HUBUNGAN ANTARA DEPRESI, CEMAS DAN SINDROM KORONER AKUT

Made Widiyanti

Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Gangguan depresi dan cemas memiliki prevalensi tinggi pada pasien dengan sindrom koroner akut. Penelitian telah menunjukkan bahwa depresi juga merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap penyakit jantung kasus baru dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. Meskipun prevalensinya tinggi dan memiliki efek serius, gejala depresi dan cemas seringkali tidak dikenali dan tidak diterapi pada sebagian besar pasien sindrom koroner akut dan beberapa gejalanya menetap selama berbulan - bulan. Terapi standar untuk gangguan ini aman, dapat ditoleransi baik dan efektif untuk populasi ini; sebenarnya, selective serotonin reuptake inhibitors dapat memperbaiki hasil dari gangguan jantung. Tujuan tulisan ini kelak dapat menambah pengertian yang lebih baik mengenai efek kombinasi dari depresi dan cemas, sama halnya dengan penelitian prospektif mengenai pengaruh terapinya terhadap hasil gangguan jantung.

Kata kunci : sindrom koroner akut, cemas, depresi

THE RELATIONSHIP BETWEEN DEPRESSION, ANXIETY AND ACUTE CORONARY SYNDROME

ABSTRACT

Depression and anxiety occur at high prevalence in patients with acute coronary syndrome. Studies have shown that depression is also a significant risk factor for new cases of heart disease and can increase the morbidity and mortality of heart disease. Despite the high prevalence and have serious effects, the symptoms of depression and anxiety are often unrecognized and untreared in mostly patients with acute coronary syndrome and some of the symptoms during months. The standard therapy for this disorder is safe, well tolerated and can be effective for this population; in fact, the selective serotonin reuptake inhibitors can improve the outcome of the disorder of the heart. The purpose of this paper would adding a better sense about the effect of the combination of depression and anxiety, as well as with prospective research about the influence of therapy on the results of the heart disorder.

Keyword : acute coronary syndrome, anxiety, depression

PENDAHULUAN

Depresi dan cemas umumnya terjadi pada sebagian besar pasien yang menderita sindrom koroner akut atau kelainan kardiovaskuler lainnya. Walaupun sering, sindrom psikiatri tersebut tidak dikenali dan dapat menetap selama berbulan -bulan hinggga beberapa tahun, yang secara nyata mempengaruhi kualitas hidup mereka. Depresi dan cemas memiliki keterkaitan dengan hasil negatif terhadap jantung pada pasien dengan kelainan jantung akut. Untungnya terapi yang aman dan efektif telah ada untuk gangguan depresi dan cemas pada pasien - pasien ini, dan evaluasi yang sistematik pada pasien jantung yang memiliki gejala psikiatri menunjukkan perbaikan hasil secara nyata.1

TEORI-TEORI DAN KONSEP

Sindrom Koroner Akut

Definisi

Penyakit kardiovaskuler adalah penyebab kematian nomor satu di dunia. Sindrom koroner akut adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil (unstable angina/UA), infark miokard tanpa elevasi segmen ST (non-ST elevation myocardial infarction/NSTEMI), dan infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI). Angina pektoris tidak stabil dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui penanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila penanda biokimia ini tidak

meninggi, maka diagnosis adalah unstable angina (UA).2 Pasien - pasien dengan penyakit kardiovaskuler, unstable angina (UA), dan infark miokard mengalami kondisi yang berat, mengancam nyawa yang diakibatkan oleh iskemia miokard secara tiba - tiba (kehilangan aliran darah ke otot jantung, disertai dengan kehilangan oksigen ke sel - sel jantung (gambar 1).1,2

Epidemiologi dan Patofisiologi

Setiap tahun, lebih dari satu juta penduduk Amerika menderita sindrom koroner akut. Faktor risiko sindrom koroner akut meliputi jenis kelamin (pria sedikit lebih tinggi risikonya), usia (pria > 45 tahun dan wanita > 55 tahun), riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler, dan faktor risiko yang dimodifikasi.1 Faktor risiko yang dimodifikasi meliputi hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus, gaya hidup sedentari, dan merokok.1,2 Disamping faktor risiko tersebut, terdapat faktor yang secara nyata dapat meningkatkan terjadinya kelainan jantung yaitu faktor - faktor psikologi, khususnya depresi dan cemas, yang dapat berperan penting terhadap perkembangan dan penyebaran penyakit jantung.3 Selanjutnya, beberapa penelitian menyatakan bahwa depresi memiliki keterkaitan yang kuat terhadap hasil dari penyakit jantung.1,3

Secara patofisiologi, penyebab terbanyak sindrom koroner akut adalah kerusakan dari plak aterosklerotik yang telah ada sebelumnya. Plak aterosklerotik memicu terjadinya sindrom koroner akut yang bersifat relatif nonobstruktif sebelum menjadi sindrom koroner akut, dengan predisposisi rupturnya plak 2 menjadi faktor memperberat karena penonjolan ke lumen koroner.2

Gambar 1 Patofisiologi Sindrom Koroner Akut1,2

Singkatan : CPK-MB, creatinine phosphokinase-MB

Plak aterosklerotik kaya lipid

robek

Pembentukan clot darah dalam arteri koroner

  • ▼ oklusi pembuluh darah

Penurunan oksigenasi ke area lokal jantung

Abnormalitas penanda                          tanpa abnormalitas

jantung                                  penanda jantung

(CPK-MB, troponin)           sindrom koroner

akut

Infark Miokard Akut

Unstable angina


Karakteristik plak aterosklerotik “sensitif” yang kaya akan lipid (berisi jaringan nekrotik dan sampah inflamasi), sejumlah besar sel - sel inflamasi (seperti makrofag), fibroblas, dan fibrous cap tipis yang memisahkan plak dengan darah. Pemicu biologis dan psikologi dapat membuat pecahnya fibrous cap, yang nantinya dapat memicu kelainan jantung asimtomatik hingga kematian jantung 2 mendadak.2

Saat plak tersebut pecah, peristiwa inflamasi dan jalur pletelet memicu

terbentuknya trombus, suatu clot darah pada permukaan plak yang mengakibatkan sumbatan arteri koroner. Faktor - faktor yang mempengaruhi proses ini meliputi ukuran dan keparahan pecahnya plak, begitu juga dengan derajat respon biologis 2 terhadap pecahnya plak, yang meliputi repon platelet dan aktivasi koagulasi.2

Jika trombosis koroner sudah terbentuk, aliran darah ke area jantung akan berkurang atau dihambat sehingga terjadilah iskemia miokard. Lebih dari itu, iskemia miokard yang dalam hal ini sindrom koroner akut tidak hanya mengakibatkan hambatan pembuluh darah koroner epikardium tapi juga embolisasi platelet hingga mempengaruhi resistensi mikrovaskuler.2 Pada iskemia miokard akut, tanda dan gejala klasik dapat berupa dada terasa berat yang menjalar ke rahang, lengan, diaforesis dan sesak napas.1,2

Diagnosis pasien - pasien yang dicurigai sindrom koroner akut ialah dengan evaluasi elektrokardiografi (EKG) 12-sadapan. Perubahan yang terjadi pada EKG berupa segmen ST naik atau turun, disebut iskemia koroner berat (ST-depression) atau jejas miokard (ST-elevation). Jika sindrom koroner akut menyebabkan kematian sel jantung, secara tipikal dideteksi dengan tes yang sensitif terhadap kematian sel miokard (seperti troponin serum), yaitu pada infark miokard. Disamping untuk diagnosis infark miokard, troponin serum juga dapat memprediksi risiko kekambuhan infark miokard, sama halnya dengan kematian. Peningkatan troponin pada pasien - pasien sindrom koroner akut seharusnya 2 diterapi lebih agresif.2

Terapi akut tipikal untuk pasien sindrom koroner akut meliputi pemberian oksigen, aspirin, beta adrenergic blocking agents, high dose lipid lowering

agents, antikoagulan seperti heparin, nitrogliserin, dan atau morfin sulfat untuk

meringankan gejala. Obat - obatan antitrombotik yang lebih agresif seperti clopidogrel (antiplatelet oral) dan atau platelet glycoprotein antagonist juga telah digunakan secara luas.1,2

Tujuan terapi akut adalah menghilangkan gejala, menormalkan gambaran EKG dan mencegah komplikasi. Disamping terapi medikamentosa, pasien (khsusnya yang menderita infark miokard dengan ST-elevation) akan menjalani terapi reperfusi. Umumnya, pasien akan menjalani kateterisasi jantung emergensi dengan bantuan angiografi koroner untuk mengidentifikasi area stenosis dalam sistem arteri koroner. Pada area yang sempit tersebut kemudian akan didilatasikan menggunakan balloon angioplasty, yang umumnya juga ditambahkan suatu coronary stent. Pada keadaan tidak tersedianya fasilitas kateterisasi, reperfusi juga dapat dilakukan dengan agen fibrinolitik, obat yang dapat menghancurkan trombosis intrakoroner, meskipun keberhasilan agen fibrinolitik masih lebih rendah dibandingkan dengan angioplasty dan pemasangan stent.1

Apabila gejala - gejala akut sindrom koroner akut telah dapat dikurangi, intervensi medis yang penting berikutnya adalah untuk mengurangi risiko komplikasi dan kekambuhan dengan menggunakan medikamentosa seperti beta -blockers, angiotensin - converting enzyme inhibitors, cholesterol - lowering agents, dan agen antiplatelet (aspirin, clopidogrel). Gaya hidup dan faktor risiko yang dimodifikasi juga dilakukan intervensi.1

Pasien Depresi dan Cemas dengan Penyakit Jantung Akut

Pada kebanyakan pasien dengan penyakit jantung, depresi merupakan keadaan yang umum terjadi, persisten dan kurang disadari. Sindrom depresi mayor (Tabel 1) ditemukan pada sekitar 15% pasien dengan penyakit jantung, termasuk sindrom koroner akut. Angka tersebut secara bermakna lebih tinggi daripada yang terlihat pada populasi secara umum (4-5%) atau pasien perawatan primer (8-10%). Penyakit jantung dapat memiliki keterkaitan dengan gangguan nafsu makan, konsentrasi, tidur, dan energi, depresi yang nyata (dengan mood depresi yang persisten atau anhedonia) merupakan konsekuensi yang tidak normal dari penyakit jantung.1,4

Kriteria Episode Depresi Mayor1

  • A.    Lima (atau lebih) gejala berikut hadir dominan dalam sehari, hampir setiap hari, selama periode dua minggu; paling tidak satu dari gejala depresi berikut: 1. mood depresi

  • 2.    ditandai penurunan ketertarikan atau aktivitas

  • 3.    penurunan atau peningkatan nafsu makan, atau kehilangan berat badan yang signifikan atau berat badan bertambah

  • 4.    insomnia atau hipersomnia

  • 5.    agitasi atau retardasi psikomotor

  • 6.    fatigue atau hilangnya energi

  • 7.    gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

  • 8.    konsentrasi dan perhatian berkurang

  • 9.    gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

  • B.    Gejala - gejala yang signifikan menyebabkan distres atau gangguan dalam

fungsi sosial, pekerjaan, atau bidang - bidang penting lainnya.

  • C.    Gejala - gejalanya tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu substansi (seperti, penyalahgunaan obat), seorang dalam kondisi medis tertentu (seperti, hipotiroidisme).

Dibandingkan dengan reaksi transien terhadap penyakit jantung, depresi pada pasien - pasien jantung seringkali sifatnya kronik dan kambuh. Dua penelitian telah menemukan bahwa gejala - gejala depresi itu stabil selama bertahun tahun menyertai infark miokard, dengan sedikit pengurangan gejala selama periode tersebut pada pasien yang tidak diterapi. Meskipun depresi menetap pada penelitian kohort ini, depresi seringkali tidak diketahui dan diterapi pada mayoritas pasien dengan sindrom koroner akut. Pada penelitian di unit penyakit jantung menemukan bahwa dokter lini depan tidak mampu mengidentifikasi adanya depresi pada pasien pasca infark miokard, dan pasien depresi yang diterapi hanya mencapai < 15%.1

Cemas juga umum terjadi pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler akut. Peningkatan level cemas yang dilaporkan sendiri mencapai 20%-50% pada pasien dengan infark miokard akut, dengan seperempatnya mengalami gejala cemas yang sama dengan yang dialami pasien di unit psikiatri. Cemas seringkali menetap setelah kelainan jantung dan pada pasien sindrom koroner akut dapat mengalaminya setelah 2 tahun kemudian. Temuan bahwa pasien dengan penyakit jantung koroner stabil memiliki level cemas yang lebih tinggi dibandingkan populasi general, dengan prevalensi mulai dari 16% hingga 42%.1,3,4

Disamping peningkatan level cemas yang diukur dengan skala cemas,

gangguan cemas formal lebih umum terjadi pada pasien - pasien jantung dibandingkan populasi general. Satu penelitian cross sectional yang memakai struktur diagnosis wawancara menemukan bahwa 36% pasien memenuhi kriteria gangguan cemas saat evaluasi dan 45% memiliki riwayat gangguan cemas selama hidupnya. Gangguan cemas general terjadi pada lebih dari 24% pasien dengan penyakit jantung dan gangguan panik juga secara bermakna meningkat pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler, dimana 50% pasien jantung mengalami gangguan panik aktif. Sama dengan depresi, cemas pada pasien pasca sindrom koroner akut sering tidak diketahui dan diterapi oleh dokter lini depan di unit perawatan jantung. 1,4

Hubungan antara Depresi, Cemas, dan Hasil Negatif Terhadap Jantung Pada Pasien yang Menderita Kelainan Iskemia Akut

Terdapat bukti esensial yang menyatakan bahwa depresi sendiri terkait dengan hasil negatif terhadap jantung selama terjadinya penyakit jantung. Depresi pada orang sehat tanpa penyakit jantung dikaitkan dengan perkembangan penyakit arteri koroner. Diantara pasien dengan penyakit jantung, depresi terkait dengan progres penyakit jantung.1,4

Pasien depresi dengan sindrom koroner akut memiliki hasil yang kurang baik dibandingkan dengan pasien yang tanpa gejala depresi. Depresi pasca infark miokard berhubungan dengan perburukan kesehatan yang mengakibatkan perburukan kualitas hidup, kekambuhan kelainan jantung, dan mortalitas.1 Suatu penelitian longitudinal baru - baru ini terhadap depresi pasca sindrom koroner akut menemukan bahwa batasan keparahan depresi beberapa minggu setelah

sindrom koroner akut berisiko kuat terhadap mortalitas kira - kira 7 tahun setelah

indeks kejadian. 1,4

Cemas juga memiliki keterkaitan dengan hasil negatif dari jantung pada spektrum penyakit jantung. Orang dengan peningkatan cemas berisiko tinggi terhadap perkembangan penyakit jantung koroner dibandingkan orang yang tidak cemas.4 Khususnya, khawatir merupakan komponen cemas yang terkait dengan penyakit jantung. Di antara pasien dengan penyakit kardiovaskuler akut, populasi pasien tersebut paling rentan terhadap kejadian jantung katastropik dan komplikasi, beberapa penelitian menemukan bahwa peningkatan cemas setelah infark miokard memiliki hubungan tersendiri dengan komplikasi pasien jantung yang dirawat inap.1,4

Singkatnya, depresi dan cemas tampak memiliki hubungan dengan hasil lanjutan kardiovaskuler diantara pasien dengan penyakit jantung iskemia; depresi, khususnya, tampak jelas terkait dengan kelainan jantung dalam jangka pendek dan jangka panjang.1,3,4

Mekanisme Potensial yang Mengkaitkan Depresi/Cemas dengan Iskemia Miokard

Terdapat literatur yang mengenai hubungan depresi dan cemas dengan peristiwa -peristiwa jantung yang buruk, telah terjadi peningkatan fokus dalam menentukan mekanisme terjadinya hubungan ini.1 Secara keseluruhan, terdapat dua kategori mekanistik yang mungkin berkontribusi terhadap asosiasi ini yaitu efek fisiologis dan efek perilaku.1,4

Aktivitas dan Agregasi Platelet

Aktivitas dan agregasi platelet adalah komponen kunci dari iskemia miokard akut

dan bukti peningkatan aktivitas dan agregasi platelet telah ditemukan pada pasien dengan depresi.1 Hubungan antara depresi dan hiperaktivitas platelet dapat dimediasi oleh serotonin. Serotonin ditemukan dalam darah dan platelet, yang memainkan peran penting dalam aktivasi platelet. Apabila serotonin berikatan dengan reseptor 5-hydroxytryptamine-2 (5HT-2) di platelet, hal ini menyebabkan pelepasan faktor prokoagulan yang disimpan dalam platelet dan meningkatkan agregasi platelet, memicu pembentukan clot. Dalam arteri koroner normal, pembentukan trombus dan iskemia dicegah melalui rangsangan serotonin pada endotelium untuk melepaskan nitrit oksida, yang mengakibatkan vasodilatasi di area sekitar clot.3,4

Kurang diketahuinya mengenai efek cemas pada agregasi dan aktivitas platelet, tetapi bukti yang ada menunjukkan bahwa serotonin mungkin juga memediasi perubahan dalam platelet pada pasien cemas. Kelainan dalam sistem serotonergik telah terlibat dalam patogenesis gangguan cemas dan pasien dengan cemas fobik telah ditemukan memiliki kelainan dalam sistem koagulasi dan fibrinolitik yang memicu keadaan hiperkoagulasi.1 Terlebih lagi, kelainan pada level serotonin darah, transporter serotonin platelet, dan level kalsium intraselular dalam menanggapi stimulasi (meningkatkan sensitivitas terhadap faktor - faktor prokoagulan) telah dilaporkan pada pasien dengan gangguan kecemasan tertentu. Selain mekanisme ini, stres akut juga telah dikaitkan dengan hiperaktivitas platelet, meningkatnya viskositas darah dan hemokonsentrasi, berpotensi meningkatkan risiko trombosis dan komplikasi kardiovaskular lainnya yang dimediasi melalui hiperaktivitas platelet dan meningkatnya viskositas darah.1,3

Inflamasi

Peradangan tampak memainkan peran kunci dalam patogenesis peristiwa iskemik akut. Sitokin inflamasi seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan interleukin-1 (IL-1) secara aktif terlibat dalam patogenesis aterosklerosis, dan peningkatan penanda - penanda inflamasi, terutama C-reactive protein (CRP), secara tak tergantung terkait dengan mortalitas yang mengikuti sindrom koroner akut. Depresi juga dikaitkan dengan peningkatan penanda peradangan lain (misalnya, IL-1, IL-6, dan TNF-α), dan keadaan proinflamasi ini saat depresi dapat mengakibatkan perkembangan atau penyebaran peristiwa iskemia miokard.1,3

Sama seperti aktivasi platelet, terdapat sedikit data mengenai hubungan antara cemas dengan inflamasi, tetapi level penanda inflamasi dalam sirkulasi tidak normal pada orang - orang dengan peningkatan cemas. Sebuah penelitian luas terhadap orang dewasa yang sehat ditemukan peningkatan level cemas yang dikaitkan dengan kelainan penanda inflamasi yang multipel, bahkan setelah penyesuaian untuk beberapa faktor lainnya. Begitu juga dengan gangguan cemas tertentu, post-traumatic stress disorder (PTSD) juga dikaitkan dengan level abnormal penanda inflamasi (misalnya, IL-1, IL-6, TNF-α dan CRP) pada bukan pasien jantung dan pasien pasca infark miokard. 4

Variabilitas Denyut Jantung

Variabilitas denyut jantung merupakan suatu ukuran variabilitas denyut per denyut dari jantung, melibatkan suatu hubungan yang kompleks antara sistem saraf simpatik dan parasimpatik dengan dampaknya terhadap alat pacu jantung. Penurunan variabilitas denyut jantung pada pasien pasca infark miokard telah

dikaitkan secara konsisten dengan mortalitas, akibat peningkatan risiko terjadinya

aritmia. Beberapa penelitian telah menemukan klinis depresi berhubungan dengan berkurangnya variabilitas denyut jantung, termasuk penelitian terhadap pasien jantung yang depresi, dan terdapat risiko relatif terhadap peristiwa aritmia diantara pasien pasca infark miokard, depresi dapat secara substansial meningkatkan risiko aritmia jantung pada populasi yang rentan. Demikian pula, cemas telah dikaitkan dengan berkurangnya variabilitas denyut jantung, depresi dan cemas pada pasien dengan implan defibrilator telah dikaitkan dengan variabilitas denyut jantung rendah.1

Peningkatan Katekolamin

Hiperaktivitas dari sistem saraf simpatik memicu peningkatan pelepasan katekolamin di perifer. Hal ini kemudian memicu vasokonstriksi, peningkatan tekanan darah, aktivasi platelet dan aritmia, semua hal tersebut memiliki efek yang merugikan terhadap stabilitas kardiovaskuler. Depresi dikaitkan dengan disregulasi sistem saraf simpatik. Demikian pula, cemas akut dan kekhawatiran kronik memicu hiperaktivitas sistem saraf simpatik dan disregulasi otonom, yang merupakan hubungan kausatif potensial antara gangguan - gangguan tersebut dengan peristiwa - peristiwa buruk pada jantung.1,4

Disfungsi Endotel

Endotelium adalah lapisan yang kritis, lapisan aktif jaringan antara sirkulasi darah dan vaskuler serta merupakan suatu regulator kunci pada homeostasis vaskuler. Disfungsi endotel memiliki sebuah dampak substansial pada kesehatan kardiovaskular.1,4 Memang, disfungsi endotel pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dikaitkan dengan meningkatnya angka mortalitas. Hal ini semakin

dipahami bahwa depresi dikaitkan dengan fungsi abnormal dari endotelium,

dengan pasien depresi memiliki kelainan endotelium yang lebih daripada pasien yang tidak depresi. Disfungsi endotel juga dilaporkan pada pasien dengan peningkatan level cemas, terutama orang tua. Fungsi vaskuler abnormal pada depresi atau cemas tentu saja bisa memicu fisiologi dan hasil kardiovaskular yang merugikan.4

Efek Perilaku

Selain efek fisiologis, depresi terkait dengan pencegahan sekunder yang buruk di antara pasien yang mengalami peristiwa iskemia akut. Pasien depresi pasca infark miokard, dibandingkan dengan pasien infark miokard yang tidak depresi, lebih kecil takaran diet rendah lemak, pengurangan kolesterol mereka, berolahraga, berhenti merokok, atau mengurangi stres dalam kehidupan mereka, semua hal tersebut meningkatkan risiko kekambuhan kelainan jantung. Pada kenyataannya, dalam penelitian Heart and Soul pada pasien dengan depresi dan penyakit arteri koroner, suatu asosiasi antara gejala depresi dan peristiwa kardiovaskular yang buruk secara luas dijelaskan melalui faktor - faktor perilaku, terutama inaktivitas fisik. Pasien yang menderita cemas atau stres emosional yang mengikuti infark miokard juga ditemukan mengalami kesulitan mengontrol perilaku yang berisiko seperti mengurangi stres, meningkatkan sosialisasi, mengontrol diet, dan berhenti merokok.1

Singkatnya, depresi dan cemas memiliki segudang efek pada fisiologi kardiovaskular melalui berbagai mekanisme dan efek ini mungkin memainkan peran dalam peningkatan insiden iskemia pada pasien dengan gejala - gejala ini.1

Terapi Depresi dan Cemas pada Pasien Jantung:

Antidepresan

Antidepresan dapat digunakan untuk mengobati pasien dengan depresi dan pasien dengan gangguan cemas formal, seperti gangguan cemas menyeluruh, gangguan panik, atau post-traumatic stress disorder. Umumnya, tricyclic antidepressant (misalnya, amitriptylin, nortriptylin) sebaiknya dihindari pada pasien dengan penyakit jantung. Pertama, agen ini memiliki efek samping kardiovaskular pada populasi ini termasuk hipotensi orthostatik serta takikardia akibat efek antikolinergik. Selain itu, agen ini dapat memperpanjang interval jantung (misalnya, QRS dan QTc) dan dapat menjadi proarrhythmic dalam populasi ini. Dalam penelitian epidemiologi, peresepan tricyclic antidepressant memiliki keterkaitan dengan meningkatnya angka kejadian ikutan infark miokard dibandingkan dengan pasien yang menerima serotonin selektive reuptake inhibitors (SSRIs) atau yang tanpa terapi.1,3

Sebaliknya, SSRIs tampaknya aman dan efektif dalam populasi jantung. Agen ini dapat digunakan untuk mengobati depresi dan gangguan cemas formal (misalnya, gangguan cemas menyeluruh, gangguan panik) pada pasien jantung. Meskipun SSRIs dapat dikaitkan dengan meningkatnya cemas, insomnia, atau gelisah selama beberapa hari pertama terapi pada beberapa pasien, efek ini umumnya ringan. Mereka umumnya tidak menyebabkan orthostatik, takikardia, atau efek buruk kardiovaskular, dan ditoleransi baik pada populasi ini. Penelitian kecil terhadap SSRIs dan antidepresan lain telah menemukan bahwa agen ini aman dan secara signifikan mengurangi gejala depresi pada pasien dengan penyakit jantung iskemik.1

Suatu penelitian dengan plasebo kontrol Canadian Cardiac Randomized

Evaluation of Antidepressant and Psychotherapy Efficacy (CREATE) terhadap 284 pasien depresi rawat jalan dengan penyakit jantung koroner, menemukan bahwa citalopram yang secara signifikan lebih efektif daripada plasebo. Citalopram ditoleransi baik dalam penelitian ini dan tidak terkait dengan peristiwa buruk yang serius. Selanjutnya, penelitian multisenter yang dilakukan acak oleh SADHART terhadap 369 pasien pasca sindrom koroner akut dengan gangguan depresi mayor menemukan sertraline aman, ditoleransi baik, dan efektif pada pasien yang memulai terapi sekitar 1 bulan pasca sindrom koroner akut. Suatu mekanisme potensial dimana SSRI dapat mengurangi peristiwa jantung yang mungkin melibatkan pengurangan kegiatan trombosit, seperti pada terapi pasien depresi dengan SSRIs memicu penurunan penanda hiperaktivitas platelet.1,3

Singkatnya, SSRIs merupakan agen yang telah diteliti dengan baik untuk pasien - pasien depresi dengan penyakit jantung, aman dan efektif dalam populasi ini, serta dapat digunakan untuk pasien dengan gangguan cemas, dan mungkin dikaitkan dengan penurunan angka kejadian hasil jantung yang merugikan. Antidepresan lain dapat digunakan pada keadaan - keadaan tertentu, meskipun tricyclic antidepressant umumnya tidak dianjurkan.1,3

Benzodiazepines

Benzodiazepines efektif dalam menurunkan cemas akut dan efektif dalam terapi beberapa gangguan cemas (misalnya, gangguan panik). Agen ini efektif secara cepat dan ditoleransi baik pada pasien dengan iskemia miokard lanjutan atau baru yang mana bagi mereka cemas memicu peningkatan denyut jantung, tekanan darah, atau kelainan fisiologis lain. Agen ini memiliki beberapa efek fisiologis

menguntungkan termasuk menurunkan secara akut kadar katekolamin dan menurunkan resistensi koroner.1 Namun, ada beberapa peringatan dalam penggunaan agen ini seperti dapat meningkatkan risiko jatuh, sedatif, depresi pernapasan dan ketergantungan fisiologis, dan agen ini tidak menterapi gejala komorbid depresi.3 Meskipun begitu, agen ini bekerja cepat sebagai anxiolitik yang dapat secara substansial efektif diantara pasien dengan penyakit jantung iskemik dan yang mengalami cemas, meskipun untuk pasien dengan depresi atau gangguan cemas formal, antidepresan sering menjadi terapi pilihan.1

Psikoterapi

Intervensi psikoterapi menarik untuk pasien karena kurangnya efek samping somatik. Disamping itu, intervensi ini dapat dipakai secara individual agar fokus pada kesulitan tertentu yang dialami pasien. Bentuk - bentuk spesifik psikoterapi telah dipelajari pada pasien - pasien jantung.5 Penelitian terbesar tentang psikoterapi pada pasien pasca infark miokard, pada percobaan ENRICHD disebutkan sebelumnya terhadap 2481 pasien, menemukan bahwa pengobatan dengan cognitive behaviour therapy (CBT) secara signifikan mengurangi gejala depresi dan meningkatkan kualitas hidup diantara pasien pasca infark miokard, meskipun tidak (berbeda dengan antidepresan) memperbaiki hasil jantung.1,5

Latihan dan Rehabilitasi Jantung

Latihan aerobik dan rehabilitasi jantung dapat mengurangi gejala depresi selain meningkatkan efek kardiovaskuler. Depresi dapat berfungsi sebagai penghalang untuk partisipasi dalam rehabilitasi jantung dan program latihan, tetapi ahli jantung dapat membantu pasien yang depresi mengatasi rintangan ini dengan menawarkan dorongan dan kontak berkelanjutan. Ahli jantung juga harus

meminta bantuan dari pasangan atau anggota keluarga dan teman - teman untuk

memicu kepatuhan. Pemberian latihan harus didasarkan pada status jantung dan toleransi latihan masing - masing individu.5

Uji latihan (30 menit terus menerus berjalan/jogging untuk mencapai target denyut jantung, tiga kali per minggu selama 16 minggu) pada pasien depresi menemukan bahwa latihan reguler sama efektifnya seperti sertraline dalam pengobatan depresi. Pemantauan hasil dari penelitian pertama, enam bulan setelah akhir penelitian, ditemukan perbaikan depresi di antara pasien di kelompok latihan harus bertahan lebih panjang daripada yang menerima antidepresan. Selain itu, program - program rehabilitasi jantung dapat memberikan layanan yang membantu pasien jantung dengan depresi, dan evaluasi depresi yang sedang berlangsung, untuk dukungan sosial, untuk intervensi khusus terhadap kesehatan jantung. Oleh karena itu, kedua intervensi ini sangat membantu untuk pasien dengan stres psikologis.1

RINGKASAN

Depresi dan cemas diantara pasien dengan iskemia miokard akut prevalensinya sangat tinggi dan terkait dengan hasil kardiovaskuler yang merugikan, termasuk kematian. Meskipun prevalensinya tinggi dan memiliki efek serius, gejala depresi dan cemas seringkali tidak dikenali dan tidak diterapi pada kebanyakan pasien sindrom koroner akut dan beberapa gejalanya menetap selama berbulan - bulan.

Sama halnya dengan depresi, gejala cemas seringkali tidak disadari pada pasien sindrom koroner akut oleh dokter lini pertama. Depresi terkait dengan progres penyakit jantung. Cemas juga memiliki keterkaitan dengan hasil negatif

dari jantung pada spektrum penyakit jantung. Dalam literatur ini dijelaskan

terdapat dua mekanisme yang terlibat terhadap asosiasi ini: efek fisiologis dan efek perilaku.

Terapi depresi dan cemas pada pasien jantung dalam literatur ini yaitu dengan obat antidepresan, benzodiazepine dan psikoterapi. Antidepresan dapat digunakan untuk mengobati pasien dengan depresi dan pasien dengan gangguan cemas, seperti gangguan cemas menyeluruh, gangguan panik, atau post-traumatic stress disorder. Tricyclic antidepressant (misalnya, amitriptylin, nortriptylin) sebaiknya dihindari pada pasien dengan penyakit jantung karena dapat menyebabkan hipotensi orthostatik serta takikardia akibat efek antikolinergik dan dapat memperpanjang interval jantung (misalnya, QRS dan QTc) serta dapat menjadi proarrhythmic dalam populasi ini. Serotonin selektive reuptake inhibitors (SSRIs) dapat digunakan untuk mengobati depresi dan gangguan cemas formal (misalnya gangguan cemas menyeluruh, gangguan panik) pada pasien jantung. Selain SSRIs dan tricyclic antidepressant, benzodiazepin juga efektif dalam menurunkan cemas akut dan efektif dalam terapi beberapa gangguan cemas (misalnya, gangguan panik).

Di samping dengan terapi medikamentosa, psikoterapi juga menjadi pilihan. Intervensi ini bersifat individual agar fokus pada pada kesulitan tertentu yang dialami pasien. Latihan juga merupakan antidepresan yang efektif untuk mengurangi kecemasan, dan memiliki keuntungan bagi kardiovaskular. Selain itu, program - program rehabilitasi jantung dapat memberikan layanan yang membantu pasien jantung dengan depresi, dari evaluasi depresi yang sedang

berlangsung, untuk dukungan sosial, untuk intervensi khusus terhadap kesehatan

jantung.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Jeff C, Christopher M, James L. The Relationship Between Depression, Anxiety and Cardiovascular Outcomes in Patients with Acute Coronary Syndromes. Neuropsychiatric Disease and Treatment. 2010;64:15–28.

  • 2.    Douglas, M. The Pathophysiology of Acute Coronary Syndromes. Washington University School of Medicine. 2005:p1-p6.

  • 3.    James L, Theodore A, Richard C, Roman W. The Influence of Anxiety and Depression on Outcomes of Patients with Coronary Artery Disease. American Medical Association. 2000;160:1913-1919.

  • 4.    Yelizaveta S, Sermsak L, Jose R. The Impact of Depression in Heart Disease. Curr Psychiatry Rep. 2010;12:255-264.

  • 5.    Thomas J, Alexander H. The American Heart Association Science Advisory on Depression and Coronary Heart Disease: An Exploration of the Issues Raised. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2010;77:s12-s19.

20