dieleminasi karena tidak mempunyai baseline CD4 ataupun data follow-up CD4, sehingga hanya 193 orang yang memenuhi kriteria inklusi yang dipakai dalam studi ini. Sebanyak 193 pasien, sebagian besar adalah laki-laki (66,7%), dengan rerata umur 35 tahun, sudah menikah (64,6%), dan tinggal jauh dari RSUD Badung (73,6%). Sebanyak 78 pasien (40,6%) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah dan 58,9% pasien tidak bekerja (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik sosio-demografi pasien HIV/AIDS di RSUD Badung

Variabel

N (%)

Jenis kelamin

Perempuan

64 (33,3)

Laki-laki

128 (66,7)

Umur

Diatas rerata (≥ 35 tahun)

81 (43,3)

Dibawah rerata (< 35 tahun)

106 (56,7)

Status Marital

Menikah

124 (64,4)

Tidak menikah

50 (26,0)

Duda, janda, dan cerai

18 (9,4)

Jarak tempat tinggal

Dekat

48 (26,4)

Jauh

134 (73,6)

Tingkat pendidikan

Pendidikan tinggi (SMA – PT)

114 (59,4)

Pendidikan rendah (Tidak sekolah–

78 (40,6)

SMP)

Pekerjaan

Bekerja

78 (41,1)

Tidak bekerja

112 (58,9)

Sebagian besar dari pasien yang terdapat di RSUD Badung (70,5%) mempunyai jumlah CD4 awal ≤ 100 sel/mm3, pasien datang dengan infeksi penyerta (66,3%), pasien mempunyai perilaku berisiko rendah (heteroseksual) (95,3%) dan rerata berat badan pasien adalah 53 kg (Tabel 2).

Tabel 2. Karakteristik klinis pasien HIV/AIDS di RSUD Badung

Variabel

N (%)

Nadir CD4

> 100 sel/mm3

57 (29,5)

≤ 100 sel/mm3

136 (70,5)

Co-infeksi

Tanpa infeksi penyerta

65 (33,7)

Dengan infeksi penyerta

128 (66,3)

Perilaku berisiko

Resiko rendah

181 (95,3)

Resiko tinggi

9 (4,7)

Berat Badan

Diatas rarata (≥ 53 kg)

99 (26,4)

Dibawah rerata (< 53 kg)

94 (73,6)

Sejumlah 193 pasien HIV/AIDS, 53 (27,5%) mengalami immunological failure menurut salah satu dari tiga pola immunological failure dari Kementerian Kesehatan RI. Sebanyak 43 dari 53 kejadian IF (81,1%) mengalami IF pada bulan ke-6. Adapun angka insiden IF adalah sebesar 7,0 % (IK: 6,0-8,0) setelah 6 bulan pengamatan. Hasil uji univariat dan multivariat untuk mencari faktor prediktor IF juga disajikan (Tabel 3). Faktor yang ditemukan signifikan dalam analisis univariat adalah infeksi penyerta, berat badan, nadir CD4, dan jarak. Sedangkan dalam analisis multivariat faktor seperti berat badan, nadir CD4, dan jarak tetap signifikan. Faktor pekerjaan menjadi signifikan dalam analisis multivariat sedangkan infeksi penyerta menjadi tidak signifikan.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa angka kejadian immunological failure sebesar 27,5% dengan jarak tempat tinggal, pekerjaan, berat badan, nadir CD4 dan infeksi penyerta sebagai faktor prediktor terjadinya IF pada populasi umum di Kabupaten Badung, Bali. Faktor yang paling berpengaruh adalah jarak tempat tinggal pada faktor sosio-demografi dan nadir CD4 pada faktor klinis.

Angka kejadian immunological failure sebesar 27,5% merupakan angka yang relatif besar dimana studi oleh Dragsted dan Melsew menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah yaitu 21% dan 23%.12,15 Hal ini bisa disebabkan oleh perbedaan jumlah sampel dimana sampel studi Dragsted dan Melsew lebih besar daripada sampel studi ini. Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa kejadian IF lebih banyak terjadi saat bulan ke-6 dibandingkan dengan bulan ke-12. Perbedaan karakteristik sampel juga bisa menjadi faktor yang membedakan hasil yaitu dimana studi Dragsted dan Melsew dilakukan di Afrika.

Pekerjaan ditemukan sebagi faktor prediktor immunological failure (IF) yang signifikan dalam studi ini.

DOAJ


Tabel 3. Faktor prediktor immunological failure

Faktor

Analisis Bivariat

Analisis Multivariat

HR

IK 95%

P

HR

IK 95%

P

Pekerjaan

Bekerja

1

1

Tidak bekerja

1,43

0,79-2,58

0,23

2,42

1,64-4,64

0,008

Berat Badan

≥ 53 kg

1

1

< 53 kg

2,29

1,30-4,02

0,004

2,36

1,24-4,50

0,009

Nadir CD4

> 100 sel/mm3

1

1

≤ 100 sel/mm3

3,93

1,68-9,20

0,002

5,73

1,75-18,80

0,004

Jarak tempat tinggal

Dekat

1

1

Jauh

4,25

1,53-11,79

0,006

6,64

2,04-21,60

0,002

Infeksi Penyertaa

Tanpa infeksi penyerta

1

1

Dengan infeksi penyerta

4,00

1,71-9,36

0,001

1,81

0,72-4,57

0,21

Jenis kelamin

Perempuan

1

Laki-laki

1,37

0,74-2,52

0,32

Umur

≥ 35 tahun

1

1

< 35 tahun

1,53

0,85-2,73

0,15

1,49

0,78-2,85

0,23

Tingkat pendidikan

Pendidikan tinggi

1

Pendidikan rendah

1,05

0,60-1,81

0,86

Status Marital

Menikah

1

Tidak menikah

0,87

0,87-1,68

0,68

Duda, janda, dan cerai

1,26

0,53-3,00

0,58

Perilaku berisiko

Resiko rendah

1

Resiko tinggi

1,47

0,48-4,72

0,51

Catatan. a faktor signifikan dalam analisis multivariat jika faktor Nadir CD4 dihilangkan (HR 3,07; P= 0,012; IK 1,28

7,3

Hasil analisis multivariat didapatkan bahwa pasien yang tidak bekerja mempunyai risiko terjadinya IF 2,42 kali lebih besar daripada pasien yang bekerja. Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan Melsew pada tahun 2013 di Ethiopia.12 Melsew berpendapat bahwa hal ini dapat disebabkan oleh pasien yang bekerja mempunyai penghasilan lebih banyak daripada yang tidak bekerja sehingga mempengaruhi kemampuan ekonomi terhadap biaya pengobatan dan perawatan selama pasien menderita HIV/AIDS yang pada akirnya mempengaruhi keberhasilan terapi.

Peneliti sependapat dengan Melsew karena Kemenkes RI juga menyebutkan bahwa pembiayaan kesehatan yang mahal dalam terapi HIV/AIDS merupakan faktor penghambat dalam tingkat kepatuhan pasien berobat yang akan berpengaruh kepada keberhasilan terapi. Hal ini membuat diperlukannya subsidi yang tepat untuk pembiayaan pengobatan HIV/AIDS, bukan hanya untuk ARV saja tetapi untuk obat infeksi oportunistik, konsultasi dokter, dan biaya lainnya. Dengan bekerja, pasien juga

mempunyai aktifitas fisik yang lebih banyak daripada yang tidak bekerja. Hal ini mungkin mempunyai pengaruh terhadap tingkat kebugaran dan kesehatan pasien. Keterbatasan studi ini dalam hal faktor pekerjaan adalah pasien yang bekerja tidak dilihat jenis pekerjaannya. Tidak menutup kemungkinan yang bekerja dengan aktifitas berat seperti petani atau buruh mempunyai risiko yang lebih rendah daripada yang bekerja lebih ringan seperti

pegawai atau sebaliknya. Untuk itu perlu dilakukan studi lebih lanjut lagi untuk mencari jenis pekerjaan apa yang meningkatkan risiko terjadinya IF.

Jarak tempat tinggal juga signifikan dalam studi ini. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa pasien yang bertempat tinggal jauh dari RS

mempunyai risiko terjadinya IF 6,64 kali lebih besar daripada yang tinggal dekat dengan RSUD Badung. Hal ini sejalan sekaligus mengkonfirmasi studi cross-sectional yang dilakukan Meriki pada tahun 2014 di Kamerun.13 Menurut peneliti, hal ini dapat terjadi karena dengan jauhnya jarak tempat tinggal terhadap penyedia layanan

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



kesehatan membuat tingkat kepatuhan berobat pasien berkurang, padahal Kemenkes RI dalam Podiksus HIV/AIDS menyebutkan bahwa susahnya akses pelayanan kesehatan merupakan faktor penghambat tingkat kepatuhan pasien.7 Untuk itu mungkin diperlukan sistem rujukan yang baik kepada setiap pasien sehingga pasien tidak harus langsung ke RSUD Badung atau penyedia layanan pusat tetapi bisa ke tempat penyedia layanan yang dekat dengan tempat tinggal pasien seperti puskesmas. Hal ini juga harus diikuti dengan sistem pencatatan dan follow-up yang baik.

Nadir CD4 dibagi menjadi dua kelompok yaitu pasien dengan nadir CD4 ≤ 100 sel/mm3 dan >100 sel/mm3. Pembagian ini berdasarkan studi sebelumnya oleh Melsew yang menggunakan batas CD4 sebanyak 100 sel/mm3. Jumlah CD4 sebanyak 100 sel/mm3 juga merupakan baseline pasien dikatakan IF setelah pemantauan 6 bulan oleh Kemenkes RI. Pasien dengan nadir CD4 ≤ 100 sel/mm3 mempunyai risiko kejadian IF 5,73 kali lebih besar daripada pasien dengan nadir CD4 > 100 sel/mm3. Hasil ini sesuai dengan dengan Melsew dan juga studi sebelumnya yang dilakukan di Thailand dan Afrika. Hal ini dapat disebabkan karena pasien yang mempunyai nadir CD4 ≤ 100 sel/mm3 mempunyai imunitas yang lebih rendah daripada pasien yang mempunyai nadir CD4 > 100 sel/mm3.

Berat badan merupakan faktor prediktor immunological failure. Dalam penelitian ini, berat badan seluruh pasien dicari reratanya terlebih dahulu lalu dibagi dua kelompok. Pasien dengan berat badan dibawah rerata (<53 kg) mempunyai risiko terjadinya IF 2,36 kali lebih besar daripada pasien dengan berat badan diatas rerata (≥ 53 kg). Berat badan dibawah rerata menjadi risiko bisa terjadi karena pasien dengan berat badan rendah cenderung mempunyai status gizi yang rendah. Keterbatasan studi dalam faktor berat badan ini adalah pembagian berat badan itu sendiri. Dengan pembagian diatas dan dibawah rerata, maka tidak diketahui berapa batas paling rendah berat badan itu menjadi faktor risiko karena rerata berat badan di setiap pusat pelayanan kesehatan berbeda. Berat badan juga tidak sensitif menggambarkan status gizi seseorang dibandingkan dengan BMI, karena bisa saja berat badan rendah tetapi BMI normal atau sebaliknya. Dalam studi ini, BMI tidak dapat dicari karena data tinggi badan yang tidak tersedia. Maka dari itu, studi lebih lanjut tentang BMI sebagai faktor risiko perlu dilakukan, mengingat sudah ada model penelitian cross-sectional tentang BMI sebagai faktor risiko oleh Teshome di Etiopia.11 Penelitian tentang kecenderungan perubahan berat badan (naik dan turun) dari berat badan awal perlu juga dilakukan untuk kepentingan klinis dan karena menurut Melsew pasien dengan

penurunan berat badan mempunyai risiko terjadinya IF lebih besar daripada pasien dengan kenaikan berat badan.12 Infeksi penyerta (co-infeksi) adalah faktor prediktor yang signifikan dalam analisis univariat tetapi tidak dalam analisis multivariat. Hal ini dapat terjadi karena infeksi penyerta dapat merupakan hasil dari nadir CD4 yang rendah. Ini dapat ditunjukkan dari analisis lebih lanjut dimana nadir CD4 berkorelasi sedang (P<0,0001) dengan infeksi penyerta. Melalui analsis lebih lanjut dengan multivariat jika nadir CD4 dihilangkan juga menunjukkan bahwa infeksi penyerta signifikan dengan HR 3,07; P= 0,012; IK 1,28-7,34. Oleh karena hal ini, peneliti tetap mempertimbangkan infeksi penyerta sebagai faktor prediktor IF jika data nadir CD4 terlambat atau tidak dapat tersedia untuk kepentingan klinis. Pasien yang mempunyai infeksi penyerta mempunyai risiko terjadinya IF 1,81 kali lebih besar daripada pasien yang tidak mempunyai infeksi penyerta. Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Melsew pada tahun 2013 dan juga studi cross-sectional oleh Meriki pada tahun 2014.12,13 Keterbatasan studi ini yaitu tidak dapat memberikan data tentang jenis infeksi penyerta yang dapat dan paling berpengaruh terhadap kejadian IF. Untuk itu, diperlukan studi lebih lanjut mengenai jenis-jenis infeksi penyerta apa saja yang berpengaruh terhadap kejadian IF mengingat baru ada data tentang pneumoniadan tuberculosis/TB.12,13

Dragsted menyatakan bahwa kelompok risiko merupakan prediktor IF, sedangkan penelitian ini menyatakan hasil sebaliknya. Melalui kajian lebih lanjut, banyaknya sampel dan perbedaan persentase dalam faktor perilaku berisiko bisa menyebabkan perbedaan hasil. Sejumlah 2372 orang dan kebanyakan merupakan kelompok perilaku berisiko tinggi (80,1%).15 Hal ini berbanding terbalik dengan temuan studi ini dimana paling banyak adalah kelompok risiko rendah (95,3%).

Menurut hasil studi ini, umur bukan merupakan faktor prediktor. Hal ini sesuai dan semakin memperkuat hasil studi kohort Srasuebkul.9 Hasil studi ini juga melengkapi hasil studi cross-sectional oleh Teshome dan studi Rodriguez dimana menunjukkan kejadian IF lebih tinggi pada kelompok yang lebih tua. Tingkat pendidikan juga bukan merupakan faktor prediktor IF.10,11 Dengan begitu, studi ini melengkapi studi Teshome yang menggunakan model cross-sectional.

Sama seperti faktor umur, jenis kelamin bukan merupakan faktor prediktor IF. Hasil ini memperkuat hasil studi Melsew yang menyatakan hal yang sama, sekaligus melengkapi studi Rodriguez yang hanya menunjukkan bahwa insiden IF pada wanita lebih tinggi daripada pria.10,12 Status marital bukan merupakan faktor prediktor IF. Sama

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



seperti faktor tingkat pendidikan, hasil ini menjawab dan melengkapi studi Teshome yang menggunakan model cross-sectional.11

Hasil studi ini memberikan informasi beberapa prediktor yang penting terhadap terjadinya IF. Pemahaman terhadap beberapa variabel ini dapat dimafaatkan oleh klinisi dan pemegang kebijakan baik pemerintah maupun dinas kesehatan yang mempunyai program pengobatan HIV/AIDS. Dalam praktis medis, klinisi dapat lebih waspada dan memprediksi terjadinya IF dengan menilai nadir CD4 dan juga berat badan pasien. Status infeksi penyerta pasien juga dapat menjadi pertimbangan jika tidak tersedia data nadir CD4 ataupun untuk penilaian awal. Dengan memahami prediktor jarak dan pekerjaan, pemegang kebijakan juga bisa meninjau kembali program yang sudah dibuat. Contoh praktisnya adalah membuat sistem rujukan dan pencatatan tepat untuk setiap pasien dan subsidi penuh untuk penderita HIV/AIDS.

Secara umum keterbatasan dalam penelitian ini adalah jumlah sampel yang terbilang sedikit dibandingkan dengan penelitian sebelumnya dan juga ketersediaan data yang ada dalam rekam medis yang membuat kemungkinanan adanya variabel signifikan yang tidak diteliti di studi ini. Mungkin juga masih ada variabel yang berkorelasi seperti nadir CD4 dan infeksi penyerta yang membuat salah satu variabel tidak signifikan dalam analisis multivariat. Faktor kepatuhan yang disebut sebelumnya di bagian atas pembahasan memiliki peran penting untuk terjadinya IF, namun belum bisa diteliti dalam studi ini.

SIMPULAN

Kejadian immunological failure pada populasi umum di RSUD Badung adalah sebesar 27,5% dengan jarak tempat tinggal, pekerjaan, berat badan, nadir CD4 dan infeksi penyerta sebagai faktor prediktor terjadinya IF. Faktor yang paling berpengaruh adalah jarak tempat tinggal pada faktor sosio-demografi dan nadir CD4 pada faktor klinis.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada RSUD Badung yang telah memberi ijin penelitian serta semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    WHO. HIV/AIDS [Internet]. 2014. [Dikutip 20

Desember 2014]. Tersedia di: http://www.who.int/.

  • 2.    Kemenkes RI. Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia.  Kementerian  Kesehatan Republik

Indonesia. 2014.

  • 3.    UNICEF. Ringkasan kajian respon terhadap HIV&AIDS. UNICEF Indonesia. 2012.

  • 4.    Misgena D.K. The pattern of immunologic and virologic responses to Highly Active Antiretroviral Treatment (HAART): does success bring further challenges. Ethiop. J. Health Dev 2011; 25(1):61-70.

  • 5.    Khan M. Second-line failure and first experience with third-line antiretroviral therapy in Mumbai, India. Glob Health Action. 2014; 7: 248-61

  • 6.    Rutherford GW. Predicting treatment failure in adults and children on antiretroviral therapy: a systematic review of the performance characteristics of the 2010 WHO immunologic and clinical criteria for virologic failure. AIDS. 2014; 28 (Suppl 2): 161–169.

  • 7.    Kemenkes RI. Pedoman nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi antiretroviral pada orang dewasa dan remaja. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011.

  • 8.    Okoye A dan Picker L. CD4+ T Cell Depletion in HIV Infection: Mechanisms of Immunological Failure. Immunol Rev. 2013; 254(1): 54-64.

  • 9.    Srauebkul P, Ungsedhapand C, dan Ruxrungtham K. Predictive factors for immunological and virological endpoints in Thai patients receiving combination antiretroviral treatment. HIV Medicine. 2007; 8:46-56.

  • 10.    Rodriguez MP. Treatment failure and mortality factors in patients receiving second-line HIV therapy in resource-limited countries. JAMA. 2010; 304(3):303-312.

  • 11.    Teshome W dan Assefa A. Predictors of immunological failure of antiretroviral therapy among HIV infected patients in ethiopia: a matched  case-control study [Internet].2014

[Dikutip 20 Desember 2014];  (12):115-125.

Tersedia                                        di:

http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.137 1/journal.pone.0115125

  • 12.    Melsew YA, Terefe MW, Tessema GA, dan Ayele TA. Rate of immunological failure and its

predictors among patients on highly active antiretroviral therapy at Debremarkos Hospital, Northwest Ethiopia: a retrospective follow up study. J AIDS Clin Res. 2013; 4:1-5.

  • 13.    Meriki HD, Tufon KA, Afegenwi MH, Nyindem BA, Atang PN, Anong DN, Cho-Ngwa F, dan Nkuo-Akenji T. Immuno-haematologic and virologic responses and predictors of virologic failure in HIV-1 infected adults on first-line antiretroviral therapy in Cameroon. Infectious Diseases of Poverty. 2014; 3:5.

  • 14.    Kariminia A, Durier N, Jourdain G, Saghayam S, Do CV, Nguyen LV, dkk. Weight as predictors of

    DOAJ


    DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



clinical progression and treatment failure: results from the TREAT Asia Pediatric HIV observational database. J Acquir Immune Defic Syndr. 2014; 67:71–76.

  • 15.    Dragsted UB, Mocroft A, Vella S, Viard JP, Hansen ABE, Panos G, dkk. predictors of

immunological failure after initial response to highly active antiretroviral therapy in HIV-1–

infected adults: a EuroSIDA study. The Journal of Infectious Diseases. 2004; 190:148–55.

  • 16.    Bacha dkk. Predictors of treatment failure and time to detection and switching in HIV-infected Ethiopian children receiving first line antiretroviral therapy. BMC Infectious Diseases. 2012; 12:19

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum