AUTOFLUORESCENCE BRONCHOSCOPY SEBAGAI ALAT DIAGNOSIS DINI KANKER PARU

KAW Nugraha*, IDM Artika**

*Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unud

** Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Kanker paru telah menjadi masalah kesehatan yang pelik di dunia. Pada tahun 2005, kira-kira 172.500 orang terdiagnosis kanker paru di Amerika Serikat. Di Indonesia kanker paru telah menduduki peringkat 4 terbanyak. Kanker paru juga menjadi penyebab tersering kematian akibat kanker, sehingga diperlukan modalitas deteksi dini yang tepat untuk menekan angka kematian akibat kanker paru. Dibandingkan dengan modalitas lain yang ada saat ini, Autofluorescence Bronchoscopy (AFB) tampaknya memiliki akurasi yang lebih baik dalam mendiagnosis kanker paru lebih dini. AFB dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan high-grade sputum atypia, mengevaluasi pasien yang dicurigai atau pernah menderita kanker paru, dan berperan dalam follow-up neoplasia intraepitel bronchial grade tinggi.

Kata kunci: Autofluorescence Bronchoscopy, diagnosis dini, kanker paru

AUTOFLUORESCENCE BRONCHOSCOPY

AS A MODALITY FOR EARLY DIAGNOSIS OF LUNG CANCER

ABSTRACT

Lung cancer has become a complicated health problem in the world. In 2005, approximately 172,500 people diagnosed with lung cancer in the United States. In Indonesia, lung cancer ranks fourth highest. Lung cancer is also the most common cause of death from cancer, so we need appropriate early detection modality to reduce the number of deaths from lung cancer. Compared with other modalities that currently available, Autofluorescence Bronchoscopy (AFB) seems to have better accuracy in early diagnosis of lung cancer. AFB can be used to evaluate patients with high-grade sputum atypia, evaluating patients with suspected or had suffered from lung cancer, and have a role in follow-up of bronchial high-grade intraepithelial neoplasia.

Keywords: Autofluorescence Bronchoscopy, early diagnosis, lung cancer

PENDAHULUAN

Kanker paru telah menjadi masalah kesehatan yang pelik di dunia.1 Pada tahun 2005, kira-kira 172.500 orang terdiagnosis kanker paru di Amerika Serikat.2 Di Indonesia kanker paru telah menduduki peringkat 4 terbanyak. Pada tahun 1998, di RS Kanker Dharmais Jakarta, kanker payudara menduduki urutan ketiga sesudah kanker payudara dan kanker leher rahim.3 Selain morbiditasnya yang tinggi, kanker paru juga menjadi penyebab tersering kematian akibat kanker di negara berkembang termasuk Indonesia.4 Salah satu alasan utama tingginya angka kematian kanker paru adalah karena sebagian besar kanker paru telah mengalami metastasis saat terdiagnosis.4,6,7 Untuk menekan angka kematian ini maka diperlukan suatu metode diagnosis dini yang tepat.6

X-ray dada dan sputum cytology, dilaporkan mampu mendeteksi dini small cancer, tapi belum mampu mengurangi angka kematian pasien kanker paru.4 Sementara itu, low-dose computed tomography (CT) dikatakan lebih sensitif dalam mengidentifikasi kanker stadium I, namun memiliki tingkat false positive yang tinggi.4 Berbeda dengan modalitas lainnya, saat ini White Light Bronchoscopy (WLB) dan Autofluorescence Bronchoscopy (AFB) tampaknya memiliki efektivitas yang lebih baik dalam mendiagnosis kanker paru lebih dini.6

WLB merupakan salah satu modalitas diagnosis yang paling sering digunakan namun memiliki keterbatasan dalam hal mendeteksi lesi microinvasive preinvasivei dan small intraephitelial, mengingat ketebalan sel lesinya yang tipis dan hanya memiliki diameter beberapa milimeter. Sementara itu AFB merupakan alat endoscopic yang dapat mendeteksi lesi di central airway, terutama preinvasive squamous cell carcinoma.6 Meskipun merupakan modalitas invasive, AFB sendiri lebih diunggulkan dalam beberapa aspek dibandingkan dengan modalitas lainnya.7,8,9

DEFINISI AFB

AFB merupakan prosedur bronkoskopi yang menggunakan cahaya violet-blue spectrum (400-450 nm) sebagai iluminasi, yang mana jaringan premalignant dan malignant dibedakan melalui perubahan warna (fluorescence) tanpa memerlukan fluorescenceenhancing drug.1,10 Teknik fluorescence yang digunakan bersama dengan bronkoskopi mampu mendeteksi displasia, carcinoma in situ (CIS), dan early invasive cancer yang tidak tampak dengan WLB standar. Berbeda dengan AFB, WLB menggunakan cahaya putih untuk mendeteksi kanker.10

INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI AFB

Pemeriksaan AFB diindikasikan pada pasien yang diketahui atau sebelumnya didiagnosis kanker paru, dicurigai kanker paru berdasarkan gejala klinis (hemoptisis, batuk kering, pneumonia kronis atau rekuren, dispneu progresif), dan pada pasien yang dicurigai kanker paru berdasarkan diagnostic symptom (sputum cytology positif, meningkatnya konsentrasi tumor marker, temuan X-ray).10,12,13

Kontraindikasi pemeriksaan AFB yang harus diperhatikan yaitu pada pasien yang menerima photosensitizing substances dalam 3 bulan terakhir, pasien yang diterapi dengan obat cytostatic atau secara radiologi dalam 3 bulan terakhir dan pasien yang menjalani terapi kemoprofilaksis dalam 3 bulan terakhir.13

TEKNIK PEMERIKSAAN AFB

Sebelum dilakukan AFB biasanya dilakukan pemeriksaan WLB konvensional sebagai pemeriksaan bronkoskopi awal.10 Trauma pada mukosa yang diakibatkan oleh ujung bronkoskopi maupun penyedotan (suctioning) hendaknya dihindari, karena trauma dapat mengaburkan pencitraan oleh sistem AFB.10 Mulanya bronkoskopi didorong ke

dalam saluran nafas melalui mulut. Saat melakukan pemeriksaan WLB (disebut WLB

state), operator akan melakukan pemeriksaan glottis, trakea, carina, dan bronchi (segmen 0-V), serta dilakukan observasi terhadap cincing kartilage, mukosa, pembuluh darah, sekresi dan neoplasma.12 Selanjutnya dilakukan pencatatan bila ditemukan lesi yang mencurigakan seperti hiperemi, edema, penebalan, nodul, perubahan warna dan regresi.12

Pasca pemeriksaan dengan WLB, dilakukanlah pemeriksaan AFB (AFB state). Semua bronchi (segmen 0-V), terutama area mencurigakan yang ditemukan sebelumnya dengan WLB, diobservasi secara seksama.10,12 Disini dinilai densitas fluorescence yang dipancarkan jaringan. Setelah atau selama inspeksi AFB menyatakan area tersebut abnormal, biopsi pun dilakukan di bawah setting WLB pada area yang abnormal untuk dilakukan pemeriksaan patologi.10,12

INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN AFB

Ketika permukaan mukosa terpapar cahaya violet-blue spectrum AFB, cahaya dapat direfleksikan, terpencar balik, atau diabsorbsi.1 Cahaya juga dapat mengakibatkan jaringan mengalami fluorescence (cahaya memijar). Namun autofluorescence oleh jaringan ini tidak dapat dilihat dengan menggunakan WLB, karena intensitas fluorescence sangat rendah dan tertutupi (terliputi) oleh cahaya yang direfleksikan dan terpencar balik.1 Autofluorescence jaringan merepresentasikan perubahan biokimia yang terjadi di dalam sel, terutama struktur elektron dari molekul chromophore.1 Chromophore utama pada mukosa saluran nafas adalah elastin, colagen, flavins, nicotinamide-adenine dinucleotide (NAD), NADH (hidrogen), dan porphyrin. Fluorescence akan muncul ketika molekul chromophore ini mengabsorbsi cahaya dengan panjang gelombang tertentu. Cahaya yang mengenai chromophore dapat diabsorbsi melalui eksitasi elektron dari ground state menjadi excited state.1

Jaringan respirasi normal akan memijarkan cahaya hijau saat terpapar cahaya violet-blue spectrum (400-450 nm). Ketika penyakit mukosa dan submukosa berkembang dari normal, metaplasia, displasia, dan kemudian menjadi carcinoma in situ (CIS), akan terjadi kehilangan yang progresif autofluorescence hijau, sehingga tampak warna merah kecoklatan pada jaringan.1,14 Perubahan warna ini terjadi akibat adanya reduksi chromophore tertentu, peningkatan ketebalan epitel, dan peningkatan angiogenesis yang terjadi pada penyakit yang lebih parah.14 Sementara itu, bila tampak autofluorescence sedikit coklat dengan batas tidak tegas, maka temuan tersebut diinterpretasikan sebagai jaringan abnormal. Area abnormal didefinisikan sebagai area kemerahan dan hipervaskularitas, pembengkakan atau penebalan mukosa bronchial, penebalan fokal dari subcarina, inflamasi saluran nafas dan fibrosis.14 Secara garis besar, klasifikasi visual temuan bronchoscopy dibagi menjadi 3 kelas (Tabel 1, Gambar 1).

PERAN AFB DALAM MENGEVALUASI PASIEN DENGAN HIGH-GRADE SPUTUM ATYPIA

Displasia sedang, displasia berat, CIS dan karsinoma invasive pada sputum cytology merupakan indikasi untuk pemeriksaan AFB. Penelitian mengenai sputum cytology menunjukkan bahwa 11% pasien dengan displasia sedang dan 19-46% pasien dengan displasia berat pada sputum akan berkembang menjadi SqCC.6 Pasien dengan displasia grade tinggi memiliki prevalensi tinggi ditemukannya preneoplasia dan/atau neoplasia pada pemeriksaan FAB. Saat ini sudah bukan kontroversi lagi bahwa hasil sputum cytology yang mengarah ke kanker invasive maupun CIS, membutuhkan investigasi lebih jauh seperti WLB, AFB, dan CT scan.6

Displasia sedang telah dinyatakan berhubungan dengan peningkatan resiko munculnya kanker paru (keganasan). Kennedy dkk melaporkan bahwa 79 subyek yang tidak menunjukkan keganasan pada X-ray dada, dengan hasil sputum cytology menunjukkan displasia sedang, setelah menjalani rangkaian pemeriksaan AFB memperlihatkan hasil yang cukup mengejutkan. Pada penelitian tersebut ditemukan kanker paru pada 5 subyek (6,3%), 3 subyek SqCC invasive, 2 subyek dengan CIS dan 7 subyek displasia berat (8,9%).6

Hasil penelitian Kennedy juga didukung oleh penelitian lain, seperti penelitian pemeriksaan AFB yang dilakukan oleh McWilliam dkk pada perokok asimtomatis dengan peningkatan index DNA pada sputumnya (>1,2 saat dievaluasi dengan quantitative image cytometry). Dalam penelitian tersebut McWilliam dkk berhasil menemukan 7 kasus CT occult central SqCC pada 4 subyek (CIS 6 kasus, microinvasive 1 kasus; 1,3%), dan displasia grade tinggi (5,7%).6 Dari penelitian yang dilakukan oleh Kennedy dan McWilliam ini dapat dilihat peranan AFB dalam mengevaluasi pasien dengan high-grade sputum atypia. Untuk pasien dengan displasia berat, CIS, atau karsinoma pada sputum cytology tapi X-ray dada menunjukkan tidak adanya kelainan, ACCP pun merekomendasikan (rekomendasi grade 2C) dilakukannya WLB standard serta AFB (bila tersedia AFB).6

PERAN AFB DALAM MENGEVALUASI PASIEN YANG DICURIGAI ATAU PERNAH MENDERITA KANKER PARU

AFB dapat berperan dalam pencitraan margin tumor dan penilaian adanya synchronous lesion pada pasien dengan kanker paru stadium dini yang telah dievaluasi untuk reseksi pembedahan kuratif. Synchronous lesion adalah lesi atau massa (dua atau lebih) yang muncul secara bersamaan dan salah satunya bukan merupakan metastasis dari yang lain.

Synchronous cancer dapat ditemukan dengan AFB pada 17% pasien, dan sampai 44% pasien tersebut mungkin juga mengalami displasia sedang/berat lain yang akan memerlukan follow-up bronkoskopi.6 Hingga kini, banyak penelitian yang berusaha mengungkap peranan AFB dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai, diketahui atau sebelumnya menderita kanker paru.

Penelitian Lam dkk melaporkan bahwa sekurang-kurangnya satu synchronous CIS terdeteksi pada 15% dari 53 subyek yang diketahui menderita kanker paru. Di tempat lain, Venmans dkk berhasil mendeteksi lokasi lain dari displasia sedang atau berat pada 44% subyek yang telah diketahui menderita CIS dan diarahkan menjalani terapi endobronkial.6 Pierard dkk menemukan bahwa pada 43 pasien kanker paru preoperasi, 9,3% diantaranya ditemukan synchronous occult CIS, sementara 9,3 % mengalami displasia atau lesi yang lebih parah pada rangkaian pemeriksaan AFB. Pierard juga melaporkan bahwa 23% dari 26 pasien yang diarahkan untuk menjalani terapi untuk lesi preinvasive grade tinggi atau CIS (microinvasive cancer), ternyata dideteksi adanya displasia berat/CIS/kanker microinvasive pada pemeriksaan AFB. Van rens dkk melaporkan evaluasi preoperasi pada 72 pasien NSCLC dan menemukan 3 synchronous NSCLC pada 3 pasien (4,2%) serta 13 displasia grade tinggi pada 10 pasien (14%) ketika dilakukan pemeriksaan AFB. Ditemukannya synchronous carcinoma lewat pemeriksaan AFB telah mengubah rencana terapi pada pasien ini.6

Setelah keberhasilan reseksi kuratif pada NSCLC, ternyata kejadian munculnya tumor primer kedua di kemudian hari (metachronous lesion) justru cukup tinggi yaitu sekitar 1-3% per tahun. Angka 1-3% ini sudah termasuk estimasi 2-13% pasien yang bertahan hidup dari SCLC per pasien per tahun yang kemudian mengalami NCSLC.6 Sementara itu, pada pasien yang sebelumnya mengalami SqCC sentral stadium dini, tingkat kemunculan tumor primer kedua (karsinoma sentral yang kedua) bahkan lebih

tinggi hingga mencapai 30% dalam kurun waktu 4 tahun. Pada tahun 2000 Weigel dkk melaporkan temuan 31 pemeriksaan AFB pada 25 pasien pasca reseksi komplit NSCLC, yang mana 3 lesi displasia sedang/berat dan 1 kanker microinvasive ditemukan selama rata-rata 20,5 bulan follow-up pasca operasi. Weigel juga melaporkan bahwa dari 51 pasien yang ia teliti, ditemukan 1 kanker invasive dan 3 lesi displasia grade tinggi (total 4 lesi) setelah 13 bulan pasca operasi. Dalam hal ini, 3 dari 4 lesi tadi ditemukan pada pasien yang sebelumnya menderita SqCC.5,6 Sementara di tempat lain, Pasic dkk menemukan bahwa dari 28% pasien yang sebelumnya menderita kanker paru, ternyata setelah dievaluasi dengan AFB dalam 47 bulan follow-up, ditemukan tumor primer kedua SqCC sentral. Sementara pasien yang sebelumnya menjalani reseksi kuratif untuk NSCLC atau kemoradioterapi yang dinyatakan berhasil untuk SCLC, beresiko tinggi menderita kanker paru yang kedua.6

Dari berbagai penelitian yang telah disebutkan di atas, ternyata pasien yang dicurigai atau diketahui sebelumnya mengalami kanker paru, memiliki kemungkinan ditemukannya synchronous lesion saat dilakukan pemeriksaan AFB. Sementara pasien yang telah menjalani terapi kanker kuratif, selanjutnya akan beresiko menderita metachronous lesion. Disinilah peran AFB sebagai modalitas diagnostik untuk mengevaluasi pasien-pasien ini, sehingga lesi-lesi paru tersebut dapat segera terdeteksi.

PERAN AFB DALAM PROSES FOLLOW-UP NEOPLASIA INTRAEPITEL BRONCHIAL GRADE TINGGI

Dalam pembahasan sebelumnya terungkap bahwa AFB berperan dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai atau diketahui sebelumnya menderita kanker paru. Ternyata selain diagnosis dini terhadap kemunculan kanker paru, AFB juga dapat digunakan untuk proses follow up pasien kanker, sehingga bila terjadi progresivitas,

klinisi dapat mengetahuinya secara lebih dini. Kali ini kita akan menganalisis peran AFB dalam proses follow-up neoplasia intraepitel bronchial grade tinggi. Hingga kini data longitudinal yang menggunakan serial bronkoskopi dan biopsi pada pasien

neoplasia intraepitel yang dideteksi dengan AFB telah dilaporkan oleh banyak peneliti.6 Breuer dkk telah mengaplikasikan pemeriksaan AFB pada 52 subyek dengan temuan sputum cytology positif, riwayat menjalani reseksi kanker traktus respiratorius atas, atau dicurigai secara klinis menderita kanker paru. Dalam penelitian tersebut dilakukan follow-up terhadap 134 lesi yaitu squamous metaplasia (45 lesi), displasia ringan/sedang (64 lesi) dan displasia berat (25 lesi). Tingkat progresifitas yang paling tinggi ke arah CIS atau karsinoma invasive tampak pada displasia berat (32%). Sementara persentase displasia ringan/sedang dan metaplasia yang berkembang progresif adalah sebanyak 9%. Waktu rata-rata progresi yang paling cepat dari displasia berat adalah 16,5 bulan, sementara lesi yang lainnya membutuhkan waktu 21,5 bulan.6

Lam dkk juga telah melakukan follow-up terhadap 2346 lesi yang terdeteksi pada 566 subyek yang menghabiskan 20 pak rokok setahun tapi tidak ada riwayat atau tidak sedang mengalami kanker aerodigestif. Lesi yang diikuti perkembangannya diantaranya adalah hiperplasia (892 lesi), metaplasia (459 lesi), displasia ringan (787 lesi), displasia sedang (157 lesi), dan displasia berat (51 lesi). Sebanyak 8 subyek ditemukan mengalami 8 CIS dan 2 kanker invasive dari lokasi yang mulanya merupakan hiperplasia, metaplasia, diplasia sedang, atau displasia berat.5 Tumor ini berkembang dalam interval 21 bulan. Dengan demikian tingkat progresivitas displasia berat menjadi CIS atau karsinoma invasive adalah 6%, sementara displasia sedang hanya 1,3%.6

Tingkat progresivitas yang bervariasi dari lesi preneoplastik pada penelitian di atas mungkin diakibatkan oleh perbedaan pada karakteristik populasi pasien yang dievaluasi atau pelaporan histopatologi. Misalnya pada penelitian yang dilakukan oleh

Lam dkk, yang mana subyek yang diteliti merupakan mantan atau sedang merokok tanpa riwayat kanker aerodigestif atau dicurigai kanker secara klinis. Hal ini mengakibatkan tingkat progresivitas dari displasia sedang/berat menjadi karsinoma

adalah yang paling rendah dibandingkan penelitian lainnya.6

Tapi terlepas dari perbedaan tersebut, yang patut diperhatikan dari beberapa hasil penelitian tadi adalah kemampuan AFB dalam mendeteksi progresivitas neoplasia intraepitel bronchial grade tinggi. Deteksi progresivitas secara dini amatlah penting agar dapat dilakukan terapi yang tepat nantinya. Dengan demikian, bagi pasien yang diketahui menderita displasia berat atau CIS pada central airway, penggunaan WLB standar direkomendasikan untuk kepentingan follow-up dengan interval yang periodik (3-6 bulan), dan pemeriksaan AFB hendaknya juga dilakukan bila tersedia (rekomendasi grade 2C).6

SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS AFB SEBAGAI ALAT DIAGNOSIS DINI Saat pertama kali dikembangkan, AFB didesain dengan tujuan untuk melokalisir karsinoma sel skuamosa (SqCC) displasia grade tinggi (displasia sedang dan berat), CIS, dan lesi invasive minimal. Alasan yang mendasari dikembangkannya teknologi AFB adalah luasnya area mukosa trakeobronkial sentral yang merupakan lokasi munculnya SqCC dan beberapa penyakit stadium dini central airway tak terdeteksi dengan WLB.6,17 Deteksi SqCC merupakan isu yang penting karena 17-29% kanker paru tergolong SqCC.6

WLB yang kerap kali dipakai untuk memeriksa mukosa bronchial memiliki keterbatasan dalam mendiagnosis lesi mukosa stadium dini.8,11,12,14 Secara lebih spesifik, WLB tidak efektif dalam mendeteksi lesi dengan diameter < 5 mm dan dalam membedakan perubahan mukosa tidak spesifik akibat hipertropi atau CIS. Sebaliknya,

seperti yang sudah dibahas sebelumnya, AFB sendiri merupakan teknologi baru yang memanfaatkan autofluorescence mukosa untuk mendeteksi lesi kecil dan superfisial. Dengan demikian, dibandingkan dengan WLB, AFB lebih baik dalam mendeteksi lesi mukosa stadium dini, sehingga secara signifikan mampu memperbaiki efisiensi bronkoskopi dalam mendiagnosis hipertrofi atipikal dan kanker mukosa stadium dini (Gambar 2).12

AFB sendiri mampu mendeteksi lesi yang berdiameter hanya 1 mm atau dengan ketebalan beberapa (sedikit) lapisan sel. Sensitivitas AFB dalam mendeteksi lesi saluran nafas hampir 1,5 sampai 6,3 kali lipat lebih baik dibandingkan dengan WLB.12 Pada penelitian yang dilakukan Li dkk, sensitivitas AFB secara signifikan lebih tinggi dibandingkan WLB yaitu 94,7% untuk AFB dan 65,8% untuk WLB (Tabel 2). Untuk lesi paru sentral, sensitivitas AFB mencapai 100% tanpa kekeliruan diagnosis, sementara WLB memiliki tingkat kekeliruan diagnosis yang mencapai 23,4% (Tabel 3). Data ini menunjukkan bahwa AFB memiliki kekuatan diagnosis yang lebih tinggi 12 untuk kanker stadium dini dibandingkan dengan WLB.12

Menurut Li dkk, AFB memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan WLB dalam mendeteksi adenokarsinoma dan SqCC, tapi efektivitas yang sama tidak ditemukan saat mendiagnosis SCLC (Tabel 4).12 Perbedaan kemampuan deteksi SCLC ini mungkin diakibatkan oleh kemampuan AFB yang hanya sebatas mengidentifikasi lesi berdasarkan pada perubahan visualisasi mukosa bronchial dan bukan melalui identifikasi patologinya.12 Hal ini mengakibatkan AFB hanya dapat mendeteksi keganasan yang berasal dari mukosa dan kurang mampu mendeteksi keganasan yang 12 berasal dari jaringan submukosa seperti pada SCLC.12

Seperti yang telah kita ketahui, walaupun AFB dapat mendeteksi perubahan kecil pada mukosa bronchial dengan sensitivitas yang tinggi, AFB tetap tidak mampu mengidentifikasi patologi lesi yang terdeteksi. AFB membedakan jaringan hanya melalui properti visualisasi jaringan berdasarkan pada ketebalan, suplai darah, atau komposisi matriks ekstraselular.12 Pada beberapa lesi bukan kanker (seperti inflamasi, hiperemi, dan cedera) ketebalan mukosa dan suplai darah meningkat serta mukosa tampak lebih merah. Hal ini mengakibatkan sulitnya membedakan antara penyakit tersebut dengan karsinoma, misalnya pada penyakit asma dan bronkitis kronis.5,12 Dengan demikian, tingkat false negatif AFB untuk deteksi kanker sangat tinggi. Keterbatasan yang paling besar AFB adalah spesifisitas dan Positive Predictive Value (PPV) yang rendah. AFB memiliki spesifisitas lebih rendah dibandingkan dengan WLB.

12

Menurut Li dkk, spesifisitas AFB adalah 57,0%, sedangkan WLB adalah 83,6%.12 Rendahnya spesifisitas ini mungkin diakibatkan oleh keterbatasan metodologi dari AFB, termasuk ketidakmampuannya dalam membuat diagnosis patologi dan respon 12 yang tidak spesifik terhadap abnormalitas mukosa bronchial bukan keganasan.12

PPV dan spesifisitas yang rendah akan mengarah pada lebih banyak lagi lokasi mukosa untuk biopsi, sehingga menimbulkan durasi cedera mukosa yang lebih lama, lebih banyak biaya, dan waktu pemeriksaan yang lebih lama. Walaupun demikian, dari 136 kasus yang dianalisis oleh Li dkk, ditemukan bahwa AFB memiliki Negative Predictive Value (NPV) yang lebih tinggi (95,5%) dibandingkan dengan WLB. Temuan ini konsisten dengan berbagai literatur yang menyatakan bahwa NPV dari AFB biasanya > 95%.12 NPV yang tinggi ini mengindikasikan bahwa biopsi yang tidak diperlukan dapat dihindari. Dengan demikian, menurut Li, meningkatnya pengalaman operator dalam melakukan AFB akan memperbaiki teknik pemeriksaan, sehingga dapat mengurangi cedera iatrogenik pada mukosa, meningkatnya kemampuan membedakan

antara kanker dan hipertrofi, serta lebih sedikit pelaksanaan biopsi yang tidak diperlukan. Perbaikan ini akan mengurangi penderitaan pasien akibat pemeriksaan serta

12 berkurangnya biaya dan waktu yang diperlukan.12

Meskipun AFB lebih baik dalam beberapa aspek dibandingkan dengan WLB, Hanibuchi dkk mengungkapkan bahwa kombinasi WLB dengan AFB akan memberikan diagnosis yang lebih baik lagi. Sensitivitas deteksi lesi premalignant telah terbukti lebih baik pada kombinasi WLB dengan AFB (WLB+AFB) dibandingkan pemeriksaan dengan WLB saja (Tabel 5, Tabel 6).5

RINGKASAN

Kanker paru telah menjadi masalah kesehatan yang pelik di dunia. Pada tahun 2005, kira-kira 172.500 orang terdiagnosis kanker paru di Amerika Serikat. Di Indonesia kanker paru telah menduduki peringkat 4 terbanyak. Kanker paru juga menjadi penyebab tersering kematian akibat kanker, sehingga diperlukan modalitas deteksi dini yang tepat untuk menekan angka kematian akibat kanker paru. Dibandingkan dengan modalitas lain yang ada saat ini, Autofluorescence Bronchoscopy (AFB) tampaknya memiliki efektivitas yang lebih baik dalam mendiagnosis kanker paru lebih dini. AFB dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan high-grade sputum atypia, mengevaluasi pasien yang dicurigai atau pernah menderita kanker paru, dan berperan dalam follow-up neoplasia intraepitel bronchial grade tinggi. AFB memiliki sensitivitas dan NPV yang lebih baik dalam deteksi dini kanker paru dibandingkan dengan WLB. Sensitivitasnya 94,7% untuk diagnosis semua tipe kanker paru, 100% hanya untuk kanker paru tipe sentral, 97,1% untuk kanker paru tipe SqCC saja, 95,8% untuk tipe adenokarsinoma, dan 81,8% untuk SCLC. Namun AFB memiliki spesifisitas dan PPV yang rendah sehingga dapat mengarah pada lebih banyak lagi lokasi mukosa untuk

biopsi, menimbulkan durasi cedera mukosa yang lebih lama, lebih banyak biaya, dan waktu pemeriksaan yang lebih lama. Kombinasi WLB dengan AFB (WLB+AFB) memiliki sensitivitas yang lebih baik (96,8%) dibandingkan dengan WLB (76,3%) dalam mendeteksi lesi premalignant dan malignant.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Kopman DF, Lunn W, Ernst A. Autofluorescence broncoschopy and endobrachial ultrasound: a practical review. Ann Thorac Surg. 2005; 80:2395-401.

  • 2.    Halling KC, Rickman OB, Kipp BR, et al. A comparison of cytology and fluorescence in situ hybridization for the detection of lung cancer in bronchoscopic specimens. Chest. 2006; 130:694-701

  • 3.    Amin, Zulkifli. Kanker Paru. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2006. p. 1005-1019.

  • 4.    Flake GP, Rivera MP, Funkhouser WK, et al. Detection of pre-invasive lung cancer: technical aspects of LIFE project. Toxicologic Pathology. 2007; 35:65-74.

  • 5.    Hanibuchi M, Yano S, Nishioka Y, et al. Autofluorescence bronchoscopy, a novel modality for early detection of bronchial premalignant and malignant lesion. J Med Invest. 2007; 54:261-266.

  • 6.    Kennedy TC, McWilliams A, Sutedja T, et al. Bronchial intraepithelial neoplasia/early central airways lung cancer, ACCP evidence-based clinical practice guidlines (2nd edition). Chest. 2007; 132:221S-233S.

  • 7.    Salomaa ER, Sällinen S, Hiekkanen H, Liippo K. Delay in the diagnosis and

treatment of lung cancer. Chest. 2005; 128:2282-2288.

  • 8.    Lam B, Wong MP, Fung SL, Lam DCL, et al. The clinical value of autofluorescence bronchoscopy for the diagnosis of lung cancer. Eur Respir J. 2006; 28:915-919.

  • 9.    Oeffinger KC. Lung Cancer. In: Hueston WJ, Weiss BD. Respiratory Disorders. New York: McGraw-Hill; 2002. p. 893-909.

  • 10.    Ernst A, Silvestri GA, Johnstone D. Interventional pulmonary procedures, guidelines from the american college of chest physicians. Chest. 2003; 123:1693–

1717.

  • 11.    Häuβinger K, Becker H, Stanzel, et al. Autofluorescence bronchoscopy with white light bronchoscopy compared with white light bronchoscopy alone for the detection of precancerous lesion: a european randomised controlled multicentre trial. Torax. 2005; 60:496-503.

  • 12.    Li Y, Li X, Sui XZ, et al. Comparison of the autofluorescence bronchoscope and the white light bronchoscope in airway examination. Chinese Journal of Cancer. 2010; 29:1018-1022.

  • 13.    Wolf R. DAFE-diagnostic auto fluorescence endoscopy.(cited 2011 January). Availablenfrom: http://www.richard-wolf.com/bronchoscopy.html

  • 14.    Chhajed PN, Shibuya K, Hoshino, et al. A comparison of video and autofluorescence bronchoscopy in patients at high risk of lung cancer. Eur Respir J. 2005; 25:951-955.

  • 15.    Kusunoki Y, Imamura F, Uda H, et al. Early detection of lung cancer with laser-induced fluorescence endoscopy and spectrofluorometry. Chest. 2000; 118:1776–

1782.

  • 16.    Lee P, Van den Berg R, Lam S. Color fluorescence ratio for detection of bronchial dysplasia and carcinoma in situ. Clin Cancer Res. 2009; 15:4700-4705.

  • 17.    Sutedja TG, Codrington H, Risse EK, et al. Autofluorescence bronchoscopy improves staging of radiographically occult lung cancer and has an impact on therapeutic strategy. Chest. 2001; 120:1327-1332.

  • 18.    Sutedja G. New techniques for early detection of lung cancer. Eur Respir J. 2003; 21:57-66.

  • 19.    Swanson KL. Pulmonary Neoplasms. In: Habermann TM. Mayo Clinic Internal Medicine Board Review 2004-2005. Philadelphia: Wolter Kluwer Company; 2005. p. 893-909.

Gambar 1. Klasifikasi visual temuan AFB. Gambar di sebelah kiri : kelas 1, warna kuning-hijau; tengah : kelas 2, warna coklat; kanan: kelas 3, warna merah kecoklatan.15

Gambar 2. WLB, AFB dan histologi. (A) WLB. Beberapa titik lesi kemerahan ditemukan pada bagian atas bronkus paru kiri, dimana lokasi yang tepat dari tumor sulit ditentukan. (B) Pada AFB lokasi tumor dengan jelas teridentifikasi sebagai defek pada bifukarsio antara bronki B1+2 dan B3. (C) Temuan histologi dari spesimen transbronchial biopsy yang diperoleh pada bifukarsio antara bronki B1+2 dan B3. Histologi dari tumor tersebut adalah karsinoma sel skuamosa.

Tabel 1 Klasifikasi Visual Temuan Bronchoscopy.16

Kelas

Deskripsi Bronchoscopy

Autofluorescence

1/Normal

Tanpa abnormalitas visual.

Negatif (hijau).

2/Abnormal

Eritema,  pembengkakan,  atau  penebalan

mukosa bronkial, inflamasi saluran nafas, dan

Negatif (sedikit penurunan fluorescence/ warna coklat

fibrosis.

dengan batas tak tegas).

3/Suspicious

Nodular, lesi polypoid, mukosa bronchial ireguler, penebalan mukosa fokal curiga HGD*, CIS, atau karsinoma invasive.

Positif (penurunan definitif fluorescence/warna merah kecoklatan dengan batas yang tegas).

*HGD : high grade preinvasive lesions.

Tabel 2. Kapabilitas Diagnosis AFB dan WLB.12

Pemeriksaan

Sensitivitas (%)

Spesifisitas (%)

PPV (%)

NPV (%)

WLB

65,8

83,6

64,9

84,1

AFB

94,7

57,0

50,3

95,9

Tabel 3. Kapabilitas Diagnosis AFB dan WLB pada kanker paru tipe sentral.12

Pemeriksaan

Sensitivitas (%)

Spesifisitas (%)

PPV (%)

NPV (%)

WLB

76,6

86,3

79,0

84,5

AFB

100,0

60,0

62,7

100,0

Tabel 4. Kapabilitas Diagnosis AFB dan WLB pada tipe kanker paru yang berbeda.12

Patologi

Sensitivitas AFB (%)

Sensitivitas WLB (%)

Squamous lung cancer/SqCC

97,1

70,6

Adenokarsinoma

95,8

58,3

SCLC

81,8

63,6

Tabel 5. Perbandingan kapabilitas antara WLB dengan WLB+AFB untuk lesi malignant dan

premalignant.5

Statistik

WLB

WLB+AFB

Sensitivitas (%)

76,3

96,8

Spesifisitas (%)

57,1

56,1

PPV (%)

46,7

52,1

NPV (%)

83,1

97,2

Tabel 6. Perbandingan sensitivitas antara WLB dengan WLB+AFB pada tiap kelompok lesi.5

Diagnosis Patologi

WLB

WLB+AFB

No malignancy*

42,9

43,9

Premalignant lesion*

59,6

95,7

Malignancy*

93,5

97,8

no malignancy: epitel normal, bronkitis ; premalignant lesion : squamous metaplasia,

squamous dysplasia ; malignancy : CIS, kanker invasive.

19