PERAN ATYPICAL ANTIPSYCHOTIC DALAM MENURUNKAN PERILAKU AGRESIF PADA PASIEN SKIZOFRENIA

Juvita Novia Anggraini Maria

Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Skizofrenia merupakan gangguan psikiatri yang menunjukkan adanya perubahan pola pikir, persepsi, pikiran, dan perilaku suatu individu. Gejala skizofrenia dapat berupa gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif yang sering menjadi ketakutan tersendiri bagi masyarakat di sekitar individu skizofrenia adalah tindakan agresif pasien seperti tindakan kekerasan, bunuh diri, atau membunuh. Perilaku agresif terbagi dalam lima kelompok, yaitu impulsivity, affective instability, anxiety/hyperarousal, cognitive disorganization, predatory/planned aggression. Terapi farmakologi adalah salah satu terapi yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agresif pada pasien skizofrenia. Terapi dengan atypical antipsychotic menunjukkan keefektifan yang lebih besar dan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antipsychotic konvensional.

Kata kunci : skizofrenia, perilaku agresif, atypical antipsychotic.

THE ROLE OF ATYPICAL ANTIPSYCHOTIC DECREASING AGGRESIVENESS IN SCHIZOPHRENIA

ABSTRACT

Schizophrenia is a psychiatry disorder accompanying by alteration of mind-set, perception, thought, and behavior. Symptom of schizophrenia can be positive symptom and negative symptom. The positive symptom often became a fear for the others, that is aggresiveness as violance, suicide, ang homicide. Aggresiveness divided in five category, that is impulsivity, affective instability, anxiety/hyperarousal, cognitive disorganization, predatory/planned aggression. Pharmacology theraphy is a choice in decreasing aggresiveness in schizophrenia. Atypical antipsychotic theraphy indicate higher effectivity and fewer side effect than conventional antipsychotic.

Keyword : schizophrenia, aggresiveness, atypical antipsychotic.

PENDAHULUAN

Skizofrenia adalah sebuah sindrom klinis psikopatologi yang melibatkan pola pikir (cognition), emosi (emotion), pengamatan (perception), dan aspek perilaku lain. Kondisi ini biasanya berawal sebelum umur 25 tahun dan bisa terjadi pada semua kelas sosial. Pasien dan keluarga sering dikucilkan oleh masyarakat di sekitarnya karena ketidakpahaman tentang penyakit ini.1

Penyebab skizofrenia belum dapat dimengerti secara jelas. Beberapa riset menyatakan adanya peranan faktor biologi, psikologi, dan sosial. Faktor biologi meliputi hipotesis biologi tentang biokimia dan patologi otak serta identifikasi gen yang terlibat. Teori biokimia terfokus pada hipotesis dopamin, yaitu adanya masalah dalam regulasi neurotransmiter dopamin pada prefrontal cortex.2

Pengaruh faktor fisiologi dapat dibagi menjadi masalah fungsi kognitif dasar, seperti belajar, perhatian, memori, perencanaan, dan masalah pada proses emosi. Masalah fungsi kognitif ini berhubungan dengan struktur dan fungsi otak, sedangkan masalah pada proses emosi berhubungan dengan faktor sosial. Kedua faktor fisiologi tersebut berimplikasi terhadap munculnya gejala-gejala pada pasien skizofrenia.2

Pengaruh faktor sosial dan lingkungan ditunjukkan oleh beberapa bukti peningkatan risiko skizofrenia pada kelas sosial rendah, pengguna cannabis berat, 2

migrasi, trauma, dan hidup yang penuh tekanan.2

Pasien skizofrenia memiliki gangguan dalam mengontrol keinginan (impulse).

Mereka juga mengalami penurunan interaksi dengan lingkungannya. Keinginan (impulse) yang tidak terkontrol dapat memicu munculnya tindakan-tindakan agresif dan kekerasan terhadap dirinya sendiri maupun orang disekitarnya.1

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa skizofrenia merupakan salah satu top ten medical disorder yang menyebabkan disability. Kematian di antara orang-orang skizofrenia sekitar 50% lebih tinggi dari populasi umum, sebagian karena tindakan bunuh diri, tindakan kekerasan, dan sebagian lagi karena meningkatnya risiko masalah kesehatan fisik. Tingginya angka mortalitas dan disability menunjukkan penanganan yang diberikan pada pasien skizofrenia masih belum maksimal. Kurangnya pengetahuan para pengguna pelayanan kesehatan mental, baik pelayanan primer maupun sekunder, juga berpengaruh terhadap menurunnya harapan hidup pasien skizofrenia.2

PERILAKU AGRESIF PADA PASIEN SKIZOFRENIA

Skizofrenia merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyakit psikiatri mayor yang menyebabkan perubahan pola pikir, persepsi, pikiran, dan perilaku suatu individu. Skizofrenia biasanya diawali dengan masa prodromal yang ditandai adanya penurunan fungsi personal. Kesulitan yang dialami meliputi masalah memori dan konsentrasi, pemisahan dari lingkungan sosial, perilaku yang tidak biasa dan tidak berkarakter, gangguan komunikasi, higien yang buruk, dan berkurangnya motivasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.2

Masa prodromal selanjutnya diikuti oleh sebuah fase akut yang berupa gejala positif, meliputi halusinasi, delusi, gangguan perilaku seperti sikap bermusuhan, curiga, emosi yang meledak-ledak, dan berontak (agitation). Pada fase kedua yang merupakan resolusi dari fase akut, akan tampak penurunan atau hilangnya gejala positif, biasanya terjadi setelah mendapatkan beberapa penanganan. Pada beberapa orang kadang-kadang fase ini menyisakan sejumlah gejala negatif.3 Gejala negatif meliputi berkurangnya

emosi (affective flattening), menarik diri dari lingkungan sosial, kesulitan berfikir fokus, dan kurangnya spontanitas dalam percakapan (alogia).2,4 Fase ketiga ditandai adanya 2

eksaserbasi akut atau kekambuhan yang memerlukan intervensi lanjutan.2

Walaupun ini merupakan pola umum perjalanan skizofrenia, namun ada sejumlah individu yang tidak mengalami masa prodromal. Diawali dengan episode akut yang mendadak, selanjutnya sekitar 14-20% individu akan mengalami kesembuhan penuh dan sisanya akan membaik namun disertai kekambuhan. Kekambuhan dapat dipicu karena stres, penolakan masyarakat, dan isolasi.2

Gejala positif yang sering menjadi ketakutan tersendiri bagi masyarakat di sekitar individu skizofrenia adalah tindakan-tindakan agresif pasien, seperti tindakan kekerasan, bunuh diri, atau membunuh. Tidak ada variabel tunggal yang dapat menjelaskan perilaku kekerasan pada skizofrenia. Perilaku kekerasan ini dipengaruhi oleh banyak hal, yang meliputi interaksi antara perkembangan, pola pikir, dan sistem sosial-ekologi, termasuk riwayat hidup, status kesehatan, dan interaksi dengan lingkungan sosial di sekitar.3

Perilaku kekerasan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kekerasan minor (serangan ringan tanpa luka atau tanpa menggunakan senjata) dan kekerasan serius (serangan yang menyebabkan luka atau menggunakan senjata dan serangan seksual). Pengukuran ini dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari keluarga dan teman pasien. Kekerasan minor dan serius banyak ditemukan pada pasien yang level gejala positifnya lebih tinggi.3

Pasien yang memiliki level gejala negatif tinggi sangat berhubungan dengan penurunan tindakan kekerasan serius karena aktivasi inisiatif, organisasi psikomotor,

dan kontak sosial yang merupakan pemicu terjadinya kekerasan, tidak dimiliki oleh

pasien-pasien ini.3

Identifikasi Gejala Primer dari Perilaku Agresif

Gejala primer pasien skizofrenia berhubungan dengan struktur dan fungsi otak. Perkembangan otak merupakan proses berkelanjutan yang dipengaruhi oleh genetik, struktur fungsi otak, dan interaksi lingkungan. Semua pengaruh sosial mempengaruhi perkembangan otak dan semua konstruksi psikologi berpengaruh terhadap mekanisme otak. Pada anak-anak dan dewasa, kematangan perkembangan saraf merupakan pengatur dorongan (impulse), emosi (affect), cemas (anxiety), dan proses pikir (cognition) dari suatu individu.5

Para klinisi membagi gejala primer perilaku agresif menjadi lima kelompok, yaitu impulsivity (aksi cepat dan tanpa berpikir), affective instability (aksi menyerang hanya dengan sedikit provokasi), anxiety/hyperarousal (tindakan agresif karena kecemasan dan frustrasi yang berlebihan), cognitive disorganization (tindakan agresif yang membingungkan dan tidak terorganisasi), predatory/planned aggression (tindakan agresif yang direncanakan).5

Impulsivity

Impulsivity adalah kegagalan untuk menahan dorongan, keinginan, atau godaan, akibatnya reaksi cepat dan tidak terencana dapat muncul karena rangsangan internal atau eksternal. Subyek tidak dapat menunda aksinya dan tidak memikirkan situasi ataupun memperhitungkan konsekuensi dari tindakan yang dilakukannya. Subyek yang impulsive akan memilih reward kecil yang didapat dengan segera daripada reward yang lebih besar tapi dengan penundaan.5

Proses pembentukan perilaku dihubungkan oleh empat fungsi neuropsikologi, yaitu working memory, self-regulation, internalization of speech, dan reconstruction. Fungsi ini diproses di jaringan antara prefrontal cortex dan basal ganglia di fronto-striatal region. Orbitofrontal cortex berfungsi menahan ledakan impulsive dan ventromedial prefrontal cortex berperan dalam penundaan pemuasan keinginan. Selain orbitofrontal cortex, nucleus accumbens dan amygdala terlibat dalam menahan perilaku impulsive. Amygdala tidak terlibat dalam regulasi atau mediasi perilaku impulsive dan agresif, tetapi terlibat dalam pencocokan memori emosi yang digunakan untuk memutuskan tindakan berdasar pengalaman.5

Serotonin memiliki peran utama pada terjadinya impulsivity, dengan efek terbesar pada orbitofrontal dan cingulate cortex, namun neurotransmisi serotonin sangatlah kompleks. Impulsivity juga dipengaruhi oleh hubungan (interconnection) antara noradrenergic, dopaminergic, glutaminergic, dan sistem gamma-aminobutyric acid (GABA). Gen dan reseptor serotonin spesifik lebih banyak terlibat dalam pembentukan tindakan agresif daripada yang lain. Kekurangan reseptor serotonin 5-HT1B dapat meningkatkan impulsivity. Oleh karena itu, reseptor 5-HT1B disarankan sebagai target farmakologi untuk mengurangi perilaku agresif impulsive.5

Affective Instability

Affective instability adalah gangguan pengaturan emosi yang ditunjukkan sebagai reaksi berlebihan terhadap kegagalan atau kekecewaan, dalam bentuk kemarahan dan tindakan agresif. Pada anak-anak dan dewasa, affective instability biasanya terjadi secara cepat dan mudah muncul kembali. Pengaturan emosi digambarkan sebagai kemampuan untuk mengatur kewaspadaan dan intensitas reaksi emosi.5

Pengaturan emosi melibatkan kompleks sirkuit saraf, termasuk orbital frontal cortex, amygdala, anterior cingulate, dan cerebellum. Pengaturan emosi juga melibatkan sistem saraf otonom dan neurotransmiter, khususnya serotonin. Neurobiologi dari emosi dibagi menjadi sistem ventral dan sistem frontal. Sistem ventral meliputi amygdala, insula, ventral striatum, ventral anterior cingulate, dan prefrontal cortex untuk identifikasi emosi terhadap suatu rangsangan dan pengaturan otomatis emosi. Sistem dorsal berperan dalam pengaturan affective, meliputi hippocampus, dorsal anterior cingulate, dan prefrontal cortex.5

Neuromodulator yang terlibat dalam pengaturan affective sama seperti pada gejala lain. Serotonin terlibat dalam pengontrolan impulse dan affect. Sistem GABA terlibat dalam stabilisasi affective.5

Anxiety/Hyperarousal

Ketakutan adalah mekanisme protektif sebagai respon adaptif terhadap rangsangan yang mengancam, sedangkan kecemasan (anxiety) adalah respon emosi akibat rangsangan yang mengancam, walaupun tidak ada bahaya langsung. Kecemasan masih merupakan bagian dari respon normal, sampai muncul kecemasan yang sulit ditoleransi. Kecemasan berlebihan yang sulit ditoleransi akan menimbulkan sikap agresif pada diri sendiri atau orang lain, gangguan tidur, kesulitan berkonsentrasi, mudah tersinggung, terlalu berjaga-jaga (hypervigilance), dan respon terkejut yang berlebihan. Sering kali, subyek merasa aksi agresif yang dilakukannya dapat meringankan kecemasan yang mereka rasakan.5

Sumbu limbic-hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) mempunyai peran vital dalam merespon stres. Ketika stres diterima pada level sistem limbic, hipotalamus mengeluarkan corticotropin-releasing factor (CRF), yang akan menstimulasi pelepasan

glukokortikoid dari adrenal, yang kemudian akan memberikan feedback negatif

terhadap sistem limbic dan hipotalamus.5

Hippocampus memiliki efek menghambat HPA. Namun, hippocampus adalah area yang sensitif terhadap stres karena banyaknya jumlah reseptor glukokortikoid. Amygdala berpengaruh pada perkembangan emosi, pola motorik nonverbal, respon fight-or-flight, deteksi ancaman, serta produksi rasa takut dan rasa cemas. Paparan kortisol jangka panjang dapat menekan metabolisme serotonin dan menurunkan regulasi reseptor 5-HT1A dan 5-HT2 dalam sistem limbic.5

Sistem serotonin merupakan kunci regulasi CNS dalam mengatur emosi internal (cemas, takut, depresi, agresif), mengontrol tidur, dan mengatur motivasi. Noradrenergic cell bodies terletak di locus coeruleus, hippocampus, amygdala, dan struktur limbic lain di otak. Paparan stres dapat meningkatkan noradrenergic pada otak, yang memunculkan gejala peningkatan kewaspadaan (hyperarousal). Penanganan pada hyperarousal akan memperbaiki level kecemasan, konsentrasi, suasana hati (mood), dan perilaku impulsif.5

Cognitive Disorganization

Delusi, psikosis, abuse dapat menyebabkan pola pikir yang tidak terorganisasi (cognitive disorganization) dan perilaku agresif. Delusi dan psikosis sering terjadi pada skizofrenia, gangguan suasana hati (mood disorder), gangguan kepribadian (personality disorder), retardasi mental, dan cedera otak. Pada episode pertama psikosis (cognitive disorganozation) sebagian besar subyek akan menunjukkan perilaku agresif, baik verbal, fisik, atau pun kekerasan.5

Studi imaging menunjukkan penurunan volume gray matter pada struktur jaringan lunak, khususnya di lobus medial temporal (hippocampus dan amygdala) dan bagian yang berhubungan dengan neocortex (prefrontal dan superior temporal). Hippocampus dan prefrontal cortex berpengaruh terhadap pengkodean, penyimpanan, dan pemanggilan memori. Amygdala berpengaruh pada memori emosi, deteksi terhadap ancaman, dan produksi rasa takut, yang akan menimbulkan gejala-gejala agresif. Berkurangnya volume amygdala pada pasien skizofrenia menyebabkan munculnya gejala cognitive disorganization ini.5

Peranan dopamin sebagai neuromodulator psikosis ditunjukkan pada pemberian agen psikostimulan yang menyebabkan pelepasan dopamin, sehingga menyebabkan psikosis, yang dapat diatasi dengan pemberian agen dopamine-blocking. Studi neuroimaging mengkonfirmasi bahwa pasien skizofrenia memiliki peningkatan sintesis dopamin.5

Predatory Aggression

Predatory aggression mungkin merupakan subtipe agresif yang paling sulit diatasi karena tindakannya telah direncanakan terlebih dulu dan diputuskan secara sadar. Gejala klinis dari subtipe ini sering nampak pada pasien dengan gangguan perilaku (conduct disorder).5

Tipe agresif ini melibatkan jalur saraf pada midbrain, hipotalamus lateral, thalamus, hippocampus, amygdala, dan prefrontal cortex. Studi imaging untuk neurobiologi tindakan agresif yang terencana ini menunjukkan adanya signaling subcortical yang hiperaktif, yang memicu tindakan agresif.5

Dopamin merupakan neuromodulator perilaku predatory aggression. Dopamin pada ventral tegmental dan subtantia nigra memproses rangsangan untuk mendapat hadiah (rewarding stimuli).5

Bagian-bagian otak yang berpengaruh terhadap perilaku agresif dirangkum secara ringkas pada tabel 1.

ATYPICAL ANTIPSYCHOTIC

Saat ini antipsychotic merupakan terapi primer untuk pasien skizofrenia. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya bukti tentang efisiensi antipsychotic untuk psikotik episode akut maupun untuk mencegah kekambuhan. Namun angka signifikan dari pengguna antipsychotic, yaitu sebesar 40% melaporkan adanya respon yang buruk terhadap obat antipsychotic konvensional (typical) dan beberapa pasien menunjukkan gejala psikotik 2

lanjutan sedang hingga berat, baik gejala positif maupun negatif.2

Antipsychotic konvensional (typical atau first generation antipsychotic) menunjukkan insiden yang tinggi dan efek samping yang luas, meliputi lethargy, sedation, peningkatan berat badan, dan disfungsi seksual. Gangguan gerak (movement disorder) seperti parkinsonism, akathisia, dystonia, atau sering disebut acute extrapyramidal side effect (EPS) juga sering terjadi. Efek samping jangka panjang yang serius adalah tardive dyskinesia, terjadi pada 20% pasien yang menerima antipsychotic konvensional (typical). EPS onset lambat ditandai adanya gerakan abnormal yang tidak 2 disadari pada bibir, dagu, lidah, otot-otot wajah, anggota gerak, dan badan.2

Respon yang buruk serta efek samping yang muncul pada penggunaan antipsychotic konvensional (typical) menyebabkan banyak yang beralih menggunakan obat yang lebih sedikit efek samping, yaitu second generation antipsychotic. Second

generation antipsychotic atau atypical antipsychotic memiliki kelebihan sedikit menimbulkan acute EPS dan tardive dyskinesia. Namun pada prakteknya harus diperhatikan efek samping yang lain seperti peningkatan berat badan dan masalah metabolik yang berhubungan dengan meningkatnya risiko diabetes tipe 2 dan penyakit 2

kardiovaskuler.2

Obat yang diklasifikasikan dalam atypical antipsychotic yaitu clozapin, olanzapine, quetiapine, risperidone, ziprasidone, amisulpride, zotepine, dan sertindole. Antipsychotic konvensional meliputi phenothiazine, butyrophenone, substituted benzamide, thioxanthine, dan golongan lainnya.4(tabel 2)

Optimisme para psikiater dalam memilih antipsychotic, 97% dilaporkan lebih sering menggunakan atypical antipsychotic untuk terapi skizofrenia dan 3% menggunakan antipsychotic konvensional. Dengan persentase penggunaan atypical antipsychotic, risperidone sebesar 50%, diikuti olanzapine 34%, quetiapine 7%, atypical antipsychotic terbaru ziprasidone dan aripiprazole dipilih kurang dari 5%, serta clozapine kurang dari 1%.6

Farmakokinetik Atypical Antipsychotic

Atypical antipsychotic diabsorbsi dan didistribusi setelah administrasi per oral. Administrasi intramuskular diindikasikan untuk pasien yang tidak kooperatif dengan pemberian per oral atau pasien yang membutuhkan tindakan cepat untuk menangani gejala.4 Atypical antipsychotic merupakan substansi lipophilic dan diperlukan penetrasi ke blood-brain barrier untuk mencapai efek therapeutic. Obat ini berikatan dengan banyak komponen jaringan tubuh dan bersatu menjadi jaringan adiposa. Atypical antipsychotic memiliki volume distribusi yang besar yaitu lebih dari 1.0 L/kg. Studi dosis tunggal menunjukkan obat ini mengalami penurunan saat memasuki bagian-

bagian tubuh dan selanjutnya akan dieliminasi secara perlahan. Respon terapi obat akan nampak selama proses absorpsi dan distribusi untuk berikatan dengan berbagai macam reseptor dalam tubuh. Sebagian besar antipsychotic didistribusi dengan berikatan dengan albumin dan α1-acid glycoprotein.

Pada studi Positron Emission Tomography (PET), risperidone, quetiapine, olanzapine, ziprasidone menunjukkan pendudukan reseptor 5-HT2a lebih tinggi dari pendudukan reseptor D2, hubungan ini merupakan biomarker khusus untuk atypical 7 antipsychotic.

Atypical antipsychotic dimetabolisme oleh cytochrome P450 isoenzyme di liver, contoh CYP 2D6 memetabolisme zuclopenthixol dan risperidone, CYP 3A4 memetabolisme risperidone dan sertindole, CYP 1A2 memetabolisme olanzapine dan clozapine.4,7

Farmakodinamik Atypical Antipsychotic

Target atypical antipsychotic adalah reseptor dopamin, yang berperan utama sebagai pencetus munculnya perilaku agresif. Penggunaan atypical antipsychotic sebagai terapi perilaku agresif karena aksi lebih spesifik pada reseptor D2 dan memblok reseptor 5-HT2a.5 Memblok reseptor D2 untuk menurunkan gejala positif dan antagonis terhadap reseptor serotonin (5-HT2a) untuk menurunkan gejala negatif.7 Proses perbaikan ini terjadi dengan menyeimbangkan dopamin, yang secara signifikan berperan dalam aktivasi dan pencetus perilaku, serta dengan menghambat serotonin.5

Atypical antipsychotic menunjukkan peningkatan volume striatum, merubah morfologi sinaps, ekspresi gen, dan sintesis protein pada striatum, menurunkan

metabolisme dalam hippocampus, dan cortico-striato-thalamic circuits. Penurunan

metabolisme diharapkan mampu mengurangi gejala halusinasi dan delusi.5

Atypical antipsychotic sebagai antagonis reseptor dopamin D2 tampak memiliki afinitas lebih baik terhadap sistem mesolimbic (memproduksi efek antipsychotic) daripada sistem nigrostriatal (berhubungan dengan efek motorik yang tidak diinginkan).4

Clozapine memiliki efisiensi lebih besar dibanding olanzapine, dan olanzapine memiliki efisiensi yang lebih besar dibanding haloperidol (antipsychotic konvensional) dalam mengurangi perilaku agresif. Hal ini terjadi karena perbedaan aktivitas reseptor serotonergik atau adrenergik. Selektivitas limbic terhadap clozapine dan olanzapine yang lebih besar dari haloperidol memberikan efek yang lebih besar dalam menormalkan fungsi serotonergik dan menimbulkan efek antiagresif.8

Efek Samping Atypical Antipsychotic

Atypical antipsychotic menyebabkan lebih sedikit extrapyramidal side effect (EPS) karena lebih sedikit memblok reseptor D2 di nigrostriatal. Namun, extrapyramidal side effect (EPS) tampak pada penggunaan risperidone (8-12 mg / hari) dan olanzapine (> 20 mg / hari).4

Clozapine dan olanzapine merupakan obat yang paling banyak menyebabkan efek anticholinergic dan peningkatan berat badan (gangguan toleransi glukosa), sedangkan quetiapine memiliki efek sedatif. Disfungsi seksual dan masalah kulit terjadi pada sedikit pasien yang menggunakan atypical antipsychotic. Risperidone dan amisulpride memiliki efek meningkatkan konsentrasi prolaktin dan menyebabkan galactorrhoea.4

Clozapine yang dipakai pada pasien yang resisten dan untuk penanganan kasus berat dapat menyebabkan hipotensi dan takikardi, serta kejang pada 3-5% pasien yang mengkonsumsi lebih dari 600 mg / hari, serta risiko agranulocytosis. Clozapine yang diberikan tanpa monitoring yang teratur dapat menyebabkan kematian yang tidak terduga. Oleh karena itu, monitoring sangatlah diperlukan untuk mengurangi angka kematian.4

PERAN ATYPICAL ANTIPSYCHOTIC DALAM MENURUNKAN PERILAKU AGRESIF PADA PASIEN SKIZOFRENIA

Atypical antipsychotic memiliki tiga keunggulan bila dibandingkan antipsychotic konvensional, yaitu efek samping atypical antipsychotic lebih dapat ditoleransi seperti sedikitnya extrapyramidal side effect (EPS) dan hiperprolaktinemia, hal ini dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Keunggulan kedua yaitu atypical antipsychotic lebih efektif dalam mengurangi gejala negatif. Dan yang ketiga, clozapine lebih efektif daripada antipsychotic konvensional untuk skizofrenia yang resisten. Kelemahan atypical antipsychotic adalah harganya yang sangat mahal bila dibandingkan antipsychotic konvensional, hal ini yang sering menjadi dilema dalam pengobatan skizofrenia.4

Penanganan yang konsisten dengan atypical antipsychotic dapat menurunkan risiko perilaku agresif di antara pasien skizofrenia. Atypical antipsychotic dapat menurunkan risiko kekerasan dengan beberapa mekanisme alternatif. Neurotransmiter (contoh: dopamin, serotonin, norepinefrin) berimplikasi terhadap perilaku agresif. Efek farmakologi menurunkan perilaku ini dengan menghambat impuls kekerasan atau dengan mengurangi gejala delusi dan halusinasi.9

Analisis cross-sectional terhadap tipe pengobatan dan kekerasan menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan tertinggi terjadi pada kelompok pasien yang tidak mendapat antipsychotic selama lebih dari enam bulan. Angka yang lebih rendah terjadi pada kelompok pasien yang menggunakan pengobatan antipsychotic konvensional dan prevalensi yang paling rendah terjadi pada pasien yang menggunakan atypical antipsychotic.9(tabel 3)

RINGKASAN

Skizofrenia merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyakit psikiatri mayor yang menyebabkan perubahan pola pikir, persepsi, pikiran, dan perilaku suatu individu.

Gejala skizofrenia dapat berupa gejala positif dan gejala negatif. Gejala-gejala tersebut muncul karena ada peningkatan aktivitas serotonergik dan dopaminergik, yang dapat berupa peningkatan reseptor dopamin D2 di otak, peningkatan sensitifitas reseptor, produksi dopamin yang berlebihan atau berkurangnya destruksi karena kekurangan enzim.

Terapi farmakologi adalah salah satu terapi yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agresif pada pasien skizofrenia. Terapi dengan atypical antipsychotic menunjukkan keefektifan yang lebih besar dan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antipsychotic konvensional. Efek terapi atypical antipsychotic yaitu memblok reseptor D2 untuk menurunkan gejala positif dan antagonis terhadap reseptor serotonin (5-HT2a) untuk menurunkan gejala negatif. Atypical antipsychotic yang sering digunakan yaitu risperidone, olanzapine, quetiapine, dan clozapine.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Sadock BJ, Sadock VA. Schizophrenia. In: Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry : behavioral sciences/clinical psychiatry. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

  • 2.    The National Institute for Health and Clinical Excellence. Core intervention in the treatment and management of schizophrenia in primary and secondary care (update). 2009. p.17-25.

  • 3.    Swanson JW, Swartz MS, Van Dorn RA, Elbogen EB, Wagner HR, Rosenheck RA, et al. A nation study of violent behavior in person with schizophrenia. Arch Gen Psychiatry. 2006;63:490-499.

  • 4.    Bannett PN, Brown MJ. Psychotropic. In: Clinical Pharmacology. 9th ed. London:Elsevier; 2003.

  • 5.    Sugden SG, Kile SJ, Hendren RL. Neurodevelopmental pathways to aggression: a model to understand and target treatment in youth. J neuropsychiatry Clin Neurosci. 2006;18:302-317.

  • 6.    Arbuckle MR, Gameroff MJ, Marcus SC, West JC, Wilk J, Olfson M. Psychiatry opinion and antipsychotic selection in the management of schizophrenia. Psychiatric Service. 2008;59(5):561-565.

  • 7.    Perel JM, Jann MW. Antipsychotics. In: Burton ME, Schentag JJ, Shaw LM, Evans WE (eds). Applied Pharmacokinetiks & Pharmakodynamics. 3rd ed. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.

  • 8.    Krakowski MI, Czobor P, Citrome L, Bark N, Cooper TB. Atypical antipsychotic agents in the treatment of violent patient with schizophrenia and schizoaffective

disorder. Arch Gen Psychiatry. 2006;63:622-629.

  • 9.    Swanson JW, Swartz MS, Elbogen EB. Effectiveness of atypical antipsychotic medication in reducing violent behavior among person with schizophrenia in community-based treatment. Schizophrenia Bulletin. 2004;30(1):3-20.

Brain Region

Associated Behaviors

Cerebellum

Temporal lobe

Amygdala Hippocampus Superior temporal gyrus

Interval timing, attention, memory

Memory affect

Conditioned emotional memory and response, fear, anxiety

Explicit memory

Basal Ganglia

Complex auditory and language

Relay station, dopamine and serotonin rich

Thalamus

Filtering, gating, processing, relaying information

Prefrontal Cortex Dorsolateral Orbitofrontal Medial

Anterior Cingulate Hvpothalamus

Executive function, dopamine rich planning, flexibility, motivation Inhibition

Resp>onse conflict

Emotional processing, decision making

Autonomic nervous system, appetite, rage, sexual drive

Tabel 1. Bagian-bagian otak yang terlibat perilaku agresif.

Atypical antipsychotic

Antipsychotic konvensional

Clozapine Olanzapine Quetiapine Risperidone Ziprasidone Amisulpride

Zotepine Sertindole

Phenothiazine

Butyrophenone Substituted benzamide Thioxanthine Golongan lainnya

Tabel 2. Obat antipsychotic

Predominant medication type during year

Violence odd a ratio

95% confidence Interval

No antipsychotic ≥90 days (comparison)

1.00

Conventional antipsychotic

0.*θ

(023-1.03}-

Atypical antipsychotic

0.26

(0.10-0.67)"

Note.—Chi-square = 8.57 with 2 Otlp . 0.01); -2 log likelihood - 232.03. Variance explained by modal: Pseudo R2 = 0.04. Rank correlation predicted to observed: C ■ 0.62.

'ρ < OJO; “ ρ^ o.oι

Tabel 3. Analisis cross-sectional antara tipe pengobatan dan perilaku kekerasan

dalam 1 tahun (n=229).

19