Tingkat Pengetahuan dan Kategori Persepsi Masyarakat Terhadap Penyakit Tuberkulosis (TB) di Desa Kecicang Islam Kecamatan Bebandem Karangasem-Bali
on
ARTIKEL PENELITIAN
E-JURNAL MEDIKA, VOL. 6 NO. 12, DESEMBER, 2017 : 131 - 139
ISSN: 2303-1395
DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS
Tingkat Pengetahuan dan Kategori Persepsi Masyarakat Terhadap Penyakit Tuberkulosis (TB) di Desa Kecicang Islam Kecamatan Bebandem Karangasem-Bali
Luh Made Hannisa Sandha1, Komang Ayu Kartika Sari2
ABSTRAK
Tingkat pengetahuan dan persepsi merupakan peranan penting dalam pengendalian penyakit TB. Masyarakat yang sadar akan bahaya penyakit TB akan sangat membantu dalam keberhasilan program pemberantasan penyakit TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan kategori persepsi masyarakat tentang penyakit TB di Desa Kecicang Islam Kecamatan Bebandem Karangasem. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectionalstudy. Sampel yang digunakan adalah seluruh KK di Desa Kecicang Islam Kecamatan Bebandem. Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner tingkat pengetahuan TB dan persepsi pemeriksaan dini TB. Analisis data yang dilakukan berupa analisis univariat dan tabulasi silang. Hasil penelitian tingkat pengetahuan mendapatkan sebagian besar responden (55,1%) memiliki pengetahuan yang kurang tentang penyakit TB. Hasil penelitian kategori persepsi mendapatkan 67,3% memiliki persepsi positif terhadap upaya pemeriksaan diri terkait TB. Dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat Desa Kecicang Islam memiliki tingkat pengetahuan kurang dan kategori persepsi tergolong baik.
Kata Kunci : tuberkulosis, pengetahuan, persepsi
ABSTRACT
Knowledge and perception are very important in disease control and management of tuberculosis. A good awareness of tuberculosis will help the prevention and management program of TB to be successful. The aim of the study was to explore the level of knowledge and category of perception of the society regarding TB in Kecicang Islam village, Bebandem district, Karangasem. This research was a cross-sectional study, where the samples were from all family registers in Kecicang Islam village, Bebandem district. The instrument used was questionnaire consisted of knowledge of TB and perception of early detection of TB. Data analysis was by univariate analysis and cross tabulation. The result showed that 55.1% of the respondents had low knowledge of TB, while 67.3% had positive perception regarding early detection of TB. From this study, it could be concluded that the society of Kecicang Islam village has low knowledge and good perception of TB.
Keywords: tuberculosis, knowledge, perception
Diterima : 10 Oktober Disetujui : 27 Oktober 2017 Diterbitkan : 1 Desember 2017
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) yang merupakan penyakit menular disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, tidak hanya menyerang paru, tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya seperti tulang, kelenjar getah bening, otak, yang biasa disebut sebagai TB ekstra paru. Penyakit ini dapat menyerang semua usia dan ditularkan secara langsung melalui dropet yang terinfeksi. Hingga saat ini TB merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia.1,2
TB banyak ditemukan di negara-negara berkembang sehingga TB menjadi salah satu penyakit yang penanggulangannya menjadi komiten global dalam Milenium Developmental Goals (MDGs). Jumlah terbesar kasus TB terjadi di negara-negara Asia Tenggara dan Afrika, yaitu
33% dari seluruh kasus TB di dunia atau sekitar 182 kasus per 100.000 penduduk untuk Asia Tenggara. Data WHO tahun 2010 menunjukkan estimasi jumlah kasus TB adalah 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Pada Global Report WHO tahun 2010, Indonesia tercatat pada urutan kelima di dunia untuk beban kasus TB tertinggi dengan jumlah seluruh kasus TB tahun 2009 sebanyak 294.731. Dari jumlah tersebut sebanyak 169.213 adalah kasus baru BTA positif, 108.616 adalah kasus baru BTA negatif, 11.215 adalah kasus TB ekstra paru, 3.709 kasus kambuh dan 1.978 adalah kasus pengobatan ulang.2,3 Dari data diatas menunjukkan bahwa angka kesakitan orang dengan penyakit tuberkulosis tinggi.
TB termasuk ke dalam sepuluh besar penyakit yang ditemukan di puskesmas dan
rumah sakit di Provinsi Bali dengan prevalensi TB paru mencapai 50 per 100.000 penduduk. Case Notification Rate (CNR) dan Success Rate (SR) merupakan dua indikator yang dipakai untuk melihat kecenderungan peningkatan kasus TB pada suatu daerah. CNR Provinsi Bali pada tahun 2014 adalah sebesar 74/100.000 penduduk dimana angka tersebut belum memenuhi CNR yang ditargetkan yakni 78/100.000 penduduk. Capaian SR Provinsi Bali tahun 2014 adalah 87,5% berada di atas target Renstra Dinas Kesehatan yakni 85%. Namun, masih terdapat kabupaten yang belum dapat mencapai target SR, seperti Karangasem dengan SR sebesar 75% dan jumlah penemuan kasus baru BTA positif sebesar 166 kasus.4 Data Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem tahun 2015 menunjukan bahwa Kecamatan Bebandem menyumbang kasus baru BTA positif terbanyak yakni sebesar 22 kasus dan kasus terbanyak yakni 40% berasal dari desa Kecicang Islam, desa dengan penduduk terbanyak.5
Berbagai upaya pemerintah untuk memberantas kasus TB paru sudah banyak dilakukan. Upaya tersebut meliputi promotif, preventif dan kuratif yang dilakukan oleh Puskesmas dan Rumah Sakit untuk melakukan penemuan dini, mencegah peningkatan angka kejadian dan penularan. Namun hal tersebut belum terbukti dapat memperbaiki pengetahuan penyakit TB yang dimiliki masyarakat dalam upaya pengendalian penyakit TB. Berdasarkan hasil Survei Prevalensi TB Indonesia tahun 2004 mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku menunjukkan bahwa hanya 26% dari anggota keluarga pengidap TB yang dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB dan hanya 51% yang memahami cara penularan TB.3 Studi lain yakni Perjalanan Pasien TB dalam Mencari Pelayanan di Yogyakarta juga mendapatkan pengetahuan yang kurang di masyarakat yang ditunjukkan dengan pendapat masyarakattentang berbagai penyebab TB yang tidak infeksius (seperti merokok, tidur di lantai, stress dan tidur malam) dan sikap masyarakat yang kurang peduli akan bahaya TB.
Tingkat pengetahuan merupakan salah satu peranan penting dalam pengendalian penyakit TB. Adapun faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan adalah usia, pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi dan sumber informasi.6 Faktor-faktor tersebut akan memengaruhi pemahaman dan aplikasi yang akan dilakukan individu. Hasil penelitian Astuti menunjukkan terdapat hubungan korelasi yang kuat antara tingkat pengetahuan masyarakat dengan pencegahan penyakit TB di Jakarta Utara.7 Dalam hal ini pengetahuan berperan dalam bagaimana seseorang dapat mencegah dan mengurangi angka kesakitan penyakit TB. Meskipun demikian pengetahuan juga harus diimbangi
oleh sikap individu terhadap suatu penyakit agar penyakit tersebut dapat dicegah. Teori Health Belief Model menyebutkan bahwa perilaku/sikap terkait kesehatan suatu individu ditentukan oleh persepsi individu itu sendiri terhadap suatu penyakit sehingga akan terbentuk perubahan perilaku yang diharapkan dapat mencegah penyakit tersebut.8
Studi pendahuluan telah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bebandem, yakni Desa Kecicang Islam melalui wawancara kepada warga. Hasil dari lima pertanyaan didapatkan 8 warga mengatakan tidak tahu mengenai penyakit TB, cara penularan, dan tindakan pemeriksaan awal serta pencegahan. Dua warga desa Kecicang Islam lainnya mengatakan tahu tentang penyakit TB, cara penularan dan tindakan pencegahannya. Wawancara lebih lanjut mengenai sikap masyarakat terhadap penyakit TB didapatkan bahwa mereka cenderung tidak mempedulikan tindakan pemeriksaan diri dan pencegahan TB dengan bukti masih ada yang membuang dahak sembarangan, lingkungan yang kumuh dan masih ada anggota keluarga penderita TB yang menolak untuk diperiksa saat disarankan oleh keluarga yang menderita TB. Hal tersebut mencerminkan adanya indikasi pengetahuan yang rendah dan sikap negatif terhadap risiko penularan TB, upaya pencegahan penularan, dan upaya deteksi dini TB pada warga Desa Kecicang Islam, dengan angka kasus TB tertinggi di Karangasem.
Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit TB di Indonesia khususnya di Bali tidak cukup dengan program pemerintah yang sudah dijalankan dengan baik, namun juga diperlukan dukungan berupa pengetahuan dan persepsi terkait TB yang dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat yang sadar akan bahaya penyakit TB Paru dan mengetahui cara penularannya serta akibat yang ditimbulkan dari penyakit TB Paru akan sangat membantu dalam keberhasilan program pemberantasan penyakit TB.8 Berdasarkan paparan di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai gambaran tingkat pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Karangasem.
METODE
Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bebandem, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali pada tanggal 22 - 24 Oktober 2016. Populasi penelitian adalah seluruh KK di Desa Kecicang Islam Kecamatan Bebandem, Karangasem. Adapun kriteria inklusi sampel yaitu masyarakat wilayah kerja Puskesmas Bebandem berusia > 18 tahun dan
Tabel 1. Distribusi Usia Responden
Variabel Mean Median Minimum Maksimum Std. Deviasi
Usia 35,68 35 20
55
8,68
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Kelompok Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan, Penghasilan, dan Sumber Informasi
No |
Variabel |
N |
Responden |
% |
1 |
Usia |
98 | ||
18-49 tahun |
92 |
93,9 | ||
> 50 tahun |
6 |
6,1 | ||
2 |
Jenis Kelamin |
98 | ||
Laki-laki |
44 |
44,9 | ||
Perempuan |
54 |
55,1 | ||
3 |
Pendidikan |
98 | ||
SD |
26 |
26,5 | ||
SMP |
30 |
30,6 | ||
SMA |
32 |
32,7 | ||
PT |
10 |
10,2 | ||
4 |
Pekerjaan |
98 | ||
Tidak Bekerja/IRT |
25 |
25,5 | ||
Buruh |
9 |
9,2 | ||
Pedagang |
21 |
21,4 | ||
Petani |
13 |
13,3 | ||
PNS |
6 |
6,1 | ||
Wiraswasta |
22 |
22,4 | ||
Swasta |
2 |
2 | ||
5 |
Penghasilan |
98 | ||
< 1.700.000 |
66 |
67,3 | ||
> 1.700.000 |
32 |
32,7 | ||
6 |
Sumber Informasi |
98 | ||
Petugas Kesehatan |
79 |
80,6 | ||
Media massa |
19 |
19,4 |
bersedia menjadi responden penelitian. Kriteria eksklusi yaitu calon responden tidak mampu mendengar. Berdasarkan hasil penghitungan, dibutuhkan jumlah sampel minimal sebanyak 96 orang, di mana jumlah sampel yang didapatkan adalah 98 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling dari 287 KK wilayah Desa Kecicang Islam yang terbagi menjadi 6 RT/RW.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengisi kuesioner dan wawancara. Permintaan Informed consent dari responden dilakukan untuk memastikan kesediaan dalam mengisi kuisioner dan wawancara. Jika responden bersedia,
selanjutnya responden diminta untuk menjawab secara lengkap pertanyaan berdasarkan kuesioner yang tersedia. Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL
Berdasarkan distribusi usia responden dalam penelitian ini, maka dapat diketahui bahwa usia termuda responden adalah 20 tahun dan yang paling tua adalah 55 tahun. Rerata usia responden adalah 38 tahun dan responden terbanyak berusia 35 tahun dengan standar deviasi 8,68 (Tabel 1).
Karakteristik responden bisa dilihat berdasarkan Tabel 2. Pada penelitian ini usia responden dikategorikan ke dalam dua bagian, yakni usia produktif (18-49 tahun) dan tidak produktif (> 50 tahun). Dari data tabel di atas dapat dilihat bahwa karakteristik responden berdasarkan pengelompokkan usia adalah kelompok usia 18-49 tahun sebanyak 92 orang (93,9%) dan kelompok usia di atas 50 tahun sebanyak 6 orang (6,1%). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, didapatkan responden paling banyak adalah perempuan yaitu 54 orang (55,1%) sedangkan laki-laki sebanyak 44 orang (44,9%).
Berdasarkan latar belakang pendidikan responden, paling banyak responden dalam penelitian ini berpendidikan setingkat SMA yaitu berjumlah 32 orang (32,7%). Berdasarkan jenis pekerjaan, sebagian besar responden dalam penelitian ini adalah tidak bekerja atau ibu rumah tangga yaitu 25 orang (25,5%).
Dilihat dari jumlah penghasilan dalam sebulan, lebih banyak responden yang berpenghasilan di bawah Rp. 1.700.000,00 (UMK Kabupaten Karangasem tahun 2015) yaitu berjumlah 66 orang (80,6%) dan responden yang berpenghasilan di atas Rp. 1.700.000,00 berjumlah 32 orang (32,7%). Sedangkan untuk sumber informasi tentang penyakit TB didapatkan sebagian besar memperolehnya dari petugas kesehatan yaitu berjumlah 79 orang (80,6%) dan hanya 19 orang (19,4%) yang mendapat informasi dari media baik cetak maupun elektronik.
Dalam menentukan tingkat pengetahuan secara umum, peneliti terlebih dahulu melakukan uji normalitas data menggunakan SPSS. Berdasarkan hasil uji normalitas tersebut didapatkan nilai Asymp. Sign sebesar 0,000 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan, dengan kata lain bahwa data tersebut berdistribusi tidak normal. Maka untuk menentukan cut of point skor tingkat pengetahuan, peneliti menggunakan nilai median sebagai nilai batasan. Dari hasil pengumpulan data kuesioner didapatkan data sebagai berikut (Tabel 3).
Variabel Mean Median Minimum Maksimum
Total Skor Pengetahuan 14,08 14,00 9 23
Variabel
N Responden %
Tingkat Pengetahuan 98
Baik
Kurang
44 44,9
54 55,1
Tabel 5. Distribusi Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Kelompok Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Penghasilan dan Sumber Informasi
No |
Variabel |
Tingkat Pengetahuan | ||||
Baik |
Kurang | |||||
N |
% |
N |
% |
% | ||
1 |
Usia 18-49 tahun |
50 |
54,3 |
42 |
45,7 |
100 |
> 50 tahun |
2 |
33,3 |
4 |
66,7 |
100 | |
2 |
Jenis Kelamin Laki-laki |
20 |
45,5 |
24 |
54,5 |
100 |
Perempuan |
24 |
44,4 |
30 |
55,6 |
100 | |
3 |
Pendidikan SD-SMP |
21 |
37,5 |
35 |
62,5 |
100 |
SMA-PT |
23 |
54,8 |
19 |
45,2 |
100 | |
4 |
Pekerjaan Bekerja |
42 |
57,5 |
31 |
42,5 |
100 |
Tidak Bekerja |
12 |
48 |
13 |
52 |
100 | |
5 |
Penghasilan < 1.700.000 |
13 |
50 |
13 |
50 |
100 |
> 1.700.000 |
41 |
57,7 |
30 |
42,3 |
100 | |
6 |
Sumber Informasi Petugas Kesehatan |
38 |
48,1 |
41 |
51,9 |
100 |
Media |
6 |
31,6 |
13 |
68,4 |
100 |
Dari data kuesioner, didapatkan hasil bahwa rerata skor tingkat pengetahuan responden adalah 14,08 dan nilai median atau nilai tengah adalah 14. Berdasarkan analisis tersebut nilai 14 dijadikan sebagai cut of point. Apabila skor pengetahuan responden > 14 maka responden dikategorikan berpengetahuan baik dan apabila skor pengetahuan responden < 14 maka responden dikategorikan berpengetahuan kurang. Distribusi kategori tingkat pengetahuan responden dalam penelitian ini secara umum sebanyak 44 orang responden (44,9%) berpengetahuan baik dan 54 orang responden (55,1%) berpengetahuan kurang. Distribusi dapat dilihat pada Tabel 4.
Untuk memudahkan pemahaman tentang distribusi tingkat pengetahuan menurut karakteristik responden (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan sumber informasi) maka dilakukan penggabungan masing-masing karakteristik menjadi dua bagian. Kelompok pendidikan dibagi menjadi SD-SMP dan SMA-PT serta kelompok pekerjaan menjadi bekerja dan tidak bekerja. Hasil distribusi tingkat pengetahuan terkait karakteristik responden disajikan dalam Tabel 5. Didapatkan proprosi responden dengan tingkat pengetahuan kurang dijumpai pada kelompok usia > 50 tahun (66,7%), responden perempuan (55,6%), responden dengan pendidikan SD-SMP (62,5%), responden yang tidak bekerja (52%), responden dengan penghasilan dibawah 1.700.000 (50%) dan pada responden yang mendapat sumber informasi dari media massa (68,4%).
Kuesioner terkait pengetahuan tentang penyakit TB yang disebar pada warga desa Kecicang Islam, terdiri atas 6 sub-topik yaitu faktor risiko dan penyebab, cara penularan, gejala dan pemeriksaan diri, pengobatan serta komplikasi. Pertanyaan pada kuesioner berbentuk pernyataan benar dan salah. Pernyataan kuesioner pada tiap sub-topik dijumlahkan dan dibandingkan antara jumlah skor jawaban responden dengan jumlah skor benar yang seharusnya kemudian diubah dalam bentuk presentase. Kemudian presentase tersebut dikategorikan berdasarkan cut of point yang ditentukan oleh peneliti. Dalam penelitian ini, cut of point yang digunakan adalah 60% sehingga jika presentase > 60% maka responden dikategorikan berpengetahuan baik dan jika presentase < 60% maka responden dikategorikan berpengetahuan kurang.
Dari Tabel 6 didapatkan bahwa hampir sebagian besar yakni, 83 orang (84,7%) berpengetahuan kurang dan hanya 15 orang (15,3%) berpengetahuan baik untuk pengetahuan tentang faktor risiko dan penyebab TB. Sedangkan didapatkan jumlah responden yang sama yakni, 49 orang (50%) berpengetahuan baik dan 49 orang (50%) berpengetahuan kurang untuk pengetahuan tentang cara penularan TB. Untuk pengetahuan tentang pengobatan TB didapatkan 53 orang (54,1%) berpengetahuan baik dan 45 orang (45,9%) berpengetahuan kurang. Sedangkan untuk pengetahuan tentang pencegahan TB didapatkan hampir sebagian besar yakni, 69 orang (70,4%) berpengetahuan kurang dan 29 orang (29,6%) berpengetahuan baik. Untuk pengetahuan tentang gejala dan pemeriksaan diri terkait TB didapatkan 53 orang (54,1%) berpengetahuan baik dan 45 orang (45,9%) berpengetahuan kurang. Sedangkan untuk pengetahuan tentang komplikasi TB didapatkan
No |
Variabel |
N |
Responden |
% |
1 |
Faktor Risiko dan Penyebab Baik |
98 |
15 |
15,3 |
Kurang |
83 |
84,7 | ||
2 |
Penularan Baik |
98 |
49 |
50 |
Kurang |
49 |
50 | ||
3 |
Pengobatan Baik |
98 |
53 |
54,1 |
Kurang |
45 |
45,9 | ||
4 |
Pencegahan Baik |
98 |
29 |
29,6 |
Kurang |
69 |
70,4 | ||
5 |
Gejala dan Pemeriksaan Diri Baik |
98 |
53 |
54,1 |
Kurang |
45 |
45,9 | ||
6 |
Komplikasi Baik |
98 |
48 |
49 |
Kurang |
50 |
51 | ||
Variabel Mean |
Median |
Minimum |
Maksimum | |
Total Skor Persepsi 8,35 |
8 |
3 |
13 | |
Variabel |
N |
Responden |
% | |
Kategori Persepsi Positif |
98 |
66 |
67,3 | |
Negatif |
32 |
32,7 |
50 orang (51%) berpengetahuan kurang dan 48 orang (49%) berpengetahuan baik. Walaupun tidak jauh berbeda, terlihat bahwa pengetahuan yang kurang masih tergolong tinggi pada kelompok sub-pengetahuan pengobatan, dan gejala serta pemeriksaan diri.
Berdasarkan hasil uji normalitas data kategori persepsi didapatkan nilai Asymp. Sign sebesar 0,000 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan, dengan kata lain bahwa data tersebut berdistribusi tidak normal. Maka untuk menentukan cut off point skor kategori persepsi, peneliti menggunakan nilai median sebagai nilai batasan. Dari hasil pengumpulan data kuesioner didapatkan data sebagai berikut (Tabel 7).
Berdasarkan analisis tersebut nilai 8 dijadikan sebagai cut off point. Apabila skor persepsi
responden > 8 maka responden dikategorikan memiliki persepsi positif dan apabila skor persepsi responden < 8 maka responden dikategorikan memiliki persepsi negatif. Distribusi kategori persepsi responden dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 8).
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat secara umum sebanyak 66 orang responden (67,3%) memiliki persepsi positif dan 32 orang responden (32,7%) memiliki persepsi negatif terkait penyakit TB. Adapun distribusi frekuensi masing-masing jawaban pada lembar kuesioner persepsi dapat dilihat pada Tabel 9.
Berdasarkan distribusi tingkat persepsi menurut karakteristik sosiodemografis, maka didapatkan proprosi responden dengan tingkat persepsi positif pada kelompok usia > 50 tahun (83,3%), responden laki-laki (70,5%), responden dengan pendidikan SMA-PT (83,3%), responden yang bekerja (69,9%), responden dengan penghasilan di atas 1.700.000 (70,4%) dan pada responden yang mendapat sumber informasi dari petugas kesehatan (68,4%). Distribusi dapat dilihat pada Tabel 10.
DISKUSI
Gambaran Tingkat Pengetahuan TB
Pada penelitian ini didapatkan hampir sebagian besar responden (55,1%) memiliki pengetahuan yang kurang tentang penyakit TB. Hal ini menunjukkan bahwa studi pendahuluan yang dilakukan peneliti sejalan dengan hasil penelitian yang didapat, yaitu rendahnya tingkat pengetahuan terkait TB yang dimiliki oleh masyarakat desa Kecicang Islam secara umum. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Suadnyani di Buleleng tentang tingkat pengetahuan TB yaitu, dari 40 responden didapatkan 24 orang berpengetahuan kurang dan hanya 16 orang yang berpengetahuan baik terkait penyakit TB.9 Hal ini dapat menjadi alasan mengapa kasus TB masih sering dan banyak dijumpai di wilayah Kecicang Islam. Terbukti bahwa pengetahuan masyarakat yang rendah berdampak pada terhambatnya pengendalian penyakit TB di suatu daerah. Menurut peneliti, salah satu penyebab kurangnya tingkat pengetahuan terkait TB adalah perbedaan latar belakang masyarakat pada suatu daerah. Latar belakang tersebut meliputi usia, ras, jenis kelamin, jenjang pendidikan, jenis pekerjaan, sosial ekonomi dan sumber didapatnya informasi. Hal ini sesuai dengan teori Notoatmodjo bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang meliputi usia, tingkat pendidikan, pekerjaan dan sosial ekonomi serta sumber informasi.6
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Terkait Persepsi
No |
Pernyataan |
Benar |
Salah | ||
N |
% |
N |
% | ||
1 |
Untuk mencegah terserang penyakit TB perlu pemahaman yang baik tentang penyebaran penyakit TB |
95 |
96,9 |
3 |
3,1 |
2 |
Penyakit TB adalah penyakit yang memalukan |
29 |
29,6 |
69 |
70,4 |
3 |
Saya tidak perlu mengetahui masalah penyakit TB |
63 |
64,3 |
35 |
35,7 |
4 |
Saya melakukan pemeriksaan ke Puskesmas apabila merasakan demam, dan batuk lebih dari 2 minggu |
69 |
70,4 |
29 |
29,6 |
5 |
Jika saya mengalami batuk-batuk, saya lebih memilih membeli obat di warung daripada ke Puskesmas |
38 |
38,8 |
60 |
61,2 |
6 |
Penyuluhan TB tidak perlu dilaksanakan |
73 |
74,5 |
25 |
25,5 |
7 |
Jika ada di lingkungan masyarakat yang menderita TB maka kita anjurkan untuk berobat dan menganjurkan keluarga terdekatnya untuk memeriksakan diri |
87 |
88,8 |
11 |
11,2 |
8 |
Untuk mencegah penyakit TB, saudara menganjurkan keluarga untuk memeriksakan kesehatan ke Puskesmas/RS |
85 |
86,7 |
13 |
13,3 |
9 |
Pemeriksaan kesehatan tidak penting bagi saya |
71 |
72,4 |
27 |
27,6 |
10 |
Memeriksakan diri di awal jika ada gejala akan lebih baik dan memberi manfaat daripada mengobati penyakit TB sehingga harus minum obat selama 6 bulan |
82 |
83,7 |
16 |
16,3 |
11 |
Saya tidak perlu memberitahu orang lain untuk memeriksakan dirinya ke Puskesmas jika ia tinggal bersama penderita TB, karena bukan menyangkut saya. |
41 |
41,8 |
57 |
58,2 |
12 |
Saya cenderung malas untuk memeriksakan diri jika ada gejala TB |
49 |
50 |
49 |
50 |
13 |
Biaya untuk pemeriksaan TB di Puskesmas dan RS tergolong mahal |
36 |
36,7 |
62 |
63,3 |
mayoritas responden yang berpengetahuan kurang dijumpai pada kelompok usia di atas 50 tahun, yaitu dengan proporsi 66,7%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Adiwidia tentang tingkat pengetahuan penyakit TB, didapatkan proporsi usia produktif yang berpengetahuan baik adalah 64,6% sedangkan pada usia lanjut
didapatkan 87,5% berpengetahuan kurang.8 Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Bagas tentang hubungan antara karakteristik pasien TB Paru dengan pengetahuan dan periaku, didapatkan bahwa 50% kelompok usia 15-50 tahun memiliki pengetahuan dan perilaku penceghan yang kurang, sedangkan pada kelompok usia > 50 tahun terdapat 76,9% berpengetahuan dan berperilaku kurang. Maka dapat diartikan bahwa usia non-produktif (> 50 tahun) sebagian besar memiliki tingkat pengetahuan yang kurang dibandingkan dengan usia produktif karena terdapat penurunan fungsi kognitif dan psikomotor.
Menurut peneliti hal tersebut dapat terjadi karena kelompok usia produktif memiliki daya tangkap yang cepat dan daya ingat yang masih baik dibandingkan usia lanjut sehingga mudah untuk menerima informasi yang diberikan tentang penyakit TB. Hal ini sejalan dengan teori Notoatmodjo, bahwa usia dewasa memiliki daya tangkap dan pola pikir yang sedang berkembang sehingga pada usia tersebut memiliki waktu untuk belajar, berlatih dan membaca. Sedangkan pada usia lansia tedapat penurunan intelektual akibat bertambahnya usia sehingga ada penurunan kemampuan dalam pengetahuan umum.
Hasil penelitian tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan kurang memiliki proporsi yang tidak jauh berbeda baik pada kelompok responden laki-laki dan perempuan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ingga tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan masyarakat mengenai pelayanan kesehatan, didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan pengetahuan yang dimiliki masyarakat terkait pelayanan keseahatan.10 Menurut peneliti dominasi pengetahuan kurang baik pada responden laki-laki maupun perempuan diakibatkan oleh adanya faktor lain seperti hambatan dalam mengakses informasi.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan mayoritas responden yang berpengetahuan kurang dijumpai pada kelompok responden dengan tamatan SD-SMP, yaitu dengan proporsi 62,5%. Dapat disimpulkan bahwa semakin rendah pendidikan seseorang maka tingkat pengetahuan seseorang tentang penyakit TB paru semakin kurang demikian sebaliknya. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asri pada tahun 2008 tentang pengetahuan pengobatan TB Paru, didapatkan data bahwa sebanyak 87,5% dari seluruh responden berpendidikan SD-SMP memilki pengetahuan yang kurang tentang pengobatan TB Paru dan responden yang berpendidikan SMA-PT tidak ada yang memilki pengetahuan yang
Tabel 10. Distribusi Kategori Persepsi Berdasarkan Kelompok Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Penghasilan dan Sumber Informasi
No |
Variabel |
Tingkat Persepsi | ||||
Positif |
Negatif | |||||
N |
% |
N |
% |
% | ||
1 |
Usia 18-49 tahun |
61 |
66,3 |
31 |
33,7 |
100 |
> 50 tahun |
5 |
83,3 |
1 |
16,7 |
100 | |
2 |
Jenis Kelamin Laki-laki |
31 |
70,5 |
13 |
29,5 |
100 |
Perempuan |
35 |
64,8 |
19 |
35,2 |
100 | |
3 |
Pendidikan SD-SMP |
31 |
55,4 |
25 |
44,6 |
100 |
SMA-PT |
35 |
83,3 |
7 |
16,7 |
100 | |
4 |
Pekerjaan Bekerja |
51 |
69,9 |
22 |
30,1 |
100 |
Tidak Bekerja |
15 |
60 |
10 |
40 |
100 | |
5 |
Penghasilan < 1.700.000 |
16 |
61,5 |
10 |
38,5 |
100 |
> 1.700.000 |
50 |
70,4 |
21 |
29,6 |
100 | |
6 |
Sumber Informasi Petugas Kesehatan |
54 |
68,4 |
25 |
31,6 |
100 |
Media Massa |
12 |
63,2 |
7 |
36,8 |
100 |
kurang tentang pengobatan TB Paru.8 Menurut peneliti pendidikan berkaitan dengan pengetahuan seseorang tentang penyakit TB Paru. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik penerimaan informasi tentang penyakit TB sehingga akan semakin mendukung upaya pengendalian penyakit TB pada suatu daerah.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan mayoritas responden yang berpengetahuan kurang dijumpai pada kelompok responden yang tidak bekerja, yaitu dengan proporsi 52%. Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat Anderson bahwa salah satu struktur sosial yaitu pekerjaan akan mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan.8 Menurut peneliti, pada individu yang tidak bekerja akan sedikit memiliki tantangan sehingga pengetahuan untuk menghadapi masalah tersebut semakin minim. Hal ini dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan yakni, pekerjaan seseorang dapat mencerminkan sedikit banyaknya informasi yang diterima dan berefek dalam mengambil keputusan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan mayoritas responden yang berpengetahuan kurang dijumpai pada kelompok responden yang
memiliki penghasilan di bawah UMK. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Riski bahwa responden yang memiliki penghasilan di atas UMK memiliki pengetahuan yang baik tentang strategi koping terhadap penyakit TB Paru.8 Menurut peneliti hal ini terjadi karena individu dengan penghasilan yang lebih baik atau diatas UMK dapat memudahkan seseorang mencari informasi dan memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan dalam rangka meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB, demikian sebaliknya.
Hasil penelitian tingkat pengetahuan berdasarkan sumber informasi, didapatkan responden berpengetahuan kurang banyak berasal dari kelompok media massa. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Adiwidia bahwa proporsi antara yang berpengetahuan kurang dan baik hampir sama berasal dari petugas kesehatan, sedangkan 1 orang yang mendapat informasi dari media cetak/ elektronik memiliki pengetahuan yang baik.8 Menurut peneliti bahwa responden berpengetahuan kurang banyak berasal dari kelompok media massa adalah karena kurang optimalnya peran media dalam menginformasikan pengetahuan terkait TB dan terdapat kemungkinan tersebarnya infromasi yang kurang akurat. Informasi seputar kesehatan jauh lebih baik penyampaiannya jika disampaikan oleh petugas kesehatan yang lebih mengerti kondisi masyarakat di lapangan. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar petugas kesehatan berfokus kepada upaya pencegahan dan pengendalian penyakit, dalam hal ini terkait penyakit TB.
Pada penelitian ini, rendahnya tingkat pengetahuan secara umum dapat dijelaskan berdasarkan enam sub-pengetahuan yang berkontribusi pada skor akhir tingkat pengetahuan. Keenam sub-pengetahuan tersebut meliputi, faktor risiko dan penyebab TB, cara penularan TB, gejala TB dan pemeriksaan diri, pencegahan TB, pengobatan TB serta komplikasi TB. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat tiga sub-pengetahuan yang dikategorikan kurang yakni faktor risiko dan penyebab TB, pencegahan TB dan komplikasi TB. Sebagian besar warga desa Kecicang Islam menganggap bahwa TB disebabkan oleh kebiasaan merokok dan penyakit TB tidak berbahaya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mengistu Lebesse di Ethiopia bahwa 95,6% penduduk Dubti dan Amibara, Ethiopia, memiliki informasi yang kurang tentang penyebab dan faktor risiko penyebab TB. Mayoritas responden pada penelitian tersebut menjawab penyebab TB adalah udara dingin, debu dan kebiasaan merokok. Masih rendahnya tingkat pengetahuan terkait TB pada sebagian negara berkembang (Ethiopia, India, dan Nigeria) disebabkan berbagai faktor yang memiliki
hubungan yang signifikan sebagai contoh status pendidikan, agama dan kepercayaan.11 Menurut peneliti, rendahnya tingkat pengetahuan seputar faktor risiko, pencegahan dan komplikasi dapat diakibatkan oleh terbatasnya penyampaian materi saat penyuluhan dari petugas kesehatan. Masih banyak ditemukan bahwa fokus penyuluhan di lapangan hanya seputar gejala dan pengobatan TB.
Gambaran Kategori Persepsi
Persepsi merupakan cara seseorang menginterpretasikan atau mengerti pesan yang telah diproses oleh sistem indera. Terdapat dua macam persepsi yaitu, persepsi positif, persepsi yang sesuai dengan teori atau aturan yang ada dan persepsi negatif, persepsi yang berlawanan dengan teori. Pada penelitian ini didapatkan hampir sebagian besar responden (67,3%) di desa Kecicang Islam memiliki persepsi positif terhadap upaya pemeriksaan diri terkait TB, yang berarti bahwa persepsi tentang pemeriksaan diri sesuai dengan teori yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ikhwanuliman tentang tingkat pengetahuan dan persepsi TB di NTT, bahwa 60% masyarakat di 4 kabupaten di NTT memiliki tingkat persepsi yang tinggi terkait penyakit TB. Persepsi terkait penyakit TB merupakan hal penting karena dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pengobatan dan upaya pengendalian penyakit tersebut.12
Proses terbentuknya persepsi diawali dengan adanya peristiwa yang diterima oleh otak sebagai stimulus kemudian diolah dan dibandingkan dengan teori relevan yang dimiliki individu. Dalam proses tersebut terdapat dua faktor yang mempengaruhi, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari latar belakang yang dimiliki individu sedangkan faktor eksternal adalah hal-hal yang bersal dari luar seperti wawasan dan pengalaman.
Menurut peneliti, penduduk Kecicang Islam memiliki tingkat persepsi pemeriksaan diri yang positif karena cukup sering terpapar oleh peristiwa TB paru sehingga pengalaman yang dimiliki lebih banyak dan. Hal tersebut akan membawa efek yang baik terhadap upaya pengendalian penyakit TB di daerah tersebut.
Hal ini juga dapat membuktikan bahwa Teori Health Belief Model tercermin pada warga desa Kecicang Islam. Dengan jumlah penderita TB yang tinggi di daerah tersebut, timbul suatu perceived seriousness dan perceived susceptibility pada masyarakat sehingga menghasilkan perceived threat. Apabila seseorang sudah merasa terancam akan kesehatannya dengan risiko yang sebenarnya, maka perilaku kesehatan akan berubah menjadi
lebih baik yang dibuktikan dengan persepsi positif pada masyarakat Kecicang Islam.
Kelemahan dari penelitian ini adalah pengumpulan data dilakukan tidak seragam antar pewawancara yakni dengan wawancara danself-administered kuesioner. Hal ini dapat menyebabkan adanya bias dalam pengumpulan data dan pengukuran data. Selain itu, dalam pengambilan data pewawancara mengubah pernyataan menjadi pertanyaan yang dapat menyebabkan bias dalam analisis. Terdapat kelemahan pada kuesioner yaitu, penggunaan kalimat negatif dalam list pernyataan, kalimat yang membingungkan dan penggunaan benar-salah pada komponen persepsi sehingga dapat menyebabkan bias dalam analisis data. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini juga belum melalui ujicoba sebelumnya, sehingga masih banyak memiliki kekurangan.
SIMPULAN
Tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Karangasem masih tergolong kurang. Di mana proprosi responden dengan tingkat pengetahuan kurang dijumpai pada kelompok usia > 50 tahun, responden perempuan, responden dengan pendidikan SD-SMP, responden yang tidak bekerja, responden dengan penghasilan dibawah 1.700.000 dan pada responden yang mendapat sumber informasi dari media massa.
Kategori persepsi masyarakat tentang penyakit TB di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Karangasem tergolong baik. Proprosi responden dengan kategori persepsi positif dijumpai pada kelompok usia > 50 tahun, responden laki-laki, responden dengan pendidikan SMA-PT, responden yang bekerja, responden dengan penghasilan di atas 1.700.000 dan pada responden yang mendapat sumber informasi dari petugas kesehatan.
Adapun saran untuk penelitian lanjutan yaitu mencari hubungan antara tingkat pengetahuan dengan persepsi yang dimiliki masyarakat tentang penyakit TB. Selain itu agar pihak Puskesmas serta petugas kesehatan lainnya melakukan penyuluhan lebih mendetail (faktor risiko TB, upaya pencegahan TB dan komplikasi penyakit TB) dan menjangkau semua lapisan masyarakat agar informasi tentang penyakit TB yang dimiliki oleh masyarakat seragam sehingga penyakit TB dapat terkendali.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Paru Indonesia. 2014. hal 1.
-
2. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2015. hal 1.
-
3. Kementerian Kesehatan RI. Situasi TB di Indonesia dalam Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011. hal 12.
-
4. Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Profil Kesehatan Provinsi Bali tahun 2014. Denpasar: Dinas Kesehatan Bali. 2014.
-
5. Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem. Laporan Tahunan Pencegahan Penyakit Menular Karangasem. Karangasem: Dinas Kesehatan Karangasem. 2015.
-
6. Notoatmodjo, Soekidjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2003.
-
7. Astuti, Sumiyati. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap upaya Pencegahan Penyakit uberkulosis di RW 04 Kelurahan Lagoa Jakarta Utara 2013. Jakarta: Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah. 2013.
-
8. Adiwidia, K. Gambaran Tingkat Pengetahuan Pasien TB Paru Rencana Pulang Tentang Penakit Tb Paru di Ruang Rawat Inap RS Paru DR.M.Goenawan Partowodigio. Universitas Indonesia: Depok. 2012.
-
9. Suadnyani, P., Satyawan, M. Hubungan Persepsi dan Tingkat Pengetahuan Penderita TB di Buleleng. Singaraja: Jurnal Pendidikan Indonesia. 2013.
-
10. Ingga, I., Nugroho, T. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan Masyarakat Mengenai Pelayanan Kesehatan Mata. Semarang: Universitas Diponegoro. 2010.
-
11. Robbin, P.S. Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi. Edisi Kelima. Erlangga: Jakarta. 2002.
-
12. Ikhwanuliman, P. dkk. Knowledge and perception of Tuberculosis and the Risk to become Treatment Default Among newly diagnosed pulmonary TB patients, East Nusa Tenggara. BMC Res Notes. 2012. 8:38.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
139
Discussion and feedback