ISSN: 2597-8012                           E-JURNAL MEDIKA, VOL. 8 NO.5,MEI, 2019

Il--∖(—∖ Λ i DIRECTORY OF OPEN ACCESS I—V√ JOURNALS

TINGKAT KEMANDIRIAN ANAK ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER DENGAN TERAPI PERILAKU DI YAYASAN MENTARI FAJAR JIMBARAN BADUNG

Ida Ayu Putu Laksmi Esalini1, Cokorda Bagus Jaya Lesmana2 1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana 2Bagian Psikiatri, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Perilaku yang mengkhawatirkan orang tua biasanya anak sulit menaruh perhatian atau sulit berkonsentrasi karena anak lambat dalam memahami pembelajaran atau instruksi dari guru, serta orang tua sulit mengawasi perkembangan anaknya. Kesulitan untuk memperhatikan dan perilaku berlebih tersebut diistilahkan sebagai Gangguan Pemusatan Perhatian disertai Hiperaktif (GPPH) atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kemandirian terapi yang diberikan kepada anak dengan ADHD untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional deskriptif dengan pendekatan crossectional yang dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2016. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling. Penelitian ini menggunakan analisis bivariat serta distribusi frekuensi tabulasi silang untuk menilai tingkat kemandirian anak ADHD. Dari hasil penelitian, terdapat 31 anak yang mengalami ADHD, diantaranya berjenis kelamin laki-laki 25 orang (80,4%), berusia rerata 6,8 tahun (SB = 1,8). Tingkat kemandirian anak memiliki hubungan dengan terapi yang diberikan Applied Behavioral Analysis, Sensori Integrasi, serta diberikan terapi tambahan berupa terapi wicara dan kognitif (p < 0,05). Dari hasil terapi yang dilakukan, tidak terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat kemandirian terapi dengan terapi okupasi (p = 0,075). Tingkat kemandirian anak ADHD yaitu 75% dengan jenis kelamin laki-laki yang terbanyak. Dengan menggunakan terapi ABA, SI, wicara, dan kognitif memiliki hubungan dalam memperbaiki tingkat kemandirian anak dengan ADHD. Hasil penelitian ini sebaiknya mengoptimalkan pemantauan terapi yang diberikan kepada anak ADHD agar segera mandiri dan mencapai proses normalisasi.

Kata kunci: ADHD, tingkat kemandirian, terapi perilaku.

ABSTRACT

The difficulty of paying attention or to concentrate that is caused by inability to learn quickly or follow the teacher’s instruction and difficulty to watch their children development are usually worry the parents. Difficulty to pay attention and hyperactivity are termed as Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). The aim of this research is to know about level independence of therapy children with ADHD to improve their quality of life. Study design that has been used is descriptive crosssectional with total sampling technique. This research was conducted in May until June 2016. This research using analysis correlation bivariate and crosstabulation frequency. Known that 31 persons suffering ADHD such as 25 persons (80.4%) of boy and the age’s average is 6.8 years old (SD = 1.8). From the therapy is carried out, the degree of independence the child has a relationship with the treatment Applied Behavioral Analysis, Sensory Integration, also additional therapy is given such as speech and cognitive therapy (p < 0.05). There is no significant correlation between the degree of independence therapy with occupational therapy (p = 0.075). ADHD child's level of independence is 75% with male sex most.

It can be concluded that using ABA, SI, speech, and cognitive therapy could improving the level of independence of children with ADHD. The results of this study should optimize the monitoring

DOAJ

of therapy given to children with ADHD to immediately self-sufficient and achieve the normalization process.

Keywords: ADHD, level of independence, behavioral therapy.

PENDAHULUAN

Perilaku yang dianggap mengkhawatirkan orang tua biasanya anak sulit menaruh perhatian atau sulit berkonsentrasi karena anak lambat dalam memahami pembelajaran atau instruksi dari guru. Perilaku tersebut sering dikenal dengan perilaku kurang perhatian atau attention deficit atau inatensi.

Kesulitan untuk memperhatikan dan perilaku berlebih tersebut diistilahkan sebagai Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau dalam bahasa Indonesia disebut Gangguan Pemusatan Perhatian disertai Hiperaktif (GPPH). ADHD merupakan suatu kondisi kronis yang mempengaruhi jutaan anak-anak dan sering berlanjut sampai dewasa.1

Manifestasi yang sering timbul akibat terganggunya fungsi kognitif ini diantaranya adalah menurunnya prestasi belajar, pengamatan waktu yang kurang baik, menurunnya daya ingat baik verbal maupun non-verbal, kurang mampu membuat perencanaan, kurang peka terhadap kesalahan, dan kurang mampu mengarahkan perilaku yang bertujuan.2 Kelainan ini merupakan gangguan biologis pada otak yang berlangsung secara kronis sehingga dapat mengganggu perkembangan anak dalam hal kognitif, perilaku, sosial, maupun komunikasi. ADHD memiliki asal yang multifaktorial, yang dihasilkan dari interaksi kompleks dari faktor risiko biologis dan lingkungan.

Di Indonesia, cara untuk mendiagnosis gangguan ini berdasarkan pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) atau dengan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) edisi IV. Sesuai dengan kriteria DSM IV disebutkan gejala berupa inatensi, hiperaktivitas, serta impulsivitas. Prevalensi penderita gangguan ADHD pada anak usia sekolah sebesar 15,8%. Angka kejadian yang berbeda, didapatkan berdasarkan jenis kelamin. Anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yaitu sekitar 3-5 : 1. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh National Survey of Children’s Health pada tahun 2007 di Amerika Serikat didapatkan prevalensi ADHD untuk anak laki-laki 13,2% dan untuk anak perempuan 5,6%. Hasil survey di Inggris didapatkan prevalensi ADHD pada anak usia 5-15 tahun sekitar 3,62% untuk anak lelaki dan 0,85% untuk anak perempuan. Di Indonesia sendiri juga dilaporkan prevalensi untuk

anak laki-laki 35,2% dan 18,3% untuk anak perempuan.3

Kebanyakan dari mereka yang mengalami gangguan ini membutuhkan bantuan pada usia 6 sampai 9 tahun, walaupun banyak orangtua yang mengatakan bahwa masalah pada anaknya sebenarnya telah muncul sejak masa anak-anak ini duduk di Taman Kanak-Kanak. Gangguan dapat menimbulkan masalah psikososial yang lebih buruk apabila tidak mendapatkan intervensi sejak dini, misalnya kesulitan belajar akan berakibat buruk pada prestasi akademik, penyalahgunaan NAPZA, gangguan tingkah laku, gangguan penyesuaian diri, serta masalah dalam keluarga. Gangguan ini dapat berlanjut hingga dewasa yang menimbulkan masalah dalam penyesuaian diri di lingkungan bekerja ataupun kehidupan berumah tangga. Masalah-masalah psikososial yang akan timbul tersebut akan menghambat upaya pembinaan sumber daya manusia di Indonesia.3

Penatalaksanaan ADHD harus merupakan penatalaksanaan yang multimodal atau multidisiplin yang dirancang agar dapat memenuhi harapan orang tua di rumah dan guru di sekolah, yaitu adaya perbaikan prestasi atau penampilan akademis dan tingkah laku. Saat ini, perawatan yang tersedia berfokus pada pengurangan gejala ADHD dan peningkatan fungsi. Perawatan termasuk obat-obatan, berbagai jenis psikoterapi, pendidikan atau pelatihan, atau kombinasi dari perawatan. Perawatan dapat meredakan gejala-gejala gangguan ini, dan kebanyakan berhasil di sekolah serta dapat menjalani kehidupan yang produktif. Obat saat ini tidak menyembuhkan ADHD. Namun, hal ini bisa dikombinasikan dengan menambahkan terapi perilaku, konseling, dan dukungan praktis yang dapat membantu anak-anak dengan ADHD dan keluarga mereka untuk lebih baik dalam mengatasi masalah sehari-hari.

Oleh karena itu, peneliti melakukan observasi di Yayasan Mentari Fajar. Yayasan Mentari Fajar merupakan yayasan yang menangani anak-anak berkebutuhan khusus terutama ADHD. Observasi tersebut dilakukan untuk mengetahui efektivitas terapi ADHD dengan terapi yang diberikan berupa terapi perilaku yaitu: Terapi Applied Behavioral Analysis (ABA), Terapi Sensori Integrasi (SI), serta Terapi Okupasi. Terapi tersebut dilihat untuk mengetahui seberapa besar tingkat kemandirian

I—∖(—∖ λ Idirectoryof OPEN ACCESS

IJOURNALS

yang anak ADHD lakukan sampai mengalami proses normalisasi.

METODE

Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional deskriptif dengan pendekatan crossectional. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling dengan mengambil langsung data anak yang mengalami ADHD di Yayasan Mentari Fajar Jimbaran Badung di akhir tahun 2014 sampai tahun 2016.

Penelitian ini menggunakan analisis bivariat serta distribusi frekuensi tabulasi silang untuk menilai tingkat kemandirian anak ADHD.

HASIL

Jumlah subyek penelitian yang dilakukan di Yayasan Mentari Fajar sebanyak 31 orang yang menderita ADHD. Gambaran karakteristik demografi subyek akan disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian di Yayasan Mentari Fajar Badung

Variabel

N=31 (%)

Usia (Rerata, SB)

6,8 (1,8)

Jenis Kelamin

Laki-laki

25 (80,4)

Perempuan

6 (19,4)

Jenis Terapi Perilaku yang Digunakan

ABA

12 (38,7)

SI

24 (77,4)

Okupasi

21 (67,7)

Wicara

31 (100)

Kognitif

31 (100)


Tingkat Kemandirian Terapi

Melakukan aktivitas secara mandiri

Melakukan aktivitas dengan bantuan minimal

Melakukan aktivitas dengan bantuan penuh

4 (12,9)

14 (45,2)

13 (41,2)

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tabel frekuensi distribusi silang dan uji bivariat. Terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat kemandirian

terapi dengan jenis terapi yaitu terapi ABA, SI, wicara, dan kognitif dengan nilai p < 0,05. Sedangkan untuk terapi okupasi tidak memiliki korelasi yang signifikan (p = 0,075) (Tabel 2).

Tabel 2. Analisis Uji Bivariat Tingkat Kemandirian Terapi dengan Jenis Terapi

Jenis Terapi

Korelasi berdasarkan Tingkat Temandirian (R)

Signifikansi (P)

ABA

0,581

0,001

SI

0,568

0,001

Okupasi

0,324

0,075

Wicara

0,810

0,000

Kognitif

0,602

0,000

DOAJ

Tabel 3. Tabulasi Silang Tingkat Kemandirian berdasarkan Jenis Kelamin

Tingkat

Kemandirian

Jenis Kelamin

Total (%)

Laki-laki (%)

Perempuan (%)

Melakukan aktivitas secara mandiri

3 (75)

1 (25)

4 (100)

Melakukan aktivitas dengan bantuan minimal

11 (78,6)

3 (21,4)

14 (100)

Melakukan aktivitas dengan bantuan penuh

11 (84,6)

2 (15,4)

13 (100)

Total

25 (80,6)

6 (19,4)

31 (100)

Pada tabel 3, untuk responden laki-laki sebanyak 3 orang dapat melakukan aktivitas secara mandiri, 11 orang lainya dapat melakukan hal dengan bantuan penuh, dan 11 orang lainnya dapat melakukan sesuatu dengn bantuan minimal. Sedangkan dari total responden

PEMBAHASAN

Rerata usia anak yang mengalami ADHD adalah 6,8 tahun (SB = 1,8). Berdasarkan jenis kelamin, responden terbanyak berjenis kelamin lelaki yaitu 25 orang. Berdasarkan studi epidemiologi yang dilakukan oleh penelitian Novriana dkk3, kebanyakan dari anak ADHD yang membutuhkan bantuan pada usia 6-9 tahun, walaupun banyak orangtua yang mengatakan bahwa masalah pada anaknya sebenarnya telah muncul sejak masa anak duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Hasil penilitian ini pula didukung dengan teori yang menyebutkan bahwa sebagian besar orang tua baru membawa anaknya berkonsultasi saat anaknya mulai bersekolah formal. Saat itu, anak diperintahkan untuk mematuhi aturan-aturan di sekolah, sehingga gejala ADHD mulai terlihat lalu bisa menyebaban masalah anak di sekolah atau di lingkungan sekitar.

Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar responden berjenis kelamin lelaki yaitu sebanyak 25 orang (80,6%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Novriana dkk3 bahwa prevalensi pada penderita ADHD berdasarkan jenis kelamin didapatkan anak lelaki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan yaitu sekitar 3-5 : 1. Di Indonesia sendiri juga dilaporkan prevalensi untuk anak lelaki 35,2% dan 18,3% untuk anak perempuan. Penelitian ini juga sejalan dengan hasil survey yang dilakukan oleh National Survey of Children’s Health pada tahun 2007 di Amerika Serikat didapatkan prevalensi ADHD untuk anak lelaki 13,2% dan untuk anak perempuan 5,6%. Hasil survey di Inggris didapatkan prevalensi ADHD pada anak usia 5-15 tahun sekitar 3,62%

perempuan sebanyak 6 orang, 1 diantaranya memiliki tingkat kemandirian dapat melakukan aktivitas secara mandiri, 2 diantaranya dapat melakukan hal dengan bantuan penuh, dan 3 diantaranya dapat melakukan sesuatu dengn bantuan minimal.

untuk anak lelaki dan 0,85% untuk anak perempuan. Prevalensi yang berbeda tersebut disebabkan oleh berbagai hal berupa perbedaan budaya, perbedaan kriteria diagnosis yang digunakan, perbedaan operasional yang digunakan, serta faktor lainnya.4

Pemberian terapi ADHD diberikan sejak pertama kali mendaftar di yayasan tersebut sampai subyek mencapai proses normalisasi yaitu pada akhir tahun 2014 dan di tahun 2015. Saat di akhir semester, terapi tersebut dikalkulasikan hasilnya apakah anak sudah mampu melakukannya dengan baik atau belum. Hasil kalkulasi tersebut dapat menilai seberapa jauh tingkat kemandirian anak sehingga bisa mencapai proses normalisasi. Dalam 1 tahun subyek dievaluasi perkembangan tingkat kemandirian terapinya. Ada yang sudah mencapai proses normalisasi dan ada yang belum. Sehingga apabila belum mencapai proses normalisasi anak tersebut perlu diberikan terapi intensif lebih lanjut. Terapi perilaku yang diberikan tersebut berupa terapi ABA, SI, dan okupasi. Serta diberikan terapi tambahan berupa terapi wicara dan kognitif. Kelima terapi tersebut diberikan tergatung kebutuhan masing-masing anak ADHD.

Terapi ABA merupakan salah satu bentuk dari terapi perilaku. Tujuan yang ingin dicapai yaitu agar anak dapat melakukan komunikasi dua arah yang aktif, dapat bersosialisasi ke dalam lingkungan yang umum, menghilangkan atau meminimalkan perilaku yang tidak wajar, mengajarkan materi akademik dan membantu anak untuk menjadi mandiri.5 Menurut penelitian yang dilakukan di Universitas Muhammadyah Yogyakarta, Anonim6, yang menyebutkan bahwa terapi ABA

Il—∖/—∖ λ directoryof OPEN ACCESS I__^V√∕—X^ JOURNALS

biasanya digunakan untuk anak autis. Namun, di Yayasan Mentari Fajar terapi ABA bisa juga diterapkan untuk anak ADHD karena dapat digunakan untuk membantu anak membangun kemampuan dengan nilai-niai yang ada di masyarakat. Sistem yang digunakan adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah / pujian). Jenis terapi ini efektif untuk mengukur kemajuan anak ADHD.

Terapi SI yang diterapkan di Yayasan Mentari Fajar dapat digunakan untuk menurunkan hiperaktivitas dan impulsivitas. Terapi ini merupakan suatu bentuk perlakuan melalui media menulis yang membutuhkan kemampuan gerak lengan, jari, dan mata secara terintegrasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Hikmawati & Hidayati7 bahwa terapi SI sangat berguna dalam merangsang impuls sensori anak sehingga      anak      hiperaktif      dapat

mengkoordinasikan gerakan otot tubuh sesuai perintah otak. Dalam terapi menulis juga dibutuhkan kemampuan mengintegrasikan alat indera antara mata, telinga, taktil, vestibular dan proprioseptif.7

Terapi wicara merupakan suatu ilmu yang mepelajari perilaku komunikasi normal/abnormal yang digunakan untuk memberikan terapi pada anak ADHD sehingga penderita mampu berkomunikasi dengan lingkungan secara wajar serta dapat mengenal lingkungannya. Dalam penelitian lainnya, terapi wicara jarang digunakan untuk anak ADHD. Namun dalam penelitian ini, terapi wicara diperlukan untuk mengajarkan anak bisa berkomunikasi secara lancar serta anak dapat mengenal lingkungannya baik di rumah ataupun di sekolah. Karena pada anak ADHD terkadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu mengkomunikasikannya untuk berinteraksi dengan orang lain.

Terapi kognitif adalah terapi terstruktur jangka pendek yang menggunakan kerjasama aktif antara pasien dan terapis yang berorientasi terhadap masalah sekarang dan pemecahannya. Menurut Emilson, dkk8 terapi ini dapat digunakan untuk meringankan gejala ADHD.

Berdasarkan tabel 2 terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat kemandirian terapi dengan jenis terapi ABA, SI, wicara, dan kognitif dengan p < 0,05. Sedangkan untuk terapi okupasi tidak memiliki korelasi yang signifikan (p = 0,075). Menurut penelitian mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang, Anonim9, terapi okupasi ini merupakan pendekatan dari terapi SI dengan menggunakan pendekatan bermain anak. Hal ini yang dapat menyebabkan

tidak terdapat korelasi yang signifikan antara terap okupasi dengan tingkat kemandirian terapi.

Berdasarkan tabel 3, tingkat kemandirian yang dilihat dari terapi perilaku yang diberikan dinilai dari jenis terapi yang diberikan apakah anak tersebut sudah mampu melakukan secara mandiri atau masih dibantu. Kali ini, peneliti hanya dapat mengobservasi subyek penelitian sekali yaitu di akhir tahun pelajaran 2016 untuk melihat hasil evaluasi dari hasil terapi perilaku. Berdasarkan terapi perilaku yang diberikan, beberapa anak ada yang sudah mengalami proses normalisasi dan ada yang belum. Dari penelitian ini, kemandirian anak ADHD masih dibilang cukup rendah yaitu 12,9 % karena sebagian besar anak dapat melakukan sesuatu dengan bantuan minimal. Hal ini disebabkan oleh berapa lama anak tersebut diterapi, usia anak, serta gejala ADHD yang mendasari anak tersebut. Menurut penlitian Sedyaningsih10, ADHD pada anak-anak memerlukan pendekatan yang komprehensif untuk pengobatan yang disebut "multimodal" tidak hanya terapi perilaku saja, tetapi juga termasuk edukasi orang tua, serta obat-obatan.

Beberapa anak yang sudah mandiri, mereka sudah mencapai proses normalisasi dan bisa melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Anak tersebut juga bisa melanjutkan pendidikannya ke sekolah umum. Namun, mereka yang belum mandiri sepenuhnya akan dilajutkan memberikan terapi perilaku sampai anak tersebut mengalami peningkatan. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, karena tidak ada penelitian yang menilai tingkat kemandirian terapi perilaku. Namun, terdapat penelitian yang mengukur tingkat konsentrasi belajar terhadap terapi perilaku tersebut seperti yang dilakukan Anjani11, sangat efektif bertujuan untuk mengembangkan akademis anak ADHD dengan bimbingan yang dilakukan secara intensif.

Dari anak yang sudah mandiri didapatkan anak yang berjenis kelamin lelaki lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Hal ini terjadi karena pada anak lelaki lebih banyak menunjukkan agresivitas, sedangkan anak perempuan lebih banyak menunjukkan kelemahan kognitif sehingga gejala yang terlihat lebih nyata ditunjukkan oleh anak lelaki. Pada penelitian Ainusyifa4, yang menyebutkan teori dari penelitian Martel hormon testosteron yang ada pada anak lelaki mempengaruhi keadaan inatensi pada anak ADHD. Faktor tersebut yang kemungkinan dapat mempengaruhi hasil penelitian ini.

Il--∖(—∖ Λ i DIRECTORY OF OPEN ACCESS I—V√ JOURNALS

SIMPULAN

Anak yang mengalami ADHD di Yayasan Mentari Fajar berjumlah 31 orang, diantaranya berusia rata-rata 6,8 tahun, terbanyak berjenis kelamin lelaki (80,6%). Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat kemandirian terapi dengan terapi okupasi untuk Daftar Pustaka

  • 1.    Sugiarmin M. Bahan Ajar Anak dengan ADHD. Jurnal Pendidikan Luar Biasa. FIP. 2007.

  • 2.    Mahabbati, A. Mengenali Gangguan Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD) pada Anak. Yogyakarta: Lembaga Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. 2013.

  • 3.    Novriana, D.E., Yanis, A., Masri, M. Prevalensi Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas pada Siswa dan Siswi Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014;3(2):141-146.

  • 4.    Ainusyifa, A.W. Gambaran Demografi, Klinis, Faktor Resiko, dan Terapi Pasien Anak dengan ADHD di RSJ. Dr. Soeharto Heerdjan Tahun 2010-2012. Jakarta. 2012.

  • 5.    Husnah, A. "Efektifitas Terapi ABA (Applied Behavior Analysis) pada anak dengan ADHD di Pusat Terapi Terpadu Anak Dengan Kebutuhan Khusus A Plus Jln. Blitar No. 02 Malang". Universitas Islam Negeri Malang. 2007.

  • 6.    Anonim.           Tersedia           di:

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle

menilai tingkat kemandirian anak ADHD. Tingkat kemandirian anak ADHD yaitu 12,9% dan sebagian besar dapat melakukan aktivitas dengan bantuan minimal (45,2%) dengan jenis kelamin lelaki terbanyak.

/123456789/2692/7.%20BAB%20II.pdf?se quence=6&isAllowed=y [diunduh:    1

Desember 2016]. 2016.

  • 7.    Hikmawati, I.D., Hidayati, E. “Efektivitas Terapi Menulis untuk Menurunkan Hiperaktivitas dan Impulsivitas pada Anak dengan Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD)”. Universitas Ahmad Dahlan. Jurnal Fakultas Psikologi. 2014;2:1.

  • 8.    Emilson, B., et all. Cognitive Behaviour Therapy in Medication-Treated Adults with ADHD and Persistent Symptoms:  A

Randomized Controlled Trial. BMC Psychiatry. 2011;11:116.

  • 9.    Anonim. Tersedia di: http://etheses.uin-malang.ac.id/797/6/10410001%20Bab%20 2.pdf [diunduh: 1 Desember 2016]. 2016.

  • 10.    Sedyaningsih, E.R. Pedoman Deteksi Dini dan Penanganan Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH). Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2011.

  • 11.    Anjani, A.T. “Studi Kasus Tentang Konsentrasi Belajar pada Anak ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) di SDIT At-Taqwa Surabaya dan SDN V Babatan Surabaya”. Surabaya. Jurnal BK UNESA. 2010;1(2),125-135.

DOAJ

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum