Karakteristik Pasien Relapse pada Pasien Skizofrenia dan Faktor Pencetusnya di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Bali
on
ARTIKEL PENELITIAN
E-JURNAL MEDIKA, VOL. 6 NO. 10, OKTOBER, 2017 : 61 - 65
ISSN: 2303-1395
ΓΛΓΛ A I DIRECTORY OF OPEN ACCESS L√Ur∖J JOURNALS |
Karakteristik Pasien Relapse pada Pasien Skizofrenia dan Faktor Pencetusnya di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Bali |
Bintang Malam Gemilang1, Cokorda Bagus Jaya Lesmana2, Luh Nyoman Alit Aryani2
ABSTRAK
Latar belakang: Skizofrenia adalah penyakit psikotik yang membutuhkan pengobatan jangka panjang. Penyakit ini memiliki periode remisi, namun pasien kerap kembali dengan gejala positif, memerlukan layanan gawat darurat dan disebut relapse. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevelansi relapse dan faktor pencetusnya di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
Metode: Sebanyak 41 sample diambil dari rekam medis di ruang rekam medis RSJ Provinsi Bali. Karakteristik pasien diambil dari laporan di UGD. Data dicatat pada form ekstraksi data. Setelah itu data diolah dan dianalisis secara deskriptif dan korelatif. Hasil: Didapatkan 41 sampel dengan perbandingan angka kejadian laki-laki 61% dan Perempuan 39%. Ditemukan status ketaatan pengobatan sebagai faktor risiko dengan hasil uji chi-square X2(1, N=38) = 7.057, P<0,05. Ditemukan rata-rata jarak relapse terpendek 410,9 hari, dan rata-rata jarak relapse terpanjang 1071.8 hari. Ditemukan korelasi negatif antara jumlah relapse dan rata-rata jarak relapse dengan R(41)=0,210, P=0,226.
Simpulan: Pada studi ini digunakan bahwa 41 pasien yang diambil secara acak. Ketaatan pengobatan menjadi salah satu faktor risiko relapse. Ditemukan bahwa semakin sering seorang pasien mengalami relapse, maka semakin pendek pula jarak relapse berikutnya
Kata Kunci : Skizofrenia, relapse, factor pencetus
ABSTRACT
Background: Schizophrenia is persisting psychotic disorder that need a long-term medication. There’s a remission period but positive symptoms tend to reemerge and ER is necessary. This study made to identify the prevalence of relapse and its triggering factor in the asylum of Bali.
Method: 41 sample was taken from the medical record room in Asylum of Bali. The characteristic of patient taken from the ER report. The data then extracted into the, organized, and analyzed. Result: 41 sample acquired with gender comparison of man 61% and woman 39%. It is found that compliance to medication as a risk factor with the result of chi-square X2(1, N=38) = 7.057, P<0,05. The mean of shortest range between relapse is 410,9 days, and longest range between relapse is 1071,8 days. Negative corelation is found between the number of time relapse occurence and the range between relapse occurence with R(41)=0,210, P=0,226.
Conclusion: In this study, 41 patients taken randomly. Compliance to medicine became one of the most important factor.The more relapse a experienced, the less time needed for reoccurence.
Keyword : Schizophrenia, relapse, trigger
Diterima : 4 September 2017
Disetujui : 25 September 2017
Diterbitkan : 2 Oktober 2017
PENDAHULUAN
Skizofrenia, beserta dengan spektrum yang menyertainya, adalah penyakit kronis dan gangguan disruptif yang diasosiasikan dengan abnormalitas dan penurunan progresif aspek-aspek seperti kognitif, psikososial, vokasional, dan fungsional perilaku. Onset kejadian dialami oleh remaja dan dewasa muda, dengan perkiraan global dari prevalensi sepanjang hidup mencapai angka 1,4–4,6 dan 0,16–0,42 per seribu orang pertahun1.
Di antara pasien yang mengalami kematian karena sebab tidak langsung skizofrenia, hampir 40% dari kematian disebabkan oleh bunuh diri
dan kematian yang tidak wajar, dengan satu review mengestimasi bahwa penderita skizofrenia memiliki risiko bunuh diri sampai 4,9 kali lipat. Alasan seorang penderita skizofrenia melakukan bunuh diri pada dasarnya sama seperti populasi bunuh diri pada umumnya termasuk, gangguan mood, rasa kehilangan, didahului oleh percobaan bunuh diri, dan penyalah gunaan obat-obatan. Pada suatu studi follow-up, individu yang telah keluar dari rumah sakit setelah episode awal skizofrenia, yang kemudian tidak melakukan medikasi antipsikotik secara teratur, diasosiasikan dengan 12 kali risiko relatif kematian karena berbagai sebab,
dan 37 kali peningkatan risiko kematian karena bunuh diri2. Dengan tingginya data-data tersebut, sebuah bentuk pengobatan yang adekuat menjadi sangat krusial dalam upaya remisi.
Beberapa studi cohort, melalui 15-20 tahun follow-up pasien, didaaptkan bahwa 25% dapat dikatakan sembuh. Sembuh sendiri didefinisikan sebagai hilangnya gejala dan kemampuan pasien untuk kembali terjun ke tatanan masyarakat. Namun demikian, dikemukakan juga, walau pasien dikategorikan sembuh berdasarkan kriteria tersebut, bukan berarti pasien terlepas dari kemungkinan untuk terjadi kekambuhan13,14. Relaps/kekambuhan yang berulang kali menuntut pasien untuk melakukan perawatan di rumah sakit. Biaya yang nantinya dikeluarkanpun tidak dapat terbilang sedikit, apa lagi skizofrenia adalah kondisi psikiatris dengan pengobatan paling mahal. Pada suatu studi yang dilakukan di US, pada tingkat nasional biaya yang dikeluarkan dalam kurun waktu setahun dapat mencapai 2 miliar US$ hanya untuk readmisi pasien skizofrenia3. Menilai faktor-faktor di atas, disertai keinginan penulis untuk melakukan penelitian mengenai efektifitas pengobatan skizofrenia itu sendiri, dengan melihat data-data penelitian sebelumnya, maka penulis melakukan studi prevalensi kejadian relaps skizofrenia di RSJ Provinsi Bali.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross-sectional yang akan memanfaatkan rekam medis pasien untuk perolehan data. Data dilihat secara retrospektif untuk melihat berapa kali pasien keluar dan masuk rumah sakit karena skizofrenia. Selain itu perhatian khusus diberikan pada ketaatan konsumsi obat di mana akan dilakukan tabulasi silang dan uji pearson chi square. Selain itu akan dilakukan uji korelasi terhadap hubungan antara jumlah relapse dan jarak antar relapse. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Bali, Bangli yang dilakukan dari pembuatan proposal sampai dengan penelitian selesai yaitu bulan 20 Oktober 2013 – 20 November 2014
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap di RSJ Provinsi Bali dengan diagnosis skizofrenia berdasarkan PPDGJ-III. Data diambil dari rekam medis pasien terdata dari saat keluar pasien periode September-November 2014.
Data dikumpulkan dalam sebuah formulir ekstraksi data yang telah dirancang sebelumnya. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan rekam medis akan diolah menggunaan software SPSS versi 15. Distribusi frekuensi kemudian dianalisa secara deskriptif untuk menjelaskan prevalensi berdasarkan uji statistik yang sesuai. Data kemudian akan disajikan dalam bentuk table dan bar chart.
Table 1 Karakteristik dasar pasien skizofrenia berdasarkan status pernikahan, orang tua yang masih hidup, dan dengan siapa pasien tinggal.
Karakter |
Frekuensi |
Persentase (%) |
Status Pernikahan | ||
Not/Applicable |
1 |
2,4 |
Lajang |
15 |
36,6 |
Menikah |
16 |
39,0 |
Cerai Hidup |
5 |
12,2 |
Pasangan Sudah Meninggal |
4 |
9,8 |
Orang Tua yang Masih Hidup | ||
Not/Applicable |
16 |
39,0 |
Ayah dan Ibu |
13 |
31,7 |
Ayah Saja |
5 |
12,2 |
Ibu Saja |
1 |
2,4 |
Yatim Piatu |
6 |
14,6 |
Dengan Siapa Pasien Tinggal | ||
Not/Applicable |
4 |
9,8 |
Sendiri |
4 |
9,8 |
Keluarga Ekstensi |
8 |
19,5 |
Keluarga Kecil |
25 |
61,0 |
HASIL
Selama periode penelitian, didapatkan 41 sampel di mana 25 di antaranya adalah laki-laki dan 16 sisanya perempuan, dengan 36,6% dari mereka tidak bekerja. Pendidikan terakhir yang ditempuh pasien adalah SD atau sederajat sebesar 36,6% ataupun SMA atau sederajat 36,6%. Persebaran penyakit skizofrenia dinilai berdasarkan alamat yang diperoleh pada rekam medis pasien. Hanya saja agar tidak terlalu meluas, aspek yang dikelompokkan adalah kabupaten tempat pasien berdomisili. Berdasarkan data yang diperoleh, pasien skizofrenia paling banyak berasal dari Buleleng yaitu 9 pasien (22%), diikuti oleh Tabanan sebanyak 8 pasien (19.5%), dan Gianyar sebanyak 7 pasien (17.1%).
Melalui data yang diperoleh, ditemukan dominasi dua tipe skizofrenia yang dapat ditemukan di RSJ Bali, Bali. Kedua penyakit itu adalah skizofrenia tipe hebefrenik sebanyak 27 pasien atau 65,9%, dan yang satunya lagi adalah tipe paranoid sebanyak 14 pasien atau 34,1%.
Table 2 Tipe skizofrenia utama yang ditemukan
Karakter |
Frekuensi |
Persentase (%) |
Diagnosis Utama | ||
Skizofrenia Hebefrenik |
27 |
65,9 |
Skizofrenia Paranoid |
14 |
34,1 |
Perhatian khusus diberikan kepada ketaatan terhadap pengobatan.Melalui anamnesis yang tertera pada rekam medis, diselidiki lebih dalam mengenai ketaatan pasien terhadap pengobatan yang diberikan ketika pasien dipulangkan dari rumah sakit sebelumnya. Pasien yang taat pengobatan hanyalah 8 dari 41 pasien (19,5%), sementara 26 pasien tercatat tidak taat terhadap pengobatan (63,4%). 7 pasien (17,1%) tidak dapat ditemukan status ketaatan terhadap pengobatannya.
Table 3 Ketaatan pasien terhadap pengobatan
Karakter |
Frekuensi |
Persentase (%) |
Pasien taat pengobatan? | ||
Ya |
8 |
19,5 |
Tidak |
26 |
63,4 |
Not-Applicable |
7 |
17,1 |
Untuk mengetahui terkait hubungan ketaatan terhadap pengobatan terhadap kejadian relapse, dilakukan analisa dengan menggunakan crosstabs (tabulasi silang). Ditemukan pasien yang taat minum obat dan mengalami relapse sebanyak 9 pasien (23,7%), sementara pasien yang taat pengobatan dan tidak mengalami relapse sebanyak 3 pasien (7,9%). Sisanya adalah pasien yang tidak taat terhadap pengobatan dan mengalami relapse sebanyak 26 pasien (68,4%). Tidak ditemukan pasien yang tidak taat pengobatan dan tidak mengalami relapse. Melalui uji chi-square ditemukan hubungan antara ketaatan dalam meminum obat dan kejadian relapse, X2(1, N=38) = 7.057, P<0,05.
Terkait berapa kali pasien relapse, dibuatlah suatu rentang jumlah relapse dari 41 data pasien yang ada. 27 pasien (65,9%) mengalami 0-5 kali relapse, 10 pasien (24,4%) pernah mengalami 6-10 kali relapse, sementara hanya ada satu pasien pasien (2,4%) yang pernah mengalami 11-15 kali relapse. Data dari 3 pasien tidak dapat diperoleh. Jarak antar relapse terpendek yang dialami pasien minimalnya adalah 7 hari dan maksimal 1350 hari, dengan rata-rata 411 hari (pembulatan ke atas). Sementara
jarak antar relapse terpanjang yang dialami pasien minimal 100 hari dengan maksimalnya 3.517 hari, dengan rerata 1.072 hari (pembulatan ke atas). Terdapat 1 data yang harus dikeluarkan karena penulis menganggap data itu memiliki nilai yang dapat dianggap outlier. Selain itu, hitungan tidak dapat dilakukan pada seluruh 41 pasien karena terdapat beberapa pasien yang data terkait tidak dapat diperoleh.
Table 4 Kejadian relapse pada pasien Skizofrenia di RSJ Bali
Karakter Frekuensi Persentase (%)
Jumlah Relapse
0-5 kali |
27 |
65,9 |
6-10 kali |
10 |
24,4 |
11-15 kali |
1 |
2,4 |
Tidak dapat diperoleh |
3 |
7,3 |
Selain hubungan antara ketaatan meminum obat dan kejadian relapse, analisis korelasi dilakukan pada jumlah relapse dan rata-rata jarak antar kejadian relapse dengan pearson correlation. Ditemukan bahwa antara jumlah relapse dengan rata-rata jarak relapse ditemukan korelasi negatif, r(41) = 0,210, P = 0,226
DISKUSI
Skizofrenia adalah pernyakit yang menyerang sekitar 1% dari populasi dunia. Sampai saat ini baru sedikit dilaporkan terkait pasien yang benar-benar dapat sembuh dari skizofrenia. Hal ini juga terkait dengan tidak adanya definisi dan kritria yang paten dan lengkap yang memberikan garis batas antara definisi recovery dan remission. Namun demikian, angka relapse masih terbilang tinggi dan tak terhindarkan. Relapse sendiri dapat menjadi beban bagi pasien seperti gejala yang memburuk, menurunnya fungsi kognitif, fungsi kerja, dan turunnya kualitas hidup4.
Berdasarkan review yang dilakukan oleh Olivares dkk, dokter jarang memberikan definisi lengkap mengenai relapse. Pada review tersebut Olivares juga menyayangkan ketidak tersediaan guideline baik dari segi nasional maupun internasional terkait yang mendefinisikan relapse4. Terdapat beberapa definisi relapse berdasarkan studi yang berbeda. Studi yang dilakukan Kazadi dkk mendefinisikan relapse sebagai kasus di mana pasien mengalami gejala psikotik dan membutuhkan konsultasi psikiatrik dan dilanjutkan dengan
indikasi masuk rumah sakit5. Mura dkk, dalam literature review-nya mengatakan bahwa studi kebanyaka sekarang berlawanan dengan tulisan pada textbook psikiatrik yang menyatakan bahwa angka kejadian relapse sama baik pada laki-laki maupun perempuan. Mereka menemukan bahwa angka kejadian berdasarkan jenis kelamin lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini sejalan dengan temuan yang didapat oleh penulis di mana laki-laki mengalami relapse lebih banyak daripada perempuan6. Hal yang sama juga ditemukan oleh Chabungbam dkk, dan bahkan perbandingan kejadian mereka hampir sama dengan yang ditemukan oleh penulis yaitu L:P adalah 7:3.7
Terkait pendidikan pasien. Berbeda dengan pembagian yang biasa dilakukan di Indonesia seperti SD, SMP, SMA, tidak sekolah, dan sarjana, pembagian tingkat pendidikan di luar dibagi menjadi primary school (SD), secondary school (untuk anak usia 11-16 tahun atau setara SMP sampai SMA), college (setara sarjana), dan no formal education (tidak sekolah). Jika didasarkan pada pembagian ini, maka dapat terlihat bahwa persentase pasien dengan kejadian relapse lebih tinggi pada pasien dengan pendidikan terakhir primary education. Hal ini sejalan dengan penelitian Sariah dkk dan Chabungam G dkk.7,8
Temuan yang menarik dapat dilihat dari persebaran pasien skizofrenia per kabupaten di Bali. Sampai penulis menemukan data ini, penulis belum dapat menemukan angka persebaran lain. Hal yang perlu dicatat adalah angka 0 yang ada pada Denpasar. Belum bisa ditemukan penjelasan mengenai perolehan angka ini, namun dapat hal ini berlawanan dengan teoritas urbanitas atau daerah yang cenderung lebih padat perkotaan seperti yang diungkapakan pada studi yang dilakukan oleh Lederbogendkk dan Mura dkk. Pada studi tersebut mereka mengungkapkan bahwa angka relapse dan kejadian skizofrenia lebih tinggi pada mereka yang lahir dan tumbuh di daerah urban dibandingkan rural atau pedesaan. Diungkapkan bahwa daerah urban memiliki bentuk-bentuk stressnya tersendiri seperti kependudukan yang terlalu padat. Dibandingkan dengan daerah lain di Bali, Denpasar adalah daerah yang lebih modern sehingga jika mengikuti teori di atas, seharusnya angka relapse lebih tinggi di daerah Denpasar6,9.
Salah satu faktor relapse yang berulang kali dibahas dalam berbagai studi adalah ketaatan pasien dalam mengkonsumsi obat yang sudah diresepkan. Namun ketidak taatan pasien dalam konsumsi obat bukanlah hal baru, hanya saja hal ini menjadi lebih berat dan serius10. Review yang dilakukan oleh Haddad dkk menunjukkan bahwa
studi yang membandingkan efek placebo dengan obat-obatan antipsikotik menunjukkan bahwa pasien dengan antipsikotik cenderung tidak relapse. Namun demikian hasil ini juga bergantung pada cara menilai ketidak taatan.
Pengukuran dapat dilakukan berdasarkan Medication Event Monitoring System (MEMS) ataupun dengan mengukur jumlah pil yang tersisa. Untuk penulis sendiri, karena data diperoleh melalui rekam medis, maka ketaatan hanya didasarkan pada laporan yang diberikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh pengantar, dan hanya digolongkan berdasarkan ‘ya’ dan ‘tidak’. Kelemahan dari penggunaan cara ini adalah keaslian ketaatan, karena ada kemungkinan di mana pasien ataupun pengantar tidak mau mengakui status ketaataannya saat dilakukan anamnesis, karena takut mengecewakan pemeriksa saat itu5,10.
Satu hal yang tidak dapat dinilai oleh penulis pada kesempatan ini adalah perbandingan penggunaan dosis tinggi dan dosis rendah. Pada literatur-literatur yang penulis temukan, dua di antaranya menyebutkan terkat perbandingan efektifitas kedua dosis di atas7,11. Hal ini dikarenakan dosis yang digunakan kurang lebih sama dengan saat admisi ke UGD. Selain itu penulis tidak dapat menemukan perbandingan antara batas di mana obat disebut menggunakan dosis rendah dan tinggi.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang lebih sering mencantumkan jarak relapse dengan hitungan bulan atau tahunan seperti yang dilakukan oleh Kazadi dkk dan review oleh Emsley dkk, penulis melakukan hitungan hari pada jarak relapse5,12. Selain itu penulis juga membagi jarak relapse menjadi jarak terpanjang dan terpendek yang pernah dialami per pasien.
Pada kedua penelitian di atas, jarak relapse yang terpanjang yang mereka termukan adalah sekitar 3 tahun. Namun dalam kasus temuan penulis, dapat ditemukan relapse yang jika dikonversi dalam hitungan tahun, mencapai jarak lebih dari 3 tahun. Penggunaan hari pada penelitian ini juga dimaksudkan untuk mencari hubungan antara jumlah relapse dan jarak antar relapse. Sampai penulis melakukan studi ini, penulis belum dapat menemukan data yang melakukan penilaian hubungan ini. Pada temuan penulis, ditemukan hubungan negatif antara jumlah relapse dan jarak antar relapse. Jadi dapat kita katakan bahwa semakin sering seorang pasien mengalami relapse, semakin pendek jarak antar relapse akan dialaminya.
SIMPULAN
Skizofrenia, beserta dengan spektrum yang menyertainya, adalah penyakit kronis dan gangguan disruptif yang diasosiasikan dengan
abnormalitas dan penurunan progresif aspek-aspek seperti kognitif, psikososial, vokasional, dan fungsional perilaku. Ada kalanya terjadi relapse atau kekambuhan gejala positif yang pada penelitian kali ini didefinisikan sebagai kekambuhan tak tertangani yang menyebabkan keluarga atau warga sekitar membutuhkan layanan gawat darurat
Faktor yang menyertainya pun bermacam-macam, namun yang sering menjadi sorotan adalah ketidak taatan terhadap pengobatan yang diberikan. Jarak antar relapse pun beragam antar pasien. Ada yang berjarak hanya 7 hari, dan bahkan ada yang berjarak paling panjang yaitu 3517 hari atau hampir berjarak 10 tahun. Analisa hubungan yang dilakukan oleh penulis juga menemukan bahwa semakin sering seorang pasien mengalami relapse, maka semakin pendek pula jarak di mana pasien akan mengalami relapse berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Chien WT and Yip ALK. Current approaches to treatments for skizofrenia spectrum disorders, part I: an overview and medical treatments. Neuropsychiatric Disease and Treatment, 2013; 9: 1311–1332
-
2. Hor K and Taylor M. Suicide and skizofrenia: a systematic review of rates and risk factors. Journal of Psychopharmacology, 2010; 24(11), Supplement 4: 81–90
-
3. Ascher-Svanum HS, Zhu B, Faries DE, Salkever D, Slade EP, Peng X, Conley RR. The cost of relaps and the predictors of relaps in the treatment of skizofrenia. BMC Psychiatry, 2010; 10:2
-
4. Olivares JM, Sermon J, Hemels M, Schreiner A. Definition and Drivers of Relapse in Patient with Skizofrenia: a systematic literature review. Annals of General Psychiatry, 2013; 12: 32-38.
-
5. Kazadi NJB, Moosa MYH, Jeenah FY. Factors Associated with Relapse in Skizofrenia. Division of Psychiatry, 2008; 14(2): 52-60.
-
6. Mura G, Petretto DR, Bhar KR, Carta MG. Skizofrenia: from Epidemiologyto Rehabilitation. Clinical Practice & Epidemiology in Mental Health, 2012; 8: 52-66.
-
7. Chabungbam G, Ayasthi A, Sharan P. Sociodemographic and Clinical Factors Associated with Relapse in Skizofrenia. Psychiatry and Clinical Neurosciences, 2007; 61: 587-593.
-
8. Sariah AE, Outwater AJ, Malima KIY. Risk and Protective Factors for Relapse Among Individuals with Skizofrenia: A Qualitatice Study in Dares Salaam, Tanzania. BMC Psychiatry, 2014; 14: 240-248.
-
9. Lederbogen F, Haddad L, Meyer-Lindenberg A. Urban Social Stress—Risk Factor for Mental Disorders. The Case of Skizofrenia. Environmental Pollution, 2013; 1:1-5.
-
10. Haddad PM, Brain C, Scott J. Nonadherence with Antipsychotic Medication in Skizofrenia: challenges and management strategies. Patient Related Outcome Measure, 2014; 5: 43-62.
-
11. Uchida H, Suzuki T, Takeuchi H, Arenovich T, Mamo DC. Low Dose vs Standard Dose of Antipsychotics for Relaps Prevention in Skizofrenia: Meta-analysis. Skizofrenia Bulletin, 2011; 37(4): 788-789.
-
12. Emsley R, Chiliza B, Asmal L, Harvey BH. The Nature of Relaps in Skizofrenia. BMC Psychiatry, 2013; 13: 50.
-
13. Shean GD. Recovery from Skizofrenia: Etiological Models and Evidence-Based Treatment. Cairo: Hindawi Publishing Corporation; 2010. Hal: 57-58.
-
14. Harrow M and Jobe TH. Factors Involved in Outcome and Recovery in Skizofrenia Patients Not On Antipsychotic Medications: A 15-year Multifollow-Up Study. The Journal of Nervous and Mental Disease, 2007; 195: 406414.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
65
Discussion and feedback