ARTIKEL PENELITIAN

E-JURNAL MEDIKA, VOL. 7 NO. 1, JANUARI, 2018 : 22 - 27

ISSN: 2303-1395

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Bagian/SMF Psikiatri RSUP Sanglah


Prevalensi efek samping farmakoterapi terhadap penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Bangli, Propinsi Bali

Sharmadave Subramaniam1, Ni Putu Suweni Sasmita1, Cokorda Bagus Jaya Lesmana2

ABSTRAK

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang persisten dan membutuhkan pengobatan seumur hidup, ditandai dengan gejala psikotik dan hilangnya fungsi kognitif tertentu. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi efek samping farmakoterapi terhadap penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Bangli. Sebanyak 42 sampel diambil dari rekam medis di Asylum Bali berdasarkan data saat pasien dirawat di UGD. Data kemudian diekstraksi ke dalam bentuk ekstraksi sebelumnya dan dianalisis dengan software SPSS 20. Pasien termuda berusia 21 tahun. Tingkat kejadian skizofrenia lebih banyak terjadi pada laki-laki (92,9%) dibandingkan dengan perempuan (7,1%). Pasien berstatus tidak menikah sebanyak 59,5%, pasien menikah 35,7% dan bercerai 4,8%. Tidak ada pasien janda dan pasien yang tidak diketahui status perkawinannya. Efek samping farmakoterapi meliputi sindrom ekstrapiramidal (EPS) sebanyak 14 pasien (33,3%) diikuti oleh diskinesia tardif dan sindrom tardif lainnya sebanyak 18 pasien (42,9%), dislipidemia sebanyak 2 pasien (4,8%) serta resistensi insulin dan hiperglikemia sebanyak 8 pasien (19%). Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa diantara 42 sampel yang diambil secara acak, lebih dari 40% mengalami diskinesia tardif dan sindrom tardif lainnya. Efek samping lainnya dari farmakoterapi juga bervariasi. Faktor risiko bertambahnya usia, meningkatnya adipositas, dan etnik tertentu dapat berkontribusi pada efek farmakoterapi yang lebih buruk pada skizofrenia.

Kata Kunci : skizofrenia, efek samping, farmakoterapi

ABSTRACT

Schizophrenia is persisting mental illness and need a long-life medication, with psychotic symptoms and loss of specific cognitive functions. This study aims to identify the prevalence of side effects of pharmachotherapy on schizophrenia patients in RSJ Bangli. Forty-two sample was taken from medical record in Asylum of Bali based on the report when patient is admitted to emergency department. The data then extracted into extraction form that is previously made and analyzed with software SPSS 20. The youngest patient is 21 years old. Gender comparison of man 92.9% and woman 7.1%. Patients with unmarried status 59.5%, married patients 35.7% and divorced 4.8%. No widowed and unknown patient found from the data. The side effect of pharmachotherapy includes extrapyramidal syndrome with 14 patients (33.3%), tardive dyskinesia and other tardive syndromes with 18 patients (42.9%), dyslipidemia with 2 patients (4.8%) and insulin resistance and hyperglycemia with 8 patients (19%). In this study, it is found that among 42 patients that is taken randomly, more than 40% has tardive dyskinesia and other tardive syndromes. Other side effects of pharmachotherapy are also varied. Risk factor of older age, greater adiposity, ethnicity could further contribute to the worsen effects of pharmachotherapy in schizophrenia.

Keywords: schizophrenia, side effects, pharmachotherapy

Diterima : 18 Desember 2017

Disetujui : 2 Januari 2018

Diterbitkan : 10 Januari 2018


PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan manifestasi gangguan jiwa yang paling dramatis dan tragis bagi umat manusia. Dampak penyakit tersebut bagi penderita, keluarganya, dan masyarakat pada umumnya sangat menghancurkan. Skizofrenia dapat dikatakan sebagai sindrom kejiwaan yang paling membingungkan dan salah satu yang paling melemahkan. Penyakit ini ditandai dengan kognisi yang terganggu, termasuk “peningkatan fungsi” gejala psikotik dan “penurunan fungsi” pada


fungsi kognitif tertentu, seperti memori kerja dan deklaratif, namun tanpa disertai demensia progresif yang menjadi ciri gangguan neurodegeneratif klasik.1

Meski fenomenanya sangat mengagumkan, patofisiologi dan etiologinya tetap tidak jelas. Kurangnya pengetahuan terkait fungsi otak mendasari ketidakmampuan kita menggambarkan target molekuler untuk perawatan definitif atau strategi pencegahan yang rasional. Saat ini belum ada penyebab dan penyembuhan yang secara medis dapat diarahkan bagi penderita skizofrenia.1

Meskipun demikian, penelitian selama bertahun-tahun telah menemukan beragam pengobatan bagi skizofrenia dari antipsikotik generasi pertama hingga antipsikotik generasi kedua. Walaupun diketahui banyak keberhasilan dan manfaat dalam mengurangi gejala psikotik pada pasien skizofrenia, namun efek samping penggunaan obat antipsikotik cukup mengganggu gaya hidup penderita skizofrenia.1,2

Bali sebagai salah satu wilayah berkembang di Indonesia juga memiliki sejumlah pasien skizofrenia dalam pelayanan kesehatannya. Bali memiliki masalah yang sama seperti halnya di tempat lain dalam hal prevalensi pasien skizofrenia dengan efek samping akibat farmakoterapi.3 Oleh karena itu, diharapkan akses pengobatan yang lebih baik bagi penderita skizofrenia di Bali terutama berfokus pada RSJ Bangli. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi efek samping farmakoterapi terhadap pasien skizofrenia yang dirawat di RSJ Bangli, Propinsi Bali.

METODE

Desain penelitian ini adalah deskriptif cross-sectional untuk mengetahui prevalensi efek samping farmakoterapi terhadap pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Bangli, Propinsi Bali periode bulan September hingga bulan November 2014 dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien selama di Unit Gawat Darurat RSJ Bangli periode September-November 2014.

Sampel penelitian ini adalah 42 pasien skizofrenia yang dirawat di RSJ Bangli pada periode September-November 2014 dan memenuhi kriteria inklusi. Definisi operasional variabel: 1) Efek samping farmakoterapi terhadap pasien skizofrenia meliputi: a.sindrom ekstrapiramidal, b.diskinesia tardif dan sindrom tardif lainnya, c.dislipidemia, d.resistensi insulin dan hiperglikemia. 2) Prevalensi penderita skizofrenia yang mengalami efek samping akibat farmakoterapi selama perawatan di RSJ Bangli. Rentang usia pasien skizofrenia yang tercatat adalah 20-70 tahun. Jenis kelamin dibagi menjadi dua, yakni laki-laki dan perempuan

Data diambil dari rekam medis pasien skizofrenia di RSJ Bangli dan dinilai menggunakan kuesioner yang sesuai. Data dikumpulkan kemudian diekstraksi ke dalam bentuk ekstraksi yang sebelumnya telah dirancang. Hasil selanjutnya diproses menggunakan perangkat lunak SPSS versi 20. Distribusi frekuensi kemudian dianalisis secara deskriptif untuk menjelaskan prevalensi berdasarkan uji statistik yang sesuai. Data tersebut kemudian disajikan dalam bentuk tabel.

HASIL

Sebanyak 42 sampel diambil dari data rekam medis pasien skizofrenia yang dirawat di RSJ Bangli mulai dari bulan September hingga November 2014.

Tabel 1. Persebaran usia pasien skizofrenia

N

Minimum

Maksimum

Rerata

Simpang Baku

Umur

42

21

69

41,5

12,1

Tingkat kejadian skizofrenia lebih banyak terjadi pada laki-laki (92,9%) dibandingkan dengan perempuan (7,1%). (Tabel 2)

Tabel 2. Jenis kelamin pasien skizofrenia

Frekuensi

Persentase (%)

Laki-laki

39

92,9

Perempuan

3

7,1

Total

42

100

Dalam penelitian ini tercatat pasien skizofrenia paling banyak beragama Hindu yakni mencapai 97,6% dan suku Bali sedangkan sisanya yakni sekitar 1% beragama Kristen dan bukan suku Bali. (Tabel 3)

Tabel 3. Agama dan suku pasien skizofrenia

Karakteristik

Frekuensi

Persentase (%)

Agama :

Hindu

41

97,6

Kristen

1

2,4

Suku :

Bali

41

97,6

Non-Bali

1

2,4

Status pekerjaan sebagian besar pasien skizofrenia adalah pengangguran yakni mencapai 42,9%, disusul pensiun 33,3%, ibu rumah tangga 2% dan pelajar 8%. Sedangkan untuk status perkawinan, data menunjukkan bahwa pasien yang tidak menikah sekitar 59,5%, pasien menikah 35,7% dan pasien bercerai atau berpisah 4,8%. Tidak ada pasien janda dan pasien yang tidak diketahui status perkawinannya. (Tabel 4)

Tabel 4. Status pekerjaan dan status perkawinan pasien skizofrenia

Karakteristik

Frekuensi

Persentase (%)

Status Pekerjaan : Pengangguran dan

14

33,3

pensiunan

Bekerja

18

42,9

Ibu rumah tangga

2

4,8

Pelajar

8

19,0

Status Perkawinan :

Tidak menikah

25

59,5

Menikah

15

35,7

Janda/Duda

0

0

Bercerai atau berpisah

2

4,8

Tidak diketahui

0

0

Dalam penelitian ini diperoleh data terkait asal pasien skizofrenia yang dirawat di RSJ Bangli berdasarkan sembilan kabupaten/kota di Propinsi Bali. Tercatat penderita skizofrenia sebagian besar berasal dari Kabupaten Buleleng yakni sebanyak 9 pasien (22%), disusul Tabanan sekitar 8 pasien (19%) dan Gianyar sekitar 7 pasien (17%). Tidak ada kasus skizofrenia yang berasal dari Denpasar. (Tabel 5)

Tabel 5. Persebaran kasus skizofrenia di seluruh kabupaten di Bali

Karakteristik

Frekuensi

Persentase (%)

Alamat :

Badung

4

9,8

Bangli

3

7,3

Buleleng

9

22,0

Gianyar

7

17,1

Jembrana

4

9,8

Karangasem

4

9,8

Klungkung

2

4,9

Tabanan

8

19,5

Denpasar

0

0

Terdapat dua tipe skizofrenia yang mendominasi diagnosis pasien di RSJ Bangl. Kedua tipe tersebut adalah skizofrenia tipe hebefrenik dengan 27 pasien (65,9%) dan tipe paranoid dengan 14 pasien (34,1%). (Tabel 6)

Pengantar penderita skizofrenia ketika pertama kali datang ke Unit Gawat Darurat RSJ Bangli sebagian besar adalah anggota keluarga sebanyak 39 pasien (95,1%), disusul dengan Dinas Sosial (DINSOS) sebanyak 2 pasien (4,9%), dan 1

pasien datang diantar oleh pasangannya (2,4%). Ditemukan bahwa 4 pasien (9,8%) datang diantar oleh polisi. Tidak ada pasien yang datang dan mendaftar sendiri. (Tabel 7)

Tabel 6. Tipe skizofrenia pada pasien RSJ Bangli

Karakter

Frekuensi

Persentase (%)

Diagnosis Utama :

Skizofrenia

Hebefrenik

27

65,9

Skizofrenia Paranoid

15

34,1

Tabel 7. Pengantar pasien ke RSJ Bangli

Karakteristik

Jumlah Pasien

Persentase

(%)

Datang sendiri

0

0

Anggota keluarga

39

95,1

Dinas Sosial (DINSOS)

2

4,9

Pasangan

1

2,4

Polisi

4

9,8

Stresor yang dialami sebelum terjadinya penyakit atau selama masa skizofrenia menunjukkan bahwa 4 pasien (9,8%) mengalami stresor dari masyarakat sekitar, 7 pasien (17,1%) dilaporkan mengalami stresor dari anggota keluarga yang lebih dekat sedangkan 6 pasien (14,6%) mengalami stresor ketika anggota keluarga dekat telah meninggal dunia, 3 pasien (7,3%) mengalami masalah di tempat kerja, kampus atau sekolah, sedangkan 19 pasien lainnya (46,3%) tidak masuk dalam kategori stresor di atas. (Tabel 8)

Tabel 8. Stresor terhadap pasien skizofrenia

Karakteristik

Frekuensi

Persentase (%)

Stresor dari masyarakat sekitar

4

9,8

Stresor dari anggota keluarga dekat

7

17,1

Stresor dari anggota keluarga lebih jauh

2

4,9

Stresor akibat kematian anggota keluarga dekat

6

14,6

Masalah di tempat kerja, kampus, atau sekolah

3

7,3

Lainnya

19

46,3

Tabel 9. Efek samping farmakoterapi antipsikotik

Karakteristik

Frekuensi

Persentase (%)

Sindrom

Ekstrapiramidal (EPS)

14

33,3

Dyskinesia Tardive dan sindrom tardive lainnya

18

42,9

Dyslipidemia

2

4,8

Resistensi Insulin dan hiperglikemia

8

19,0

Farmakoterapi

bagi pasien

skizofrenia

di RSJ Bangli dilakukan dengan pemberian obat-obatan antipsikotik generasi pertama atau

antagonis reseptor dopamin (DA) dan obat-obatan antipsikotik generasi kedua atau antagonis dopamin serotonin (SDA). Berdasarkan data yang diperoleh, efek samping farmakoterapi meliputi sindrom ekstrapiramidal (EPS) sebanyak 14 pasien (33,3%), diikuti dengan diskinesia tardif dan sindrom tardif lainnya sebanyak 18 pasien (42,9%), dislipidemia sebanyak 2 pasien (4,8%), serta resistensi insulin dan hiperglikemia sebanyak 8 pasien (19%). (Tabel 9)

DISKUSI

Dari 42 orang sampel pasien skizofrenia di RSJ Bangli diperoleh usia termuda adalah 21 tahun dan usia tertua adalah 69 tahun. Terdapat kemiripan karakteristik usia dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Svanum et al, dimana usia termuda penderita skizofrenia dalam penelitian tersebut yakni 17 tahun dan usia tertua adalah 74 tahun.4

Pada penelitian ini didapatkan jumlah pasien laki-laki lebih tinggi daripada pasien perempuan. Hasil ini sangat sesuai dengan literatur review oleh Mura et al dimana dikatakan bahwa dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan, sebagian besar didapatkan tingkat kejadian skizofrenia pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.5 Hasil yang sama juga dikemukakan dalam penelitian Chabungbam et al yang mendukung hasil penelitian ini.6 Menurut penelitian oleh Mura et al, laki-laki lebih cenderung mengalami gangguan akibat gejala negatif daripada perempuan dan perempuan cenderung memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki sebelum onset penyakit. Secara umum, hasil untuk pasien skizofrenia perempuan lebih baik daripada pasien skizofrenia laki-laki yang mungkin menjelaskan tingkat kejadian yang lebih rendah pada perempuan.5

Dari analisis data, ditemukan kejadian diskinesia tardif dan sindrom tardif lainnya yang menjadi efek samping farmakoterapi skizofrenia paling tinggi dibandingkan dengan efek samping farmakoterapi lainnya. Gejala pasien skizofrenia di RSJ Bangli terdiri atas gerakan involunter dan abnormal dari mulut, wajah dan lidah, batang tubuh serta ekstremitas. Hal ini sejalan dengan studi prevalensi oleh Haddad et al dimana gerakan abnormal memang ada pada pasien selama 4 minggu setelah terpapar obat antipsikotik dan minimal berlangsung selama 3 bulan. Penelitian tersebut juga menambahkan 70% pasien yang dirawat secara kronis dengan obat antipsikotik generasi pertama menunjukkan gejala diskinesia tardif. Begitu pula pada penelitian ini dimana kebanyakan pasien di RSJ Bangli diobati dengan antipsikotik generasi pertama yang menunjukkan efek samping yang serupa.7

Sindrom ekstrapiramidal (EPS) adalah efek samping farmakoterapi yang kurang umum terjadi diantara pasien skizofrenia di RSJ Bangli dibandingkan dengan diskinesia tardif. Namun, efek samping ini memiliki tingkat kejadian tertinggi kedua dibandingkan efek samping lainnya. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Lederbogen et al yang menemukan bahwa tingkat kejadian EPS tinggi dalam penelitian mereka karena dapat terjadi dengan penggunaan antipsikotik yang ada saat ini termasuk antipsikotik generasi kedua. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini karena obat yang diresepkan di RSJ Bangli merupakan antipsikotik generasi pertama maupun kedua.8 Akan tetapi, dalam penelitian ini data untuk perbandingan antipsikotik generasi pertama dan generasi kedua tidak disebutkan. Berbeda dengan penelitian Uchida et al yang menyebutkan bahwa dosis rendah antipsikotik konvensional dengan potensi tinggi (misalnya haloperidol 4 mg per hari) berhubungan dengan EPS lebih banyak dibandingkan dengan obat antipsikotik generasi kedua dengan dosis yang dianjurkan. Antipsikotik generasi pertama potensi lebih rendah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk menyebabkan EPS daripada obat-obatan dengan potensi lebih tinggi.9

Efek samping lainnya yang ditemukan dalam penelitianiniadalahdislipidemia.Suatu double-blind clinical trial selama 14 minggu oleh Lindenmayer et al menilai perubahan total kolesterol pada 157 pasien dengan pemberian obat-obatan berikut secara acak clozapine, olanzapine, risperidone, atau haloperidol. Terdapat peningkatan rata-rata kolesterol total yang signifikan pada minggu ke-8 dari baseline 14,7 mg/dL (P<0,02) dan 12,3 mg/dL (P<0,02) pada pasien yang menggunakan clozapine dan olanzapine. Pada minggu ke-14, pasien yang

menggunakan olanzapine mengalami peningkatan rata-rata kolesterol total 20,1 mg/dL (P<0,02), sementara kenaikan kolesterol total tidak signifikan pada mereka yang mengonsumsi risperidone atau clozapine.10

Efek samping yang keempat dalam penelitian ini adalah resistensi insulin dan hiperglikemia pada pasien skizofrenia di RSJ Bangli. Terjadinya efek samping ini dijelaskan dalam penelitian oleh Wu et al yang menemukan penghentian dan pemberian kembali clozapine diikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah yang berulang. Hasil ini berbeda dengan hubungan hiperglikemia dengan penggunaan quetiapine atau risperidone. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa saat ini banyak obat antipsikotik mungkin mampu mengganggu metabolisme glukosa seluruh tubuh hingga tingkat tertentu dengan beberapa agen yang terkait. Namun, faktor risiko usia lebih tua, adipositas yang lebih besar, dan etnisitas tertentu dapat berhubungan dengan kenaikan kadar glukosa dalam tubuh akibat interaksinya dengan obat-obatan antipsikotik.11

SIMPULAN

Skizofrenia dapat dikatakan sebagai gangguan jiwa yang paling membingungkan dan salah satu yang paling melemahkan. Hal ini ditandai dengan kognisi yang tidak teratur, termasuk “peningkatan fungsi” gejala psikotik dan “penurunan fungsi” pada fungsi kognitif tertentu, seperti memori kerja dan deklaratif, namun tanpa disertai demensia progresif yang menjadi ciri gangguan neurodegeneratif klasik. Meski fenomenologinya sangat mempesona, patofisiologi dan etiologinya tetap tidak jelas, dan penderita penyakit sangat menderita. Kurangnya pengetahuan tentang fungsi otak mendasari ketidakmampuan kita untuk menggambarkan target molekuler sebagai perawatan definitif atau strategi pencegahan yang rasional. Hal ini ditunjukkan di dalam penelitian dimana berbagai macam efek samping mempengaruhi penderita skizofrenia di RSJ Bangli.

Dalam penelitian lain pula dinyatakan bahwa tingkat kejadian efek samping farmakoterapi yang tinggi dalam penelitian mereka karena hal tersebut dapat terjadi dengan penggunaan antipsikotik yang ada saat ini termasuk antipsikotik generasi kedua dan faktor risiko lain yang mungkin mempengaruhi interaksi obat antipsikotik pada pasien skizofrenia. Hal ini menunjukkan kompleksitas dalam mengidentifikasi pengobatan kuantitatif pada pasien skizofrenia secara individual.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Buchanan RW, Carpenter WT. Concept of schizophrenia. In: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th ed. Vol 1. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2005:1329.

  • 2.    Casey DE, Haupt DW, Newcomer JW, Henderson DC, Sernyak MJ. Antipsychotic-induced weight gain and metabolic abnormalities: Implications for increased mortality in patients with schizophrenia. J Clin Psychiatry. 2004;65:4.

  • 3.    Pranata S, Fauziah Y, Budisuari MA, Kusrini I. Kesehatan Jiwa. In: Riset Kesehatan Dasar Dalam Angka: Riskesdas 2013 Provinsi Bali. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI 2013; 102-5.

  • 4.    Svanum HA, Zhu B, Faries DE, Salkever D, Slade EP, Peng X, Conley RR. The cost of relapse and the predictors relapse in the treatment of schizophrenia. BMC Psychiatry 2010;10(2):1-7.

  • 5.    Mura G, Petretto DR, Bhat KM, Carta MG. Schizophrenia : from Epidemiology to Rehabilitation. Clinical Practice & Epidemiology in Mental Health 2012; 8: 52-66.

  • 6.    Chabungbam G, Avasthi A, Sharan P. 2007. Sociodemographic and clinical factors associated with relapse in schizophrenia. Psychiatry and Clinical Neurosciences 61: 58793. doi:10.1111/j.1440-1819.2007.01722.x.

  • 7.    Haddad PM, Brain C, Scott J. Nonadherence with antipsychotic medication in schizophrenia: challenges and management strategies. Dove Press 2014; 5: 43-62. http://dx.doi.org/10.2174/ PROM.S42735.

  • 8.    Lederbogen F, Haddad L, Lindenberg AM. Urban social stress – Risk factor for mental disorders. The case of schizophrenia. Elsevier Environmental Pollution xxx 2013; 1-5. http:// dx.doi.org/10.1016/j.envpol.2013.05.046.

  • 9.    Uchida H, Takeuchi H, Graff-Guerrero A, Suzuki T, Watanabe K. Mamo DC. Dopamin D2 receptor occupancy and clinical effects: a systematic review and pooled analysis. Journal of Clinical Psychopharmacology 2011 Aug; 31(4): 497-502. doi: 10.1097/ JCP.0b013e3182214aad. PMID: 21694629.

  • 10.    Lindenmayer JP, Citrome L, Khan A, Kaushik S. A Randomized, Double-Blind, Parallel-Group, Fixed-Dose, Clinical Trial of Quetiapine at 600 Versus 1200 mg/d for Patients With

Treatment-Resistant Schizophrenia or Schizoaffective Disorder. Journal of Clinical Psychopharmacology April 2011; 31(2): 160-8. doi: 10.1097/jcp.0b013e31820f4fe0.

  • 11.    Wu X, Huang Z, Han H, Zhong Z, Gan Z, Guo

X, Diao F, Han Z, Zhao J. The comparison of glucose and lipid metabolism parameters in drug-naïve, antipsychotic-treated, antipsychotic discontinuation patients with schizophrenia. Neuropsychiatric Disease and Treatment 2014; 10: 1361-8. doi: 10.2147/NDT.

S63140. PMCID: PMC4114900.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

27