ISSN: 2597-8012


JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.7,JULI, 2019

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



POLA KUMAN PENYEBAB COMMUNITY-ACQUIRED PNEUMONIA (CAP) DAN KEPEKAANNYA TERHADAP ANTIBIOTIKA DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2017

Ayu Agung Pradnya Paramitha Dwi Sutanegara1, I G N Bagus Artana.2, Putu Andrika2 1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

2SMF Paru FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Pneumonia komunitas atau community-acquired pneumoniae adalah pneumonia yang didapat di lingkungan masyarakat dan salah satu penyakit menular yang paling umum sehingga menjadi penyebab mortalitas dan morbiditas di seluruh dunia. Penyakit ini merupakan infeksi pada saluran pernafasan bagian bawah yang diakibatkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pola kuman penyebab pneumonia komunitas dan mencari pola kepekaan terhadap antibiotika di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah tahun 2017. Jenis penelitian ini merupakan deskriptif potong lintang dimana sumber data berasal dari data sekunder yaitu rekam medis pasien pneumonia komunitas yang memiliki data hasil kultur sputum dan tes sensitivitas di RSUP Sanglah pada tahun 2017. Pengambilan data dilakukan dengan metode Total Sampling. Didapatkan 36 pasien pneumonia komunitas yang memiliki hasil kultur sputum dan tes sensitivitas. Kuman tersering yang ditemukan adalah Streptococcus sp. Antibiotika yang memiliki tingkat sensitifitas paling tinggi adalah meropenem dan vankomisin. Sementara antibiotika yang memiliki tingkat resistensi paling tinggi adalah cefazolin. Seluruh obat antifungal masih sensitif terhadap jamur yang didapat. Selanjutnya perlu dilakukan penelitian terkait faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi antibiotika pada bakteri.

Kata Kunci: pneumonia komunitas, pola kuman, antibiotika, kultur sputum

ABSTRACT

Community pneumonia or community-acquired pneumoniae is community-acquired pneumonia and one of the most common infectious diseases that causes worldwide mortality and morbidity. This disease is an infection of the lower respiratory tract caused by bacteria, viruses, fungi and parasites. The purpose of this study was to determine the pattern of germs that cause community pneumonia and look for patterns of sensitivity to antibiotics in Sanglah Central Hospital in 2017. This type of research is cross-sectional descriptive where the data source comes from secondary data, namely medical records of community pneumonia patients who have data on results sputum culture and sensitivity test at Sanglah General Hospital in 2017. Data was collected using the Total Sampling method. There were 36 community pneumonia patients who had sputum culture results and sensitivity tests. The most common germs found are Streptococcus sp. Antibiotics that have the highest level of sensitivity are meropenem and vancomycin. While antibiotics that have the highest resistance level are cefazolin. All antifungal drugs are still sensitive to fungi obtained. Furthermore, research needs to be done regarding the factors that influence the occurrence of antibiotic resistance in bacteria.

Keywords: community pneumonia, patterns of microbial, antibiotics, sputum culture

PENDAHULUAN

Pneumonia komunitas atau Community-Acquired Pneumonia (CAP) merupakan salah satu penyakit infeksi dan penyebab mortalitas dan morbiditas di seluruh dunia. Pasien yang dirawat dengan pneumonia komunitas terbanyak pada pasien lanjut usia. Angka mortalitas pasien pneumonia komunitas yang lanjut usia berkisar antara 10% dan 25% terutama pada pasien yang memiliki komorbid. Setiap tahunnya di Amerika Serikat, terdapat 915.900 kasus CAP yang terjadi pada orang dewasa usia ≥ 65 tahun.1

Di Indonesia secara statistik pneumonia komunitas pada tahun 2013 meningkat yaitu 4,5% sedangkan tahun 2007 sebesar 2,1%. Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang tertinggi dengan insiden 4,6% dan 10,3%.2 Peningkatan mortalitas CAP diikuti juga dengan meluasnya resistensi antibiotika. Resistensi dari antibiotika ini menimbulkan kegagalan terapi sehingga pasien tidak sembuh dan mengalami perburukan hingga menyebabkan kematian. Maka dari itu, dalam penatalaksanaan CAP pentingnya mengetahui pola patogen penyebab dari CAP. Umumnya, bakteri merupakan patogen penyebab yang sering ditemui pada CAP dan terbagi menjadi dua yaitu bakteri tipikal dan bakteri atipikal 3

Pada 30–40% kasus, pola patogen penyebab CAP tidak diketahui. Dimana pada setiap daerah pola patogen berbeda-beda hal ini dapat menyebabkan sensitivitas antara patogen penyebab dengan antibiotika empiris tidak sesuai dengan yang diberikan, sehingga dapat mengakibatkan masalah dalam menanggulangi kasus CAP.4

Pengobatan yang terbukti efektif adalah dengan antibiotik pada pasien dengan kasus CAP sedini mungkin menurut pedoman dari IDSA/ATS. Terapi antibiotika empiris

harus didasarkan pada prediksi pola patogen yang paling mungkin menginfeksi di rumah sakit.1

Pemberian antibiotika sampai saat ini masih mengacu pada guideline internasional, karena belum mempunyai pola kuman maka dari itu penulis ingin mencoba menulusuri pola kuman CAP di RSUP Sanglah dan resistensi antibiotika yang menyertainya untuk dapat memberikan masukan pada penatalaksanaan CAP sehingga dapat lebih efektif kedepannya.

BAHAN DAN METODE

Metode yang digunakan adalah deskriptif potong lintang dengan total sampel yaitu seluruh pasien dengan pneumonia komunitas yang tercatat di rekam medis RSUP Sanglah pada periode 2017. Semua data dikumpulkan dengan metode total sampling. Data didapatkan dari buku registrasi pasien di Laboratorium Mikrobiologi Klinik dan rekam medis pasien RSUP Sanglah pada tahun 2017. Data pasien pneumonia komunitas terdata di rekam medis RSUP Sanglah tahun 2017 yang memiliki data hasil kultur sputum dan tes sensitivitas. Data pasien pneumonia komunitas yang tidak memiliki data lengkap dikeluarkan dari populasi sampel. Data penelitian dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan distribusi frekuensi dari setiap variabel. Data disajikan dari sumber data sekunder (catatan medis pasien). Lalu, data pola kuman dan tes sensitivitas disajikan dalam bentuk tabulasi disertai analisis kesesuaian dengan kepustakaan. Penelitian ini sudah mendapatkan ijin dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kelayakan Etik Nomor: 725/UN 14.2.2/PD/KEP/2018 tertanggal 29 Maret 2018.

HASIL

Tabel 1 menggambarkan bahwa 3 organisme penyebab CAP tersering adalah Streptococcus sp, Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae

Tabel 1. Karakteristik Pola Organisme Penyebab CAP di RSUP Sanglah Tahun 2017

Mikroorganisme Penyebab CAP

Fre

kuensi (n=36)     Persentase (%)

Pseudomonas aeruginosa

8

22,2

Klebsiella pneumoniae

5

13,9

Streptococcus sp

14

38,9

Enterococcus faecalis

2

5,6

Serratia marcescens

1

2,8

Eschericia coli

2

5,6

Enterobacter sp

1

2,8

Candida sp

3

8,3

Tabel  2  menggambarkan  5  antibiotika

sementara antibiotika yang memiliki tingkat

tersering   yang   sensitif,   resisten   dan

sensitifitas paling tinggi adalah meropenem

intermediet di RSUP Sanglah pada pasien

dan vankomisin. Seluruh antifungal masih

CAP. Antibiotika yang memiliki tingkat resistensi paling tinggi adalah cefazolin

sensitif terhadap jamur penyebab.

Tabel 2 Pola Sensitifitas dan Resistensi Antibiotika pada Pasien CAP di RSUP Sanglah Tahun 2017

Antibiotika

Resisten

Persentase (%)

Cefazolin (n=17)

16

94,1

Trimetropin/Sulfametaksasol (n=19)

17

89,5

Cefiksim (n=15)

12

80

Eritromisin (n=14)

11

78,6

Tetrasiklin (n=15)

11

73,3

Antibiotika

Sensitif

Persentase (%)

Meropenem (n=18)

18

100

Vankomisin (n=14)

14

100

Amikasin (n=18)

17

94,4

Ertapenem (n=14)

13

92,9

Cefoperason/sublaktam (n=25)

8

72,7

Antibiotika

Intermediet

Persentase (%)

Klindamisin (n=14)

4

28,6

Ampisilin (n=32)

6

18,8

Piperasilin/Tazobaktam (n=14)

2

14,3

Aztreonam (n=18)

5

13,95

Cefuroksim (n=28)

4

11,1

Antifungal

Sensitif

Persentase (%)

Flukonasol (n=3)

3

100

Vorikonasol (n=3)

3

100

Caspofungin (n=3)

3

100

Mikafungin (n=3)

3

100

Ampoterisin B (n=3)                     3

Fusitosin (n=3)                              3

Apabila dilihat berdasarkan kuman penyebab maka sensitifitas antibiotika tertinggi terhadap Pseudomonas    aeruginosa    didapatkan

antibiotika ceftriakson, cefepim, dan meropenem. Untuk antibiotika yang resistensi adalah    ampisilin,    ampisilin/sublaktam,

cefazolin, cefiksim, cefoperason, tigesiklin, nitrofurantoin                             dan

trimethoprim/sulfametaksasol.     Sementara

untuk bakteri Klebsiella pneumonia didapatkan sensitifitas antibiotika terhadap ertapenem, meropenem, dan amikasin, sedangkan bakteri ini resisten terhadap ampisilin dan sefazolin. Pada bakteri Streptococcus sp sensitif terhadap antibiotika ampisilin/sublaktam, piperasilin/tazobaktam, cefazolin,      cefoperason,      ceftasidim,

cefoperason/sublaktam, cefepim, astreonam, ertapenem, meropenem, amikasin, tigesiklin, nitrofurantoin dan vankomisin. Sementara terjadi resisten terhadap antibiotika ciprofloksasin, trimetroprim/sulfametaksasol dan gentamisin. Untuk bakteri Seratia marcescens mengalami sensitifitas antibiotika terhadap piperasilin/tazobaktam, cefoperason,

PEMBAHASAN

Bakteri terbanyak yang menyebabkan CAP di RSUP Sanglah pada tahun 2017 berasal dari spesies Streptococcus sp. diantaranya adalah Streptococcus mitis/ Streptococcus oralis dan Streptococcus pneumonia. Hal ini serupa dengan studi yang dilakukan di RS tersier di Thailand yang melibatkan 5.219 pasien CAP dari berbagai senter yang menemukan bahwa bakteri jenis Streptococcus sp terutama Streptococcus pneuomonia merupakan etiologi utama dari CAP yang ditemukan pada 38,7% sampel darah dan sputum. Studi meta analisis yang dilakukan di Indonesia dengan menggunakan 22 publikasi valid dari penelitian yang dilakukan di Indonesia, ditemukan bahwa patogen tersering penyebab CAP adalah Klebsiella pneumonia,    disusul oleh

Streptococcus pneumonia, Mycobacterium tuberculosis, Haemophilus influenza dan Mycoplasma pneumonia. Infeksi campuran juga sering ditemukan pada infeksi CAP di Indonesia.5

100

100

ceftasidim, cefepim, astreonam, ertapenem, meropenem, amikasin, gentamisin, ciprofloksasin, levofloksasin, tigesiklin dan trimetroprim/sulfametaksasol. Sementara yang resisten adalah ampisilin, ampisilin/sublaktam, cefazolin, dan cefuroksim. Pada bakteri Eschericia coli sensitif terhadap antibiotika piperasilin tazobaktam, ertapenem, meropenem, amikasin dan nitrofurantoin. Sementara yang resisten adalah ampisilin, cefazolin, cefuroksim, cefiksim, cefoperazon, ceftazidim, ceftriakson dan cefepim. Bakteri Enterococcus faecalis sensitifitas terhadap ampisilin, ampisilin/sublaktam, piperasilin/tazobaktam, cefuroksim, meropenem, gentamisin, ciprofloksasin, levofloksasin, tigesiklin, nitrofurantoin, dan vankomisin. Bakteri Enterobacter spp mengalami sensitifitas antibiotika terhadap ertapenem, meropenem, amikasin dan tigesiklin. Sementara yang resisten adalah ampisilin, ampisilin/sublaktam, cefazolin, cefuroksim, cefiksim, ceftasidim. ceftriakson, cefepim, astreonam, gentamisin, dan nitrofurantoin.

Dalam studi ini, antibiotika yang masih sensitif terhadap 100% dari seluruh isolate adalah ertapenem dan meropenem. Hasil ini serupa dengan hasil studi yang dilakukan Jitendarath dimana pada organisme gram negative penyebab CAP yaitu Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, dan Eschericia coli, didapatkan sensitivitas 100% terhadap meropenem dan karbapenem.6

Pada studi yang dilakukan dirumah sakit India, didapatkan CAP dengan bakteri Streptococcus sp masih sensitif terhadap amikasin, ofloksasin, gentamisin, ciprofloxacin, ceftriakson dan linezolid.7 Hal ini sedikit berbeda dengan studi ini dimana bakteri tersebut masih sensitif terhadap amikasin.

Di RSUP Sanglah pemberian antibiotika tersering adalah levofloxacin, ciprofloxacin, ampisilin, amoksisilin, azitromisin, cefiksim, cefuroksin dan cefepim. Sementara pada terapi awal pasien rawat inap adalah ceftriakson, cefoperazone, levofloxacin, gentamisin dan amikasin. Untuk injeksi lebih sering meropenem. Jika

dibandingkan dengan studi ini, untuk pasien CAP yang teridentifikasi bakteri Streptococcus sp pemilihan cefepim, amikasin dan cefoperasone masih baik karena masih sensitif. Untuk bakteri Pseudomonas aeruginosa, pemilihan antibiotika ceftriakson, cefepim dan meropenem masih baik. Sementara untuk bakteri Klebsiella pneumoniae, antibiotika meropenem dan amikasin masih baik.

Peneliti melakukan analisa pola kepekaan kuman terhadap agen anti mikroba di RSUP Sanglah, Bali, Indonesia yang masih merupakan negara berkembang. Berdasarkan data yang berhasil didapatkan, kuman yang paling banyak memiliki resistensi terhadap berbagai jenis antibiotika (MDR) adalah Eschericia coli, dan disusul oleh Pseudomonas aeruginosa. Hal ini serupa dengan hasil penelitian CAP di Rumah Sakit Tersier di Pakistan, ditemukan bahwa jumlah MDR tertinggi ditemukan pada Pseudomonas aeruginosa dan Eschericia coli.8

Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini, dimana patogen dari spesies streptokokus mengalami resistensi yang tinggi terhadap trimetropin sulfametaksasol (66,7%) dan resistensi yang lebih rendah terhadap golongan beta lactam dan sepalosporin. Hal ini serupa dengan studi yang dilakukan di Kamboja, Thailand dan Vietnam, menemukan bahwa bakteri S.pneumonia mengalami sedikit resistensi terhadap golongan beta lactam (3,1%, jangkauan 0,0-14,0), beberapa derajat resistensi terhadap golongan sepalosporin (9,8%, jangkauan 5,7-33,3), resistensi sedang terhadap klorampenikol (48,3%; jangkauan 12,0-78,5) dan resistensi tinggi terhadap trimethropin sulfametaksasol (78,2%; jangkauan 51,6-100,0).9 Hasil yang hampir serupa pada kuman penyebab CAP di India dan Asia timur, dimana ditemukan bahwa isolate S.pneumoniae 85%-97% masih sensitif terhadap antibiotika golongan beta lactam seperti penisilin, ampisilin dan beta lactam lainnya dimana antibotik tersebut merupakan jenis yang paling sering digunakan di negara berkembang.10 Sekitar 30,8% bakteri Streptokokus dalam studi ini mengalami resistensi terhadap antibiotic golongan beta lactam, angka yang hampir serupa dimana pada penelitian yang dilakukan di Asia Tenggara sebanyak 37% isolate S.pneumoniae

mengalami resistensi terhadap golongan beta lactam.5

Pada studi ini dimana isolate K.Pneumoniae mengalami resietensi yang besar terhadap sepalosporin dan beta lactam, namun 100% isolate masih sensitif terhadap ertapenem dan meropenem, dan sebagian besar isolate masih sensitif terhadap golongan aminoglikosid seperti gentamisin dan eritromisin. Hasil serupa pada studi yang dilakukan Goyet bahwa isolate K. pneumoniae memiliki resistensi terhadap golongan beta lactam sebesar 26,5% dan hampir seluruhnya resisten terhadap golongan sepalosporin, namun isolate masih sensitif terhadap karbapenem dan aminoglikosid.9

Mengetahui pola sensitivitas kuman merupakan sebuah hal yang penting karena diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk pemberian antibiotika empiris terhadap pasien CAP dengan melihat antibiotika mana yang masih memiliki kepekaan yang baik terhadap kuman-kuman yang seringkali menjadi penyebab CAP. Berdasarkan literature, terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan CAP dengan patogen resisten obat, diantaranya adanya riwayat perawatan di rumah sakit dalam 90 hari terakhir, penggunaan antibiotika dalam 90 hari terakhir, supresi asam lambung, kondisi imunosupresi,    dan    adanya riwayat

menggunaan selang enteral. Sedangkan pasien dengan hemodialisa kronik dalam 30 hari terakhir, riwayat kolonisasi MRSA dan adanya komorbiditas CHF merupakan faktor risiko terjadinya CAP dengan pathogen MRSA.11

SIMPULAN

Pada CAP 3 kuman penyebab utama yang ditemukan di RSUP Sanglah tahun 2017 adalah Streptococcus sp, Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae. Resistensi tertinggi bakteri penyebab CAP terhadap antibiotika di RSUP Sanglah tahun 2017 adalah cefazolin dan tingkat kepekaan tertinggi adalah meropenem dan vankomisin.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Mandell LA, dkk. Infectious Diseases Society of America/American Thoracic     Society     Consensus

Guidelines on the Management of

Community-Acquired Pneumonia in Adults Lionel. Clin Infect Dis [Internet].      2007;44(Supplement

2):S27–72.       Tersedia       di:

https://academic.oup.com/cid/article-lookup/doi/10.1086/511159

  • 2.    Kementerian  Kesehatan  Republik

Indonesia    (Kemenkes).    Riset

kesehatan dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013.

  • 3.    Ramirez JA dan Anzueto AR. Changing needs of community-acquired pneumonia. J Antimicrob Chemother. 2011;66(SUPPL.3):3–9.

  • 4.    Dairo, MT. Pola kuman berdasarkan spesimen dan sensitivitas terhadap antibiotika      pada      penderita

Community-Acquired Pneumonia (CAP) di RSUP Dokter Kariadi Semarang [skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2014.

  • 5.    Farida H, dkk. Community-Acquired Pneumonia in Adults in Southeast Asia: A Review. Erasmus University Publisher. 2016

  • 6.    Jitendranath A dan Koshy S. Community acquired pneumonia due to gram negative bacilli and its antibiotic sensitivity pattern in a tertiary care centre. 2016;4(8):3121– 4.

  • 7.    Menon RU, dkk. Etiology and Antimicrobial Sensitivity of Organisms Causing Community Acquired Pneumonia : A Single Hospital Study. 2013;2(3).

  • 8.    Perveen I, dkk. Prevalence and antibiotic sensitivity profiles of bacteria causing community acquired pneumonia in Rawalpindi, Pakistan. International Journal of Infectious Disease. 2018;73(5): 393-398

  • 9.    Goyet S, dkk. Etiologies and resistance profiles of bacterial community-acquired pneumonia in cambodian     and     neighboring

countries’ health care settings:  A

systematic review. PLoS One. 2014;9(3).

  • 10.    DeAntonio R, dkk. Epidemiology of community-acquired pneumonia and implications for vaccination of children living in developing and newly industrialized countries: A systematic literature review. Hum Vaccines Immunother [Internet]. 2016;12(9):2422–40. Tersedia di: http://dx.doi.org/10.1080/21645515.2 016.1174356

  • 11.    Prina E, dkk. Risk Factors Associated with Potentially Antibiotic-Resistant Pathogens in Community-Acquired Pneumonia. 2014;153–60.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum