ISSN: 2303-1395

E-JURNAL MEDIKA, VOL. 7 NO.7,Juli, 2018

KARAKTERISTIK DAN KEBERHASILAN TERAPI PASIEN SIFILIS PADA PASIEN LELAKI YANG BERHUBUNGAN SEKS DENGAN LELAKI DI KLINIK BALI MEDIKA PERIODE AGUSTUS 2014 – JULI 2015

Maria Saulina Wahyuningtyas Malelak1, Komang Ayu Kartika Sari2 1Program Studi Pendidikan Dokter, 2Bagian IKK/IKP Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Email: mariasaulinamalelak@gmail.com

ABSTRAK

Menurut data surveilans terpadu biologi dan perilaku (STBP) 2013, grafik mengenai prevalensi HIV dan IMS lain tahun 2007 sampai 2013 memiliki kecenderungan yang sama pada semua populasi berisiko, kecuali pada lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL) yang cenderung mengalami peningkatan terutama prevalensi sifilis. Dengan mengetahui karakteristik sosio-demografis dan karakteristik penyakit sifilis pada pasien LSL, pemberian informasi mengenai pencegahan sifilis ditekankan terhadap pasien yang lebih berisiko, berperan penting dalam upaya pencegahan, serta dapat meningkatkan keberhasilan terapi sifilis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sosio-demografis, karakteristik penyakit sifilis, dan keberhasilan terapi pasien sifilis pada populasi LSL di Klinik Bali Medika periode Agustus 2014 – Juli 2015. Penelitian deskriptif dengan pendekatan crosssectional ini menggunakan data rekam medis pasien. Hasil penelitian ini adalah proporsi pasien sifilis pada populasi LSL terbesar dimiliki oleh pasien pada rentang usia 25 – 30 tahun, belum menikah, pendidikan SMA atau sederajat, melakukan hubungan seksual insertive dan receptive, tidak menggunakan kondom, status HIV positif, tanpa riwayat sifilis, dan stadium dini. Tanda yang paling sering muncul adalah rash. Keberhasilan terapi tercapai sebesar 28,4%. Simpulan dari penelitian ini adalah pasien dengan karakteristik tertentu lebih sering terkena sifilis dan berhasil diterapi.

Kata Kunci : sifilis, LSL, sosio-demografis, keberhasilan terapi

ABSTRACT

According to integrated biological and behavioral surveillance 2013, prevalence of HIV and other STIs from 2007 until 2013 have same tendency for all population, except men who have sex with men (MSM), who tend to increase especially for syphilis. By knowing characteristics of sociodemographic and syphilis in MSM patients, the provision of information about prevention of syphilis is emphasized to patients with higher risk, plays important roles in prevention, and enhance the therapeutic success of syphilis. This study aimed to determine socio-demographic characteristics, characteristics of syphilis, and therapeutic success of patients with syphilis in MSM populations at Bali Medika Clinic period August 2014 - July 2015. This descriptive study with cross-sectional approach used datas from medical records of patients. The results of the study is the biggest proportion of patient with syphilis in MSM populations is owned by the patients in the range of 25-30 years old, unmarried, senior high school or equal, having insertive and receptive sexual intercouse, do not use condoms, HIV positive, without history of syphilis, and early stage of syphilis. The most frequent sign is rash. Therapeutic success is 28.4%. The conclusion of this study is patients with certain characteristics are tend to be exposed to syphilis and treated successfully.

Keywords : syphilis, MSM, socio-demography, successed of therapeutic

PENDAHULUAN                          dunia sebesar 11,3% dari tahun 2005

hingga 2008 menurut World Health

Infeksi menular seksual (IMS)

Organization (WHO).1 Menurut surveilans masih menjadi masalah besar sampai saat

terpadu biologi dan perilaku (STBP)2 2013, ini, dimana terjadi peningkatan insiden IMS

prevalensi HIV dan IMS pada lelaki yang

berhubungan seks dengan lelaki (LSL) cenderung meningkat. Peningkatan prevalensi yang terbesar adalah sifilis, yaitu hampir tiga kali lipat, dibandingkan prevalensi lain.

Peningkatan angka kejadian sifilis berbanding lurus dengan kasus sifilis pada pria, khususnya LSL. Pada tahun 2013 diketahui bahwa 75% kasus sifilis primer dan sekunder terjadi pada LSL. Insiden sifilis pada LSL adalah 91 sampai 173 kasus per 100.000, sedangkan pada pria heteroseksual adalah 2 per 100.000.3 Hal tersebut menunjukkan bahwa LSL lebih berisiko menderita sifilis dibandingkan pria heteroseksual. Menurut WHO1, terjadi peningkatan kasus sifilis pada LSL di Indonesia sejak 2008 (4%) sampai 2012 (21,9%). Beberapa penelitian menyatakan hubungan signifikan antara kejadian sifilis dengan beberapa karakteristik, yaitu usia lebih tua, tingkat pendidikan rendah, melakukan hubungan seksual secara receptive, banyak pasangan seksual, dan tidak rutin menggunakan kondom.4-6

Beberapa program pemerintah sudah dijalankan, namun kasus sifilis di Indonesia terus meningkat. Beberapa data dapat membantu perbaikan, yaitu karakteristik sosio-demografis, perilaku seksual, status HIV, dan penyakit sifilis, serta keberhasilan terapi pasien sifilis pada populasi LSL. Sehingga pemberian informasi mengenai pencegahan sifilis

ditekankan pada pasien lebih berisiko, berperan penting dalam upaya pencegahan, dan dapat meningkatkan keberhasilan terapi sifilis.

METODE DAN BAHAN

Penelitian observatif ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif dengan pendekatan crosssectional. Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien sifilis pada populasi LSL yang telah melakukan pemeriksaan di Klinik Bali Medika periode Agustus 2014 – Juli 2015, yaitu sebanyak 231 pasien. Data diperoleh dari rekam medis sampel.

Variabel yang diteliti adalah usia, status pernikahan, tingkat pedidikan, jenis hubungan seksual, penggunaan kondom, status HIV, riwayat sifilis, tanda dan gejala, stadium klinis sifilis, dan keberhasilan pengobatan. Data kemudian dianalisis secara univariat dan bivariat.

HASIL

Distribusi pasien sifilis pada LSL di Klinik Bali Medika berdasarkan karakteristik tersedia pada tabel 1. Berdasarkan hasil penelitian mengenai karakteristik sosio-demografis, didapatkan bahwa proporsi usia LSL terbesar adalah pada usia 25 sampai 30 tahun (41,6%), sedangkan yang terkecil adalah lebih dari 40 tahun (8,2%). Mayoritas LSL belum pernah menikah (92,9%). Berdasarkan

tingkat

pendidikan, proporsi LSL terbesar      menyatakan bahwa 55% LSL memiliki

adalah

SMA atau sederajat (59,9%).              penyakit HIV.

Sebesar 85,7% LSL tidak memiliki

Hasil penelitian ini menyatakan

riwayat   sifilis    sebelumnya.    Hanya

bahwa pada hubungan seksual terakhirnya

sebagian kecil LSL yang menunjukkan paling banyak melakukan jenis hubungan

tanda dan gejala berupa rash, discharge seksual berupa insertive dan receptive

darah, pucat, ulkus, dan erythema, dimana

(34,1%) dan didapatkan pula 51,6% LSL            ,     ,     ,             ,

rash merupakan

menggunakan kondom.  Penelitian ini

Tabel 1.Distribusi karakteristik pasien sifilis

No.

Variabel                       Kategori

Persentase

(%)

1.

Usia (tahun)                      <25

27,3

(n= 231)                        25 – 30

41,6

31 – 40

22,9

>40

8,2

2.

Status pernikahan                Belum menikah

92,9

(n= 226)                       Menikah

5,8

Cerai

1,3

3.

Tingkat pendidikan                SD/sederajat

1,6

(n= 192)                          SMP/sederajat

11,5

SMA/sederajat

59,9

Perguruan tinggi

27,1

4.

Jenis hubungan seksual            Oral (O)

2,2

(n= 135)                            Insertive (I)

31,1

Receptive (R)

32,6

I dan R

34,1

5.

Tanda dan gejala                 Rash

4,3

Discharge darah

0,4

Pucat

0,4

Ulkus

0,4

Eryhtema

0,4

tanda yang paling sering muncul. Diketahui       bahwa sampel dengan stadium klinis dini

bahwa lebih banyak LSL memiliki stadium      yang memiliki HIV adalah 95,3%.

dini (95,2%). Sebesar 82,7% LSL tanpa              Tabel 2

menunjukkan sebesar

riwayat sifilis memiliki HIV. Didapatkan       28,4% LSL mengalami penurunan titer

sebanyak dua tahap atau lebih, sehingga dianggap telah berhasil diterapi. Pasien sifilis yang berhasil diterapi memiliki titer awal 1:8 atau kurang dan memiliki HIV.

Pasien yang lebih banyak berhasil diterapi yang memiliki riwayat sifilis (65%). Selain itu, pasien yang berhasil diterapi lebih banyak memiliki stadium dini (50,4%).

Tabel 2.Distribusi keberhasilan terapi pasien sifilis

Penurunan titer

Jumlah

≥2 tahap

<2 tahap

Selisih tanggal tes

<3

7   (3,1)

90 (40,0)

97 (43,1)

(bulan)

≥3

57 (25,3)

71  (31,6)

128 (56,9)

PEMBAHASAN

Mayoritas LSL berusia 25 – 30 tahun (41,6%) dan diikuti dengan sampel yang berusia kurang dari 25 tahun (27,3%). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Huang dkk.7 pada tahun 2004 – 2008 di Taiwan yang menyatakan bahwa proporsi pasien sifilis terbesar pada populasi LSL adalah pada rentang usia 25 – 29 tahun (30%) dan diikuti dengan usia kurang dari 25 tahun (27%). Di dalam penelitiannya, Wang dkk.4 dan Kuklova6 menyatakan bahwa usia tua memiliki hubungan yang positif terhadap kejadian sifilis.

Hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa mayoritas LSL yang menderita sifilis belum menikah (92,9%) didukung oleh penelitian Kuklova dkk.6 dan Zhang dkk.5 Kedua penelitian tersebut menyatakan bahwa status pernikahan belum menikah berhubungan secara signifikan dengan infeksi sifilis dan HIV.

Tingkat pendidikan mayoritas LSL yang menderita sifilis adalah SMA atau

sederajat (59,9%). Menurut penelitian di Jakarta Timur, mayoritas LSL hanya mendapatkan pendidikan sampai tingkat SMA atau sederajat (54%).9 Penelitian Zhang dkk.5 dan Wang dkk.4 menyatakan bahwa tingkat pendidikan rendah berhubungan positif dengan kasus sifilis. Namun, Hartanti10 menyatakan bahwa hubungan antara tingkat pendidikan dengan infeksi sifilis kurang signifikan (P=0,760).

Data perilaku seksual yang dicatat berdasarkan hubungan seksual terakhir. Mayoritas jenis hubungan seksual yang dilakukan adalah insertive dan receptive (34,1%). Penelitian Wang dkk.4 terhadap populasi LSL di Beijing menyatakan bahwa 90,3% pasien berhubungan seks secara insertive dan menganggap receptive sex berhubungan signifikan dengan sifilis.

LSL lebih banyak yang tidak menggunakan kondom selama berhubungan seksual (51,6%). Penelitian Wang dkk.4 terhadap populasi LSL di Beijing menyatakan hal serupa yaitu terdapat lebih banyak pasien yang tidak selalu

menggunakan kondom (50,8%). Hartini10 menyatakan menyatakan bahwa hubungan antara penggunaan kondom dengan sifilis kurang signifikan (P= 0,429).10

Mayoritas LSL yang menderita sifilis memiliki HIV (55%). Menurut CDC12 dan Bernstein dkk.13 pasien sifilis populasi LSL lebih banyak yang memiliki HIV. Menurut penelitian Hartanti10 pada transgender waria di lima kota besar di Indonesia tahun 2011, status HIV berhubungan signifikan dengan infeksi sifilis (P=0,000) dan menyatakan bahwa pasien dengan status HIV positif memiliki risiko 2,28 kali lebih besar. Sifilis memfasilitasi penyebaran HIV dengan mempercepat poses replikasi HIV serta dapat merusak sistem imun. Penurunan sistem imun pada pasien HIV meningkatkan kerentanan pasien terhadap sifilis.

Mayoritas LSL tidak memiliki riwayat sifilis (85,7%). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa mayoritas LSL dengan riwayat sifilis memiliki HIV (17,3%). Hasil ini didukung penelitian Bernstein dkk.13 di San Fransisco pada April 2007 sampai Desember 2011 terhadap LSL yang menunjukkan bahwa 75,1% LSL tidak memiliki riwayat sifilis. Data CDC12 dan Knaute dkk.14 menunjukkan bahwa lebih banyak LSL dengan riwayat sifilis memiliki HIV. Namun, penelitian Ghanem dkk.15 di Baltimore tahun 1992 – 2000 menunjukkan

bahwa diagnosis ulang lebih banyak terjadi pada pasien tanpa HIV.

Berdasarkan data yang tersedia dalam rekam medis pasien, hanya 4,8% LSL dengan sifilis yang menunjukkan tanda dan gejala, dimana tanda yang paling sering muncul adalah rash (4,3%) Penelitian Kuklova dkk.6 terhadap pasien klinik IMS di Prague, Republik Ceko, tahun 2009 menunjukkan tanda berupa ulkus (27,5%), exanthema (19,6%), dan discharge (5,3%).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 95,2% LSL memiliki stadium dini dan mayoritas LSL dengan stadium klinis dini memiliki HIV (95,3%). Penelitian Kuklova dkk.6 pada pasien klinik IMS di Prague, Republik Ceko, tahun 2009, menyatakan bahwa mayoritas pasien berada pada stadum dini (92,1%).

Angka keberhasilan terapi sifilis pada LSL adalah 28,4%. Penelitian Kim dkk.16 di New York tahun 2005 – 2007 menyatakan bahwa mayoritas LSL gagal diterapi (61,8%). Long dkk.17, Saje dan Tomazic18, Tsai dkk.19, dan Wong dkk.20 menyatakan bahwa mayoritas LSL berhasil diterapi dengan penisilin G benzatin.

LSL tanpa HIV memiliki angka keberhasilan terapi lebih tinggi (31,3%). Penelitian Ghanem dkk.15 di Baltimore pada 1992–2000 menyatakan bahwa 17% pasien dengan HIV dan 3% pasien tanpa HIV gagal merespon terapi yang diberikan. Pada penelitian ini, angka keberhasilan terapi lebih tinggi pada pasien dengan titer awal

1:8 atau kurang (36%). Pasien dengan titer awal 1:8 atau kurang memiliki angka keberhasilan terapi yang lebih tinggi pada kelompok HIV positif (38,5%) dibandingkan kelompok HIV negatif (33,3%). Sedangkan pasien dengan titer awal 1:16 atau lebih menunjukkan hasil sebaliknya, yaitu pada kelompok HIV positif 24,8% dan HIV negatif 31%. Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian Long dkk.17 menyatakan bahwa pasien dengan titer awal 1:16 atau lebih memiliki angka keberhasilan terapi 100%, sedangkan pasien dengan titer awal 1:8 atau kurang memiliki angka keberhasilan terapi pada status HIV positif dan negatif masing-masing sebesar 75,0% dan 88,2%.

Mayoritas LSL yang berhasil diterapi memiliki riwayat sifilis (65%) dan berada pada stadium dini (50,4%). Penelitian Tsai dkk.19 serta Saje dan Tomazic18 menyatakan bahwa pasien dengan riwayat sifilis cenderung gagal diterapi. Mereka juga menyatakan bahwa pasien yang berhasil diterapi lebih banyak yang berada pada stadium dini (65,2%).

SIMPULAN

Sebagian besar pasien sifilis pada populasi LSL di Klinik Bali Medika adalah pada rentang usia 25 – 30 tahun, belum menikah, pendidikan SMA atau sederajat, melakukan hubungan seksual insertive dan receptive, tidak menggunakan kondom, dan status HIV positif. Sebagian besar pasien

berada pada stadium dini dan belum pernah mengalami sifilis sebelumnya. Keberhasilan terapi tercapai pada 28,4% sampel.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    World Health Organization. Global Health Observatory (GHO) data: HIV/AIDS [serial online]. 2014 [diakses:   20 Desember  2014].

Diunduh        dari:        URL:

http://www.who.int/gho/hiv/en/.

  • 2.  STBP. STBP pada kelompok berisiko

tahun 2013 [presentasi laporan]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.

  • 3.   Centers for Disease Control and

Prevention. Sexually transmitted disease surveillance 2012. Georgia: CDC; 2014.

  • 4.  Wang B, Li X, Stanton B, Liu Y,

Jiang S. Socio-demographic and behavioral correlates for HIV and syphilis infections among migrant men who have sex with men in Beijing, China. AIDS Care. 2013;25(2):249-57.

  • 5.    Zhang X, Yu J, Li M, Sun XY, Han Q, Li M, dkk.. Prevalence and related risk behaviors of HIV, syphilis and anal HPV infection among men who have sex with men from Beijing, China. AIDS Behav. 2013;17:1129-36.

  • 6.    Kuklova I, Velcevsky P, Kojanova M. Syphilis among STD clinic patients in Prague in 2009. Cent Eur J Public Health 2011. 2011;19(2):84-90.

  • 7.    Huang YF, Nelson KE, Lin YT, Yang CH, Chang FY, Ting CYL. Syphilis among men who have sex with men (MSM) in Taiwan: Its Association With HIV Prevalence, Awareness of HIV Status, and Use of Antiretroviral Therapy. AIDS Behav. 2013;17:1406-14.

  • 8.    Kementerian  Kesehatan  Republik

Indonesia.    Surveilans terpadu

biologis dan perilaku (STBP) 2011. Jakarta: Kemenkes RI; 2011.

  • 9.    Nugroho A. Peran faktor harga diri dan pusat pengendalian diri terhadap perilaku seksual lelaki seks dengan lelaki di Jakarta Timur. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. 2012;1(1):17-24.

  • 10.    Hartanti A. Faktor-faktor yang berhubungan dengan infeksi sifilis pada populasi transgender waria di 5 kota besar di Indonesia [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia; 2011.

  • 11.    Daili SF, Indriatmi W, Wiweko SN, Dewi H, Tanujaya F, Wignall S, dkk. Pedoman tata laksana sifilis untuk pengendalian sifilis di layanan kesehatan dasar. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.

  • 12.    Centers for Disease Control and Prevention. Infectious syphilis among gay, bisexual and other men who have sex with men in British Columbia. Clinical Prevention Services, BC Centre for Disease Control. Canada: CDC; 2013.

  • 13.    Bernstein KT, Stephens SC, Strona FV, Kohn RP, Philip   SS.

Epidemiologic characteristics of an ongoing syphilis epidemic among men who have sex with men, San Francisco. Sexually Transmitted Diseases. 2013;40(1):11-7.

  • 14.    Knaute DF, Graf N, Lautenschlager S, Weber R, Bosshard   PP.

Serological response to treatment of syphilis according to disease stage and HIV status. Clinical Infectious Diseases. 2012;55(12):1615-22.

  • 15.    Ghanem KG, Erbelding EJ, Wiener ZS, Rompalo AM. Serological response to syphillis treatment in HIV-positive and HIV-negative patients      attending      sexually

transmitted diseases. Sexually Transmitted Infection. 2007;83:97-101.

  • 16.    Kim JH, Psevdos Jr G, Suh J, Sharp V. Factors influencing syphilis treatment failure and/or re-infection in HIV co-infected patients: immunosuppression or behaviors. Chinese      Medical      Journal.

2011;124(14):2123-6.

  • 17.    Long CM, Klausner JD, Leon S, Jones FR, Giron M, Cuadros J, dkk. Syphilis treatment and HIV infection in a population-based study of persons at high risk for sexually transmitted disease/HIV infection in Lima, Peru. Sexually Transmitted Diseases. 2006;33(3):151-5.

  • 18.    Saje A, Tomazic J. Syphilis and HIV co-infection: excellent response to multiple doses of benzathine penicillin. Acta Dermatovenerologica APA. 2014;23:1-3.

  • 19.    Tsai JC, Lin YH, Lu PL, Shen NJ, Yang CJ, Lee NY, dkk. Comparison of serological response to doxycycline versus benzathine penicillin G in the treatment of early syphilis in HIV- infected patients: a multi-center observational study. Plos One. 2014;9(10):1-7.

  • 20.    Wong T, Singh AE, De P. Primary syphilis:    serological treatment

response to doxycycline/tetracycline versus benzathine penicillin. The American Journal of Medicine. 2008;121(10):903-8.

7

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum