ISSN: 2303-1395

E-JURNAL MEDIKA, VOL. 7 NO.7,Juli, 2018

KARAKTERISTIK PENDERITA PTERIGIUM DI DESA TIANYAR KARANGASEM TAHUN 2015

Putu Anindya Agrasidi1, Anak Agung Mas Putrawati Triningrat2

1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali 2Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali

ABSTRAK

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan neoformasi fibrovaskuler non malignan, bentuknya menyerupai sayap pada permukaan okular mata yang dapat mengganggu pengelihatan. Beberapa teori tentang patogenesis pterigium yang berkembang sekarang antara lain teori degenerasi, inflamasi, tropik, serta teori yang menghubungkan dengan sinar UV. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan frekuensi karakteristik pterigium di Desa Tianyar Karangasem. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan cross-sectional, dilakukan di Desa Tianyar Karangasem pada 24 Maret 2015. Jumlah responden yang sesuai dengan kriteria inklusi pada penelitian ini adalah 42 orang. Distribusi dan frekuensi pterigium berdasarkan karakteristiknya, didapatkan jumlah tertinggi pada kelompok usia 30-39 tahun (28,6%), jenis kelamin laki-laki (54,8%), jenis pekerjaan kelompok 3 (76,2%), durasi paparan sinar matahari ≥ 4 jam (64,3%), tanpa riwayat pemakaian kacamata (92,9%), dengan riwayat pemakaian topi (52,4%), dengan riwayat keluarga (83,3%), lokasi pterigium okuli dekstra sinistra (78,6%), pada sisi nasal (91,9%), dan derajat II (45,9%). Distribusi dan frekuensi pterigium berdasarkan karakteristiknya diharapkan dapat membantu dalam pencegahan terhadap terjadinya pterigium dan kebutaan akibat pterigium derajat lanjut.

Kata kunci: pterigium, karakteristik, distribusi, frekuensi

ABSTRACT

Pterygium is a non-malignant growth of fibrovascular neoformation resembles the shape of the wings on the ocular surface of the eye that can impair vision. Certain theories about the pathogenesis of pterygium which is developing now include the theory of degeneration, inflammation, tropics, and linking theory with UV light. This study aims to determine the distribution and frequency characteristics of pterygium in the Tianyar Village Karangasem. This study was a descriptive study with cross-sectional, conducted in the Tianyar Village Karangasem on 24 March 2015. The number of respondents that suitable with the inclusion criteria in this study was 42 responents. Distribution and frequency of pterygium was based on its characteristics, the highest number was found in the age group 30-39 years (28.6%) , male gender (54.8 %), type of occupation group 3 (76.2%), the duration of sun exposure ≥ 4 hours (64.3%), without a history wearing glasses (92.9%), with a history wearing caps (52.4%), with a family history (83.3%), the location of the pterygium at oculi dextra sinistra (78.6%), nasal (91.9% ) and stage II (45.9%). The distribution and frequency of pterygium based on its characteristics expected to support in the prevention of the occurrence of pterygium and further degrees of blindness due to pterygium.

Keywords: pterygium, characteristic, distribution, frequency

PENDAHULUAN

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan neoformasi fibrovaskuler non malignan pada permukaan okular yang menunjukkan penebalan konjungtiva bulbi, yang berbentuk segitiga horisontal dengan puncak mengarah ke bagian tengah kornea dan dasarnya terletak di bagian tepi bola mata bagian nasal dan atau temporal, sehingga bentuknya menyerupai sayap.1 Beberapa teori telah dikemukakan untuk menerangkan patogenesis terjadinya pterigium, akan tetapi etiologi dan penyebabnya bersifat multifaktorial, meliputi durasi paparan sinar

matahari, jenis pekerjaan, riwayat keluarga, kelembaban yang rendah, dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok dan pasir.2

Pterigium merupakan satu dari beberapa kondisi mayor yang mengancam penglihatan di negara berkembang. Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah non-tropis. Riset Kesehatan Dasar Nasional menampilkan data prevalensi pterigium tertinggi ditemukan di Bali (25,2%).3 Gejala klinis pterigium pada tahap

awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang timbul biasanya berupa keluhan simptomatik dan kosmetik, namun pterigium derajat lanjut berpotensi menjadi kebutaa.2,4

Data-data yang diperoleh di atas menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat mengenai kesahatan, terutama kesehatan mata dinilai masih sangat minimum. Maka dari itu, penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan distribusi dan frekuensi pterigium berdasarkan karakteristiknya di Desa Tianyar Timur Karangasem Tahun 2015.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan bersamaan dengan bakti sosial berupa pelayanan kesehatan mata untuk masyarakat kurang mampu oleh tim Ekspedisi NKRI Subkorwil–1 Karangasem bekerjasama dengan YKI bersama dokter spesialis mata RSUP Sanglah di Lapangan Desa Tianyar Timur, Jalan Raya Pura Dalem, Kubu, Karangasem, pada 24 Maret 2015.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional study. Sampel penelitian dipilih dengan metode total sampling berdasarkan hasil diagnosis yang dilakukan oleh dokter spesialis mata dengan menggunakan slit lamp. Berdasarkan hasil diagnosis didapatkan sampel sebanyak 42 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dengan teknik wawancara guna mendapatkan data karakteristik sampel. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan software Microsoft Excel dan SPSS 17.

HASIL

Tabel 1. menampilkan jumlah penderita pterigium paling tinggi yaitu sebanyak 28,6% terdapat pada kelompok usia 30-39 tahun, sedangkan penderita pterigium paling sedikit pada kelompok usia < 30 tahun sebanyak 2,4%. Distribusi sampel menurut jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok, dengan penderita pterigium lebih banyak pada laki-laki yaitu sebanyak 23 orang (54,8%) dan perempuan sebanyak 19 orang (45,2%).

Jenis pekerjaan dikelompokkan sesuai dengan durasi terpaparnya matahari. Kelompok 1 merupakan pekerjaan responden

yang berada di dalam ruangan, yang mencakup guru dan ibu rumah tangga. Kelompok 2 merupakan pekerjaan responden yang berada di dalam dan di luar ruangan, yang mencakup pegawai hotel, pengrajin anyaman, pedagang, dan sopir. Kelompok 3 merupakan pekerjaan responden yang berada di luar ruangan, yang mencakup seperti pekerja buruh bangunan, petani, dan koramil5. Pada penelitian ini sampel terbanyak adalah kelompok 3 sebesar 76,2% (dengan pekerjaan yang mendominasi adalah petani), jenis pekerjaan pada kelompok 2 sebesar 14,3%, dan terkecil terdapat pada kelompok 1 sebesar 9,5%.

Sampel yang melakukan aktivitas di luar ruangan dengan terkena paparan sinar matahari, terbanyak didapatkan pada durasi selama ≥ 4 jam sebesar 64,3%. Sebagian besar sampel yang menderita pterigium tidak memakai kacamata pada saat beraktivitas di luar ruangan, yaitu sebanyak 92,9%, sedangkan penderita pterigium dengan riwayat memakai kacamata hanya sebesar 7,1%. Pada penderita pterigium dengan riwayat pemakaian topi terdapat sebanyak 22 orang (52,4%), sedangkan penderita pterigium tanpa riwayat memakai topi sebanyak 20 orang (47,6%). Didapatkan hasil lebih banyak banyak sampel yang tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita pterigium yaitu sebesar 83,3%, sedangkan penderita dengan riwayat keluarga yang menderita pterigium adalah sebesar 16,7%.

Tabel 2. menampilkan lokasi lesi pterigium pada sebagian besar terdapat pada okuli dekstra sinistra (bilateral) sebesar 33 orang (78,6%), pada okuli dekstra sebesar 7,1%, dan pada okuli sinistra sebesar 14,3%. Lokasi lesi pterigium pada mata sebagian besar penderita pterigium terdapat pada bagian nasal yaitu sebanyak 68 orang (91,9%), sedangkan lokasi lesi pada temporan sebanyak 2 orang (2,7%), dan dupleks sebanyak 5,4%. Derajat keparahan pterigium terbanyak didapatkan pada pterigium derajat II yaitu sebanyak 34 orang (45,9%), diikuti derajat I sebanyak 32 orang (43,2%), pterigium derajat III sebanyak 5 orang (6,8%), dan paling sedikit terdapat pada pterigium derajat IV sebanyak 3 orang (4,1%).

Tabel 1. Distribusi dan Frekuensi Karakteristik Penderita Pterigium

Karakteristik

Jumlah (n)

Persen (%)

Kelompok Usia (Tahun)

< 30

1

2,4

30-39

12

28,6

40-49

11

26,2

50-59

8

19,0

≥ 60

10

23,8

Jenis Kelamin

Laki-laki

23

54,8

Perempuan

19

45,2

Jenis Pekerjaan

Kelompok 1

4

9,5

Kelompok 2

6

14,3

Kelompok 3

32

76,2

Durasi

< 4 jam

15

35,7

≥ 4 jam

27

64,3

Riwayat Pemakaian Kacamata

Memakai

3

7,1

Tidak memakai

39

92,9

Riwayat Pemakaian Topi

Memakai

22

52,4

Tidak memakai

20

47,6

Riwayat Keluarga

Ada

7

16,7

Tidak ada

35

83,3

Lokasi

OD

3

7,1

OS

6

14,3

ODS

33

78,6

Total

42

100

Tabel 2. Distribusi dan Frekuensi Karakteristik Lesi Pterigium

Karakteristik

Jumlah (n)

Persen (%)

Lokasi

Nasal

68

91,9

Temporal

2

2,7

Dupleks

4

5,4

Derajat

I

32

43,2

II

34

45,9

III

5

6,8

IV

3

4,0

Total

74

100

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini didapatkan penderita pterigium paling tinggi sebanyak 28,6% terdapat pada kelompok usia 30-39 tahun. Sedangkan, penderita pterigium paling sedikit pada kelompok usia <30 tahun sebanyak 2,4%. Studi dengan desain systematic review dan meta analisis dengan

latar internasional didapatkan hasil prevalensi pterigium meningkat dengan bertambahnya usia. Beberapa penelitian, termasuk yang dilakukan di Indonesia prevalensi pterigium akan meningkat dengan bertambahnya umur.4 Walaupun di terdapat studi yang melaporkan kejadian pterigium pada anak-anak, namun pterigium tidak

lazim terjadi pada anak umur 0-4 tahun, sehingga data prevalensi pterigium pada anak balita dinilai kurang valid.3

Distribusi sampel menurut jenis kelamin pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang mencolok, dengan jumlah penderita pterigium lebih banyak pada laki-laki yaitu sebanyak 54,8% dan perempuan sebanyak 45,2%. Suatu studi cross-sectional yang dilakukan di Tehran menyatakan tidak terdapat perbedaan hasil yang signifikan (P= 0,358) antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan.6 Perbedaan hasil studi didapatkan pada sudi yang dilakukan di India Selatan lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki18. Studi yang dilakukan di 2 desa di Kabupaten Minahasa Utara, dengan hasil 12,92% pada pria dan 8,43% pada wanita.19 Perbedaan hasil studi-studi ini dipercaya tergantung dari gaya hidup pada daerah-daerah tersebut.7 Hasil penelitian di sini kemungkinan dapat terjadi karena laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas di luar ruangan, sehingga lebih sering berhubungan dengan sinar ultraviolet, debu, angin dan udara yang kering sebagai faktor resiko terjadinya pterigium.1 Faktor utama dari etiologi adalah paparan terhadap iritasi oleh atmosfir yang mengawali terjadinya iritasi kronis pada konjungtiva.8

Hasil penelitian ini dijumpai sampel terbanyak adalah jenis pekerjaan pada kelompok 3 sebesar 76,2%, yaitu jenis pekerjaan yang berada di luar ruangan yang sebagian besarnya adalah bermatapencaharian sebagai petani. Sedangkan jumlah sampel terkecil terdapat pada jenis pekerjaan kelompok 1 sebesar 9,5%. Terdapat studi yang dilakukan di Minamiaizumachi dan Tadami-machi di Jepang yang menyatakan riwayat pekerjaan di luar ruangan tidak berhubungan dengan onset kejadian pterigium.14 Studi pada populasi Malay di Singapura menyatakan prevalensi pterigium pada pekerjaan di luar ruangan hanya signifikan pada pterigium berat.16 Tingginya prevalensi pterigium pada kelompok pekerjaan yang berada di luar ruangan mungkin berkaitan dengan tingginya paparan matahari yang mengandung sinar ultraviolet, kelembaban udara yang rendah, dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok, debu, dan pasir, mengingat pemakaian alat pelindung diri saat

bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia.3,9

Sampel pada penelitian ini yang melakukan aktifitas di luar ruangan dengan terkena paparan sinar matahari, terbanyak didapatkan pada durasi selama ≥ 4 jam sebesar 64,3%, sedangkan penderita dengan durasi paparan sinar matahari <4 jam sebesar 35,7%. Pterigium berhubungan terhadap lamanya waktu aktivitas di luar ruangan pada siang hari ≥ 4 jam perhari.7,15,20 Hal ini sesuai dengan salah satu faktor resiko terjadinya pterigium yaitu pertumbuhan pterigium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV.10 Sinar UV dipercaya dapat menyebabkan penebalan dan hyperplasia paada jaringan ikat subkonjungtival.11 Sehingga proteksi terhadap sinar matahari sebaiknya dilakukan untuk mengurangi prevalensi pterigium di masyarakat.12

Sebagian besar sampel pada penelitian ini tidak memakai kacamata pada saat beraktivitas di luar ruangan, yaitu sebanyak 92,9%. Penelitian case-control yang dilakukan di Australia mengungkapkan resikonya 9 kali lebih tinggi bila tidak menggunakan kacamata pelindung.1 Tidak menggunakan kacamata dapat menimbulkan perkembangan pterigium yang progresif.13 Pemakaian kacamata dari bahan plastik maupun kaca dapat memproteksi mata dari kejadian pterigium dengan memblokir radiasi sinar UV, iritasi akibat angin yang kencang, dan faktor resiko lain berupa debu dan pasir mata.11

Tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara jumlah penderita pterigium dengan riwayat pemakaian topi maupun penderita pterigium tanpa riwayat memakai topi pada hasil penelitian ini. Terlihat bahwa lebih besar sedikit pada penderita pterigium dengan riwayat pemakaian topi yaitu sebesar 52,4%, dan penderita pterigium tanpa riwayat memakai topi sebesar 47,6%. Studi yang dilakukan di Kabupaten Langkat didapatkan hasil bahwa pemakaian topi tidak berpengaruh terhadap prevalensi di Kabupaten Langkat (p value > 0,005).5 Hal ini mungkin terjadi karena topi tidak dapat melindungi mata dari partikel-partikel tertentu seperti asap, debu, dan pasir.

Hasil penelitian ini didapatkan lebih banyak banyak sampel yang tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita pterigium yaitu sebesar 83,3%, sedangkan penderita

dengan riwayat keluarga yang menderita pterigium adalah sebesar 16,7%. Beberapa kasus berdasarkan dari penelitian casecontrol menunjukan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan. Namun hasil studi di Kabupaten Langkat pada tahun 2009 menyebutkan bahwa riwayat keluarga kurang berpengaruh terhadap pterigium yaitu dengan hasil lebih besar prevalensi penderita pterigium tanpa riwayat keluarga sebesar 358 orang (85,7%).5 Hal ini mungkin terjadi karena kejadian pterigium bisa disebabkan oleh faktor resiko yang lain, seperti paparan sinar ultraviolet, debu, angin dan udara yang kering.

Lokasi lesi pterigium pada sebagian besar terdapat pada okuli dekstra sinistra (bilateral) sebesar 33 orang (78,6%). Apabila progresifitas dari lesi cepat, hal ini kemungkinan dapat mengancam pengelihatan penderita.

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar penderita pterigium terdapat pada bagian nasal yaitu sebanyak 91,9%. Sebuah studi yang dilakukan di India, 92% kasus pterigium terjadi pada sisi nasal.8 Sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh Laszuarni bahwa lokasi pterigium terbanyak terdapat pada nasal (91,3%).5 Hal ini dikarenakan oleh aliran air mata kea rah medial kantus yang membawa partikel debu dan pasir ke arah nasal.

Derajat keparahan pterigium pada penelitian ini terbanyak didapatkan pada pterigium derajat II yaitu sebanyak 34 orang (45,9%). Hasil studi serupa didapatkan pada studi di Kabupaten Langkat pada tahun 2009, yaitu derajat pterigium terbanyak adalah derajat II (pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea)5. Suatu penelitian yang dilakukan di Sumatera Utara, didapatkan hasil pterigium dengan derajat keparahan tertinggi terdapat pada derajat T2, yaitu lesi dengan pembuluh darah episklera yang tidak dapat terlihat dengan jelas atau terlihat sera parsial.17 Hal ini kemungkinan terjadi karena sampel pada penelitian ini dominan pada dewasa muda yang berusia 30-39 tahun.

SIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian yang dilakukan di Desa Tianyar Karangasem pada 24 Maret 2015 meliputi distribusi dan frekuensi tertinggi pada penderita pterigium berdasarkan karak-

teristiknya adalah kelompok usia 30-39 tahun, jenis kelamin laki-laki, jenis pekerjaan pada kelompok 3, durasi paparan sinar matahari selama ≥ 4 jam, dengan riwayat tidak memakai kacamata, dengan riwayat memakai topi, dan dengan riwayat keluarga. Lokasi lesi tertinggi pada okuli dekstra sinistra (bilateral), sisi nasal, dan dengan derajat II.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Erry, Mulyani, UA & Susilowati, D.

Distribusi dan Karakteristik Pterigium di Indonesia. Badan Penelitian Sistem Kesehatan. [online] 2011. [diakses 28 Desember 2014]; 14 (1), 84-89. Diunduh dari                           URL:

http://download.portalgaruda.org.

  • 2.    Julianti, S. Pterygium [files of DrsMed]. Riau: Universitas Riau; 2009.

  • 3.    Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan     Pengembangan     Kesehatan

Kementrian Kesehatan  RI. Jakarta:

Riskesdas; 2013.

  • 4.    Swastika, M. A. “Perbedaaan Kekambuhan Pasca Ekstirpasi Pterygium Metode Bare    Sclera dengan

Transplantasi Limbal Stem Sel” [artikel karya ilmiah]. Semarang: Universitas Diponegoro. 2008. [diakses 28 Desember 2014]     Diunduh     dari     URL:

http://eprints.undip.ac.id.

  • 5.    Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat [tesis]. Sumatera Utara: Universita Sumatera Utara; 2009.

  • 6.    Futouhi, A., Hashemi, H., Khabazkhoob, M., dan Mohammad, K. Prevalence and risk factors of pterygium and pinguecula. The Tehran Eye Study, 2009; 23:11251129.

  • 7.    Nangia, V., Jonas, J. B., Nair, D., Saini, N., Nangia, P., Jonas, S. P. Prevalence and Associated Factors for Pterygium in Rural Agrarian Central India. The Central India Eye and Medical Study, 2013.; 8(12):82439.

  • 8.    Rohatgi,     S.     Pterygium:     an

epidemological study in India. International J. of Healthcare & Biomedical Research, 2013; 1(4): 297301.

  • 9.    Viso,E., Gude, F., dan Rodríguez, M. T. Prevalence of pinguecula and pterygium in a general population in Spain. Clinical Study Eye, 2010; 25:350-357.

  • 10.    Liang QF1, Xu L, Jin XY, You QS, Yang XH, Cui TT. Epidemiology of

pterygium in aged rural population of Beijing, China. Chin. Med. J. Eng, 2010; 123(13):1699-701.

  • 11.    Zhong, H., Cha, X., Wei, T., Lin, X., Li, X., Li, J., Cai, N., Li, J., Su, X.,Yang, Y., Yu, M., dan Yuan, Y. Prevalence of and Risk Factors for Pterygium in Rural Adult Chinese Populations of the Bai Nationality in Dali:  The Yunnan

Minority Eye Study. Investigative Ophthalmology & Visual Science, 2012. [diakses 28 Desember 2014]; 53(10):6617-6621. Diunduh dari URL:: http://iovs.arvojournals.org.

  • 12.    Sherwin, J. C., Hewitt, A. W., Kearns, L. S., Griffiths, L. R., Mackey, D. A. and Coroneo, M. T. The association between pterygium and conjunctival ultraviolet autofluorescence: The Norfolk Island Eye Study. Acta Ophthalmologica, 2013; 91: 363–370.

  • 13.    Krishnaram, K. Prevalaence And Pattern Of Pterygium . The Internet Journal of Ophthalmology and Visual Science, 2013; 10(1).

  • 14.    Tano, T., Ono, K., Hiratsuka, Y., Otani, K., Sekiguchi, M., Konno, S., Kikuchi, S., Onishi, Y., Takegami, M., Yamada, M., Fukuhara, S., dan Murakami, A. Prevalence of pterygium in a population in Northern Japan: the Locomotive Syndrome and Health Outcome in Aizu Cohort Study. Acta Ophthalmologica, 2013; 91:232-236.

  • 15.    Jiao, W., Zhou, C., Wang, T., Yang, S., Bi, H., Liu, L., Li, Y., dan Wang L. Prevalence and Risk Factors for Pterygium in Rural Older Adults in Shandong Province of China: A CrossSectional Study. BioMed Research International, 2014; 1-8.

  • 16.    Cajucom, H., Tong, L., Wong, T. Y., Tay, W. T., Saw, S.M. The prevalence of and risk factors for pterygium in an urban Malay population. Singapore: The Singapore Malay Eye Study; 2009.

  • 17.    Dimar, Pigamitha. Prevaensi Pterygium pada Populasi Penarik Beca Mesin di Sekitar Universitas Sumatera Utara [artikel karya ilmiah]. Sumatera Utara: Universita Sumatera Utara; 2011.

  • 18.    Asokan, R., Venkatasubbu, R. S., Velumuri, L., Lingam, V. and George, R. Prevalence and associated factors for pterygium and pinguecula in a South

Indian population. Ophthalmic and Physiological Optics, 2011; 32: 39–44.

  • 19.    Saerang, JSM. The Risk Factors of Human Papilloma Virus 18 on the Recurrences of Pterygium. Jurnal Oftalmologi Indonesia. [online] 2011 [diakses 28 Desember 2014]; 7 (5), 185188.     Diunduh     dari     URL:

http://journal.unair.ac.id.

  • 20.    Lim, C.Y., Kim, S. Y., Chuck, R. S., Lee, J. K., dan Park, C. Y. Risk Factors for Pterygium in Korea: The Korean National Health and Nutrition Examination Survey V, 2010–2012. Korea: Wolters Kluwer Health Inc, 2015; 94(32):1-7.

6

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum