ISSN: 2303-1395                        E-JURNAL MEDIKA, VOL. 7 NO.8,AGUSTUS, 2018

Il—∖/—∖ λ j Directoryof OPEN ACCESS I_√          JOURNALS

PREVALENSI NON FUNCTIONAL OVERREACHING DAN OVERTRAINING SYNDROME PADA ATLET KEMPO, LARI, DAN TARUNG DERAJAT PRA PON PROVINSI BALI TAHUN 2015

Petrus Grasius Agung1, Ketut Tirtayasa2

  • 1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana 2Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

E-mail: infofk@unud.ac.id

ABSTRAK

Non functional overreaching (NFOR) dan Overtraining Syndrome (OTS) adalah penurunan performa atlet dengan atau tanpa gejala fisiologis dan psikologis selama waktu tertentu, yang berlangsung lebih dari dua minggu hingga bulan (NFOR) dan lebih dari dua bulan hingga bertahun-tahun (OTS). Terdapat berbagai kriteria yang menjadi petunjuk terjadinya NFOR dan OTS. Penurunan performa yang berlangsung lama bersamaan dengan gangguan psikologis menjadi faktor penting sebagai petunjuk NFOR dan OTS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi atlet kempo, lari dan tarung derajat pra PON Provinsi Bali yang mengalami NFOR dan OTS. Desain penelitian adalah penelitian deskriptif dengan 35 responden atlet dari berbagai level kompetisi. Data diperoleh menggunakan recovery stress quostionare for athletes (RESTQ). Karakteristik responden dan analisis data dilakukan melalui microsoft excel. Hasil deskriptif karakteristik responden menunjukan responden laki-laki berjumlah 22 orang (62,8%) dan perempuan berjumlah 13 orang (37,2%), umur responden berada di antara 16 sampai 32 tahun dengan rerata 20,14±3,97 tahun. Prevalensi NFOR dan OTS didapatkan 9 orang atlet (25,7%) di mana 8 orang (22.8%) dikategori menjadi NFOR dan 1 orang (2,9%) dikategori menjadi OTS. Prevalensi NFOR/OTS lebih tinggi pada perempuan (35,7%) daripada laki-laki (18,2%). Ada 7 orang (28%) yang mengalami NFOR/OTS berkompetisi di tingkat nasional dan 2 orang (20%) di tingkat regional. Disimpulkan bahwa ditemukan atlet kempo, lari dan tarung derajat pra PON Provinsi Bali yang mengalami NFOR dan OTS dengan prevalensi 25,7%.

Kata Kunci: Non Functional Overreaching (NFOR), Overtraining Syndrome (OTS), dan atlet

ABSTRACT

Non Functional Overreaching (NFOR) and Overtraining Syndrome (OTS) is the reduction of athlete performance with or without physiological and psychological in a certain period of time, which occurs more than two weeks to a month (NFOR) and more than two months to years (OTS). NFOR and OTS are considered as one of the cause of the downturn of the achievement and psychological disorder of athlete. There are some symptoms of NFOR and OTS. One of them is psychological change. The downturn of the performance occurs along with the psychological disorder becomes the key factors as the indicator of NFOR and OTS. The research was aimed to find out the prevalence of pra pon kempo, running, and tarung derajat athletes of the province of Bali that exposed to NFOR and OTS. The research method is descriptive research with 35 respondents from different level of competition. The data was collected using recovery stress quostionare for athletes (RESTQ). The data was processed in Microsoft excel. The descriptive characteristic result showed that male respondents were 22 (62.8%) and female respondents were 13 (37.2%), and they were between 16 until 32 years old and the average was 20.14±3.97 years old. The prevalence of NFOR and OTS was found in nine of the athletes (25.7%), 8 of them was categorized as NFOR and the other 1 (2.9%) was categorized as OTS. Prevalence of NFOR/OTS in female athletes were higher (35.7%) than the male athletes (18.2%). Seven of the athletes who had NFOR/OTS competed in national level, 2 of them competed in regional level. It could be concluded that there are pra PON kempo, running, and tarung derajad athletes who had NFOR and OTS with the prevalence was 25.7 %

Keywords: Non Functional Overreaching (NFOR), Overtraining Syndrome (OTS), and athlete

PENDAHULUAN

Dewasa ini, olahraga tidak hanya menjadi bentuk pola hidup, melainkan telah berkembang menjadi profesi, bisnis, bahkan prestise seseorang maupun suatu bangsa, seperti pada atlet profesional. Seorang atlet dituntut untuk berlatih dan mengoptimalkan performa melalui intensitas latihan, durasi, kesesuaian jumlah beban kerja, serta istirahat yang cukup.1 Latihan yang baik tidak hanya menerapkan prinsip beban berlebih, tetapi juga harus menghindari kombinasi latihan dengan recovery yang tidak adekuat.

Pada umumnya, proses latihan intensif akan membuat atlet mengalami kelelahan akut dan penurunan performa. Kelelahan akut ini jika dikombinasi dengan istirahat cukup akan menghasilkan peningkatan performa yang lebih baik, yang disebut dengan functional overreaching (FOR). Namun, jika keseimbangan antara latihan dengan pemulihan terganggu, dapat terjadi nonfunctional overreaching (NFOR) sehingga atlet membutuhkan waktu lebih dari dua minggu hingga beberapa bulan untuk pemulihan. Selain itu, atlet juga akan mengalami kelelahan, penurunan performa yang berkepanjangan disertai gangguan psikologikal dan hormonal seperti; gangguan mood, kehilangan motivasi, kehilangan nafsu makan, penurunan berat

badan, serta gangguan tidur.1,2 NFOR berkepanjangan selama beberapa bulan hingga tahun disebut overtraining syndrome (OTS). OTS dapat mengalami infeksi berulang karena penurunan kekebalan tubuh pada orang yang mengalami stress.2,3

Beberapa penelitian menunjukkan adanya prevalensi yang cukup signifikan pada ke dua masalah tersebut. Prevalensi NFOR dan OTS pada 139 perenang elit Swiss sekitar 30%, di mana 21% mengalami NFOR dan 9% mengalami OTS.1 Pada 376 atlet muda Inggris, 110 atlet (29%) mengalami NFOR/OTS paling tidak sekali.4

Menilik permasalahan tersebut, maka diadakan studi mengenai NFOR dan OTS pada atlet kempo, lari dan tarung derajat pra PON Provinsi Bali tahun 2015. Hal ini penting untuk mengetahui ada tidaknya penurunan performa pada atlet kempo, lari dan tarung derajat pra-PON Provinsi Bali agar dapat membantu mengevaluasi atlet sehingga mendapatkan prestasi yang baik masa yang akan datang.

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan rancangan penelitian cross sectional. Proses pengambilan data dilakukan di tempat pemusatan latihan atlet kempo, lari dan tarung derajat pra PON

Provinsi Bali selama 9 Juli 2015 hingga 20 Oktober 2015. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 35 orang dengan kriteria inklusi: atlet kempo, lari dan tarung derajat pra PON Provinsi Bali tahun 2015 yang mengikuti seleksi di masing-masing cabang olahraga, mengikuti pemusatan latihan dan progam latihan rutin di masing-masing cabang, dan bersedia berpartisipasi sebagai subjek dengan menandatangani informed consent.

Kuesioner dalam penelitian ini adalah recovery stress quostionare for athletes (RESTQ) yang digunakan untuk mengukur mental, emosional, dan keadaan fisik seorang atlet. Kuesioner terdiri atas lima bagian yang berisi tentang karakteristik responden serta bagian inti RESTQ. RESTQ terdiri atas 93 pertanyaan dengan teknik penilaian pada kuesioner ini menggunakan skala ordinal dan isian singkat. Data penelitian dianalisis menggunakan program SPSS (Statistical Program for Social Science) versi 20.0.

HASIL

Karakteristik responden meliputi jenis kelamin, usia, cabang olahraga, total waktu latihan dalam seminggu, lama aktif secara reguler, serta level kompetisi atlet. Dari 35 responden, 13 atlet berjenis kelamin perempuan (37,2 %) dan 22 atlet berjenis kelamin laki-laki (62,8  %).

Distribusi jenis kelamin atlet dapat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin atlet

Jenis No.

Kelamin

Jumlah

(n)

Persentase

(%)

1.   Laki-laki

22

62,8

2.  Perempuan

13

37,2

Total

35

100

Responden pada penelitian ini terdiri atas tiga cabang olahraga yaitu tarung derajat, kempo, dan lari. Distribusi atlet pada setiap cabang olahraga dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi atlet pada setiap cabang olahraga

No.  Cabang

Jumlah

Persentase

Olahraga

(n)

(%)

1.    Tarung

13

37,1

derajat

2.   Kempo

18

51,4

3.    Lari

4

11,5

Total

35

100

Atlet memiliki waktu latihan yang berbeda dalam melakukan latihan. Sebanyak 40% atlet berlatih selama satu sampai dua jam, 51% atlet berlatih dua sampai tiga jam, dan 9% berlatih lebih dari tiga jam dalam sehari (Gambar 1). Mayoritas atlet berlatih empat sampai tujuh hari dalam seminggu (Gambar 2).

DOAJ



berkompetisi di tingkat kabupaten, 4 orang (11,4%) di tingkat regional, dan 25 orang (71,4%) di tingkat nasional (Tabel 4).

Gambar 1. Presentase atlet terhadap

Frekuensi

Total waktu latihan dalam seminggu

Gambar 2. Presentase atlet terhadap lama waktu latihan seminggu

Tabel 4. Tingkat Kompetisi Atlet

No.

Tingkat

Jumlah

(n)

Persentase

(%)

1.

Kabupaten

6

17,2

2.

Regional

4

11,4

3.

Nasional

25

71,4

Total

35

100

Setiap atlet berlatih antara 3 sampai 7 hari dalam seminggu selama 4 jam sampai lebih dari 20 jam. Distribusi waktu latihan atlet dalam seminggu dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Waktu latihan atlet dalam Seminggu

No.

Waktu latihan (jam)

Jumlah

(n)

Persentase

(%)

1.

4 – 8

8

22,8

2.

8 – 12

10

28,5

3.

12 – 16

13

37,1

4.

16 – 20

2

5,7

5.

>20

2

5,9

Total

35

100

Atlet-atlet tersebut berkompetesi di berbagai tingkat dari kabupaten hingga nasional. Ada 6 orang (17,2%) yang

Analisis Deskriptif Responden

Responden pada penelitian ini berada di rentang usia 16-32 tahun dengan rerata usia 20,14±3,97 tahun. Atlet-atlet tersebut telah aktif secara reguler antara 2 sampai 10 tahun dengan rerata 5,51±2,95 tahun dan dengan waktu latihan antara 4 sampai 20 jam dalam seminggu dengan rerata 11,94± 3,94 jam (Tabel 5). Sebanyak 17% atlet aktif secara reguler kurang dari dua tahun, 46 % antara dua sampai 6 tahun dan 46% enam sampai lebih dari sepuluh tahun (Gambar 3)

Tabel 5. Analisis Deskriptif Usia, Lama Aktif Sebagai Atlet, dan Waktu Latihan dalam Seminggu

No. Variabel Min. Maks. Rerata

(SB)

1.  Usia         16     32     20,14

(tahun)                      (3,97)

2. Waktu      6

Latihan dalam seminggu (jam)

Catatan: Min    = Minimum

Max   = Maksimum

SB   = Simpang Baku


20    11,94

(3,94)


Kategori Olahraga

Perubahan performa atlet setelah latihan dalam jangka waktu dan intensitas tertentu dibagi menjadi FOR, NFOR, dan OTS. Untuk mengelompokkan tingkat pelatihan atlet, digunakan tingkat penggunaan energi berdasarkan kriteria MET. Nilai MET dari ke tiga cabang olahraga diambil dari “compendium of physical activities: Codes and METs values” yaitu sebuah ringkasan aktivitas fisik MET tiap cabang olahraga.5 Gambaran tingkat penggunaan energi dari ketiga cabang olahraga disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Gambaran MET Setiap Cabang Olahraga

No Cabang Nilai Kategori Olahraga MET    MET

1.

Tarung

Derajat

10,5

Medium

2.

Kempo

10,5

Medium

3.

Atletik

18

Tinggi


Prevalensi

Pada penelitian ini, ditemukan sebanyak sembilan orang atlet (25,7%) pernah mengalami minimal satu kali periode penurunan performa dan merasa lelah setiap hari dalam jangka waktu yang lama; minggu hingga bulan. Satu orang atlet mengalami periode tersebut selama dua sampai tiga bulan, dua orang mengalaminya selama satu sampai dua bulan, sisanya mengalami periode tersebut selama kurang dari satu bulan. Sebelas orang atlet (31,4%) pernah mengalami periode latihan di mana tidak bisa menyelesaikan intensitas atau beban latihan yang diberikan, di mana sembilan diantaranya mengalami NFOR/OTS. Dari 9 orang atlet yang mengalami penurunan performa, 8 orang (22,8%) dikategorikan menjadi NFOR dan 1 orang (2.9%) dikategorikan menjadi OTS. Prevalensi FOR, NFOR dan OTS disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Prevalensi FOR, NFOR dan OTS berdasarkan kriteria MET

No.     Kategori     n       FOR       NFOROTS

Olahraga         Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1    Tarung Derajat      13       10      77      323

(medium)

2    Kempo (medium)   18       14     77,9     3     16,6      15,5

Il—∖/—∖ λ j Directoryof OPEN ACCESS

I_∕∖_>/—Vβ√ JOURNALS

3

Atletik (tinggi)

4

2

50

2

50

Total

35

26

74,3

8

22,8

1

2,9

Jenis Kelamin dan Level Kompetisi

Prevalensi NFOR/OTS lebih tinggi pada perempuan (35,7%) daripada laki-laki (18,2%). Tujuh orang (28%) yang mengalami NFOR/OTS berkompetisi di tingkat nasional, dua orang (20%) di tingkat regional.

Gejala Fisik, Psikologis dan Psikososial Pada Atlet yang Mengalami NFOR/OTS

Gejala fisik yang paling sering adalah sering mengalami masalah tidur, mengalami ISPA, otot berat dan kaku di pagi hari, hilang nafsu makan saat periode latihan berat, sering lelah setelah kompetisi dan sering mengalami cedera (Gambar 4).

Atlet-atlet NFOR/OTS sering terintimidasi lawan, kurang percaya diri saat kompetisi, apatis saat periode latihan berat, bad mood saat periode latihan berat dan sedih atau menangis saat periode latihan berat (Gambar 5)

Atlet-atlet NFOR/OTS merasa

bersalah saat tampil tidak sesuai dengan harapan pelatih, rekan setim dan harapannya sendiri. Atlet NFOR/OTS melakukan hal-hal kesukaan kurang dari lima jam seminggu dan tidak bisa beradaptasi dengan beban latihan (Gambar 6).


GiJak PtIkosiMlaI


Gambar 5. Gejala psikologis yang paling sering antara atlet yang mengalami FOR dengan NFOR/OTS



DOAJ

90%

80%

70%

60%

1 50%

I 40%

30%

20%

10%

0%

Sering         Mengalami     OtolbciiiUhiii    Ijilarigiuilsii     SeriiigleLiih Sering

Iiieiigaliimi          ISPA         Likudijiagi    Imikan1JHTiodc selelah         Iiiciigalnmi

Iiiasalah Iidur                                hari           Iiilihiin bctειt knnlpelisi           cedera

<k>Jala Fhlk


gangguan tidur, ISPA dan sering cedera.4 Tingginya angka ISPA pada atlet NFOR/OTS (78%) menjelaskan teori di ■ NFORrtWberbagai literatur bahwa penurunan fungsi

imun terjadi pada saat NFOR/OTS.6

Gejala Psikologis

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian-penelitian

Selain gejala fisik, atlet NFOR/OTS

juga Gambar 6. Gejala psikososial yang paling sering antara atlet yang mengalami FOR

latih         dengan NFOR/OTS

meng

mungkin  berguna  sebagai petunjuk

terjadinya overtrain yaitu terintimidasi

sebelumnya NFOR/OTS bukan disebabkan oleh latihan berlebih, akan tetapi ketidakseimbangan antara stres latihan dan stres bukan karena latihan dengan pemulihan.6 Jika ketidakseimbangan ini berlangsung lama dan atlet tidak bisa mengatasinya, maka akan muncul gejala-gejala yang signifikan secara klinis seperti kelelahan, depresi, bradikardi, ISPA, kehilangan motivasi, insomnia, iritabilitas, agitasi, hipertensi, takikardi, anoreksia, penurunan berat badan, penurunan konsentrasi, cemas dan nyeri otot.3

Gejala Fisik

Gejala fisik yang muncul pada atlet NFOR/OTS juga terjadi pada penelitian sebelumnya oleh Matos pada young English Athletes tahun 2011. Gejala tersebut antara lain mudah lelah saat latihan berat,

lawan, kurang percaya diri saat kompetisi, apatis, bad mood dan sedih atau menangis saat periode latihan berat.

Faktor Psikososial

Faktor psikososial juga menjadi isu penting yang dapat mengganggu kehidupan atlet. Hal ini terlihat dari tingginya perasaan bersalah atlet jika tampil tidak sesuai harapan pelatih, rekan setim dan dirinya sendiri. Hal ini bisa dimengerti mengingat atlet mendedkasikan sebagian besar hidupnya pada olahraga dan ingin menjadi sukses dalam karirnya. Risiko NFOR/OTS akan meningkat ketika atlet merasa tertekan terhadap harapan-harapan dan tekanan-tekanan terhadap dirinya; pada kasus di mana atlet menjadi lebih termotivasi dikontrol oleh kemungkinan eksternal seperti penghargaan atau takut terhadap

hukuman.7 Akan tetapi, harapan yang atlet ciptakan sangat dipengaruhi oleh orang lain di sekitarnya baik pelatih maupun keluarga. Lebih lanjut, ketika atlet dipengaruhi oleh ekspektasi yang tinggi dari orang lain dan jika tidak tercapai akan menjadi stress factor.8 Ini bisa menjelaskan kenapa perasaan negatif pada atlet NFOR/OTS saat tidak memiliki performa yang baik.

Isu lain adalah kurangnya kontrol atlet terhadap performa olahraganya. Hal ini mungkin membuat kurangnya motivasi internal dan akan membuat potensi menjadi NFOR/OTS menjadi lebih besar. Sejak dukungan sosial diketahui penting dalam personal adjustment,   atlet   dengan

dukungan sosial yang tidak baik mungkin lebih mudah mengalami perkembangan dalam olahraga yang kurang baik sehingga lebih mudah mengalami NFOR/OTS. Sebaliknya atlet dengan dukungan sosial yang baik akan lebih mudah mengurangi stres dan penurunan potensi cedera.4

Untuk atlet yang melakukan hal-hal kesukaan kurang dari 5 jam seminggu, kesempatan untuk mengalami overtrain meningkat secara drastis.4 Oleh karena itu, disarankan kepada atlet untuk mengembangkan self-awareness dengan pelatih dan keluarganya sehingga permasalahan bisa diatasi dan atlet bisa lebih baik secara fisik dan psikologis. Pada

akhirnya atlet siap untuk latihan dan berkompetisi.

Gambaran gejala fisik, psikososial dan psikologis yang paling sering muncul pada atlet NFOR/OTS mengindikasikan bahwa atlet bisa mendeteksi tanda-tanda awal dari NFOR/OTS dengan menjadikan gejala tersebut sebagai warning sign. Ini akan memberikan kesempatan bagi atlet untuk mendiskusikan pengurangan intensitas dan beban latihan atau meningkatkan metode recovery dengan pelatihnya.9 Atlet juga bisa belajar untuk mengetahui dan menginterpretasi tanda-tanda dari stres fisik dan stres psikologis.

Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan. Terbatasnya jumlah cabang olahraga dan sampel yang diambil dari setiap kriteria MET menyebabkan sulit memprediksi jumlah sesungguhnya dari semua atlet pra PON yang mengalami NFOR/OTS. Keterbatasan lainnya adalah penelitian ini sangat bergantung pada ingatan atlet yang bisa menyebabkan bias, akan tetapi pada penelitian ini kata overreaching atau overtraining tidak dimasukkan ke dalam kuesioner untuk mengurangi potensi bias.

Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya menggunakan cabang olahraga dan sampel yang lebih besar. Peneliti juga memperhatikan cabang olahraga yang memiliki risiko lebih tinggi terhadap

terjadinya     NFOR/OTS     dengan

memperhatikan poin-poin berikut: sport culture, faktor sosial ekonomi, profesionalisme, tuntutan olahraga (daya tahan, kekuatan, sistem metabolik), jumlah latihan dalam sehari, faktor lingkungan, dukungan pelatih, motivasi kontekstual dan situasional.10 Penelitian selanjutnya harus mewakili berbagai cabang olahraga, kelompok umur dan level kompetisi.

English athletes. Medicine and Science in     Sports     and     Exercise.

2011;43(7):1287–1294.

  • 5.    Ainsworth BE, Haskell WL, Leon AS. Compendium of physical activities: classification of energy cost of human physical  activities.  Medicine and

Science  in Sports and Exercise.

1993;25(1):71–80.

SIMPULAN

Prevalensi NFOR dan OTS pada atlet tarung derajat, kempo dan lari pra PON Provinsi Bali 2015 adalah sebesar 25,7%, di mana (22,8%) dikategori menjadi NFOR dan 1 orang (2,9%) dikategori menjadi OTS.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Birrer D, Lienhard D, Williams C, Röthlin P Morgan G. Prevalence of non-functional overreaching and the overtraining syndrome in Swiss elite athletes. Schweizerische Zeitschrift für Sportmedizin und Sporttraumatologie. 2013;61(4):23-29

  • 2.    Budgett R. Overtraining syndrome. British Journal of Sports Medicine. 1990;24(4):231-236.

  • 3.    Jones CM, Tenenbaum G. Adjustment Disorder:   A new way of

conceptualizing the overtraining syndrome. International Review of Sport and Exercise Psychology. 2009;2(2):181-197.

  • 4.    Matos NF, Winsley RJ, Williams CA. Prevalence     of     nonfunctional

overreaching/overtraining in young

  • 6.    Meeusen R, Duclos M, Gleeson M, Rietjens G, Steinacker J, Urhausen A. Prevention, Diagnosis and Treatment of the Overtraining Syndrome. European Journal of Sport Science. 2006;6(1):1-14

  • 7.    Andersen RE. Exercise, an active lifestyle, and obesity. Physician and Sportsmedicine. 1999;27(10):41-50.

  • 8.    Gould D, Lauer L, Rolo C, Jannes C, Pennisi N. Understanding the role parents play in tennis success: a national survey of junior tennis coaches. British Journal of Sports Medicine. 2006;40(7):632–636.

  • 9.    Kentta G, Hassme P, Raglin JS. Training practices and overtraining syndrome in Swedish age-group

DOAJ

athletes. International Journal of Sports Medicine. 2001;22(6):460–465

  • 10.    Lemyre P, Hall H, Roberts G. A social cognitive approach to burnout in elite athletes. Scandinavian Journal of Medicine and Science in  Sport.

2008;18(2):221-22

10

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum