HUBUNGAN SINDROM METABOLIK DENGAN KEJADIAN DISFUNGSI EREKSI PADA PASIEN PRIA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI POLIKLINIK PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH DENPASAR
on
HUBUNGAN SINDROM METABOLIK DENGAN KEJADIAN
DISFUNGSI EREKSI PADA PASIEN PRIA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI POLIKLINIK PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH DENPASAR
Ni Putu Tesi Maratni
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
ABSTRAK
Disfungsi ereksi (DE) adalah salah satu komplikasi kronik yang sering terjadi pada pasien pria dengan diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Salah satu faktor yang diasumsikan berkaitan terhadap kejadian DE adalah sindrom metabolik. Penelitian ini dibuat untuk mengetahui hubungan sindrom metabolik dengan kejadian DE pada pasien pria DMT2. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan 34 sampel penelitian di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Denpasar pada bulan November dan Desember 2013 yang dipilih secara konsekutif. Disfungsi ereksi dinilai menggunakan kuisioner The International Index of Erectile Function 15 (IIEF 15). Sindrom metabolik didiagnosis menggunakan kriteria NCEP ATP III yang telah direvisi. Data demografis dan hasil pemeriksaan laboratorium pasien diambil dari rekam medis. Data dianalisis mengunakan uji bivariat kai kuadrat. Hasil penelitian menunjukkan status sindrom metabolik tidak berhubungan bermakna secara statistik dengan kejadian DE pada pasien DMT2 (p=0,913; 95% IK 0,082–10,228).
Kata kunci: Sindrom metabolik, Disfungsi ereksi, Diabetes melitus tipe 2.
ASSOCIATION OF METABOLIC SYNDROME WITH ERECTILE DYSFUNCTION IN TYPE 2 DIABETES MELLITUS MEN PATIENTS AT INTERNAL MEDICINE OUTPATIENT CLINIC OF SANGLAH GENERAL HOSPITAL DENPASAR
ABSTRACT
Erectile dysfunction (ED) is a commonly chronic complication among men with type 2 diabetes mellitus (T2DM). The associated factor of diabetes-induced erectile dysfunction is metabolic syndrome. This research is designed to observe the relationship of metabolic syndrome and ED in T2DM patients. This cross sectional study has 34 consecutive samples and is conducted at Internal Medicine Outpatient Clinic of Sanglah Hospital in November and December 2013. ED is diagnosed based on The International Index of Erectile Function 15 (IIEF 15) questionnaire. Metabolic syndrome is diagnosed based on revised NCEP ATP III criteria. Demographic data and laboratory results are taken from medical records. Data are analyzed by chi square bivariate test. The results showed metabolic syndrome does not correlate significantly with ED among T2DM patients (p=0.913; 95% CI 0.082–10.228).
Keywords: Metabolic syndrome, Erectile dysfunction, Type 2 diabetes mellitus.
PENDAHULUAN
Peningkatan usia harapan hidup menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, hipertensi,
hiperlipidemia, dan diabetes melitus (DM). DM merupakan suatu kondisi serius yang berpotensi menimbulkan komplikasi berbahaya yang berdampak kepada semua kelompok usia di seluruh dunia.
DM merupakan kumpulan kelainan metabolik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia kronis akibat dari adanya kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya.1
DM Tipe 2 (DMT2) merupakan bentuk predominan dari DM, yaitu sekitar 90% dari semua kasus DM. Terdapat kombinasi antara faktor genetik (berkaitan dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin) dan faktor lingkungan (obesitas, kurang berolahraga, stres, dan proses penuaan) pada DMT2.1,2
Sebanyak 336 juta orang diperkirakan mengalami DM pada tahun 2011, dan cenderung akan meningkat 2 menjadi 552 juta pada tahun 2030.2 Negara berkembang seperti Indonesia menempati urutan ke-4 jumlah
penderita diabetes melitus di dunia setelah India, Cina dan Amerika
Serikat. Diperkirakan di Indonesia
terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang DM di daerah urban dan 5,5 juta di 3
daerah rural.3
Keadaan resistensi insulin yang terjadi pada DMT2 kerap kali diasosiasikan dengan sindrom
metabolik. Sindrom metabolik menurut National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III) adalah sekelompok kelainan metabolik baik lipid maupun non-lipid yang merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner yang terdiri dari obesitas abdominal, dislipidemia aterogenik (kadar trigliserida tinggi dan high density lipoprotein (HDL) rendah), hipertensi, serta kadar glukosa plasma abnormal. Adanya sindrom metabolik dapat memperparah kondisi resistensi insulin dan berdampak pula pada munculnya berbagai komplikasi DMT2.4
Disfungsi seksual adalah
komplikasi DM yang biasa terjadi, tetapi jarang dikeluhkan oleh pasien. DE merupakan bentuk disfungsi seksual yang paling sering terjadi pada pasien pria dengan DMT2. DE didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk
mencapai atau mempertahankan ereksi sehingga kepuasan seksual tidak tercapai.5
Penyedia layanan kesehatan jarang bertanya secara spesifik tentang fungsi seksual pada pasien pria DMT2. Hal ini mungkin disebabkan karena isu tentang gangguan fungsi seksual merupakan hal yang sensitif untuk dibicarakan, sehingga masalah DE ini menjadi terabaikan. Terlebih lagi belum banyak penelitian yang membahas mengenai pengaruh sindrom metabolik terhadap kejadian DE pada pasien DMT2 di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka dirasa perlu untuk membuat suatu penelitian untuk mengetahui hubungan antara sindrom metabolik dengan kejadian DE pada pasien pria DMT2.
Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Dasar dari homeostasis glukosa yang abnormal pada DMT2 terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik, resistensi pada kerja insulin (yang berperan dalam stimulasi transpor glukosa dan supresi pengeluaran glukosa hepar), dan peningkatan produksi glukosa oleh hati.6
Gangguan sekresi insulin
Gangguan sekresi insulin menyebabkan terjadinya penurunan kuantitas insulin yang disekresikan yang bisa diobservasi sebelum terjadinya onset klinis DMT2. Keadaan ini disebut dengan impaired glucose tolerance (IGT). IGT menyebabkan hiperglikemia pos prandial serta toksisitas glukosa dan lipid. Apabila tidak ditangani, kondisi ini akan berdampak pada penurunan massa dan gangguan fungsi sel beta pankreas. Hal ini menyebabkan peningkatan kadar 7 glukosa darah yang permanen.7
Resistensi insulin
Resistensi insulin merupakan suatu kondisi telah terjadinya penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Resistensi insulin biasanya sudah meningkat pada fase pre-diabetes karena ada penurunan respon dari sel beta terhadap glukosa dan kapasitas sekresi insulin sel beta yang tidak maksimal.6
Faktor genetik seperti
polimorfisme gen reseptor insulin dan insulin receptor substrate-1 (IRS-1), gen reseptor adrenergik β3, dan gen uncoupling protein (UCP) diasosiasikan dengan obesitas
viseral dan mengakibatkan resistensi insulin. Glukolipotoksisitas dan mediator inflamasi juga memegang peranan penting dalam mengganggu pensinyalan insulin. Mediator yang terlibat seperti adipocyte-derived bioactive substances (adipokines), tumor necrosis factor alpha (TNF-α), leptin, resistin, asam lemak bebas, dan adiponektin.7
Peningkatan produksi glukosa oleh hati
Penurunan respon hati terhadap insulin terjadi pada proses penekanan produksi glukosa melalui glukoneogenesis dan pengeluaran glukosa melalui glikogenolisis.6 Proses esensial lain yang terjadi di hati adalah metabolisme lipid, yang mencakup oksidasi asam lemak, sintesis asam lemak, kolesterol, dan asam empedu.8 Gangguan metabolisme glukosa dan lipid yang tidak teregulasi dengan baik pada organ hati ini menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa darah tidak terkontrol.6,8
Patofisiologi Sindrom Metabolik
hasil dari proses lipolisis dalam jumlah banyak dikeluarkan dari jaringan adiposa.9 Asam lemak bebas menyebabkan peningkatan produksi glukosa dan trigliserida serta sekresi very low density lipoprotein (VLDL) di dalam hati. Terjadi pula penurunan high density lipoprotein C (HDL-C), dan peningkatan low density lipoprotein (LDL).9,10 Asam lemak bebas juga dapat menyebabkan menurunnya sensitivitas insulin di otot dengan menghambat insulin-mediated glucose uptake. Hal ini menyebabkan penurunan jumlah glukosa yang diubah menjadi glikogen, dan meningkatkan akumulasi lipid.10
Asam lemak bebas dalam jumlah berlebihan juga mengaktivasi jalur parakrin dan endokrin menuju keadaan proinflamasi. Sekresi interleukin-6 (IL-6) dan TNF-α menginduksi lipolisis dan menyebabkan resistensi insulin di otot. Terjadi pula peningkatan produksi fibrinogen dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) oleh hati sehingga terjadi keadaan protrombotik. Penurunan produksi mediator anti-inflamasi dan adiponektin inilah yang menyebabkan terjadinya sindrom metabolik.9,10
Obesitas abdominal dan resistensi insulin menjadi dasar patofisiologi dari sindrom metabolik. Asam lemak bebas
Patofisiologi Disfungsi Ereksi
Disfungsi ereksi merupakan bentuk disfungsi seksual yang paling sering terjadi pada DMT2. DE didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi. Ereksi penis yang normal dapat terjadi setelah ada stimulus taktil pada penis dan area genitalia. Selain itu, stimulus visual, audiotori, olfaktori, atau imajinatif juga dapat menginduksi ereksi penis melalui mekanisme yang melibatkan nukleus paraventrikulatis dan area preoptik medial hipotalamus.11
Ereksi nokturnal juga terjadi pada semua laki-laki saat fase tidur rapid eye movement (REM). Peningkatan aktivitas parasimpatik sehingga menginduksi keluarnya neurotransmiter nitric oxide (NO) di jaringan penis. NO menyebabkan dilatasi arteri dan relaksasi otot polos korpus kavernosus sehingga pengisian darah di antara ruang trabekula korpus meningkat. Vena-vena yang seharusnya menyalurkan darah keluar dari penis menjadi terjepit, aliran vena menurun, dan terjadi mekanisme oklusi vena yang membuat rigiditas ereksi penis.5,11
Ada beberapa faktor yang diasumsikan menjadi dasar patofisiologi DE, yaitu mekanisme psikogenik,
neurogenik, endokrin, vaskulogenik, seluler, dan iatrogenik. Isu psikogenik yang berperan dalam perjalanan penyakit DE berkaitan dengan performance related anxiety.11
Mekanisme neurogenik melibatkan adanya gangguan sistem saraf pusat dan perifer. Mekanisme endokrin dalam perkembangan DE melibatkan
penurunan jumlah testosteron untuk mempertahankan hasrat seksual dan rigiditas ereksi penis karena adanya penyakit hipogonadisme di testis, 12 pituitari ataupun hipotalamus.
Sebagian besar DE dikarenakan adanya lesi vaskuler, yang paling sering adalah karena aterosklerosis. Faktor risiko lain yang berkaitan dengan DE vaskulogenik adalah merokok,
hipertensi, hiperlipidemia, dan
diabetes.11 Terjadi penurunan aliran arterial sehingga timbul hipoksia relatif di penis. Mediator transforming growth factor beta-1 (TGF-β1) menyebabkan disfungsi kerja otot polos dan fibrosis korpus kavernosus. Gangguan di tingkat seluler pada endotel dan sel otot polos penis ini membuat kegagalan mekanisme oklusi vena sehingga terjadi DE. Operasi pelvis, radioterapi, obat antidepresan dan antihipertensi adalah 13 penyebab DE iatrogenik.13
METODE
Penelitian ini merupakan studi potong lintang analitik untuk menilai ada tidaknya hubungan antara sindrom metabolik dengan kejadian DE pada pasien pria DMT2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar pada bulan November-Desember 2013.
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua pasien pria dengan DMT2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien pria dengan DMT2 yang berumur ≥18 tahun berstatus menikah atau sudah pernah menikah yang dipilih secara konsekutif. Semua subjek penelitian yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi.
Jenis data yang diuji dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui kuesioner serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis pasien.
Diagnosis DMT2 berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah dan ada tidaknya gejala klasik yaitu polifagia, polidipsia, poliuria, serta
penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Kriteria diagnosis DMT2 adalah sebagai berikut.3
-
1. Gejala klasik DMT2 + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.
-
2. Gejala klasik DMT2 + kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
-
3. Kadar gula plasma 2 jam pada Tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Kriteria diagnosis sindrom metabolik untuk ras Asia menurut NCEP ATP III yang telah direvisi adalah bila setidaknya mengalami 3 dari 5 komponen berikut.14
-
1. Obesitas abdominal yaitu lingkar pinggang pada laki-laki ≥90 cm dan wanita ≥80 cm.
-
2. Hipertrigliseridemia yaitu kadar
trigliserida ≥150 mg/dl (≥1,7
mmol/L).
-
3. Kadar HDL kolesterol rendah yaitu pada laki-laki ≤40 mg/dl (≤1,03 mmol/L)dan pada wanita ≤50 mg/dl (≤1,29 mmol/L).
-
4. Hipertensi yaitu tekanan darah sistolik ≥130 dan/atau diastolik ≥85 mmHg atau terdapat riwayat terapi anti hipertensi.
-
5. Kadar glukosa darah puasa tinggi yaitu ≥100 mg/dl (≥5,6 mmol/L).
Pengumpulan data terkait variabel tergantung yaitu disfungsi ereksi dinilai menggunakan kuisioner The
International Index of Erectile Function 15 (IIEF 15). Sampel mengisi 15 pertanyaan, yang meliputi 5 komponen yaitu fungsi ereksi (erectile function), orgasme (orgasmic function), keinginan berhubungan seksual (sexual desire), kepuasan bersenggama (intercourse satisfaction), dan kepuasan secara 12 keseluruhan (overall satisfaction).12
Data-data mengenai lingkar abdomen, tekanan darah, kadar glukosa darah, kadar hemoglobin terglikosilasi (HbA1C), kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida didapatkan dari rekam medis pasien.
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan yang bermakna antara status sindrom metabolik dan kejadian DE pada pasien DMT2. Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan program komputer. Analisis data meliputi analisis deskriptif karakteristik umum sampel dan analisis bivariat kai kuadrat untuk menguji hubungan antara status sindrom metabolik dan kejadian DE. Uji korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan antara hasil skoring domain fungsi ereksi terhadap masing-masing komponen sindrom metabolik.
HASIL
Dari 34 sampel pria penderita DMT2 yang berobat di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Sanglah, rata-rata berumur 57,62 tahun (SD 8,93) dengan kisaran umur 40–74 tahun. Rerata lama menderita DMT2 yaitu 8,25 (SD 8,12) dengan kisaran antara 0,01–30 tahun. Data karakteristik umum sampel dapat dilihat pada Tabel 1.
Hasil skoring kuisioner indeks fungsi erektil internasional dan persentase capaian rerata dari skor maksimum pada pasien dengan DMT2 dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Karakteristik umum subjek penelitian
Variabel |
Kisaran |
Rerata (SD) |
Umur (tahun) |
40–74 |
57,62 (8,93) |
Lama menderita DM (tahun) |
0,01–30 |
8,25 (8,12) |
IMT (kg/m2) |
19,14–36,32 |
25,76 (4,45) |
Lingkar abdomen (cm) |
76–111 |
92,20 (10,43) |
Tekanan darah sistolik (mmHg) |
110–170 |
126,95 (13,41) |
Tekanan darah diastolik (mmHg) |
63–90 |
78,05 (7,26) |
Gula darah puasa (mg/dl) |
77–223 |
144,76 (46,734) |
HbA1C (%) |
5,60–13,48 |
9,17 (2,26) |
Kolesterol total (mg/dl) |
82–248 |
168,10 (46,96) |
LDL (mg/dl) |
53,3–179 |
103,61 (36,95) |
HDL (mg/dl) |
27–66 |
43,95 (11,83) |
Trigliserida (mg/dl) |
63–249 |
112,82 (42,31) |
Domain fungsi ereksi dinilai dari pertanyaan nomor 1–5 dan 15 pada kuisioner IIEF 15. Domain fungsi orgasme dinilai dari pertanyaan nomor
9 dan 10. Domain keinginan seksual dinilai dari pertanyaan nomor 11 dan 12.
Tabel 2. Hasil skoring dan persentase capaian rerata dari skor maksimum pada masing-masing domain IIEF 15
Domain |
Kisaran Rerata (SD) Persentase capaian rerata dari skor maksimum |
Fungsi ereksi Fungsi orgasme Keinginan seksual Kepuasan bersenggama Kepuasan secara menyeluruh |
1–29 9,29 (10,35) 32,03% 0–10 3,35 (3,89) 33,5% 2–10 5,56 (2,64) 55,6% 0–12 3,26 (4,06) 27,17% 2–10 4,06 (2,59) 40,6% |
Domain kepuasan bersenggama dinilai dari pertanyaan nomor 6–8. Sedangkan domain kepuasan secara menyeluruh dinilai dari pertanyaan nomor 13 dan 14. Persentase capaian rerata dari domain fungsi ereksi, orgasme, keinginan seksual, kepuasan bersenggama dan kepuasan secara menyeluruh secara berturut-turut yaitu 32,03%, 33,5%, 55,6%, 27,17%, dan 40,6% (Tabel 2).
Distribusi frekuensi berdasarkan hasil skoring kuisioner indeks fungsi
erektil internasional pada pasien dengan DMT2 dapat dilihat pada Tabel 3. Sebanyak 88,2% kasus terdiagnosis dengan disfungsi ereksi, 85,3% mengalami gangguan orgasme, 85,3% memiliki masalah pada keinginan untuk berhubungan seksual, semua pasien (100%) mengalami masalah pada kepuasan bersenggama, dan 94,1% pasien mengalami masalah pada kepuasan secara menyeluruh.
Tabel 3. Frekuensi derajat disfungsi dari masing-masing domain IIEF 15
Derajat disfungsi |
Fungsi |
Fungsi |
Keinginan |
Kepuasan |
Kepuasan |
ereksi |
orgasme |
seksual |
bersenggama |
secara | |
menyeluruh | |||||
(%) |
(%) |
(%) |
(%) |
(%) | |
Berat |
58,8 |
55,9 |
23,5 |
61,8 |
52,9 |
Sedang |
2,9 |
0 |
14,7 |
11,8 |
17,6 |
Ringan – Sedang |
14,7 |
17,6 |
20,6 |
17,6 |
5,9 |
Ringan |
11,8 |
11,8 |
26,5 |
8,8 |
17,6 |
Total yang disfungsi |
88,2 |
85,3 |
85,3 |
100 |
94,1 |
Normal |
11,8 |
14,7 |
14,7 |
0 |
5,9 |
Untuk menguji hubungan atau pengaruh antara status sindrom metabolik dan kejadian DE, maka dilakukan analisis bivariat Chi Square.
Data tabulasi silang antara status SM dengan status DE, disajikan seperti pada tabel 4. Berdasarkan hasil frekuensi yang diharapkan pada uji Chi Square,
maka nilai p yang digunakan adalah nilai p uji Fisher Exact yaitu 0,678. Hal ini berarti didapatkan hubungan yang bermakna antara status sindrom metabolik dan angka kejadian DE. Selanjutnya dilakukan analisis risk estimate pada uji Chi Square untuk
untuk mengetahui nilai rasio odd status sindrom metabolik terhadap kejadian DE pada pasien pria dengan DMT2. Nilai rasio odd dari uji Chi Square adalah 0,913 dengan 95% interval kepercayaan (IK) 0,082–10,228.
Tabel 4. Tabulasi Silang antara Status SM dengan Status DE
DE |
Tanpa DE |
Total | |
SM |
7 (87,5%) |
1 (12,5%) |
8 (100%) |
Tanpa SM |
23 (88,5%) |
3 (11,5%) |
26 (100%) |
Total |
30 (88,2%) |
4 (11,8%) |
34 (100%) |
Pengujian hasil skoring domain fungsi ereksi menggunakan uji korelasi Pearson dilakukan terhadap masing-masing komponen dari sindrom metabolik. Adapun komponen sindrom
metabolik yang dimaksudkan yaitu lingkar abdomen, kadar trigliserida, kadar HDL, tekanan darah sistolik dan diastolik, serta kadar gula darah puasa (Tabel 5).
Tabel 5. Uji korelasi Pearson antara hasil skoring domain fungsi ereksi terhadap masing- masing komponen sindrom metabolik
Komponen Sindrom Metabolik |
Korelasi | |
r |
p | |
Lingkar abdomen (cm) |
0,133 |
0,577 |
Trigliserida (mg/dl) |
0,083 |
0,737 |
HDL (mg/dl) |
0,212 |
0,370 |
Tekanan darah sistolik (mmHg) |
-0,185 |
0,410 |
Tekanan darah diastolik (mmHg) |
-0,087 |
0,714 |
Gula darah puasa (mg/dl) |
-0,271 |
0,190 |
DISKUSI
Hasil skoring dan persentase capaian rerata dari skor maksimum pada masing-masing domain IIEF 15 dapat dilihat pada tabel 2. Rerata skor yang paling rendah didapatkan pada domain kepuasan bersenggama 27,17% dari skor maksimal 12. Pencapaian skor domain-domain lain yaitu fungsi ereksi, orgasme, dan kepuasan secara menyeluruh secara berturut-turut yaitu 32,03%, 33,5%, dan 40,6%. Hanya domain keinginan seksual yang mencapai sedikit di atas 50% yaitu 55,6%.
Sebanyak 88,2% kasus terdiagnosis dengan disfungsi ereksi. Derajat disfungsi ereksi yang dialami pasien bervariasi yaitu disfungsi ereksi berat (58,8%), sedang (2,9%), ringan– sedang (14,7%), dan ringan (11,8%). Sebanyak 85,3% pasien lainnya mengalami gangguan orgasme, 85,3% memiliki masalah pada keinginan untuk berhubungan seksual, dan semua pasien (100%) mengalami masalah pada kepuasan bersenggama. Secara keseluruhan, sebanyak 94,1% pasien mengeluh mengalami masalah pada kepuasan seksual (Tabel 3).
Perbedaan status sindrom metabolik pada kelompok pasien
dengan DE dan tanpa DE, dapat dilihat dari hasil uji Chi Square. Nilai p=0,678 mengindikasikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status sindrom metabolik dengan kejadian DE. Selanjutnya dilakukan analisis risk estimate pada uji Chi Square untuk untuk mengetahui nilai rasio odd status sindrom metabolik terhadap kejadian DE pada pasien pria dengan DMT2. Nilai rasio odd dari uji Chi Square adalah 0,913 dengan 95% IK 0,082– 10,228. Hal ini berarti sindrom metabolik meningkatkan risiko DE sebanyak 0,913 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien tanpa sindrom metabolik. Namun, peningkatan risiko ini tidak bermakna secara statistik berdasarkan nilai p dan nilai 95% IK. Dengan kata lain, disimpulkan bahwa status sindrom metabolik tidak berhubungan bermakna dengan kejadian DE pada pasien DMT2 apabila digeneralisasi ke populasi.
Hasil uji korelasi Pearson menyatakan bahwa tidak terdapat korelasi yang bermakna antara hasil skoring domain fungsi ereksi terhadap masing-masing komponen dari sindrom metaboli. Hal ini menandakan bahwa antara sindrom metabolik dengan komponen lingkar abdomen, kadar
trigliserida, kadar HDL, tekanan darah sistolik dan diastolik, serta kadar gula darah puasa memang tidak berhubungan secara signifikan.
Meskipun peneliti telah memilih sampel yang hampir homogen, namun masih terdapat keterbatasan dalam penelitian ini. Masih terdapat variabel perancu yang tidak diteliti seperti umur, lama menderita DMT2, IMT, HbA1C, kadar kolesterol total dan kadar LDL. Variabel perancu ini dapat saja menjadi faktor bias dari hasil penelitian ini.
SIMPULAN
Status sindrom metabolik tidak berhubungan bermakna secara statistik dengan kejadian DE pada pasien DMT2 (p=0,913; 95% IK 0,082 – 10,228).
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan untuk mengontrol faktor-faktor perancu dalam penelitian ini terkait umur, lama menderita DMT2, IMT, HbA1C, kadar kolesterol total dan kadar LDL sehingga didapatkan hasil yang lebih representatif. Selain itu, diperlukan pula pencegahan komplikasi yang holistik dengan cara meminimalisasi faktor risiko DE pada penderita DMT2 sehingga mampu
menurunkan risiko komplikasi DE secara bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Ozougwu JC, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba CB. The pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. J Physiol Pathophysiol. 2013;4(4):46-57.
-
2. Olokoba AB, Obateru OA, Olokoba LB. Type 2 Diabetes mellitus: a review of current trends. Oman Medical Journal. 2012;27(4):269-73.
-
3. Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni. 2011. h. 8-9.
-
4. Chackrewarthy S, Gunasekera D, Pathmeswaren A. A comparison between revised NCEP ATP III and IDF definitions in diagnosing metabolic syndrome in an Urban Sri Lankan population: The Ragama Health Study. Hindawi
Endokrinology. 2013;76:1-8.
-
5. Penson DF, Wessells H. Erectile dysfunction in diabetic patients. Diabetes Spectrum. 2004;17(4):225-30.
-
6. Ismail F, Beigi. Pathogenesis and glycemic management of type 2 diabetes mellitus: a physiological approach. Arch Iran Med. 2012;15(4):239-46.
-
7. Kaku K. Pathophysiology of type 2 diabetes and its treatment policy. JMAJ. 2010;53(1):41-6.
-
8. Lin Y, Sun Z. Current views on type 2 diabetes. Journal of
Endocrinology. 2010;204:1-11.
-
9. Cornier MA, Dabelea D, Hernandez TL. The metabolic syndrome. Endocrine reviews. 2008;29(7):777-882.
-
10. Rezaianzadeh A, Namayandeh SM, Sadr SM. National Cholesterol
Education Program Adult Treatment Panel III versus International
Diabetic Federation Definition of metabolic syndrome, which one is associated with diabetes mellitus and coronary artery disease?. International Journal of Preventive Medicine. 2012;3(8):552-8.
-
11. Eardley I. Pathophysiology of erectile dysfunction. The British Journal of Diabetes & Vascular Disease. 2004;2:272-8.
-
12. Thorve VS, Kshirsagar AD, Vyawahare NS. Diabetes-induced erectile dysfunction: epidemiology, pathophysiology and management. Journal of Diabetes and Its Complications. 2011;25:129-36.
-
13. Amidu N, Owiredu WK, Alidu H. Association between metabolic syndrome and sexual dysfunction among men with clinically diagnosed diabetes. DMS Journal. 2013;5(42):1-8.
-
14. Moy FM, Bulgiba A. The modified NCEP ATP III criteria maybe better than the IDF criteria in diagnosing metabolic syndrome among Malays in Kuala Lumpur. BMC Public Health. 2010;10(678):1-6.
13
Discussion and feedback