ISSN: 2303-1395                  E-JURNAL MEDIKA, VOL. 7 NO.12,Desember, 2018

I!--∖f—∖ Λ i DIRECTORY OF OPEN ACCESS I_V_V/ ∖-^J JOURNALS

POLA KEPEKAAN BAKTERI Salmonella typhi TERISOLASI DARI DARAH TERHADAP SIPROFLOKSASIN DAN SEFTRIAKSON DI RSUP SANGLAH

PERIODE JANUARI 2015 - MARET 2017

Saraswati P. Yogita1, Made Agus Hendrayana2, I Dewa Made Sukrama2 1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Departemen Mikrobiologi Klinis Fakultas Kedokteran Universitas Udayana;

Jalan PB Sudirman, Denpasar, Bali Email: [email protected]

ABSTRAK

Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang dapat menyebabkan demam tifoid, septicemia (infeksi bakteri di dalam aliran darah) dan gastroenteritis. Penyebaran strain resisten S. typhi terhadap antibiotika lini pertama dan kedua yakni Siprofloksasin dan Seftriakson menjadi perhatian yang sangat serius di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Untuk itu, perlu dilakukan penilitan lebih lanjut untuk mendapatkan data agar penggunaan antibiotika secara rasional, efektif serta untuk mencegah terjadinya multidrug-resistant S. typhi (MDR-ST) di RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini merupakan deskriptif observasional dengan rancangan cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah pasien dengan isolat S. typhi yang telah di kultur darah dan dilakukan uji kepekaan kuman di RSUP Sanglah Denpasar pada Januari 2015 hinggga Maret 2017. Pemilihan sampel menggunakan total sampling dengan total sampel 30. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu S. typhi memiliki tingkat sensitivitas sebesar 100% terhadap antibiotika Siprofloksasin maupun Seftriakson sehingga dapat digunakan sebagai antibiotika pilihan untuk therapy pada infeksi S. typhi di RSUP Sanglah Denpasar.

Kata Kunci: Salmonella typhi, sensitivitas, Siprofloksasin, Seftriakson

ABSTRACT

Salmonella typhi is a gram-negative, rod-shape bacilli that can cause gastroenteritis, septicemia, and typhoid fever. The spread of multidrug-resistant S. typhi (MDR-ST) is a significant concern in Indonesia. Therefore, further research is needed to assess whether Ciprofloxacin and Ceftriaxone, which are widely used as the first and second-line against the S. typhi infection in Indonesia, are still effective. The obtained data can then be used as a reference in the clinic in order to support the rational use of antibiotics, effectiveness and prevent the occurrence of MDR-ST in Sanglah General Hospital Denpasar. This study is a descriptive cross-sectional study to assess the susceptibility of S. typhi isolates to Ciprofloxacin and Ceftriaxone in Sanglah General Hospital Denpasar. S. typhi isolates are obtained from patient's positive blood culture and has been tested for antimicrobial susceptibility in Microbiology Laboratory of Sanglah General Hospital. Data was collected using total sampling method from January 2015 until March 2017 with a total of 30 obtained data. The results of this research showed that S. typhi susceptibility to Ciprofloxacin and Ceftriaxon is 100% sensitive. Therefore, these two drugs can still be used optimally to treat patients with S. typhi infection at Sanglah General Hospital Denpasar.

Keywords: Salmonella typhi, susceptibility, Ciprofloxacin, Ceftriaxone

I--∖r—S Λ I DIRECTORY OF OPEN ACCESS

I_J‰m√∕ X-J JOURNALS

PENDAHULUAN

Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang menyebabkan infeksi sistemik dengan gambaran demam yang berlangsung lama. Secara klinis, infeksi S. typhi menyebabkan demam tifoid, septicemia (infeksi bakteri di dalam aliran darah) dan gastroenteritis. Di negara berkembang, infeksi S. typhi yang menular melalui fecal-oral ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat.1 Mikroorganisme ini dapat menyebabkan demam pada penduduk miskin dengan sanitasi yang buruk, mengkonsumsi makanan dan air yang terkontaminasi, wisatawan yang mengunjungi negara endemik juga sangat berisiko.2

Infeksi S. typhi telah menjadi masalah kesehatan global utama. Diperkirakan bahwa infeksi S. typhi menyebabkan 200.000 kematian dan 22 jutaan penyakit per tahun di seluruh dunia terutama di negara-negara berpenghasilan rendah. Di Indonesia, insiden tinggi dengan perkiraan sekitar 300-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun dimana kasus berkisar antara 600.0001.500.000 pertahun.3 Insiden infeksi S. typhi masih dianggap tinggi meskipun komplikasi dan tingkat kematian telah menurun dengan bantuan diagnosis dini dan pengobatan yang tepat.1

Bakteri S. typhi, telah menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas di negara berkembang dan maju yang cukup tinggi. Hal ini diyakini bahwa epidemi yang disebabkan oleh S. typhi telah mempengaruhi angka mortalitas dan morbiditas, bahkan pada saat ini, efek dari infeksi S. typhi itu sendiri memberi beban pada penduduk yang ada di negara-negara berkembang maupun maju.4

Perlawanan terhadap agen antimikroba dan kemungkinan terjadinya resistensi telah menjadi masalah yang sangat serius bagi tenaga kesehatan. Di daerah-daerah di mana kasus infeksi S. typhi tinggi, akses ke fasilitas kesehatan sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis meskipun kadang tidak akurat. Ketersediaan obat yang terjangkau dan efektif tanpa resep di banyak wilayah di seluruh dunia dapat membuat individu yang terinfeksi merasa tidak perlu mengkunjungi pelayanan kesehatan.1 Populasi multidrugresistant S. typhi (MDR-ST) meningkat di negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Munculnya patogen resisten terhadap obat-obat first-line menimbulkan tantangan yang cukup besar sehingga menjadi sulit untuk pengobatan dan pencegahan infeksi S. typhi. Penyebaran strain

resisten terhadap antibiotika menjadi perhatian yang serius di seluruh dunia, khususnya di Indonesia.5 Jumlah isolat S. typhi yang resisten terhadap antibiotika telah diidentifikasi terus meningkat, menunjukkan bahwa penyebaran strain resisten antibiotika merupakan ancaman besar bagi kesehatan masyarakat.4

Berdasarkan masalah kesehatan yang timbul oleh karena MDR-ST maka penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat sensitivitas bakteri S. typhi terhadap antibiotika Siprofloksasin dan Seftriakson di Instalasi Mikrobiologi Klinik RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2015 hingga Maret 2017. Manfaat dari penelitian ini bagi tenaga kesehatan yaitu untuk menambah informasi terkait penggunaan antibiotika secara efektif dan rasional untuk mencegah terjadinya MDR-ST, serta sebagai masukan dan bahan evaluasi bagi pihak rumah sakit.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini adalah suatu penelitian observasional deskriptif menggunakan rancangan penelitian cross-sectional. Rancangan penelitian ini bertujuan untuk dapat menggambarkan serta menginterpretasikan hasil isolat S. typhi yang diambil dari data dokumentasi pola kepekaan kuman terhadap antibiotika Siprofloksasin dan Seftriakson di Instalasi Mikrobiologi Klinik RSUP Sanglah Denpasar pada periode Januari 2015 hingga Maret 2017. Populasi target pada penelitian ini adalah isolat S. typhi yang diperoleh dari kultur sampel darah pasien. Populasi terjangkau dari penilitian ini adalah isolat S. typhi yang telah di kultur darah lalu dilakukan uji kepekaan kuman terhadap Siprofloksasin dan Seftriakson di Instalasi Mikrobiologi Klinik RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari 2015 hingga Maret 2017. Subjek penilitian adalah isolat S. typhi yang telah di kultur darah dan dilakukan uji kepekaan kuman terhadap antibiotika Siprofloksasin dan Seftriakson di Instalasi Mikrobiologi Klinik RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari 2015 hingga Maret 2017 yang dapat memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi merupakan isolat dengan hasil kultur darah menunjukkan adanya koloni bakteri S. typhi dan telah dilakukan uji kepekaan kuman terhadap Siprofloksasin dan Seftriakson yang tercatat di buku dokumentasi pola kepekaan kuman di Instalasi Mikrobiologi Klinik RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari 2015 hingga Maret 2017. Kriteria eksklusi merupakan isolat

I--∖r—S Λ I DIRECTORY OF OPEN ACCESS

I_J‰m√∕ X-J JOURNALS

dengan hasil kultur darah yang tidak menunjukkan adanya koloni bakteri S. typhi dan tidak tercatat di buku dokumentasi pola kepekaan kuman.

HASIL

Isolat S. typhi positif terdapat pada 30 dari total 6833 kultur sampel darah pasien yang tercatat di buku registrasi Instalasi Mikrobiologi Klinik RSUP Sanglah.

Frekuensi dan persentase tingkat sensitivitas S. typhi terhadap beberapa antibiotika di RSUP Sanglah periode Januari 2015 sampai dengan Maret 2017 dapat dilihat pada Tabel 1 dimana isolat tersebut diuji sensitivitasnya dengan antibiotika Ampisilin, Ampisilin/Sulbactam, Piperasilin/Tazobactam, Ceftazidime, Seftriakson, Cefepime, Aztreonam, Meropenem, Amikacin, Gentamicin, Siprofloksasin, Tigecycline, dan Trimetoprim/Sulfametoksazol yang tertuang dalam Gambar 1.

Tabel 1Frekuensi dan Persentase Tingkat Sensitivitas S. typhi

Jenis Antibiotika

Frekuensi Sensitivitas Antibiotika untuk S. typhi

Jumlah

Persentase Sensitivitas Antibiotika untuk S. typhi (%)

Jumlah

Sensitif

Resisten

Sensitif

Resisten

Ampisilin

29

1

30

96.7

3.3

100

Ampisilin/Sulbactam

29

1

30

96.7

3.3

100

Piperasilin/Tazobacta

30

0

30

100

0

100

m

Ceftazidime

30

0

30

100

0

100

Seftriakson

30

0

30

100

0

100

Cefepime

30

0

30

100

0

100

Aztreonam

30

0

30

100

0

100

Meropenem

30

0

30

100

0

100

Amikacin

0

30

30

0

100

100

Gentamicin

0

30

30

0

100

100

Siprofloksasin

30

0

30

100

0

100

Tigecycline

29

0

30

96.7

0

100

Trimetoprim/

30

0

30

100

0

100

Sulfametoksazol

Gambar 1 Grafik Persentase Tingkat Sensitivitas S. typhi terhadap beberapa antiobiotika


3

DISKUSI

Di RSUP Sanglah Denpasar, bakteri S. typhi sensitif            terhadap            antibiotika

Piperasilin/Tazobactam, Ceftazidime, Seftriakson, Cefepime,      Aztreonam,      Meropenem,

Siprofloksasin, dan Trimetoprim/Sulfametoksazol (100%) dan resisten terhadap antibiotika, Amikacin, Gentamicin (100%) dengan adanya modifikasi AES (Advanced Expert System) yang dapat membantu menurunkan human error dan meningkatkan konsistensi dari hasil AST (Antimicrobial Susceptibility Testing). S. typhi memiliki tingkat sensitivitas terhadap antibiotika Siprofloksasin di RSUP Sanglah Denpasar sebanyak 100% dan Seftriakson sebagai lini kedua sebanyak 100%.

Untuk mendapatkan hasil uji sensitivitas S. typhi terhadap antibiotika tersebut, Instalasi Mikrobiologi Klinik di RSUP Sanglah Denpasar menggunakan sistem Vitek 2. Sistem Vitek 2 merupakan sistem identifikasi yang dapat mengidentifikasi jenis bakteri dan melakukan uji kepekaan bakteri tersebut terhadap antibiotika secara otomatis dalam waktu 4 jam. Hasil dari uji sensitivitas umumnya dilaporkan sebagai minimal inhibitory concentration (MIC) yang merupakan konsentrasi obat terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri dimana hasil berupa hasil kuantitatif dalam μg / mL dan interpretasi kualitatif. Interpretasi biasanya mengkategorikan setiap hasil sebagai sensitif (S), intermediet (I), resisten (R), sensitive-dose dependent (SD), atau no interpretation (NI).

Hasil uji sensitivitas bakteri S. typhi terhadap beberapa antibiotika di RSUP Sanglah Denpasar dapat dilihat pada Gambar 1 memperlihatkan S. typhi memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap antibiotika Piperasilin/Tazobactam,            Meropenem,

Ceftazidime, Seftriakson, Cefepime, Aztreonam, Siprofloksasin, dan Trimetoprim/Sulfametoksazol (100%). Sedangkan hasil uji sensitivitas bakteri S. typhi terhadap antibiotika lini pertama dan kedua menunjukkan S. typhi sensitif terhadap kedua antibiotika yaitu Siprofloksasin dan Seftriakson (100%).

Segara garis besar, S. typhi yang telah diuji terhadap beberapa antibiotika memiliki tingkat sensitivitas yang cukup tinggi kecuali terhadap antibiotika Gentamicin, Amikacin, yang menunjukkan resisten pada hasil uji sensitivitas yaitu 100% dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil ini sedikit berbeda dengan penelitian di negara maju dan serupa di negara berkembang. Di negara Jerman menyatakan bahwa isolat S. typhi menunjukkan suseptibilitas yang cukup baik

terhadap golongan aminoglikosida (Amikacin, Gentamicin) dan khusus Gentamicin yang tidak umum digunakan pada infeksi S. typhi namun sangat efektif menunjukkan hasil resisten terhadap Gentamicin yang cukup rendah yaitu 0,3%.6 Di Jayapura yang merupakan wilayah berkembang didapatkan hasil resistensi S. typhi yang cukup tinggi terhadap golongan Sefalosporin (Cefazolin, Cefepime) (75%) dimana didapatkan satu pasien yang menunjukkan kekambuhan dalam 5 - 8 minggu.7

Bulletin of the World Health Organization melakukan studi pada 5 negara Asia dengan kasus infeksi S. typhi yang cukup tinggi yaitu di Cina, India, Indonesia, Pakistan dan Vietnam. Penelitian tersebut menunjukkan hasil uji sensitivitas yang berbeda antara negara-negara tersebut terhadap antibiotika Ampisilin, Trimetoprim-sulfametaksazol, Siprofloksasin dan Seftriakson. Di Cina dan Indonesia mendapatkan hasil yang sama yaitu memiliki tingkat sensitivitas 100% terhadap antibiotika Ampisilin, Trimetoprim-sulfametaksazol, Siprofloksasin dan Seftriakson. Di sisi lain, negara Pakistan mendapatkan hasil berbeda dimana hasil tersebut menunjukkan tingkat resistensi yang cukup tinggi terhadap antibiotika Ampisilin (95%), Trimetoprim-sulfametaksazol (95%) dan Seftriakson (59%).8

Hasil uji sensitivitas bakteri S. typhi terhadap Seftriakson dan Siprofloksasin di RSUP Sanglah Denpasar dapat dilihat pada Tabel 1 memperlihatkan S. typhi memiliki tingkat sensitivitas terhadap kedua obat yaitu sebesar 100%, ini menunjukkan Seftriakson dan Siprofloksasin masih dapat digunakan untuk pengobatan infeksi S. typhi di RSUP Sanglah Denpasar. Hasil ini sedikit berbeda di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dimana isolat S. typhi yang sensitif terhadap Seftriakson 31,6% dan yang resisten 68,4% dan antibiotika yang paling sensitif terhadap S. typhi adalah Siprofloksasin (100%). Pada isolat S. typhi yang dilakukan uji sensitivitas terhadap Seftriakson di RSU Dr. Saiful Anwar Malang terdapat 23,1% sensitif dan 53,8% resisten.9

Kedua antibiotika tersebut, Seftriakson dan Siprofloksasin, memiliki mekanisme kerja yang berbeda. Seftriakson bekerja dengan cara menghambat sintesis mucopeptide di dinding sel bakteri yang berfungsi untuk mempertahankan bentuk sel dan mencegah lisis sel sehingga terjadi pembentukan dinding sel yang tidak sempurna dan kematian sel. Sedangkan Siproflokasin berkerja dengan cara menghambat kerja enzim DNA-girase yang berperan dalam proses replikasi

bakteri sehingga tidak akan terjadi proses replikasi dengan hasil bakteri akan mati dan gagal berkembang biak.10

Terdapat dua jenis bakteri yang resisten terhadap antibiotika, yaitu bakteri yang resisten secara alamiah dan bakteri yang mengalami perubahan sifat menjadi resisten, yang dapat disebabkan karena pengaruh genetik atau mutasi kromosom. Mekanisme resistensi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yaitu mekanisme yang diperantarai oleh plasmid berupa aktif efluks, pengaturan gen represor, dan enzim inaktivator yang dihasilkan oleh bakteri itu sendiri, serta mekanisme dengan mutasi kromosom sebagai mediator yaitu peningkatan sintesis metabolit yang bersifat antagonis, perubahan target antibiotika, dan jalur mekanisme yang dihambat oleh antibiotika.11

Resistensi bakteri terhadap antibiotika dapat juga diakibatkan oleh proses seleksi yang terjadi karena adanya tekanan selektif dari penggunakan antibiotika maupun perubahan genetik yang terjadi pada organisme prokariotik. Perubahan genetik yaitu transduksi, transformasi dan konjugasi dapat terjadi pula pada S. typhi, karena S. typhi merupakan prokariotik. 12-13

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan munculnya resistensi dan kegagalan pengobatan adalah mengkonsumsi antibiotika dengan dosis yang tinggi, penggunaan antibiotika tidak rasional, penggobatan yang tidak optimal, dan self-medication.13 Salah satu penyebab utama selfmedication adalah kemiskinan terutama pada beberapa negara-negara berkembang sehingga masyarakat sering mengobati diri mereka sendiri tanpa mendapatkan resep dari dokter. Situasi tersebut     perlu     diperhatikan     karena

berkembangnya MDR-ST akan menyebabkan antibiotika yang dulunya efektif menjadi gagal untuk mengobati infeksi S. typhi dan justru menyebabkan komplikasi yang fatal.14

Pasien yang putus berobat atau pemberian antibiotika dengan dosis yang salah juga dapat menimbulkan resistensi. Pada umumnya, pasien menghentikan pengobatannya ketika merasa dirinya sendiri sudah sembuh sehingga     ini     memberi     kesempatan

mikroorganisme untuk tetap bertahan hidup dan mulai beradapatasi terhadap lingkungan tubuh. Dengan mulainya berbagai program pendidikan, seminar, workshop dan kerjasama dengan media yang sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintah akan membantu masyarakat untuk sadar terhadap konsekuensi pengobatan diri sendiri, terutama dengan broad spectrum antibiotika.11 Uji kepekaan kuman harus rutin dan tepat waktu

dilakukan untuk menentukan tingkat resistensi S. typhi terhadap antibiotika dengan melakukan uji minimal inhibitory concentration, E test dan disk diffusion method. Jika tidak, kemungkinkan untuk terjadinya kegagalan terapi dapat terjadi sehingga menimbulkan biaya pengobatan yang lebih mahal serta waktu pemulihan yang lebih lama.12-14 Dengan mengendalikan faktor-faktor tersebut, angka kejadian resistensi antibiotika dapat menurun sehingga lebih banyak pilihan antibiotika yang dapat digunakan untuk pengobatan yang efektif dan optimal serta mencegah terjadinya komplikasi yang fatal pada infeksi S. typhi.15

SIMPULAN

Penelitian ini menyimpulkan bahwa sensitivitas S. typhi yang terisolasi dari darah di RSUP Sanglah Denpasar adalah sebesar 100% terhadap Siprofloksasin maupun Seftriakson sehingga dapat digunakan sebagai antibiotik pilihan untuk pengobatan pada infeksi S. typhi di RSUP Sanglah Denpasar.

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan meneliti variabel-variabel lain dan dengan menggunakan sampel yang lebih besar sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi pola sensitivitas S. typhi terhadap Siprofloksasin dan Seftriakson di RSUP Sanglah Denpasar dapat diketahui. Selain itu, spesimen yang digunakan untuk mengukur sensitivitas S. typhi tidak hanya spesimen darah tapi juga spesimen lain seperti feses dan urine. UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian in tepat pada waktunya. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada dr. Made Agus Hendrayana, M.Ked selaku pembimbing I dan kepada Dr. dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si, Sp.MK(K) selaku pemimbing II.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Cooke FJ, Wain J. The emergence of antibiotic resistance in typhoid fever. Travel Medicine Infectious Disease, 2004, 2;67–74.

  • 2.    Crump JA, Mintz ED. Global trends in typhoid and paratyphoid fever. Clinical infectious diseases : an official publication of the Infectious Diseases Society of America. 2010;50(2):241-246.

  • 3.    Veteriner BP. Bahaya salmonella terhadap kesehatan. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. 2001;(30):216–24.

  • 4.    Abu-el-haija MA, Sa FM. Salmonella infections : An update on epidemiology , management , and prevention. Travel

Medicine and Infectious Disease. 2011; 9, 263e277 2011;

  • 5.    Zaki SA, Karande S. Review article Multidrug-resistant typhoid fever : a review. The Journal of Infection in Developing Countries. 2011; 5(5):324-337

  • 6.    Ruddat I, Tietze E, Ziehm D. Associations between     host     characteristics     and

antimicrobial resistance of Salmonella Typhimurium. Epidemiology and Infection Journal. 2014;2085–95.

  • 7.    Kelanit RS, Runtuboi DYP, Tri DAN. Uji Resistensi Antibiotik dan Deteksi Gen Plasmid IncHI1 Salmonella typhi Isolat Jayapura.    Jurnal    Biologi    Papua.

2016;8(1):48–56.

  • 8.    Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-holliday MC, Baiqing D, Bhattacharya SK, Agtini MD, et al. A study of typhoid fever in five Asian countries : disease burden and implications for controls. 2008;39818(April).

  • 9.    Suswati I,  Juniarti A,  Mikrobiologi D,

Kedokteran F, Muhammadiyah U. Sensitivitas   Salmonella typhi terhadap

Kloramfenikol dan Seftriakson di RSUD Dr . Soetomo Surabaya dan di RSUD Dr . Saiful Anwar Malang Tahun 2008-2009. Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia. 2009;27–32.

  • 10.    Katzung, Bertram G, Susan B. Masters, and Anthony J. Trevor. Basic & Clinical Pharmacology. New York: McGraw-Hill Medical. 2012.

  • 11.    Ali SQ, Zehra A, Naqvi BS, Shah S, Bushra R. Resistance Pattern of Ciprofloxacin Against Different Pathogens. Oman Medical Journal. 2010;25(4):294-298.

  • 12.    Mandal S, Mandal MD, Pal NK. Plasmid-Encoded Multidrug Resistance of Salmonella typhi and some Enteric Bacteria in and around Kolkata, India: A Preliminary Study. Online J Health Allied Scs. 2004;4:2

  • 13.    Baron S, Giannella RA. Salmonella. Medical Microbiology. 4th edition. Galveston (TX): University of Texas Medical Branch at Galveston; 2005. Chapter 21.

  • 14.    Yan M, Li X, Liao Q, Li F, Zhang J, Kan B. The emergence and outbreak of multidrugresistant typhoid fever in China. Emerging Microbes and Infections. 2016. 5, e62.

  • 15.    kepmenkes.               pedoman

PengendalianDemam Tifoid. Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2006. h. 21.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

6