ISSN: 2303-1395

E-JURNAL MEDIKA, VOL. 7 NO.10,Oktober, 2018

DIRECTORY OF

OPEN ACCESS

JOURNALS

DOAJ

GAMBARAN HEPATOTOKSISITAS (ALT/AST) PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS LINI PERTAMA DALAM PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU RAWAT INAP

DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2014

I Gede Juliarta1, Ni Kadek Mulyantari2, I Wayan Putu Sutirta Yasa3 1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2,3SMF Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Hepatotoksisitas merupakan keadaan dimana sel-sel hati mengalami kerusakan karena zat-zat kimia yang bersifat toksik. Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dalam pengobatan Tuberkulosis (TB) paru menjadi salah satu penyebab tersering hepatotoksisitas. Dalam tes fungsi hati, indikator yang sering digunakan untuk menilai derajat hepatotoksisitas adalah kadar SGPT/SGOT. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran hepatotoksisitas (SGPT/SGOT) penggunaan OAT di RSUP Sanglah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif potong lintang. Sampel yang digunakan adalah pasien TB paru yang dirawat inap di RSUP Sanglah pada Januari 2014 sampai Desember 2014. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rekam medik. Hasil penelitian ini yaitu dari 71 sampel penelitian didapat prevalensi hepatotoksisitas sebesar 22,5% dengan mayoritas jenis kelamin laki-laki (56,25%). Angka kejadian tertinggi pada kelompok umur 41-60 tahun (68,75%), 4). Berdasarkan kadar ALT, mayoritas derajat ringan, sedangkan berdasarkan AST, mayoritas derajat sedang. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagian besar sampel yang positif mengalami hepatotoksisitas OAT termasuk dalam kategori ringan.

Kata kunci: tuberkulosis paru, hepatotoksisitas OAT, kadar SGPT/SGOT

ABSTRACT

Hepatotoxicity is a condition in which the liver cells damaged by chemicals that are toxic. Use of AntiTuberculosis Drug (OAT) in the treatment of Tuberculosis (TB) of the lungs become one of the most common cause hepatotoxicity. In liver function tests, an indicator that is often used to assess the degree of hepatotoxicity is the level of ALT / AST. Aims of this research is to describe hepatotoxicity (ALT / AST) use of OAT in Sanglah Hospital. The method of this study is a cross sectional descriptive study. The sample used is pulmonary TB patients who are hospitalized at Sanglah Hospital in January 2014 to December 2014. The instrument used in this study is the medical record. The result is from 71 sample, the prevalence of hepatotoxicity by 22.5% with majority of male gender (56.25%). The highest incidence in the age group 41-60 years (68.75%). Based on the levels of ALT, the majority of mild degree, 5) According to AST, the majority moderate. The conclusion of this study is largely positive samples had hepatotoxicity OAT is included in the lightweight category.

Keywords: pulmonary tuberculosis, OAT hepatotoxicity, the levels of ALT / AST

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia. TB paru merupakan jenis tuberkulosis yang paling sering terjadi. World Health Organization (WHO) mendefinisikan TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Penularan penyakit ini terjadi melalui media udara dan pathogen utama penyebabnya     adalah    Mycobacterium

tuberculosis1.

Berdasarkan data WHO, prevalensi TB pada tahun 2012 adalah 12 juta kasus (berkisar antara11 juta-13 juta)1. Angka kematian tertinggi terjadi pada laki-laki dengan sekitar 816 ribu kematian, sedangkan angka kematian pada perempuan dan anak-anak masing-masing 410 ribu dan 74 ribu kasus kematian. Di tahun 2012 Indonesia menempati urutan ke 4 angka insiden TB tertinggi secara global dengan prevalensi TB paru di Indonesia

adalah 0,4% dan prevalensi tertinggi terdapat di Jawa Barat yakni sebesar 0,7%1,2.

Sejak tahun 1995 Indonesia mulai mengadopsi sistem Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy (DOTS) dalam penanggulangan penyakit TB. Sistem ini memfokuskan pada kerjasama semua elemen yang terlibat dalam pengobatan seperti pemerintah, tenaga kesehatan, dan keluarga untuk bersinergi dalam mensukseskan pengobatan TB3. Obat utama yang direkomendasikan dalam sistem ini adalah Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama yang terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan etambutol (E) atau streptomisin (S)4.

Pengobatan TB dapat menyebabkan kerusakan hati karena OAT khususnya isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid bersifat hepatotoksik5. Oleh karena itu, monitoring fungsi hati sangat penting dilakukan. Khususnya di rumah sakit, salah satu

I—∖/—∖ λ directoryof OPEN ACCESS IJOURNALS pemeriksaan rutin yang dikerjakan adalah pemeriksaan serum transaminase untuk mengetahui kadar dan elevasi aspartate aminotransferase (AST) atau serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) dan alanine aminotransferase (ALT) atau serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) yang biasanya terjadi kurang dari 2 minggu pertama. Pemeriksaan ini biasa dilakukan 1-2 kali per minggu selama pengobatan di rumah sakit6.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti berencana melakukan penelitian tentang hepatotoksisitas pengunaan OAT untuk mengetahui bagaimana gambaran kejadian hepatotoksisitas pada pasien TB paru yang mendapat pengobatan OAT dan dirawat inap di rumah sakit dengan indikator kadar serum       aspartate       aminotransferase

(AST/SGOT) dan alanine aminotransferase (ALT/SGPT).

HASIL

Pada penelitian yang dilakukan di instalasi rekam medik RSUP Sanglah ini, http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif cross sectional. Populasi target dalam penelitian ini adalah semua pasien TB paru, sedangkan populasi terjangkau yang digunakan adalah pasien TB paru yang mendapat pengobatan OAT dan dirawat inap di Departemen Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2014. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian adalah total sampling. Data diambil dari rekam medis pasien di Instalasi Rekam Medis.

Variabel penelitian terdiri atas usia, jenis kelamin, kadar SGPT (ALT), kadar SGOT (AST). Data dikumpulkan dari rekam medis pasien kemudian diolah dengan dianalisis univariat untuk menghitung frekuensi, distribusi, dan karakteristik sampel penelitian.

terpilih 71 sampel yang semuanya telah memenuhi kriteria inklusi dan esklusi. Semua data responden diambil dari data

Il—∖/—∖ λ directoryof OPEN ACCESS IJOURNALS

rekam medis pasien penderita Tuberkulosis      tahun 2014.

paru (TB paru) yang mengkonsumsi OAT

Tabel 1 Karakteristik Sampel Penelitian (n=73)

Variabel

Jumlah

Presentase (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki

46

64,8

Perempuan

25

35,2

Umur

≤20

9

12,7

21-40

18

25,3

41-60

31

43,7

>60

13

18,3

Dari Tabel 1, didapat perbedaan presentase yang cukup besar antara pasien TB paru laki-laki dibanding perempuan yaitu 64,8% berbanding 35,2 %. Dari segi umur didapat bahwa pasien TB paru yang mengkonsumsi OAT paling banyak dijumpai pada kelompok umur 41-60 tahun, yaitu sebanyak 31 penderita (43,7%), yang paling sedikit dijumpai pada kelompok umur ≤20 yaitu sebanyak 9 pasien (12,7%).

Dari Tabel 2 didapat bahwa prevalensi hepatotoksisitas OAT adalah 22,5%. Berdasarkan jenis kelamin didapat bahwa secara umum penderita dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak mengalami hepatotoksisitas dibandingkan penderita dengan jenis kelamin perempuan baik. Sementara berdasarkan umur didapat bahwa secara umum kelompok umur 41-60 tahun paling banyak menderita hepatotoksisitas OAT.

DOAJ

Tabel 2 Prevalensi Hepatotoksisitas Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Berdasarkan Usia dan

Jenis Kelamin

Karakteristik

Hepatotoksisitas (+/-)

Jumlah, N (%)

(+), n (%)

(-), n (%)

Laki-laki

9 (19,6)

37 (80,4)

46 (100)

Jenis Kelamin

Perempuan

7 (28%)

18 (72)

25 (100)

≤20

1 (11,1)

8 (88,9)

9 (100)

21-40

1 (5,6)

17 (94,4)

18 (100)

Umur

41-60

11 (35,5)

20 (64,5)

31 (100)

>60

3 (23,1)

10 (76,9)

13 (100)

Dari Tabel 3, dari indikator SGPT didapat bahwa penderita TB paru yang mengkonsumsi OAT sebagian besar tidak mengalami hepatotoksisitas dengan kadar SGPT ≤35 IU/L, yaitu sebanyak 59 penderita (83,1%), sementara yang menderita hepatotoksik dengan rincian: kelompok hepatotoksisitas ringan dengan kadar SGPT 36-50 IU/L sebanyak 8 penderita (11,3%), kelompok hepatotoksisitas sedang dengan kadar SGPT 51-300 IU/L sebanyak 4 penderita (5,6%).

Tidak ada pasien pada kelompok hepatotoksisitas berat dengan kadar SGPT >300 IU/L (0%).

Dengan indikator SGOT, didapat bahwa penderita TB paru yang mengkonsumsi OAT sebagian besar memiliki kadar SGOT ≤40 IU/L, yaitu sebanyak 60 penderita (84,5%), kelompok kadar SGOT 40-50 IU/L sebanyak 4 penderita (5,6%), kelompok kadar SGOT 51-215 IU/L sebanyak 7 pederita (9,9%). Tidak ada pasien pada kelompok kadar SGOT >215 IU/L (0%).

DOAJ

Tabel 3 Distribusi Sampel Berdasarkan Kadar SGPT dan SGOT (n=71)

Karakteristik

Jumlah, n (%)

≤35

59 (83,1)

36-50

8 (11,3)

Kadar SGPT (IU/L)

51-300

4 (5,6)

>300

0 (0)

≤40

60 (84,5)

40-50

4 (5,6)

Kadar SGOT (IU/L)

51-215

7 (9,9)

>215

0 (0)

PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian didapat bahwa prevalensi hepatotoksisitas OAT adalah 22,5%. Hal ini sesuai dengan Pandit dkk yang menyatakan bahwa rata-rata terjadi 228% hepatotoksisitas akibat penggunaan OAT. Adanya variasi faktor genetik tiap-tiap individu seperti variasi jalur bioaktifasi enzim cytochrome P450 (fase I), reaksi detosifikasi dengan N-acetyl transferase 2, glutathione S-transferase, dan uridine diphosphate glucuronosyl transferase (fase II), dan hepatic transport (fase 3) dan fisiologi masing-masing individu akan http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

menyebabkan perbedaan tingkat risiko seseorang untuk mengalami hepatotoksisitas7.

Sebagian besar merupakan kasus hepatotoksisitas ringan. Menurut Abera dkk., adanya variasi lama waktu pemberian akan menyebabkan perbedaan tingkat kerusakan sel-sel hati. Peningkatan enzim transaminase hati akan mulai terjadi dihari kesepuluh. Pada penelitian ini lama rawat inap tidak terlalu panjang sehingga hanya terjadi sedikit peningkatan enzim transaminase pada sebagian besar pasien8.

Dari hasil penelitian didapat bahwa jumlah pasien laki-laki yang mengalami hepatotoksisitas OAT lebih banyak dari pasien perempuan dengan perbandingan presentase 56,25% berbanding 43,75%. Hal ini kemungkinan terjadi karena sebagian besar penderita TB paru yang menjadi subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki sehingga peluang untuk terjadinya hepatotoksisitas akan semakin besar, namun tidak ada sumber yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih mudah mengalami hepatotoksisitas      OAT      dibanding

perempuan9.

Dari hasil penelitian, dapat dilihat secara umum angka hepatotoksisitas tertinggi terdapat pada kelompok umur 4160 tahun. Khadka dkk dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa dengan semakin meningkatnya umur maka risiko untuk terjadinya hepatotoksisitas OAT akan semakin tinggi karena penurunan fungsi hepar. Selain itu, penurunan fungsi ginjal

karena proses penuaan juga akan mempengaruhi tingkat hepatotoksisitas OAT karena penurunan ekskresi9.

Dari hasil penelitian, sampel terbanyak terdapat pada kelompok kadar SGPT ≤35 IU/L, yaitu sebanyak 59 penderita (83,1%), kelompok SGPT 36-50 IU/L sebanyak 8 penderita (11,3%), kelompok SGPT 51-300 IU/L sebanyak 4 pederita (5,6%). Tidak ada pasien pada kelompok >300 IU/L.

Dari hasil penelitian, sampel terbanyak terdapat pada kelompok kadar SGOT ≤40 IU/L, yaitu sebanyak 60 penderita (84,5%), kelompok SGOT 40-50 IU/L sebanyak 4 penderita (5,6%), kelompok SGOT 51-215 IU/L sebanyak 7 pederita (9,9%). Tidak ada pasien pada kelompok >215 IU/L. Dengan presentase yang hampir sama dengan indikator SGPT, terjadi 15,5% kasus hepatotoksisitas akibat penggunaan OAT dengan sebagian besar tergolong hepatotoksisitas sedang.

Terjadi masing-masing 16,9% dan 15,5% kasus hepatotoksisitas penggunaan OAT dengan indikator kadar SGPT dan SGOT. Hal ini sesuai dengan Saukkoen dkk., yang menyatakan bahwa SGPT merupakan marker laboratorium yang lebih spesifik untuk gangguan hati dibanding SGOT yang banyak terdapat di organ lain seperti otot, jantung, dan ginjal. Sehingga dapat dilihat pada penelitian ini jumlah kasus hepatotoksisitas dengan indikator SGPT lebih banyak meskipun dengan perbedaan presentase yang tidak terlalu besar.

Penggunaan indikator SGPT mengakibatkan perbedaan pada presentase yang mengalami hepatotoksisitas ringan dan sedang dengan presentase masing-masing 4% dan 15%. Namun bila menggunakan indikator SGOT, terjadi kesesuaian besar kecilnya presentase yang mengalami hepatotoksisitas ringan dan sedang dengan dengan penelitian Khadka dkk masing-

masing sebesar 7% dan 9%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan metode sampling, variasi lama pemberian obat, perbedaan komposisi sampel, dan faktor host9.

Pada penelitian Khadka dkk tidak diterapkan kriteria eksklusi dalam pemilihan sampel penelitian sehingga komposisi sampel yang didapatkan akan lebih luas dengan lebih banyak variabel pengganggu. Adapun pada penelitian ini, kriteria eksklusi yang saya gunakan untuk mengeliminir faktor-faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan peningkatan enzim transaminase hepatic adalah konsumsi alkohol, penderita hepatitis B dan C, konsumsi obat-obatan lain yang biasa menyebabkan hepatotoksisitas seperti asetaminofen, amiodarone, omeprazole, klorpromazine, kaptopril.

Perbedaan lama pemberian obat akan berpengaruh terhadap tingkat kerusakan sel-sel hepar8. Semakin lama waktu pemberian

I λ directoryof OPEN ACCESS IJOURNALS obat maka semakin parah tingkat kerusakan sel-sel hepar. Pada penelitian ini rata-rata lama pemberian obat (rentang waktu rawat inap) kurang dari 30 hari, sementara pada penelitian Khadka lama waktu pemberian obat tidak disebutkan karena pasien-pasien berasal dari berbagai klinik TBC sehingga susah untuk menentukannya.

Komposisi sampel seperti usia, gender, hormonal, nutrisi, kehamilan, medikasi dan kondisi pasien akan memperngaruhi hasil penelitian. Faktor host juga merupakan hal yang sangat berperan pada perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian Khadka. Masing-masing individu akan mempunyai sensitifitas yang berbeda-beda terhadap OAT sehingga peningkatan enzim transaminase yang terjadi pada keseluruhan sampel akan beragam7.

SIMPULAN

Prevalensi hepatotoksisitas OAT pada pasien TB paru rawat inap yang mendapat pengobatan OAT lini pertama di http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

RSUP Sanglah pada tahun 2014 adalah 22,5%. Presentase pasien laki-laki yang mengalami hepatotoksisitas OAT lebih banyak dari pasien perempuan dengan perbandingan 56,25% berbanding 43,75%. Kejadian hepatotoksisitas tertinggi terdapat pada kelompok umur 41-60 tahun dengan presentase 68,75%. Dengan menggunakan indikator kadar SGPT, sebagian besar pasien (84,5%) tidak mengalami hepatotoksisitas OAT,     namun untuk kasus positif

hepatotoksisitas OAT sebagian besar (11,3%) termasuk dalam kategori ringan. Dengan menggunakan indikator kadar SGOT, sebagian besar pasien (83,1%) tidak mengalami hepatotoksisitas OAT, namun untuk kasus positif hepatotoksisitas OAT sebagian besar (9,9%) termasuk dalam kategori sedang.

Daftar Pustaka

  • 1.    World Health Organization, (2013). Global Tuberculosis Report 2013. Geneva, pp. 1-5. Available from: www.who.org [Accessed 14 January 2015].

DOAJ

  • 2.    Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia, (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta, p.103. Available from: www.litbang.depkes.go.id [Accessed 15 January 2015].

  • 3.    Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, (2009). Kepmenkes RI no 364/Menkes/SK/V/2009     tentang

Pedoman        Penanggulangan

Tuberkulosis (TB). Jakarta

  • 4.    Departemen Kesehatan Republik Indonesia,    (2011).    Pedoman

Penanggulangan      Tuberkulosis.

Jakarta       Available       from:

www.depkes.go.id [Accessed 15 January 2015].

  • 5.    Dey P, Giovany S, Arbert A., 2013. An Overview on Drug-Induced Hepatotoxicity. Asian Journal Of Pharmaceutical and Clinical Research 2013., 6:1-4.

  • 6.    Kar P. 2012. Tuberculosis and Liver Disease:    management    issues.

Tropical Gastroenterology 2012., 6(4):102-106.

  • 7.    Chen R.  2015. Key Factors of

Susceptibility to Anti Tuberculosis Drug Induced Hepatotoxicity. Arch Toxicol 2015., 89(6):883-897.

  • 8.    Abera, Julian S., 2015. Incidence of Antituberculosis Drug Induced Hepatotoxicity and Associated Risk Factor Among Tuberculosis Patients in Dawro Zone, South Ethiopia: A Cohort Study

  • 9.    Khadka, Thompson A., 2009. The Study    of    Drug    Induced

Hepatotoxicity in ATT Patients Attending in National Tuberculosis Center in Bhaktapur. Saarc J Tuber Lung Dis HIV/AIDS 2009., 17-21.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

1