INSOMNIA YANG DIKAITKAN DENGAN TRAVELLING

Erica Lidya Yanti

Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth edition (DSM-IV), insomnia merupakan suatu keluhan yang dialami pasien berupa kesulitan dalam memulai tidur, mempertahankan kondisi tidur (tidak terbangun), atau tidur yang tidak menyegarkan selama 1 bulan atau lebih. Pada umumnya sekitar 35% orang dewasa mengalami insomnia selama satu tahun, setengahnya merupakan insomnia berat. Perbandingan terjadinya insomnia pada wanita dan pria adalah 1,5:1. Saat seseorang bepergian jauh juga akan meningkatkan resiko terjadinya gangguan tidur karena adanya perbedaan waktu antara daerah yang satu dengan lainnya. Hal ini sering disebut sebagai jet lag. Pada intinya, jet lag merupakan akibat dari ketidaksesuaian yang terjadi setelah melewati daerah dengan waktu yang terlalu cepat. Jet lag memiliki ciri ketidaksesuaian yang sementara antara endogen sirkardian tidur/bangun dan lingkungan fisik eksternal yang mengarah pada perubahan waktu. Hal ini dapat di terapi dengan mengatur kembali ritme sirkardian baik itu dengan mengatur ulang ritme tidur seseorang maupun dengan terapi farmakologis lain yang sesuai.

Kata kunci: Insomnia, Jet lag

INSOMNIA DUE TO TRAVELLING

Erica Lidya Yanti

Department of Psychiatry, Medical School, Udayana University/ Sanglah Hospital

Denpasar

ABSTRACT

Based on Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth edition (DSM-IV, insomnia is characterized by difficulty initiating or maintaining sleep, or having nonretorative or nonrestful sleep, for least 1 month. Commonly in adult population, 35% experience insomnia during the course of 1 year, half experience the problem as severe. The comparision of insomnia between female to male is 1,5:1. Person who are having long travel, it will increase the risk of sleep disorder cause of difference time of zone. It called jet lag. Jet leg is characterized by a temporary misalignment between the endogenous circardian sleep or wake rhythm and the external physical environment due

to a change in time zone. It can be treated by resynchronization the circardian rhythms with resetting the rhythms of sleep or pharmacotherapy as reasonable treatment option.

Keywords: Insomnia, Jet lag disorder

PENDAHULUAN

Travel Medicine merupakan ilmu kedokteran yang mempelajari tentang promosi kesehatan dan pencegahannya kepada masyarakat, budaya dan lingkungan yang menjadi daerah tujuan wisata untuk dapat mencegah penyakit atau masalah kesehatan lainnya pada pelancong internasional maupun penduduk lokal. Travel medicine lebih fokus kepada promosi kesehatan yaitu mempertahankan kesehatan baik bagi pelancong maupun populasi lokal. Traveller atau pelancong merupakan orang yang bepergian dalam kurun waktu tertentu untuk tujuan tertentu seperti berwisata, kegiatan seminar ataupun kegiatan lainnya. Karena lamanya waktu yang diperlukan untuk menempuh suatu perjalanan, maka kegiatan berwisata atau travelling ini dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit atau tubuh dalam keadaan yang tidak normal atau mengalami gangguan. Salah satu diantaranya adalah gangguan tidur.5

Tidur merupakan dorongan yang cukup kuat, seseorang tidak akan dapat dengan secara sengaja tetap terbangun selama 2-3 hari.2,3 Semua organisme perlu tidur beberapa jam dalam satu hari. Tidur berperan penting dalam fungsi adaptasi. Lamanya tidur merupakan sepertiga dari lamanya manusia hidup.3

Pada umumnya sekitar 35% orang dewasa mengalami insomnia selama satu tahun. Setengahnya merupakan insomnia berat, dan 20,1% dari orang dewasa tersebut merasa tidak puas akan tidurnya atau melakukan pengobatan untuk mengatasi kesulitan tidurnya. Perbandingan terjadinya insomnia pada wanita dan pria adalah 1,5:1. Pada wanita kejadian insomnia puncaknya pada saat hamil dan peri atau postmenopause. Prevalensi terjadinya insomnia juga meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.

Resiko insomnia pada orang sehat yang lebih tua berdasarkan tingkat ketidakpuasan

dengan kehidupan sosial, adanya gangguan mental dan organik, serta tanpa adanya resiko insomnia memiliki resiko yang sama dengan orang yang lebih muda. Insomnia lebih besar terjadi pada pekerja yang memakai sistem shift daripada pekerja yang jadwalnya tetap, dimana perbandingannya adalah 20.1%:12%. Bekerja saat malam hari atau shift tidak hanya menyebabkan akut insomnia tapi juga dapat menyebabkan kerusakan yang persisten pada kualitas tidur seseorang meskipun setelah itu orang itu kembali bekerja pada shift siang atau sore. Pengangguran, status sosial ekonomi yang rendah, status menikah (cerai, janda, lajang), mental rendah, kesehatan fisik yang kurang, lingkungan yang gaduh, masalah kesehatan (depresi,cemas,schizoprenia,gagal 3

jantung,dll) juga berkaitan dengan meningkatnya prevalensi insomnia.3

Saat seseorang bepergian jauh juga akan meningkatkan resiko terjadinya gangguan tidur karena adanya perbedaan waktu antara daerah yang satu dengan lainnya. Hal ini sering disebut sebagai jet lag. Adapun pengertian dari gangguan jet lag yaitu gangguan ritme tidur yang gejalanya adalah insomnia atau tidur berlebihan dan kadang-kadang disertai lemas, dan gejala somatis yang berkaitan dengan transmeridian jet travel. Hal ini dapat di terapi dengan mengatur kembali ritme sirkardian baik itu dengan mengatur ulang ritme tidur seseorang maupun dengan terapi farmakologis lainnya. 8

Fisiologi Normal Tidur

Tidur merupakan keadaan yang teratur, berulang dan mudah terjadi kembali yang ditandai oleh keadaan yang relatif tidak bergerak dan peningkatan besar ambang respon terhadap stimuli eksternal yang relatif dari keadaan terjaga. Monitoring yang ketat pada tidur adalah suatu bagian yang penting pada praktek klinis, karena gangguan tidur

merupakan gejala awal dari penyakit mental yang mengancam. Beberapa gangguan

mental biasanya disertai dengan perubahan karakteristik dalam fisiologi tidur.6

Manusia tidur hampir sepertiga dari waktu hidupnya.1,3,6 Saat seseorang tertidur, gelombang otak mengalami perubahan karakteristik tertentu. EEG (Elektroensefalogram) saat terjaga ditandai oleh gelombang alfa dengan frekuensi 8 sampai 12 siklus perdetik dan aktivitas tegangan rendah dari frekuensi campuran. Saat orang jatuh tertidur aktivitas alfa mulai manghilang.6 Tidur terbagi ke dalam 2 tipe : Non Rapid Eye Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement (REM). 1,6

Orang dewasa normal rata – rata lamanya tidur sekitar 7,5 jam permalam, meskipun ada beberapa diantaranya memerlukan lebih dan merasa kurang cukup.1 Tidur malam dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti orang muda memerlukan tidur yang lebih banyak daripada orang tua yang ditunjukkan dengan penurunan jumlah tidur karena cenderung lebih sering terbangun. Lebih dari itu, seseorang yang terbangun akan lebih cepat untuk jatuh tertidur seperti tidur laten. Tidur laten didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk mencapai onset tidur dimulai dari waktu seseorang berbaring dan mematikan penerangan. Tidur malam yang normal terdiri dari siklus yang konstan antara tidur NREM dengan tidur REM. Dua tahap tersebut secara bergantian dalam satu siklus sekitar 70 dan 100 menit. Pada usia dewasa muda, hanya terjadi 4-6 siklus tidur setiap malamnya, yang berawal dari tidur NREM. Tidur NREM terbagi menjadi 4 tahap. Tahap 1 NREM berlangsung beberapa menit yang ditandai dengan aktivitas teratur, tegangan rendah dan frekuensi 4-8 siklus perdetik. Setelah beberapa detik atau menit akan masuk ke tahap 2, begitu juga selanjutnya masuk ke tahap 3 dan 4. Kemudian masuk ke tahap tidur REM setelah melewati fase REM laten. REM laten merupakan istilah berupa interval diantara onset tidur tahap 1 NREM dengan periode

awal tidur REM. Biasanya berlangsung selama 90 menit dan berlangsung konstan

dalam siklusnya. Tahap 1 dan 2 disebut tidur ringan, tahap 3 dan 4 disebut tidur dalam. Setelah semuanya terlewati dari onset awal tidur hingga akhir tidur REM disebut satu siklus tidur, dan akan berulang ke siklus selanjutnya.1,6

Hasil pemeriksaan dengan menggunakan (EEG) electroencephalography pada tidur tahap 1 ditemukan dominasi ritme gelombang theta dibandingkan ritme gelombang alpha. Ritme tersebut memiliki amplitudo rendah bercampur dengan aktivitas gelombang delta. Tahap 1 meliputi 5% keseluruhan waktu tidur dan ditandai dengan pergerakan lambat pada bola mata dengan arah horizontal. Pada tahap 2 umumnya merupakan onset sebenarnya dari tidur, dan didominasi dengan aktivitas theta. Tahap ini ditandai dengan adanya dua jenis kejadian yang intermiten yaitu kompleks K dan sleep spindle. Kompleks K merupakan gelombang tajam negatif diikuti komponen positif. Pada saat ini muncul aktivitas gelombang theta dan gelombang delta bervoltase rendah atau sedang, nampak pada sleep spindle dengan frekuensi 12-14 siklus perdetik. Keduanya bisa muncul pada tahap 3 dan 4, tetapi tidak pada tahap tidur REM. Tahap 2 ini meliputi 55% waktu tidur. Tahap 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas voltase tinggi dari gelombang. Tahap ini meliputi sekitar 15%-20% dari keseluruhan waktu tidur. Jika aktivitas gelombang delta bervoltase tinggi mencapai 50%, maka akan masuk tidur NREM tahap 4. Tahap 4 ditandai dengan adanya voltase yang tinggi dari gelombang delta sekitar lebih dari 50% dari hasil perekaman EEG. Pada tahap ini menunjukkan adanya peningkatan aktivitas otot tetapi tidak adanya pergerakan mata. Tahap ini juga meliputi sekitar 15%-20% dari keseluruhan waktu tidur. Saat malam hari, tidur REM pada manusia dewasa muncul setelah 90-100 menit setelah onset tidur, yang akan diikuti dengan tidur NREM. Tidur REM rata-rata berlangsung singkat dalam

semalam. Secara progresif durasinya akan memanjang, yang paling lama terjadi saat

pagi hari. Tidur REM pada bayi dapat mencapai 50-80% total tidur, sedangkan pada usia 2 tahun dan orang dewasa akan menurun frekuensinya hingga 20%. Tidur REM mirip seperti pada tahap 1 NREM yaitu memiliki voltase rendah. Pada tahap ini ditandai aktivitas gelombang theta dan gelombang delta yang tidak beraturan. Tidur REM juga ditandai dengan penurunan aktivitas otot (atonia pada seluruh otot, kecuali otot pernafasan) dan pergerakan cepat dari bola mata (saat bola mata bergerak cepat, EEG menangkap ritme gelombang delta atau theta). 1,6

Pengertian Insomnia

Insomnia merupakan salah satu prevalensi yang terbanyak pada populasi umumnya pada praktek di bidang kedokteran dan psikiatri. Pada beberapa tahun, para ahli klinis telah berpikir bahwa insomnia sebagai suatu gejala bukan kelainan, dan berharap bahwa pengobatan insomnia dengan menemukan dan mengobati penyebab yang mendasari. Meskipun insomnia sangat berhubungan dengan kelainan psikiatri dan mental lainnya, tetapi onsetnya, respon terhadap terapinya dibedakan dari keluhan penyerta. Selebihnya, insomnia sendiri lebih berhubungan dengan morbiditas yang besar, kerusakan fungsional, dan biaya perawatan. Akhirnya, secara psikologis, tingkah laku, dan terapi farmakologis untuk insomnia primer juga manjur untuk insomnia sekunder, dan potensial memperbaiki keluhan penyerta. Oleh karena itu, insomnia meningkat tidak hanya sebagai gejala tetapi sebagai kelainan yang sering terjadi kembali dengan kondisi medis dan psikiatri lainnya.2

Pengertian gejala insomnia lebih mengarah kepada kesulitan untuk tidur dan sering terbangun, tidur yang tidak cukup, dan tidur dengan waktu yang pendek. Tetapi insomnia tidak didefinisikan berdasarkan durasi atau lamanya tidur. Karena insomnia

terjadi hanya saat adanya kesempatan yang memadai untuk tidur, hal ini dibedakan

dengan sulit tidur yakni setiap orang secara relatif tidurnya normal tetapi tidak memiliki kesempatan yang memadai. Insomnia disorder atau insomnia sebagai suatu gangguan merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari keluhan insomnia yang bersamaan dengan gangguan yang signifikan yang tidak termasuk dari penyebab lainnya. Penyebab gangguan yang umumnya berkaitan dengan insomnia dalah keluhan gangguan mood, gangguan fungsi kognitif, dan kelelahan. Gejala insomnia yang khas adalah iritabilitas, dysphoria ringan, dan kesulitan dalam mengatasi stress. Keluhan kognitifnya adalah kesulitan konsentrasi, menyelesaikan tugas. Kelelahan adalah keluhan yang umumnya terjadi pada setiap orang. Pada faktanya, banyak orang dengan insomnia tidak dapat tidur meskipun dia merasa kelelahan.1,2

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth edition (DSM-IV) mendefinisikan insomnia merupakan kesulitan dalam memulai tidur atau mempertahankan tidur (tidak terbangun), atau tidur yang tidak menyegarkan selama 1 bulan atau lebih. Keadaan sulit tidur tersebut harus menyebabkan gangguan klinis signifikan atau distress. Gangguan tersebut sedikitnya terjadi selama 3 kali seminggu dalam sedikitnya satu bulan dan cukup menimbulkan keluhan yang signifikan lelah dalam keseharian, atau gejala lain yang mendukung gangguan tidur seperti iritabilitas, atau gangguan fungsi sehari-hari). Untuk insomnia primer, etiologinya bukan karena penyakit psikiatri, parasomnia, penggunaan obat-obatan dan substansi lainnya. Sebaliknya, insomnia sekunder tersebut sering terkait dengan gangguan mental, gangguan tidur terkait pernafasan, penggunaan obat-obatan dan gangguan fisik. 1,6,9

Patofisiologi terjadinya insomnia yang dikaitkan dengan jet lag

Menurut American Academy of Sleep Medicine’s manual diagnostik berdasarkan gangguan irama tidur sirkardian, kriteria diagnostik dari jet lag disorder adalah:

  • 1.    Adanya keluhan insomnia atau tidur yang berlebihan yan berkaitan dengan transmeridian jet travel yang melewati sedikitnya dua daerah dengan waktu yang berbeda.

  • 2.    Adanya gangguan fungsi sehari-hari, lemas, gejala somatik seperti gangguan gastrointestinal selama satu atau dua hari setelah melakukan perjalanan.

  • 3.    Gangguan tidur yang tidak dapat dijelaskan dengan baik dengan gangguan tidur tertentu lainnya, kelainan medis atau neurologi, kelainan mental, 8

penggunaan obat-obatan, atau zat tertentu.8

Pada intinya, jet lag merupakan akibat dari ketidaksesuaian yang terjadi setelah melewati daerah dengan waktu yang terlalu cepat. Jet lag memiliki ciri ketidaksesuaian yang sementara antara endogen sirkardian tidur/bangun dan lingkungan fisik eksternal yang mengarah pada perubahan waktu. 4,7,8

Jet lag dapat terjadi pada semua orang yang bepergian cukup jauh, tetapi gejalanya lebih berat pada orang tua. Gejalanya biasanya sementara dan mulai terjadi saat memulai tidur, mempertahankan tidur, tidur sehari-hari, dan penurunan dalam penampilan keseharian. Gejalanya akan bertambah berat dengan meningkatnya lamanya waktu yang dilalui dan perjalanannya lebih ke bagian timur daripada barat. Karena sirkardian endogen sedikitnya >24 jam, fase pemajuan setelah terbang ke bagian timur lebih sulit daripada fase keterlambatan setelah terbang ke bagian barat. 7,8,9

Jam sirkardian berjalan ulang cukup lambat kira kira sekitar sehari per daerah untuk sistem sirkardian menyamakan kembali (meskipun ada pertimbangan tertentu yaitu

variabilitas masing-masing individu). Pada saat terjadinya ketidaksesuaian sirkardian,

perjalanan yang cukup panjang dapat menimbulkan terjadinya rasa lelah yang menumpuk, dan ketidakcukupan tidur dari duduk selama waktu yang panjang, biasanya 8

karena posisi yang tidak nyaman menyebabkan keram.8

Intensitas dan lamanya gangguan ini terjadi dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu: lamanya perbedaan waktu, tujuan perjalanan, kemampuan tidur saat bepergian, intensitas dan ketersediaan waktu sirkardian lokal, perbedaan tiap individu pada fase toleran. 8,9

Jet lag biasanya jinak dan terbatas pada diri sendiri, tetapi secara nyata memiliki dampak yang cukup serius, perasaan yang waspada, produktif, semangat merupakan tujuan yang penting bagi para pelancong. Perjalanan yang kadang-kadang serius, malang, dan bahkan berbahaya akan menghasilkan terjadinya jet lag, termasuk bagi para pelaku bisnis, diplomatik. 8,9

Ritme sirkardian mamalia dihasilkan oleh proses clock gene-mediated transkription-translational feeedback dengan neuron yang merupakan pasangan suprachiasmatic nuclei yang berlokasi di hipothalamus. Kesimpulan hasil produksi neuron-neuron tersebut menghasilkan sinyal waktu yang menuju otak dan memodulasi ritme harian pada kecendrungan tidur dan kewaspadaan, suhu tubuh, dan sekresi dari hormon tertentu seperti melatonin dan cortisol. Jika manusia normal di asingkan dari segala isyarat waktu, ritme sirkardian akan secara khas “free run” atau “bebas berlari” pada siklus yang secara langsung berbeda 24 jam. Ritme yang bebas berlari ini megekspresikan periode intrinsik sirkardian dari SCN sirkardian pacemaker tanpa penilaian korektif dari isyarat waktu pada lingkungan. Penggunaan “ forced desynchrony protocol” dapat memperkirakan normalnya orang membuka mata, rata-

rata periode sirkardian manusia adalah 24,18 jam dengan batas antara 23,9-24,4 jam.

Perkiraan periode sirkardian yang lain juga didapatkan dari percobaan isolasi waktu, atau penilaian periode sirkardian secara keseluruhan pada orang yang buta dengan ritme sirkardian yang berlari yang mengindikasikan periode endogen sirkardian lebih panjang, sekitar 24,5 jam. Pada beberapa kasus, penyesuaian yang tepat dari sistem sirkardian selama 24 jam memerlukan penyesuaian diri yang teratur dari paparan isyarat waktu di 8

lingkungan, yang sering disebut zeitgebers (pemberi waktu).8

Mekanisme patofisiologi jet lag disorder dari seluruh ritme sirkardian yang mengalami gangguan tidur yaitu ketidaksesuaian antara ritme endogen sirkardian (yang dihasilkan oleh jam sirkardian pada SCN) dengan keinginan jadwal untuk tidur dan bangun. Teori tertentu mengenai regulasi tidur seperti model proses yang berlawanan seperti yang dirumuskan oleh Edgar menjelaskan bahwa interaksi antara sirkardian dan faktor homeostatis tidur dan waspada. Tidur homeostatis berjalan melalui proses dimana meningkatnya kecendrungan untuk tidur dengan lamanya waktu untuk terbangun. Dimana tidur homeostatis dimulai dengan terkumpulnya seketika saat terjaga dan secara gradual terkumpulnya setiapa hari.8

Akumulasi perjalanan tidur ini tidak bermanifestasi secara jelas sebagai mengantuk karena selama sehari ritme sirkardian menghasilkan sinyal waspada yang bertentangan dengan ekspresi perjalanan tidur tadi. Pada saat akhir dari satu hari, sekitar satu atau dua jam sebelum kebiasaan waktu tidur, sinyal sirkardian yang waspada itu akan reda dan menyeimbangkan antara dua proses yang berlawanan dan seseorang mulai merasakan mengantuk. Bersamaan dengan onset tidur, akumulasi tidur homeostatis mulai tidak teratur dan dengan satu malam penuh tertidur akan berganti pagi.8

Secara normal, perjalanan tidur seseorang yang baik akan diatur berdasarkan jadwal

yang konvensional, homeostatik dan sistem sirkardian yang menyamakan satu dengan 8

yang lainnya dalam 24 jam dari matahari muncul sampai malam hari.8

RINGKASAN

Tidur merupakan keadaan yang teratur, berulang dan mudah terjadi kembali yang ditandai oleh keadaan yang relatif tidak bergerak dan peningkatan besar ambang respon terhadap stimuli eksternal yang relatif dari keadaan terjaga. 1,6 Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth edition (DSM-IV), insomnia merupakan suatu keluhan yang dialami pasien berupa kesulitan dalam memulai tidur; mempertahankan kondisi tidur (tidak terbangun); atau tidur yang tidak menyegarkan selama 1 bulan atau lebih. Saat seseorang bepergian jauh juga akan meningkatkan resiko terjadinya gangguan tidur karena adanya perbedaan waktu antara daerah yang satu dengan lainnya, hal ini sering disebut sebagai jet lag.8 Pada intinya, jet lag merupakan akibat dari ketidaksesuaian yang terjadi setelah melewati daerah dengan waktu yang terlalu cepat. Jet lag memiliki ciri ketidaksesuaian yang sementara antara endogen sirkardian tidur/bangun dan lingkungan fisik eksternal yang mengarah pada perubahan waktu. Intensitas dan lamanya gangguan ini terjadi dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu: lamanya perbedaan waktu, tujuan perjalanan, kemampuan tidur saat bepergian, intensitas dan ketersediaan waktu sirkardian lokal, perbedaan tiap individu pada fase toleran. Gejalanya biasanya sementara saat memulai tidur, mempertahankan tidur, tidur sehari-hari, dan penurunan dalam penampilan keseharian.7,8,9

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Frost Robert. Sleep Disoreder. Dalam: Andreasen Nancy, Black Donald W. Introductory Textbook of Psychiatry. Edisi ke-2. Washington: American Psychiatric Press, 2005; h. 593-613.

  • 2.    Buysse Daniel , Germain Anne, Moul Douglas, Nofzinger Eric. Insomnia. 2005;8:568-573.

  • 3.    Doghramji Karl, Grewal Ritu, Markov Dimitri. Evaluation and Management of Insomnia in The Psychiatric Setting. 2009;7:441-453.

  • 4.    Drake Christopher,PhD. The Characterization and Pathology of Circardian Rhytm Sleep Disorder. 2010;59:12-16.

  • 5.    Hill David R, Ericsson Charles, Pearson Richard, Keystone Jay, Freedman David, Kozarsky Phyllis, dkk. The Practice of Travel Medicine: Guidelines by the Infectious Diseases Society of America. 2006;43:1499 -1503.

  • 6.    Kaplan Harold I, Sadock Benjamin J. Synopsis of Psychiatry. Philadelphia: Williams & Wilkin; 1991.

  • 7.    Lu Brandon S, Zee Phyllis C. Circardian Rhythm Sleep Disorders. 2009;130:1915-1923.

  • 8.    Sack Robert L. The pathopysiology of jet lag. 2009;7:102-110.

  • 9.    Sack Robert L, Auckley Dennis, Auger Robert, Carskadon Mary, Wright Kenneth, Vitiello Michael, dkk. Circardian Rhytm Sleep Disorder: Part I, Basic Principles, Shift Work and Jet Lag Disordes. 2007;30:1460-1478.

12