THE USE A COMBINATION OF ENDOBRONCHIAL ULTRASOUND-GUIDED FINE-NEEDLE ASPIRATION AND TRANSESOPHAGEAL ENDOSCOPIC ULTRASOUND-GUIDED FINE-NEEDLE ASPIRATION AS A TOOLS TO MAKE A DIAGNOSIS AND STAGING OF LUNG CANCER
on
PENGGUNAAN KOMBINASI ENDOBRONCHIAL ULTRASOUND-GUIDED FINE-NEEDLE ASPIRATION DAN TRANSESOPHAGEAL ENDOSCOPIC ULTRASOUND-GUIDED FINE-NEEDLE
ASPIRATION SEBAGAI ALAT DIAGNOSIS DAN STAGING PADA KANKER PARU
I Gusti Ngurah Arika Fermiawan*, I Dewa Made Artika**
*Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
**Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
ABSTRAK
Endobronchial Ultrasound-Guided Fine-Needle Aspiration (EBUS-FNA) dan Transesophageal Endoscopic Ultrasound-Guided Fine-Needle Aspiration (EUS-FNA) merupakan salah satu teknik invasif minimal, aman dan cost effective yang menggunakan bantuan ultrasound dalam menentukan diagnosis dan staging pada kanker paru. EBUS menggunakan bronkoskopi sedangkan EUS menggunakan endoskopi, dimana kedua alat tersebut diintegrasi oleh ultrasound serta jarum aspirasi. Metode EBUS hanya bisa memeriksa nodus limfa pada anterior mediastinal sedangkan EUS hanya bisa memeriksa nodus limfa pada daerah posterior . Penggunaan kombinasi EBUS dan EUS akan meningkatkan daerah pemeriksaan nodus limfa mediastinal serta sensitivitas dan spesifisitas dalam menentukan diagnosa kanker paru. Posisi nodus limfe itu sendiri sesuai menurut American Joint Committee on Cancer dan Union Internationale Contre le Cancer. Secara keseluruhan, metode ini tidak menimbulkan komplikasi yang fatal jika dibandingkan dengan prosedur diagnosis invasif lainnya.
Kata kunci: bronkoskopi, endoskopi, ultrasound, kanker paru
THE USE A COMBINATION OF ENDOBRONCHIAL ULTRASOUND-GUIDED FINE-NEEDLE ASPIRATION AND TRANSESOPHAGEAL ENDOSCOPIC ULTRASOUND-GUIDED FINE-NEEDLE ASPIRATION AS A TOOLS TO MAKE A DIAGNOSIS AND STAGING OF LUNG CANCER
ABSTRACT
Endobronchial Ultrasound-Guided Fine-Needle Aspiration (EBUS-FNA) and Transesophageal Endoscopic Ultrasound-Guided Fine-Needle Aspiration (EUS-FNA) is a minimally invasive technique, safe and cost effective, which uses ultrasound assistance in determining the diagnosis and staging of lung cancer. EBUS using bronchoscopy whereas EUS using endoscopy, where both of those tools integrated by ultrasound and needle aspiration. EBUS method can only check for mediastinal Lymphoma in lymph nodes anterior whereas EUS can only check the lymph nodes on the posterior region. The use of a combination of EUS and EBUS will increase the area of examination for mediastinal Lymphoma lymph nodes as well as the sensitivity and specificity in defining the diagnosis of lung cancer. Lymph node positions itself according to the according to the American Joint Committee on Cancer and the Union Internationale Contre le Cancer. Overall, these methods do not cause fatal complications if compared to other invasive diagnostic procedures.
Keywords: bronchocopy, endoscopy, ultrasound, lung cancer
PENDAHULUAN
Kanker paru merupakan kanker yang berasal dari paru yang memerlukan penanganan dan tindakan yang cepat dan terarah.1,2 Kematian akibat kanker paru merupakan masalah kesehatan yang umum dihadapi baik oleh negara berkembang maupun negara maju. Pada tahun 2000, lebih dari 1 juta orang di seluruh dunia meninggal akibat kanker paru, 53% kematian terjadi di negara maju sedangkan 47% kematian terjadi di negara berkembang.3 Faktor resiko kanker paru sebagian besar disebabkan akibat paparan asap rokok, dimana sekitar 90% pasien kanker paru merupakan perokok ataupun mantan perokok.4,5,6,7,8
Kanker paru diklasifikasikan menjadi dua kategori utama, yaitu small-cell lung cancers (SCLC) yang terjadi pada 20% kasus dan non-small-cell lung cancers (NSCLC) yang terjadi pada 80% kasus. NSCLC itu sendiri meliputi squamous cell carcinomas (pada 35% kasus), adenocarcinomas (pada 27% kasus) dan large cell carcinomas (pada 10% kasus).1, 2 SCLC dapat tumbuh dan menyebar lebih cepat dan menimbulkan gejala lebih dini dibandingkan dengan NSCLC. Untuk itu, operasi bukanlah pilihan yang tepat untuk SCLC dan penanganan yang tepat seperti kemoterapi dan terkadang radioterapi.2,9,10
Diagnosis kanker paru tidak dapat ditegakkan hanya dari anamnesis serta pemeriksaan fisik saja, namun harus ditunjang oleh pemeriksaan lain seperti pencitraan. Pada pasien suspek kanker paru, keberadaan metastasis ke nodus limfa mediastinal merupakan faktor penting dalam menentukan terapi dan prognosis. Kombinasi endobronchial ultrasound-guided fineneedle aspiration (EBUS-FNA) dan endoscopic ultrasound-guided fine-needle aspiration (EUS-FNA) termasuk metode diagnosis dan staging kanker paru yang tergolong aman, invasif minimal, murah dan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.11
ENDOBRONCHIAL ULTRASOUND-GUIDED FINE-NEEDLE ASPIRATION
(EBUS-FNA)
EBUS-FNA merupakan salah satu teknik invasif minimal terbaru dalam menentukan diagnosis dan staging pada kanker paru. Alat ini berupa tranduser ultrasound yang diintegrasi ke dalam bronkoskopi yang akan melakukan kontak dengan mukosa endobronkial. Dalam bronkoskopi ini juga disisipkan jarum biopsi yang nantinya akan dimasukkan/ditusukkan ke dalam nodus limfa dibawah pengawasan langsung dari pemeriksa. Teknik ini tergolong aman dan cost effective sebagai alternatif staging terhadap teknik operasi dengan menggunakan mediastinoskopi. Selain bisa mengambil sampel dari mediastinal, pretrakeal, peritrakeal, dan nodus hilar, EBUS juga dapat melakukan biopsi pada tumor intra-pulmoner yang berdekatan dengan bronkus utama.12’13’14’15’16’17
Pada studi yang dilakukan oleh G.P. Currie et al (2009), dari 572 nodus limfa besar (diameter rata-rata 1,6 cm) pada 502 pasien yang dijadikan sampel, didapatkan 535 (94%) pasien terdiagnosis kanker paru dengan menggunakan metode ini.12 Pada studi ini, didapatkan sensitivitas dan spesifisitas untuk staging mediastinal sebesar 94% dan 100%. Pada studi selanjutnya, akurasi EBUS dalam menemukan malignansi pada sampel dengan diameter nodus limfa < 1 cm pada pasien NSCLC, didapatkan nilai sensitivitasnya sebesar 93% dan spesifisitasnya 100%, dengan nilai prediksi negatif 96%.12’17,18 Secara keseluruhan, dalam studi silang yang dilakukan, didapatkan kemampuan EBUS berada diatas kemampuan mediastinokopi dalam mendeteksi invasi tumor pada paratrakeal dan subkarinal (91% vs 78%).12 Pada staging awal kanker paru, EBUS-FNA memiliki akurasi lebih dari 90%.19 Prosedur EBUS ini dapat dilakukan pada pasien dibawah efek sedasi ringan dan pada pada pasien rawat jalan.12’14 Tidak satupun studi yang menunjukkan komplikasi serius dengan menggunakan metode ini.
Hanya tiga studi yang melaporkan adanya agitasi, batuk, dan keberadaan darah pada
17 titik punktur.17
TRANSESOPHAGEAL ENDOSCOPIC ULTRASOUND-GUIDED FINE-NEEDLE
ASPIRATION (EUS-FNA)
Selain EBUS-FNA, EUS-FNA juga merupakan salah satu tehnik invasif minimal terbaru dalam menentukan diagnosis dan staging pada kanker paru. Teknik EBUS tidak dapat mengambil sampel pada seluruh nodus limfa mediastinal dan hilar, seperti nodus limfa yang terletak pada daerah paraesofageal, subaortik, daerah trakea atau bronkus utama anterior dan superior, namun EUS dapat melengkapi kekurangan EBUS tersebut. Sama seperti teknik pada EBUS, selama melakukan teknik EUS ini, jarum biopsi keluar melewati lubang pada endoskop. Dengan panduan oleh ultrasound, kemudian endoskop ini masuk ke esofagus dan melakukan kontak dengan dinding esofagus dan mengambil sampel pada nodus limfa mediastinal dibawah pengawasan langsung dari pemeriksa.12,13,15,16,17,20 Pengambilan sampel nodus limfa melalui dinding esofagus dapat mengabaikan resiko infeksi dan perdarahan. Hanya satu komplikasi (demam sementara) yang dilaporkan dalam 6 studi yang melibatkan 369 pasien. Tidak ada 13 kematian yang dilaporkan selama studi ini.13
Pada penelitian yang dilakukan oleh G.P. Currie et al (2009), pasien dengan pembesaran nodus limfa (> 1 cm) yang ditemukan melalui CT, didapatkan sensitivitas yang bervariasi antara 72% dan 100% sedangkan spesifisitasnya antara 88% dan 100%.12 Menurut penelitian yang dilakukan Annema et al, didapatkan sensitivitas EUS 75% dan akurasi 83% pada pemeriksaan 19 pasien, dan baru-baru ini Varadarajulu et al melaporkan bahwa EUS memiliki akurasi 86% dalam menentukan staging mediastinum setelah diberikan kemoterapi pada penelitian 14 orang pasien.19 Pada penelitian lain
yang membandingkan antara EUS dan mediastinoskopi, didapatkan teknik EUS
memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan dengan mediastinoskopi dan tentunya dengan komplikasi yang lebih sedikit.11,12 Sama seperti prosedur EBUS, prosedur EUS ini dapat juga dilakukan dibawah efek sedasi ringan serta untuk pasien rawat jalan.12, 21
Berdasarkan hasil penelitian yang ditulis oleh Michael B. Wallace et al (2008), didapatkan prediksi nilai negatif palsu sekitar 81%. Alasan utama terjadinya negatif palsu pada sampel yang diambil pada metastasis nodus limfa karena tidak teraksesnya daerah tersebut dengan menggunakan EUS-FNA. Karena EUS-FNA dilakukan melalui esofagus dan pada pencitraan ultrasonografi tidak terjadi penetrasi pada struktur yang yang berisi udara, sehingga daerah anterior trakea merupakan titik buta untuk metode EUS-FNA. Untuk alasan tersebut, EUS-FNA hanya digunakan untuk pengambilan sampel pada nodus limfa di bagian posterior mediastinal.11
Hasil penelitian Kurt G. Tournoy et al (2005) melaporkan kombinasi penggunaan EUS radial dan linear untuk investigasi struktur mediastial telah diterapkan pada bidang gastroenterologi. Pada EUS radial yang dikarakteristikkan dengan penggunaan frekuensi tinggi (20 MHz), gambaran dapat diambil secara detail namun tidak memungkinkan untuk dilakukan FNA, EUS-FNA linear (5-10 MHz) memiliki penetrasi jaringan yang lebih dalam sehingga bisa digunakan sebagai pemandu dalam melakukan FNA, tapi tidak bisa membedakan lapisan pleural mediastinal. EUS-FNA linear diperlukan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan mengenai invasi mediastinal secara langsung melalui lapisan pleural. Dari hasil penelitian ini juga dilaporkan bahwa teknik EUS dalam menentukan staging kanker paru memiliki spesifisitas yang bagus namun bervariasi (0,72-0,97) dalam menganalisis limfadenopati mediastinal.15
PENGGUNAAN KOMBINASI EBUS-FNA DAN EUS-FNA DALAM
MENENTUKAN DIAGNOSIS DAN STAGING KANKER PARU
Penggunaan kombinasi antara EBUS dan EUS berbeda-beda pada tiap penelitian, baik dari segi alat, teknik, serta hasil yang didapatkan. Namun, sebagian besar memiliki kesamaan dalam tujuan penggunaannya, yaitu meningkatkan sensitivitas dan spesitivitas dalam menentukkan diagnosis dan staging pada kanker paru. Pada hasil penelitian yang ditulis oleh Michael B. Wallace et al (2008), setelah pasien diberikan anastesi topikal orofaringeal serta obat sedasi seperti midazolam dan fentanyl, kemudian bronkoskopi dimasukkan secara oral ke dalam trakea dan dilakukan pemeriksaan bronki. EBUS-FNA dilakukan dengan mengambil sampel pada nodus limfa tanpa memperhatikan ukuran nodus tersebut. Jika ditemukan lebih dari 1 nodus limfa pada daerah yang spesifik, maka akan dilakukan pengambilan sampel pada nodus limfa yang terbesar. Pengambilan sampel pada nodus limfa dengan metode EUS-FNA dilakukan dengan cara yang sama seperti pada EBUS-FNA. Hanya saja EUS dimasukkan melalui esofagus dan daerah pengambilan sampel berada di daerah posterior mediastinum.11 Pada laporan yang ditulis oleh G.A. Silvestri (2009) digunakan jarum dengan ukuran 22 Gauge pada pemeriksaan dengan metode EBUS.18 Contoh hasil pencitraan dengan ultrasound pada pemeriksaan dengan menggunakan metode EBUS dan EUS dapat dilihat pada gambar 5 dan 6. Kemudian hasil hapusan tipis dari FNA disiapkan oleh ahli sitologi dengan menggunakan slide yang dikeringkan dengan udara kemudian dilakukan pewarnaan Romanovsky (Diff-Quik; Dade Behring Inc, Deerfield, Illinois) dan juga slide yang telah difiksasi dengan alkohol serta telah dilakukan pewarnaan Papanicolaou.11 Daerah pengambilan sampel dengan metode EBUS dan EUS dapat dilihat pada gambar 2, 3, dan 4.
Pada penelitian yang dilakukan Felix J.F. Herth et al (2008), EBUS dilakukan dengan menggunakan bronkoskopi ultrasonik. Instrumen yang digunakan mirip dengan bronkoskopi standar dan memiliki diameter 6,9 mm, 2,0 mm pada saluran instrumen, dan pandangan optik dengan sudut kemiringan 300. Tranduser ultrasound konveks ditempatkan pada ujung distal dan dilapisi dengan pembungkus balon yang bisa digelembungkan (Gambar 1). Scanning dilakukan dengan frekuensi 7.5 MHz dan proses pencitraan dengan menggunakan prosesor ultrasound Olympus. Semua pemeriksaan dilakukan dibawah prosedur sedasi moderate atau anastesi general. Pemeriksaan dilakukan melewati pita suara sampai menemukan karina utama, balon jika digunakan, sebagian akan dikembangkan (dengan 0,3-0,5 mL air) dan nodus limfa regional pada mediastinum (daerah 2, 3, 4, dan 7) akan diamati secara sistematis dan diukur (diameter aksis pendek) selama tranduser ditarik kembali dan dirotasi. Semua nodus limfa yang memiliki ukuran lebih dari 5 mm akan ditusuk. FNA dilakukan dengan menggunakan jarum 22 Gauge menembus dinding saluran udara menuju nodus limfa dibawah kontrol ultrasound. Punktur dilakukan dengan metode menusuk. Sekali jarum tersebut menusuk pada lesi target, jarum ditarik kembali dan selanjutnya dilakukan penghisapan. Sebelum dilakukan punktur, ultrasound efek doppler digunakan untuk mengeksklusi keterlibatan pembuluh darah. Setiap nodus dilakukan punktur setidaknya dua kali sampai didapatkan sampel yang cukup.19
HASIL PEMERIKSAAN DENGAN MENGGUNAKAN KOMBINASI EBUS-FNA DAN EUS-FNA DALAM MENENTUKAN DIAGNOSIS DAN STAGING KANKER PARU
Staging merupakan penilaian perluasan dari penyakit dan digunakan untuk tujuan prognosis dan terapi. Staging kanker paru menggunakan Sistem Staging Internasional
yang dipublikasikan oleh American Joint Committee on Cancer (AJCC) dan Union
Internationale Contre le Cancer (UICC) pada tahun 1986. Sistem ini memiliki 2 komponen utama: perluasan penyakit secara anatomi (TNM: Tumor, Nodus, Metastasis) dan tipe sel. Staging secara klinis (C) menyediakan informasi yang didapat dari studi pencitraan dan biopsi. Staging patologis (P) menentukan reseksi operasi. Klasifikasi ini digunakan untuk manajemen pasien dengan NSCLC. Pasien dengan SCLC memiliki tingkatan berupa penyakit dengan penyebaran terbatas dan luas.4 Adapun staging pada NSCLC dan SCLC bisa dilihat pada tabel 1 dan 2.
Berdasarkan penelitian dengan menggunakan EUS-FNA terhadap 35 pasien yang dicurigai kanker paru yang dilakukan oleh Annette Fritscher-Ravens et al (2000), 24 ditemukan malignansi pada 25 pasien dan patologi jinak pada 9 pasien (pada tabel 3).24
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Michael B. Wallace et al (2008), didapatkan EUS-FNA dapat mendeteksi nodus limfa sebagian besar pada daerah subkarina dan mediastinum posterior (American Joint Committee on Cancer daerah 7 dan 5) dan EBUS-FNA dapat mendeteksi nodus limfa terutama pada daerah subkarina dan mediastinum anterior (daerah 7, 2, 3, dan 4). Akses EUS-FNA sekarang dapat diperluas ke nodus limfa daerah 6 pada lateral aorta dengan bantuan transaortik FNA.11, 13, 22 Sedangkan berdasarkan penelitian Felix J.F. Herth et al (2008), dilaporkan bahwa EBUS-FNA dapat memeriksa daerah nodus limfa paratrakeal N2 dan subkarinal (daerah 2, 3, 4, dan 7) dan daerah hilar N1 (10 dan 11), sedangkan dengan menggunakan EUS, dapat dilakukan pemeriksaan daerah nodus limfa mediastinal N2 poesteroinferior (daerah 4L, 7, 8, dan 9).19, 22 Daerah nodus limfa yang disebutkan diatas bisa dilihat pada gambar 5.
Dengan menggunakan kombinasi EBUS dan EUS maka daerah nodus limfa yang diperiksa akan semakin lengkap dibandingkan menggunakan EBUS atau EUS secara
terpisah. Dimana pelaksanaan EBUS dan EUS dapat dilakukan pada pasien dibawah
efek sedasi.11, 19 Secara umum dapat diterima bahwa teknik endoskopi (baik EBUS-FNA dan EUS-FNA) memang pantas untuk menyediakan bukti histologis dari nodus limfa yang dicurigai tapi tidak digunakan untuk mengeksklusi penyakit pada nodus limfa mediastinal karena rendahnya nilai prediksi negatifnya.22
RINGKASAN
Endobronchial Ultrasound-Guided Fine-Needle Aspiration (EBUS-FNA) merupakan salah satu teknik invasif minimal, aman dan cost effective dalam menentukan diagnosis dan staging pada kanker paru. Alat ini berupa tranduser ultrasound yang diintegrasi ke dalam bronkoskopi yang akan melakukan kontak dengan mukosa endobronkial. Dalam bronkoskopi ini juga disisipkan jarum biopsi yang berfungsi sebagai alat mengambil sampel pada nodus limfa yang terletak di anterior mediastinal. Transesophageal Endoscopic Ultrasound-Guided Fine-Needle Aspiration (EUS-FNA) merupakan salah satu teknik invasif minimal, aman dan cost effective dalam menentukan diagnosis dan staging pada kanker paru. Alat ini berupa tranduser ultrasound yang diintegrasi ke dalam endoskopi yang akan melakukan kontak dengan mukosa esofagus. Dalam endoskopi ini juga disisipkan jarum biopsi yang berfungsi sebagai alat mengambil sampel pada nodus limfa yang terletak di posterior mediastinal.
Penggunaan kombinasi EBUS-FNA dan EUS-FNA dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas serta daerah nodus limfa yang diperiksa, dalam menentukan diagnosis dan staging pada kanker paru dibandingkan penggunaan alat ini secara terpisah. Alat ini menggunakan ultrasound sebagai alat pandu dalam menemukan nodus limfa yang nantinya akan diambil sampel sitologisnya. Setelah menemukan nodus limfa yang tepat, maka dilakukan biopsi pada nodus limfa tersebut. Biopsi dilakukan dengan
tusukan minimal dua kali dengan kemiringan jarum yang bervariasi serta menggunakan
jarum 22 gauge lalu dilakukan penghisapan. Kemudian dilakukan pengecatan serta pemeriksaan sitologis pada hasil sampel yang didapat. Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kombinasi EBUS-FNA dan EUS-FNA dalam menentukan diagnosis dan staging pada kanker paru berdasarkan hasil pemeriksaan sitologi dari sampel yang telah diambil pada nodus limfa. Dari hasil pemeriksaan sitologi tersebut kemudian akan ditentukan tipe dari sel kanker dan staging dari kanker paru berdasarkan klasifikasi TNM untuk tipe NSCLC dan staging penyebaran terbatas dan luas untuk SCLC.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Anonim. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Kanker Paru “Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia. 2003. (Diakses 8 Januari 2011) Diunduh dari URL: http://agus34drajat.files.wordpress.com/2010/10/kankerparu.pdf
-
2. Schiller JH, Vidaver RM, Novello S, Brahmen J, Monroi L. Living With A Diagnosis of Lung Cancer. National Lung Cancer Partnership. (Diakses 8 January 2011) Diunduh dari URL:
http://www.nationallungcancerpartnershipnews.org/files/1032/LivingWith.pdf
-
3. Anonim. Gender and Health Research “Gender in Lung Cancer and Smoking Research”. WHO. 200. (Diakses 8 Januari 2011) Diunduh dari URL: http:// http://whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241592524.pdf
-
4. Anonim. SIGN (Scottish Intercollegiate Guidelines Network). Management of Patients With Lung Cancer “A National Clinical Guidline”. NHS. 2005 (Diakses 8 Januari 2011) Diunduh dari URL: www.sign.ac.uk/pdf/sign80.pdf
-
5. Pass HI, Mitchell JB, Johnson DV, et all. Lung Cancer: Principles and Practice 2nd Edition. 2000
-
6. Johnson DH, Blot WJ, Carbone DP, et all. Abeloff’s Clinical Oncology 4th Ed. Churchill Livingstone. 2008
-
7. Husain AN. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease 8th Ed. Saunders. 2010
-
8. Strauss GM. Baum’s Textbook of Pulmonary Disease 7th Ed. OkDoKey. 2003
-
9. NHS. Lung cancer: The Diagnosis and Treatment of Lung Cancer. National Institute for Clinical Excellence. 2005 (Diakses 8 Januari 2011) Diunduh dari URL: www.nice.org.uk/nicemedia/live/13465/54209/54209.pdf
-
10. O’Connell F, Amstrong J, Breathnach O, Carney D, Gorgan L, McDonnell T, et all.
Guidelines for Clinical Management of Lung Cancer. 2004. (Diakses 2 Januari 2011) Diunduh dari URL: http://www.imj.ie/Archive/Lung_Cancer_Guidelines.pdf
-
11. Wallace MB, Pascual JMS, Raimondo M, et all. Minimally Invasive Endoscopic Staging of Suspected Lung Cancer. JAMA Vol 299 No 5. 2008; 540-546
-
12. Currie GP, Kennedy AM, Denison AR. Tools Used In The Diagnosis and Staging Of Lung Cancer: What’s Old and What’s New?. Q J Med. 2009; 102:443–448
-
13. Detterbeck FC, Jantz MA, Wallace M, et all. Invasive Mediastinal Staging of Lung Cancer: ACCP Evidence-Based Clinical Practice Guidelines (2nd Edition). Chest. 2007; 132;202S-220S
-
14. Eckardt J, Petersen HO, Kermani-Hakami A, et all. Endobronchial Ultrasound-Guided Transbronchial Needle Aspiration Of Undiagnosed Intrathoracic Lesions. Interactive CardioVascular and Thoracic Surgery. 2009; 9:232-235
-
15. Tournoy KG, Praet MM, Van Maele G, Van Meerbeeck P. Esophageal Endoscopic Ultrasound With Fine-Needle Aspiration With an On-site Cytopathologist: High Accuracy for the Diagnosis of Mediastinal Lymphadenopathy. Chest. 2005;
128;3004-3009
-
16. Rintoul RC, Skwarski KM, Muchison JT, et all. Endoscopic and Endobronchial Ultrasound Real-time Fine-Needle Aspiration for Staging of the Mediastinum in Lung Cancer. Chest. 2004;126;2020-2022
-
17. Varela-Lema L, Fernandez-Villar A. Ruano-Ravina A. Effectiveness and safety of endobronchial ultrasound–transbronchial needle aspiration: a systematic review. Eur Respir J. 2009; 33: 1156–1164
-
18. Silvestri GA. The Mounting Evidence for Endobronchial Ultrasound. Chest. 2009; 136;327-328
-
19. Herth FJF, Annema JT, Eberhardt R, et all. Endobronchial Ultrasound With
Transbronchial Needle Aspiration for Restaging the Mediastinum in Lung Cancer. American Society of Clinical Oncology Vol 26. 2008; 3346-3350
-
20. Cerfolio RJ, Bryant AS, Eloubeidi MA. Routine Mediastinoscopy and Esophageal Ultrasound Fine-Needle Aspiration in Patients With Non-small Cell Lung Cancer Who Are Clinically N2 Negative: A Prospective Study. Chest. 2006;130;1791-1795
-
21. Silvestri GA, Hoffman B, Reed CE. One From Column A : Choosing Between CT, Positron Emission Tomography, Endoscopic Ultrasound With Fine-Needle Aspiration, Transbronchial Needle Aspiration, Thoracoscopy, Mediastinoscopy, and Mediastinotomy for Staging Lung Cancer. Chest. 2003;123;333-335
-
22. De Lryn P, Lardinois D, Van Schil PE, et all. ESTS guidelines for preoperative lymph node staging for non-small cell lung cancer. Eur J Cardiothorac Surg. 2007; 32:1-8
-
23. Yasafuku K, Nnakajima T, Motoori K, et all. Comparison of Endobronchial Ultrasound, Positron Emission Tomography, and CT for Lymph Node Staging of Lung Cancer. Chest. 2006; 130;710-718
-
24. Fritscher-Ravens A, Soehendra N, Schirrow L, et all. Role of Transesophageal Endosonography-Guided Fine-Needle Aspiration in the Diagnosis of Lung Cancer. Chest. 2000; 117;339-345
-
25. Weiner GM, Schulze K, Geiger B, et all. CT Bronchoscopic Simulation for Guiding Transbronchial Needle Aspiration of Extramural Mediastinal and Hilar Lesions: Initial Clinical Results. Radiology: Volume 250: Number 3. 2009
Gambar 1. Pangkal distal EBUS menunjukkan lengkungan tranduser ultrasound yang dibungkus dengan balon yang menggembung dan sebuah jarum aspirasi 22 Gauge menonjol keluar melalui lubang biopsi.16
Superior Mediastinal Nodes
-
• 1 Highest Mediastmal
Φ 2 Upper Paratracheal
-
• 3 Pre-vascularand Retrotracheal
O 4 Lower Paratracheal
(including Azygos Nodes)
N2=single digit, ipsilateral
Ni=SingIe digit, contralateral or supraclavicular
Aortic Nodes
-
• 5 Subaortic(A-Pwindow)
φ 6 Para aortic (ascending
aorta or phrenic)
Gambar 2. Daerah nodus limfa regional untuk staging kanker paru menurut Mountain
22
dan Dresler.22
Gambar 3. Ilustrasi tingkatan nodus yang dapat diraih dengan menggunakan metode EBUS-FNA (kiri) dan EUS-FNA (kanan) menurut Mountain dan 22
Dresler.22
Keterangan:
-
(1) Mediastinal teratas
-
(2) Paratrakeal atas
-
(4) Paratrakeal bawah
-
(5) Subaortik
-
(7) Subkarinal
-
(8) Paraesofageal
-
(9) Ligamen pulmonar
-
(10) Hilar
-
(11) Interlobar
-
(12) Lobar
EBUS-FNA dan Mediastinokopi
EBUS-FNA
EUS-FNA
Gambar 4. Teknik sampling dan diagnosis yang dapat dicapai pada daerah nodus limfa mediastinal dan hilar. EBUS-FNA dilakukan dari saluran udara yang 23 berlawanan dengan EUS-FNA yang dilakukan melalui esofagus.23
Gambar 5. (Kiri) hasil pencitraan EBUS pada nodus limfa yang menunjukkan gambaran hipoechoik, homogen, dan bulat, ditunjukkan dengan pemeriksaan sitologi sebagai suatu malignansi. (Kanan) pencitraan EBUS pada nodus limfa menunjukkan jarum aspirasi yang berada dalam nodus (lihat tanda panah).16
Gambar 6. Radiografi toraks menunjukkan infiltrasi pada bagian lobus mediolateral (gambar kiri), dan EUS-FNA pada nodus limfa dengan ukuran 1,1 x 0,5 cm dekat atrium kiri (gambar kanan) pada pasien dengan kecurigaan kanker paru.24
Tabel 1. Staging NSCLC (berdasarkan klasifikasi TNM).1, 6 ,7, 9, 10
Tumor Primer (T) | |
Tx |
Tumor primer tidak bisa diakses atau tumor dibuktikan dari keberadaan sel malignansi pada sputum atau sekret bronkial tapi tidak terbukti secara visual dengan pencitraan atau bronkoskopi |
T0 |
Tidak ada bukti tumor primer |
Tis |
Karsinoma insitu |
T1 |
Tumor dengan diameter < 3 cm, tidak ada invasi pada pleura visceral, tidak ada invasi pada bronkus proksimal – lobar |
T2 |
Diameter > 3cm, batang utama bronkus terlibat > 2cm dari karina utama. Invasi pada atelektasis pleura visceral/pneumonitis obstruktif memanjang sampai hilum tapi tidak seluruh paru |
T3 |
Invasi pada dinding dada, diafragma, pleura mediastinal, perikardium parietal, batang bronkus utama < 2 cm dari karina, tapi tidak melibatkan atelektasis karina utama/pneumonitis obstruktif pada seluruh paru |
T4 |
Mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, vertebra, karina utama, malignansi pleural atau efusi perikardial, nodul satelit dalam lubus yang sama pada tumor primer |
Nodus Limfa (N) | |
N0 |
Tidak ada keterlibatan nodul |
N1 |
Nodus peribronkial ipsilateral, intrapulmoner dan/atau hilar dengan invasi langsung atau metastasis |
N2 |
Nodus mediastinal ipsilateral dan/atau subkarinal |
N3 |
Nodus hilar kontralateral atau mediastinal |
Metastasis Jauh (M) | |
M0 |
Tidak ada metastasis jauh |
M1 |
Metastasis jauh atau nodul pulmonari satelit pada lobus yang terpisah dari tumor primer |
Satage secara keseluruhan | |||
0 |
Tis |
N0 |
M0 |
Ia |
T1 |
N0 |
M0 |
Ib |
T2 |
N0 |
M0 |
IIa |
T1 |
N1 |
M0 |
IIb |
T2 |
N1 |
M0 |
T3 |
N0 |
M0 | |
IIIa |
T3 |
N1 |
M0 |
T1-3 |
N2 |
M0 | |
IIIb |
T sebarang |
N3 |
M0 |
T4 |
N sebarang |
M0 | |
IV |
T sebarang |
N sebarang |
M1 |
Tabel 2. Staging SCLC. 6, 7, 9, 10
Tingkat terbatas |
Tingkat luas |
(setara dengan NSCLC tingkat Ia - IIIa/b) |
(setara dengan NSCLC tingkat IIIb/IV) |
Tabel 3. Hasil diagnosis akhir lesi dengan menggunakan sitologi EUS-FNA (pada 35 pasien, termasuk pasien dengan karsinoma signet-cell pada sitologi cairan pleural dan hasil negatif palsu pada pemeriksaan EUS-FNA).24
IXagnosis |
No. |
Malignancy (n = 25) | |
ΞC1Γ ' |
10 |
Adenocarcinoma |
11 |
SqnaiibDiis cell cancer |
3 |
Non-Hodgkins Iymphoma |
1 |
Benign (n = 9) | |
Inflammatory |
5 |
Sarcoidosis |
2 |
Antliraeosis |
2 |
Keterangan :
-
(1) nodus mediastinal teratas
-
(2) nodus paratrakeal atas
-
(3) nodus prevaskular dan retrotrakeal
-
(4) nodus paratrakeal bawah
-
(5) nodus subaortik/jendela aortopulmonari
-
(7) nodus subkarinal
-
(10) nodus hilar
-
(11) nodus interlobar
-
(12) nodus lobar
-
(13) nodus segmental
(L) kiri (R) kanan (P) posterior
Gambar 7. Skematik posisi nodal pada cabang trakeobronkial menurut American Joint
Committee on Cancer dan Union Internationale Contre le Cancer, disertai 25 jumlah lesi target per nodal yang ditunjukkan dalam tanda kurung.25
20
Discussion and feedback